Lintang Sinipat

: Amran Halim

 

Jikalau Brastha bukanlah jawara perkebunan sudahlah pasti ia akan mengerang kesakitan setelah siuman karena luka bacokan di sekujur tubuhnya.

Brastha masih tak percaya akan keberanian Kunjara, buruh tani perkebunan, juga kawan semasa kecilnya, yang bertahun-tahun tertunduk di hadapan telunjuknya. Sepertinya tak mungkin jika Kunjara hanya berbekal puncak dari rasa ketakutannya. Brastha yakin bahwa keterlibatan Kunjara dengan organisasi tanilah yang menyulut keberanian terhadap dirinya. Bisa jadi siang tadi adalah puncak ledakan dari letupan-letupan kecil amarahnya salama ini. “Ya, mungkin inilah puncak ledakan kebenciannya terhadap ulahku yang semena-mena”.

Andai saja ada pilihan waktu itu, Brastha akan lebih memilih mati di lahan perkebunan—apalagi karena dikeroyok massa organisasi tani yang doyan mereklaiming tanah perkebunan. Setidaknya ada beberapa hal yang Brastha dapatkan selain kematian yang terhormat sebagai jawara; pembuktian pada pihak perkebunan akan abdinya selama ini, juga sekiranya akan nampak heroiklah ia ketika mayatnya disorot kamera peliput berita kriminal lantas si bos memberikan pernyataan bahwa mereka adalah sisa-sisa penganut komunis—peresah petani kaya dan infestor dalam maupun luar negeri—maka mampuslah organisasi tani sialan itu dan ia layak direkomendasikan pihak perkebunan untuk menghuni makam pahlawan atau sekomplek pemakaman dengan Dewan Jendral. Tapi apalah daya Brastha sudah benar-benar menggelepar di ranjang rumah sakit ecek-ecek di kecamatan. Ia bahkan tak bisa membuka mata, hanya merasakan hampir seluruh tubuhnya berbalut perban, menjadi sesosok mumi berselang infus yang menghisap darah literan lewat nadi di tangannya.

***

Tapi apakah Brastha salah jika ia tak punya sepetak tanah pun? Tak mendapat kepercayaan dari Wak Haji, tuan tanah yang lahannya berbatasan dengan lahan perkebunan, untuk sekadar jadi buruh tani yang menggantungkan hidup padanya karena ia sering membuat onar di setiap acara dangdutan tujuh belasan? Memilih merantau ke kota tanpa ijazah, keahlian, kerabat, pun secarik alamat? Ia hanya berbekal keinginan merubah nasib dengan satu tujuan; berjudi keberuntungan di gemerlap kehidupan kota. Mengorek pengalaman, memetik pelajaran ketika tersudut pada jalan hidup yang keras di jalanan? Memelajari cara memasang wajah sangar, menyelipkan belati dengan apik, mengintai dan menelanjangi korban di lorong-lorong gelap, kalau perlu mengantarkan korban ke alam lain jika banyak melawan. Hingga pada suatu ketika gerombolan orang dari entah melakukan penjarahan, pemerkosaan, huru-hara yang sama sekali tak dapat dimengerti tapi ia nikmati walau ujung-ujungnya jadi kambing hitam dan resikonya;  segala keterpaksaannya dalam memertahankan hidup terungkap, tercatatlah Brastha sebagai pembunuh dan mengenyam kelamnya penjara berhitung tahun, kemudian diusir mentah-mentah oleh kepolisian setempat. Tak ada pilihan lagi setelah itu; kampung halamanlah menjadi lahan praktek bagi Brastha yang menyandang titel preman kota kawakan. Dengan tanpa ragu menepuk dada dengan sebutan “Jawara”.

Barstha sadar bahwa dirinya pastilah tak lebih berarti dari anjing kudis pengais tumpukan sampah di emperan toko yang kerap menyebar keributan ketika tak mendapat jatah kemanan. Dan seberapa lamakah ia mampu bertahan hidup hanya mengandalkan sima? Maka tenaga, keberanian dan amarah yang meluap-luap di jalanan ia lakukan hanya demi mempertahankan lahan parkir dan jatah THR dari toko-toko sekitaran pasar—tak seperti kota yang memberikan banyak pilihan tuk mendapat uang—Karena ia sudah tidak punya apa-apa lagi, selain nyawa, untuk dipertaruhkan di meja perjudian kehidupan. Untunglah baru dua tahun sepulang dari kota, pihak perkebunan memerhatikan kapasitasnya sebagai jawara yang memang patut diperhitungkan. Kalau tidak, bisa jadi kelak ia pun terbunuh oleh keterdesakan kondisi jawara lainnya walau mereka tak sebanding pengalamannya dengan Barstha—tapi itulah kehidupan di jalanan; tak pernah berbicara pengalaman atau jenjang karir yang penting adalah pemanfaatan kesempatan yang memang melulu sempit. Maka naiklah pangkatnya bukan lagi jawara jalanan tapi menjadi jawara perkebunan yang disegani para buruh perkebunan dan buruh tani di sekitar lahan perkebunan. Salah satunya adalah Kunjara yang dulu menggarap lahan Wak Haji dan kini menjadi buruh perkebunan karena lahan Wak Haji telah berpindah tangan pada perkebunan. Kunjara yang dulu menanam sayuran untuk Wak Haji dan kini menjadi pemetik teh karena memang tak ada lagi lahan untuk ia cankuli.

Tapi siapa sangka semenjak kedatangan aktifis tani sialan dari kota, segalanya perlahan memutar. Brastha merasakan ada sebuah ancaman bagi statusnya sebagai jawara yang mulai tak disegani lagi oleh para buruh tani sekitar lahan perkebunan bahkan buruh tani perkebunan. Ia tak lagi bisa semena-mena melakukan keisengan kepada buruh tani, termasuk Kunjara, atau meminta para buruh tani perkebunan perempuan untuk meladeni nafsu bejatnya. Ia mulai kikuk ketika buruh tani perempuan meledeknya dengan sebutan ‘Lumpen’ bukan lagi jawara perkebunan, dalam sebuah aksi protes menuntut dinaikkannya upah hasil petikan daun teh agar tak melulu pada harga Rp. 1.200,- setiap kilonya karena rata-rata buruh tani perkebunan hanya sanggup mengumpulkan daun teh sebanyak 10-15 kilo per-harinya yang sama dengan setiap hari mereka hanya mendapat Rp. 12.000,-. Dari mana para buruh tani sialan itu mengenal istilah lumpen yang sungguh kupingnya pun masih merasa asing dengan istilah itu. Terasa ada pelumeran. Proses pembakaran emosi. Seperti baja yang akan dilelehkan. Dan kini ia sadar bahwa akhirnya mencair, terkulai di ranjang perawatan, ditempa parang Kunjara sore tadi.

Kenangannya melintas tak beraturan. Masa kecil bersama Kunjara tak mampu ia bendung lagi walau dendam pada sore tadi yang membuatnya terkulai tak mungkin padam. Ya masa kecil yang tak begitu istimewa memang. Bahkan kerap beradu tinju karena ledekan-ledekan Brastha pada fisik Kunjara yang tak akan saya gambarkan karena memang sudah tak tergambar lagi di otak Brastha. Tak jarang juga Brastha membuat Kunjara menangis karena menyebutkan ayahnya—yang hilang entah dan tak bisa dijelaskan ibunya, ketika komunis diharamkan—sebenarnya kawin lagi dan tak pernah menganggapnya sebagai anak.

Brastha berpulang dari kenangannya. Ia menemukan jawaban pada suatu hal yang menjadi pertanyaannya berpuluh tahun lamanya yakni prihal perhatian para tetangga, Wak Haji, dan Rukmi yang melulu mengarah pada Kunjara dan inilah yang kerap menuai kecemburuan Brastha. “Ya. Ulahku sendiri yang membuat Kunjara lebih mendapat perhatian. Rukmi. Wajar kalau Rukmi lebih memilih Kunjara dari pada Brastha yang brandalan dari dulu.” Rasa sakit kemabali melayat tapi tersisihkan oleh iba pada Kunjara yang mendadak menjenguk. “Kunjara. Apakah ia masih hidup?”

Betapa tidak Brastha berpikir demikian. Tanding pati dengan Kunjara sore tadi adalah suatu yang tak terkirakan. Emosi dan parang yang meluap dan berbertur begitu saja. Tentu Brastha lebih terlatih bahkan terbiasa tanding pati demikian. Sekuat apa pun Kunjara mengelak dan menahan serangan Brastha pada akhirnya pertarungan tadi tak sebanding. Tak dipungkiri pula bahwa Kunjara memang kuat, entah kekuatan dari mana, ia tak mudah ambruk dan menyerah hingga tak ayal beberapa bacokan telak menerjang kepala dan dada Brastha hingga keduanya roboh dan tak sadarkan diri. Masing-masing tak tahu nasib tanding patinya.

Menyadari musabab pertarungan tadi, Brastha tersadarkan pada tingkahnya yang memang tak patut dimaafkan dengan diam, kecuali masih ada ketakutan pada Kunjara. Pada nyatanya tidak. Kunjara tak lemah seperti yang ia kenal. Kunjara telah benar-benar asing baginya. Walau mungkin Brastha pun merasai keasingannya pada dirinya sendiri. Asing pada sebutan-sebutan orang terhadapnya; Preman, Jawara, dan sebutan lain yang tak membuatnya bangga, Lumpen. Pada hakekatnya Brastha hari ini masih sama dengan Brastha dulu; kecemburuan perlakuan orang-orang di sekitarnya yang sama sekali berbeda jika dibanding terhadap Kunjara—bahkan jauh sebelum ia menjadi lumpen perkebunan. Yakni ketika mulai mabuk-mabukan, membuat onar di acara dangdutan tujuh belasan hanya lantaran ditolak Rukmi, tak diterima Wak Haji tuk turut menggarap lahannya dan nyinyiran lain karena ulah-ulahnya yang tak sedap di rasa. Membuat ia hijrah ke kota dan kehilangan harapan pada Rukmi seutuhnya karena ia lebih memilih Kunjara sebagai suaminya, buruh tani yang memang sangat giat bekerja. Kecemburuan inilah yang menggoda Brastha untuk menggodai Rukmi di waktu ia mengumpulkan teh hasil petikannya di depan Kunjara. Wajar kemudian jia Kunjara tak terima dan memulai tanding pati yang tak terelakkan dan terleraikan lagi. Brastha sadar akan hal itu.

***

Suara adzan—entah isya, entah maghrib—seolah menyelusup dari jendela dengan tirai berbercak darah. Kesunyian menyergapnya ketika di ranjang samping, bersekat kain putih, terdengar erangan memilukan.

“Maaf, Kunjara!”  dalam hati. Matanya tetap terpejam.

Brastha merasa teriris mendengar erangan itu. Lebih menyakitkan dari pada rasa nyeri yang menggerogoti dagingnya. Tapi tak secuil pun ia mengeluarkan erang kesakitan. Jawara pantang mengerang tentunya.

Terdengar suara langkah. Derit pintu terbuka. Segerombol orang memasuki ruangan.

“Lumpen bajingan ini yang membuat kawan kita hampir mati, Bung?” pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban itu menghentak kesadaran Brastha yang tak mampu membuka mata. Brastha tak bisa berkutik sedikit pun. “Kenapa juga Lumpen sialan ini diselamatkan, Bung. Toh ia jelas-jelas merintangi perjuangan kita. Keberadaanya di sini toh membebani anggota. Harusnya kan pihak perkebunan yang menanggung biayanya. Bukan kita?!” mendengar ucapan itu luka bacokan pada tubuh Brastha solah ditaburi garam. Perih samapi ke hati.

“Musuh sejati kita bukan dia. Musuh kita tuan tanah model lama pun moderen seperti pemilik perkebunan teh yang kita garap. Birokrasi yang mengakumulasi keuntungan memanfaatkan jabatannya, serta kapitalis monopoli asing yang mengobok-obok negeri ini. Brastha hanyalah alat untuk menekan kita yang ketika dianggap tak berguna akan dibuang begitu saja. Maka dari itu kita harus membantunya. Kondisinyalah yang membuat Brastha menjadi Lumpen.

“Siapa pula yang tak ingin sejahtra. Hidup enak dan serba tersedia. Tapi karena keterbelakangannyalah ia kemudian memilih tuk menjadi Lumpen perkebunan, sampah masyarakat. Menghibur diri dengan menggodai para buruh tani perempuan. Yang sebenarnya adalah pelecehan.”

“Jangan-jangan ia akan seperti seekor anjing yang diselamatkan dari jerat tali kemudian menggigit karena yang menyelamatkannya adalah musuhnya?”

“Tapi ia harus kita sadarkan dan menjadi kawan di kemudian hari. Begitu, bung. Ia hanya memertahankan hidup, kita memperjuangkan hidup. Demi hidup. Tak lebih. Oke. Jadi siapkan iuran anggota tuk membiayai perawatan mereka.” Segerombolan orang itu kemudian beralih kebilik lain menuju pasien yang sedang merintih di samping ranjang Brastha yang hanya berbatas tirai.

Brastha benar-benar tak mampu menalar isi otak pimpinan organisasi tani yang sedari dulu menjadi musuhnya. Sungguh tak terbayangkan pimpinan organisasi tani yang dibencinya itu begitu bijak memperhitungkan keberadaanya. Tak terbayangkan pula bahwa yang membawanya ke rumah sakit ini adalah mereka yang selama ini ia anggap musuh, duri dalam daging atau apapun itulah. Salah anggapannya bahwa pihak perkebunan telah menganakemaskan keberadaannya. Sama sekali Brastha tak keberatan jika kemudia ia disamakan dengan seekor anjing peliharaan. Dan lebih masghul lagi bagi Brastha adalah ketika ia sadar bahwa ia sekamar dengan Kunjara, lawan tanding patinya sore tadi, pemilik rintih yang memilukan hatinya.

 

Pondok ASAS, Bandung 080409

Catatan:

Lintang Sinipat : bintang kesiangan

Sima                       : pancaran aura yang memengaruhi lawan.

Tanding Pati       : pertarungan mematikan

Leave a comment