“Bebaskan Momo dan Yana Merupakan Aspirasi Masyarakat Yang Rindu Keadilan”

Pers Release

Oleh: Aljabar

Petani bernama Momo dan Yana merupakan ayah dan anak yang menjadi korban konspirasi pengusaha dan aparat penegak hukum yang dilatar belakangi oleh konflik atas tanah yang dikenal luas sebagai tanah Sampalan yang berlokasi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Sudah sejak lama masyarakat Pangalengan yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah. Tanah Sampalan merupakan tanah milik masyarakat yang kemudian di rampas oleh pemerintah propinsi dengan menerbitkan dan memberikan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain tanpa memperhatikan keadaan masyarakat sekitarnya. Hal ini lah yang mengakibatkan konflik di lapangan.

Proses penetapan Momo dan Yana sebagai tersangka oleh pihak kepolisian dan kemudian menjadi terdakwa merupakan proses yang mengundang tanda tanya. Bagaimana tidak, Pihak Polres Bandung menetapkan Momo dan Yana tanpa adanya bukti dan keterangan saksi yang kuat. Begitu pula di pengadilan, Hakim memilih untuk melanjutkan persidangan meskipun Tim Kuasa Hukum Momo dan Yana telah menyatakan bahwa tuntutan ini kabur dan tidak jelas, sehingga tidak perlu dilanjutkan. Sejak tanggal 3 September 2012, Momo dan Yana harus duduk di kursi pesakitan Pengadilan Bale Bandung.

Proses pengadilan yang terjadi pun semakin memperjelas bahwa Momo dan Yana tidak bersalah, dan peristiwa yang sebenarnya terjadi adalah tindakan kriminalisasi. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak satu pun yang menyatakan secara terang bahwa mereka melihat Momo dan Yana terlibat dalam kejadian di depan kantor PDAP Pangalengan, kejadian yang dipicu oleh tindakan sebelah pihak PDAP dan tim pendukungnya mematok kebun di tanah Sampalan. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 24 Oktober 2011. Saksi yang menjawab bahwa dia melihat Momo dan Yana di lokasi, menjawab dengan ragu-ragu. Banyak keanehan yang muncul, seperti Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang copy-paste, alias sama persis, mulai dari isi sampai dengan waktu, tempat dan petugas pemeriksa-nya. Ada pula saksi yang secara jelas menyatakan bahwa dia tidak pernah membuat BAP yang seperti
dibacakan di ruang sidang. Saksi ST menyatakan bahwa dia hanya diminta menanda tangani BAP tersebut tanpa adanya pemeriksaan.

“Kami bukan kriminal” tutur Dewi Amelia. “Kami hanya mempertahankan hak kami atas tanah yang sepenuhnya di jamin oleh kontitusi dan UUPA” lanjutnya lagi. “Setiap minggunya, disetiap sesi sidang Momo dan Yana, masyarakat selalu hadir untuk menunjukkan dukungan dan harapan mereka akan keadilan. Putusan bebas atas Momo dan Yana merupakan aspirasi rakyat yang rindu keadilan” tambahnya.

“Pembuatan laporan ke Kepolisian oleh Direktur PDAP (Asep Sunarya) atas kejadian yang dipicu oleh perbuatannya sendiri merupakan upaya kriminalisasi terhadap kaum tani, karena memiliki latar belakang konflik agraria yang sangat luas seginya dan tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan pidana semata. Pelaporan ini tentu memiliki motivasi tertentu, seperti menghancurkan gerakan massa yang sedang berkembang. Tindak lanjut dari pihak kepolisian yang terlihat “dipaksakan” dan “melayani” kepentingan pengusaha merupakan bagian dari kriminalisasi selanjutnya. Sementara proses persidangan merupakan bagian penting dari kriminalisasi terhadap kaum tani. Putusan hakim merupakan indikator penting yang menentukan, apakah masih ada keadilan dan keberpihakan terhadap kaum marjinal”, tutup Dewi Amelia.

Oleh sebab itu, pada aksi yang didukung oleh hampir seluruh sektor ini, ALJABAR menuntut putusan bebas untuk Momo dan Yana dan selesaikan konflik Sampalan dengan memberikan keuntungan untuk petani penggarap tanah Sampalan#

3 April 2013
Juru Bicara: Dewi Amelia (085659301640)
Aliansi Rakyat Jawa Barat (ALJABAR)
Jl. Piit No. 5, Bandung

HENTIKAN KEKERASAN TERHADAP WARGA PENGUNGSI DI WALATRA, PANGALENGAN

Praktek pemonopolian tanah oleh pemerintah lewat BUMN dan BUMD telah jelas-jelas tak sejalan dengan upaya mensejahtrakan rakyat Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 45 pasal 33. Apalagi penguasaan tanah oleh perusahaan swasta, sejatinya menindas dan menggilas keberadaan rakyat sekitarnya.

Kasus-kasus sengketa agraria antara perusahaan (pemerintah atau swasta) seringkali berujung kekerasan dan rakyatlah yang disalahkan. Praktek kriminalisasi akan langsung dialami rakyat ketika melakukan perlawanan namun hukum seolah tumpul ketika rakyat tak melakukan perlawanan ketika rumah, barang, atau fisiknya mengalami kekerasan secara bersamaan di muka umum oleh pihak perusahaan.

Seperti yang terjadi pada warga pengungsi korban gempa jabar 2009 yang menduduki blok wlatra hingga proses relokasi ke lahan yang layak mukim terealisasi. Telah tercatat berkali-kali terjadi intimidasi berupa tindak kekerasan dari juli 2011 hingga yang terbaru januari 2012. Kekerasan yang terjadi dilakukan dengan jelas oleh massa dan karyawan PTPN VIII Malabar-Pangalengan.

Padahal proses pengeluaran kebijakan relokasi telah di depan mata. Komisi A dan Komisi E DPRD Provinsi pun telah memastikan soal proses relokasi warga walatra di Aula Kecamatan Pangalengan secara terpisah dan dihadiri oleh pihak PTPN VIII. Namun seperti tak peduli pada kesepakatan bersama seluruh pihak (DPRD Prov Jabar, Muspika, PTPN VIII dan Warga) tentang penjaminan kebijakan relokasi dan keamanan warga walatra selama proses relokasi teralisasi, pihak PTPN VIII kembali melakukan tindak kekerasan terhadap pengungsi di blok walatra.

Hal ini tak bisa dibiarkan. PTPN VIII Malabar  telah bertindak di luar kewenangannya sebagai perusahan pemerintah (BUMN). Warga pengungsi yang tinggal sementara di blok walatra tidak bisa diperlakukan seperti hewan. Mereka manusia. Memiliki hak previlage sebagai rakyat Indonesia yang harus dihormati oleh pemerintah. Berpayung hukum dan HAM.

Maka dengan ini Al Jabar menuntut:
1.    Segera realisasikan kebijakan relokasi warga walatra ke lahan layak mukim,
2.    Hentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga pengungsi di blok Waltra.

Bandung, 24 Januari 2012