Bagian Tiga: “Pertemuan”

Oleh: Asep Pram

Pertemuan

Matahari mendung kelabu. Musim penghujan sudah mulai sejak kemarin. Inilah musim kawin bagi katak. Inilah cerita tentang katak-katak itu. Si jantan teriak-teriak menantang. “Aku paling kuat bersetubuh! Wahai para betina, siapa yang mau kawin denganku! Aku sanggup membuahi semua telur-telur yang kau hasilkan. Untaian telurmu akan kusulap menjadi katak-katak baru. Mereka akan generasi kita yang unggul dan mampu pertahan hidup, meski air telah penuh limbah. Ayo, kemarilah….!” begitu mungkin teriakan si jantan itu.

Si betina dengan sangat hati-hati mengendap-endap. Ia terpukau oleh bunyi nyanyian si jantan. Ia berenang mendekati asal suara dalam air yang hampir setengahnya berupa lumpur hitam. Perlahan kepalanya muncul di antara sampah-sampah plastik dan botol minuman keras rendahan. Ia harus hati-hati sebab selain si jantan yang bernyanyi tadi, masih banyak lagi pejantan-pejantan lain yang sedang berahi.

“Ah, dia. Pembohong!” ucapnya setelah tahu siapa si jantan yang bernyayi. Sambil berlalu, si betina kembali mengumpat. Musim kawin tahun lalu juga ia sempat tergoda oleh bualan-bualannya, ternyata nol besar.

“Bibit unggul macam apa yang ia maksud sebab ternyata katak-katak baru yang lahir setelah ia buahi hanya katak penakut. Ia hanya bisa memaksakan peraturan-peraturan yang menurutnya benar kepada katak-katak yang telah di buahinya. Tidak ada di antara katak-katak itu yang pemberani. Berani membangkang, berani berbeda pendapat, dan berani membela katak-katak lain yang dieksploitasi. Semuanya penurut. Mau-maunya menjadi abdi dalam memperluas wilayah kekuasaannya.  Tak ada sama sekali yang mau memprotes kesewenang-wenangan manusia yang membuang sampah plastik dan limbah pabriknya ke selokan, ke sungai. Buktinya, makin hari sampah makin sesak saja. Air tambah hitam dan berbau. Mana ada katak yang bisa bertahan hidup dalam habitat yang seperti ini. Mana ada bibit unggul,” si betina terus menggerutu.

Tiba-tiba.

“Plok!”

Ada benda yang mendarat di punggungnya. Belum sampai melihat benda tersebut,  ia sudah tak sadarkan diri. Tangan seorang perempuan setengah baya dengan cepat menangkapnya.

“Nah! Dapat!” kata perempuan itu. “Tua-tua juga lumayan, daripada tidak ada sama sekali.” Si katak telah ditangkap tak berdaya. Ia mati lemas dalam kantong plastik pengap.

Perempuan itu kembali menyusuri selokan. Matanya jeli menangkap setiap gerakan. Katak hijau muda yang dicarinya. “Si Mamat juga pasti mengerti. Mana ada sekarang katak-katak muda. Semuanya sudah habis diburu. Ia sih enak, tidak harus kotor-kotor kena lumpur seperti aku. Ia cukup dengan mengirimkannya ke pemilik restoran Cina itu. Selesai. Dapat uang! Enak betul hidupnya. Lihat bininya, makin bahenol saja,” ia bicara sendiri.

Menjelang pukul lima sore, ia segera pulang. Katak-katak itu ia masukkan kedalam wadah plastik. Sambil menenteng handuk dan peralatan mandi seadanya, ia pergi ke kamar mandi umum yang letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Ia rela ngantri menunggu giliran. Itu lebih baik daripada harus mandi di kali yang penuh sampah, berbau dan berwarna hitam.

Ketika hari beranjak gelap, segalanya telah selesai. Kembali ia pulang. Sebakul nasi menantinya untuk dihangatkan. Sebentar lagi suaminya pulang, pikirnya.

Apa yang dipikirkannya ternyata benar. Suaminya telah ada di rumah. Ia nampak sedang berbincang dengan seorang pemuda. Beberapa hari terakhir ini kampung ini kerap kedatangan tamu asing. Beberapa di antaranya bahkan mendatangi rumahnya, berbincang dengan suaminya. Belakangan ia tahu kalau mereka adalah orang-orang pemerintah yang sedang membujuk warga setempat untuk  segera pindah dari tempat itu. Agar warga takut, mereka membawa serta segerombolan preman.

“Wah, lagi-lagi preman,” gerutunya. Segenggam do’a ia kirimkan ke langit, menembus awan yang sebentar lagi pecah. Ia ta ingin Diman, suaminya, dianiaya. Ia tahu, manusia seperti mereka telah kalap oleh uang. Demi uang, mereka mau melakukan apapun, termasuk menakuti atau bahkan membunuh.  “Anak muda sekarang maunya enak terus, padahal pekerjaan enak makin hari makin langka,” ucapnya perlahan. Ia mengira pemuda yang sedang berbincang dengan suaminya  itu bagian dari mereka yang kerap datang menakuti warga, menjadi tukang pukul yang dibayar.

Ia tidak jadi masuk lewat depan. Sambil berpikir yang tidak-tidak, ia belok ke arah belakang. Masuk lewat dapur.  Dalam hati ia menyalahkan suaminya, kenapa mau melayani obrolan anak muda seperti itu? “Sudah tahu preman, malah dibaikin!” gerutunya sambil menghangatkan nasi. Ia tidak berani ikut-ikutan suaminya menemani pemuda itu. Ia hanya bisa mendengarkan obrolan mereka dari balik pintu dapur.

“Rohaleh, bawakan air minum untuk tamu kita,” Diman masuk dapur. Perempuan bernama Rohaleh itu tidak menggubris ucapan suaminya. Ia malah memperlihatkan muka kesal.

“Heh, kenapa?” suaminya heran. 

Tanpa melihat wajah Diman ia bicara. “Abang yang kenapa? Untuk apa ngajak ngobrol preman segala? Untuk apa ia diajak masuk rumah kita? Sudah jelas ia akan mengusir kita…”

“Sstt…” Diman menghentikan.

“Mau pindah kemana lagi kita?” Rohaleh menangis. Tiga tetes air mata jatuh ke dalam bakul berisi nasi yang akan dihangatkannya.

“Apa maksudnya?”

“Abang, apa maksudnya pake nyuruh masuk tukang pukul?”

“Mana tukang pukul? Siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan pemuda yang Abang bawa masuk itu!”

“ Heh, Rohaleh, dia itu pemuda baik-baik…”

“Baik-baik bagaimana?”

“Tolong dengar, dia bukan preman. Bukan pula tukang pukul. Dia bilang mau kerja jadi tukang becak. Dia habis ditanya-tanya polisi, kemarin. Ditanya ini itu yang ia sendiri tidak tahu. Katanya, kalau tidak mau mengaku, dia akan ditahan.”

“Ditanya apaan katanya?”

“Dia dituduh mau melakukan kejahatan karena membawa pisau belati, tapi ia sendiri tidak tahu belati yang mana?”

“Dia orang mana?”

“Dia sendiri tidak tahu dari mana berasal. Bahkan ketika ditanya tempat tinggal orangtuanya, dia bilang tidak ingat.” 

Mereka saling pandang. Tiba-tiba Rohaleh kembali bicara.

“Orang yang tidak jelas asal-usulnya, kok diajak ke rumah. Bagaimana kalau dia itu gila?”

“Hati-hati kalau bicara. Bagaimana kalau dia dengar. Ia tidak gila. Ngomong biasa-biasa saja seperti kita. Ia waras, cuma tidak ingat apa-apa. Ia dibawa polisi dari rumah sakit. Setibanya di kantor polisi langsung ditanya macam-macam. Karena tidak mengaku apa-apa, polisi menahannya beberapa hari. Tiap hari ditanyain terus, katanya. Tapi karena dia tidak ingat apa-apa, dua hari kemudian dibebaskan lagi.”

“Kenapa polisi sampai menangkap dan menuduhnya begitu? Pasti ada apa-apanya?”

“Nah, itu yang dia tidak mengerti.”

“Apalagi namanya kalau bukan orang gila, atau paling tidak bekas orang gila.”

“Tidak, Abang yakin dia tidak gila…”

“Abang ini bagaimana? Hidup kita itu sudah lama, sudah harus punya pengalaman. Sekarang ini banyak orang yang tampang dan bicaranya baik, tapi hatinya jahat dan licik. Abang sendiri yang pernah bilang begitu. Pejabat saja banyak yang tidak karuan akhlaknya, apalagi pemuda seperti itu,” Rohaleh makin kesal.

“Dia nanya, kalau mau jadi tukang becak seperti Abang bagaimana caranya? Ia hanya mau mencari uang untuk makan. Kenapa ia Abang bawa ke mari, biar dia bisa bantu-bantu kita. Dia hanya butuh makan. Rasa kasihan, itulah yang Abang dapatkan dalam hidup kita selama ini. Kita telah mengalami, betapa orang seperti kita sangat ingin diperhatikan orang lain. Kita lihat saja barang beberapa hari, apakah ia memperlihatkan tingkah mencurigakan atau tidak. Ia bisa narik becak. Biar kita berdua yang mencari katak-katak muda, mungkin hasilnya bisa banyak,” ia diam.

“Jadi?” Rohaleh belum sepenuhnya mengerti.

“Biarkan ia tinggal bersama kita. Kalau ia baik-baik, kita bisa mengangkatnya sebagai anak. menggantikan si Dulkamid.”

“Ia akan tinggal di sini?”

“Iya, kamu tidak setuju?”

“Bang, kita ini orang miskin. Mencari makan buat sendiri saja susah, sekarang mau mengajak orang lain untuk tinggal bersama dengan kita? Bagaimana kalau nanti dia bikin susah?”

“Kalau tidak kita yang kasihan kepadanya, siapa lagi? Kita juga pernah seperti dia. Pernah hidup menggelandang tak punya rumah. Pernah susah.”

“Nolong sih boleh, bagus malah. Cuma saya mau bertanya, apa hukumnya kalau karena menolong orang terus kita jadi celaka? Kita akan seperti menolong orang tenggelam yang beresiko ikut tengelam.”

Meski dengan hati dongkol terhadap sikap suaminya, Rohaleh mau menerima pemuda gondrong itu. Akhirnya ia menyadari juga, bahwa ada yang lebih kurang dalam hidup berumahtangganya selain dari materi dan hidup berkecukupan, yaitu anak. Ada perasaan yang kembali muncul di hati perempuan setengah baya itu ketika dalam kesehariannya hadir seorang anak muda. Perasaan purbanya sebagai seorang ibu mulai menelikung jiwanya yang lama meranggas diganyang waktu. Ia seolah telah menemukan kembali jati diri dan posisi alamiah yang seharusnya ada dan dimiliki setiap perempuan seusianya. Materi ternyata tidak begitu penting dibanding dengan kehilangan kodrat sebagai seorang perempuan yang melahirkan dan membesarkan anak. Materi hanya sebagian kecil alat untuk mempertahankan hidup. Masih banyak alat-alat lainnya yang tidak kalah pentingnya, begitu pikirnya.

Secercah kebahagiaan terpancar di antara garis ketuaan pada wajah kedua suami istri itu. Kini ada yang harus mereka tunggu setelah pulang mencari katak-katak itu. Ada yang harus mereka nantikan setelah bergumul di antara tumpukan sampah, menjadi pengumpul barang-barang bekas yang laku di jual. Ada orang yang bisa menjadi pendengar kisah heroik dan romantik hidup mereka di masa lalu. Ada yang bisa mewakilinya sebagai saksi perubahan peradaban jika suatu saat mereka harus pulang menemui panggilan Tuhan.

Wajah Dulkamid, anaknya yang telah lama tiada, kembali terbayang dalam ingatan suami istri itu. Akankah apa yang terjadi pada anaknya itu juga terjadi pada anak muda yang baru mereka temukan? Berbagai pertanyaan kembali hinggap memompa ragu. Namun segera mampu mereka tepiskan. Bagi mereka, hidup itu untuk dijalani, bukan dikira-kira. 

Terpikirkan oleh mereka kalau anak muda yang telah mulai hidup bersamanya belum mereka beri nama. Ia hadir tanpa nama, tanpa kejelasan asal-usulnya. Ia telah hadir begitu saja, kebetulan. Sama seperti mereka tiba-tiba menemukan sebuah cincin di antara tumpukan sampah.

Siapa. Siapa nama yang pantas mereka berikan untuk anak muda itu. Tukimin, Parto, Joni, Gelambir, Pulung atau siapa. Di gubuk reyot di pinggir kali itu mereka berbincang. Di antara gerimis  yang tak kunjung deras.    

 “Beberapa hari lalu sudah Abang katakan, anak itu tidak ingat apa-apa, juga namanya. Abang menyadari bahwa orang akan tetap hidup meski tak memiliki nama. Bagi orang lain memang membingungkan, tapi kita tak usah ikut-ikutan bingung. Panggil apa saja sesuka hati kita, dia tidak akan menolak,” kata Diman.

“Apa segampang itu memberi nama. Kesannya, seperti asal-asalan. Sejelek apa pun, seorang anak merupakan kebanggan orangtuanya. Ia titipan Tuhan untuk kita didik dan besarkan. Sekarang, banyak anak-anak yang diperjualbelikan. Sedangkan kita tidak harus membeli, ia datang sendiri. Itu rejeki dari langit.”   

“Lalu, nama apa yang pantas untuknya?”

“Siapa saja yang bagus dan pantas. Sepertinya, dulu ia anak orang kaya. Dari wajahnya saja kelihatan. Ngomongnya juga baik-baik, tidak seperti anak kita dulu.”

“Kalau begitu, terserah kita saja….”

“Maksud Abang?”

“Kita boleh memberi nama siapa saja, dan boleh memanggilnya apa saja yang kita sukai. Abang akan memanggilnya si Rambo…”

“Si Rambo? Apa nama itu mengandung arti tertentu?”

“Coba saja lihat wajah dan potongan rambutnya, sudah mirip si Rambo yang gambarnya terlihat di spanduk film di gedung bioskop. Si Rambo itu katanya seorang pemberani. Abang lihat, anak ini juga pemberani. Mudah-mudahan saja dengan keberanian yang dimilikinya dia bisa menolong kita menolak penggusuran.”

“Ah, masa si Rambo, tidak enak di telinganya!”

“Nah terserah. Kamu mau panggil apa.  Ini kebebasan. Tidak harus sama, tidak harus ada mufakat. Mending kalau mufakat beneran, bagaimana kalau mufakat hasil paksaan? Ngapain repot-repot. Eh, Rohaleh, kamu harus tahu. Dengan bebasnya kita memberi nama anak itu semau kita masing-masing, di antara kita tidak ada yang kalah dan yang menang, yang besar kepala dan yang sakit hati. Kita semua sama-sama punya hak memberikan nama siapa pun kepada anak itu.”

“Masa, namanya ada dua? Terus, orang-orang nanti memanggilnya menggunakan nama yang mana?”

“Terserah mereka, mau memakai nama pemberian Abang atau kamu.  Atau mereka mau memakai nama lain, silahkan. Dengan begitu, ide, gagasan, dan suara kita ada yang mendengar dan menghormati, minimal oleh kita sendiri, tanpa harus ada cara paksa-paksaan.”

“Ah, pusing saya. Tidak mengerti. Ngomongnya tingkat tinggi begitu,” ucap Rohaleh. “Kalau maunya begitu, ya sudah. Saya akan memanggilnya Ahmad. Nah, tuh dia baru pulang!” percakapan berhenti. Mata kedua laki bini itu tertuju pada pemuda yang sedang menuju ke arahnya.

Pemuda gondrong itu terlihat sedang mengayuh becaknya. Melihat kedua suami istri itu sama-sama memandang ke arahnya sambil senyum-senyum, ia pun membalasnya dengan senyum.

 “Rambo!” teriak Diman.

“Ahmad!” Rohaleh tak mau ketinggalan. Suami istri itu memanggilnya hampir bersamaan.  Si anak muda kebingungan. Mereka berdua menyapa siapa, pikirnya. “Siapa yang Bapak dan Mak panggil?” tanyanya.

“Kamu, Nak!” jawab keduanya serempak.

“Saya?” ia tampak bingung.

“Oh, itu, eh….” Rohaleh mau menjawab, tapi masih kebingungan untuk menjelaskannya. 

“Kami berdua tadi sepakat untuk memberimu nama. Tidak harus sama, tapi sesuai dengan kepantasan dan kecocokkan menurut masing-masing. Akhirnya, Makmu memutuskan memanggilmu Ahmad. Bapak akan memanggilmu Rambo,” Diman mencoba menjelaskan.

Pemuda itu terdiam sejenak. Kedua suami istri itu merasa kalau apa yang telah mereka sepakati itu tidak bisa diterima. Serta-merta pemuda itu tertawa kegelian. “Ini lucu!” katanya.

Mereka berdua merasa lega sebab apa yang mereka khawatirkan tidak terjadi. Namun, tetap saja sikap si pemuda seperti itu belum mereka pahami.  “Kok, ketawa?” tanya Rohaleh.

“Ini lucu, Mak. Lucu!” ucapnya. “Yang satu memanggil Ahmad, satu lagi manggil Rambo. Disatukan jadi Ahmad Rambo.”

Mendengar itu, Diman dan Rohaleh pun ikut tertawa. Dalam hati mereka mengakui sebuah kelucuan dari nama yang diberikannya, terlebih jika disatukan. Sebuah ketidak-lazim-an dalam kehidupan peradaban yang mengharuskan orang-orang untuk berbuat dan berperilaku se-lazim-lazim-nya sesuai tradisi, moral, dan tata aturan lainnya. Peradaban yang serba berdasar aturan, yang konon supaya hidup jadi teratur.  

“Bapak suka si Rohaleh kau panggil Emak. Itu pantas. Orang kere macam kita ini memang harus tahu diri, sekaligus punya jati diri,” Diman menepuk-nepuk pundak si pemuda yang kini telah diberi nama Ahmad atau Rambo. Ahmad Rambo.

“Maksudnya?” Ahmad Rambo belum mengerti begitu juga Rohaleh.

Diman nampak serius. “Tahu diri maksudnya bisa melihat diri sendiri. Bisa bercermin bahwa kita ini begini adanya. Dengan cara seperti itu kita akan tahu bahwa kita ini sangat jauh berbeda dari mereka yang kaya. Karenanya, tak usah kita bermimpi akan hidup seperti mereka. Kita tak usah ikut-ikutan meniru gaya mereka. Namun, sangat jauhnya perbedanya hidup kita dengan mereka tidak lantas membuat kita jadi rendah diri. Di sinilah perlunya kita punya jati diri. Kita tak usah berkeinginan menyerupai mereka, sebab harapan dan mimpi-mimpi seperti itu hanya akan membawa kita pada keinginan untuk meniru-niru, menjiplak. Orang yang meniru-niru inilah yang tidak punya jati diri,” laki-laki setengah baya itu menjelaskan sambil menatap wajah kedua orang di dekatnya. 

Tak lama kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Maksud Bapak, memanggil si Rohaleh sebagai orangtua perempuan dengan sebutan Emak sangat pantas dan itu berarti kita tidak meniru-niru gaya orang kaya. Dengan demikian, kita telah membuat ciri kita, jati diri kita yang beda dengan orang kaya. Mengerti tidak?” laki-laki itu memandangi Rohaleh dan Ahmad Rambo.

Keduanya mengangguk tanda mengerti. Ahmad alias Rambo memanggil Rohaleh dengan sebutan emak.   Diman, nama laki-laki setengah baya itu, tidak keberatan dengan panggilan bapak. Baginya, itu merupakan jati diri si miskin. Sebagai padanan sebutan ayah dan ibu bagi orang kaya.   Diman tidak membenci orang kaya, ia hanya ingin si miskin seperti dirinya punya jati diri, tidak ikut-ikutan. Itu saja. 

Ahmad Rambo telah benar-benar memberikan rasa lain di hati pasangan suami istri, Diman dan Rohaleh. Sebuah rasa yang tidak pernah ia alami selama ini, meskipun seorang anak pernah lahir dari perkawinan mereka.

*

 

Dulkamid, jika masih hidup, usianya tidak akan jauh dengan Ahmad Rambo. Bagi kehidupan Diman dan Rohaleh, anak itu selalu menimbulkan masalah. Mereka sama sekali tidak membencinya. Mereka hanya merasa hidupnya lebih tenang setelah meninggalnya Dulkamid. Sejak kecil, anak kandung satu-satunya  bergaul dengan anak-anak perkampungan kumuh lainnya. Kebanyakan dari mereka tidak bersekolah. Karena teman-temannya tidak bersekolah, setengah mati Dulkamid pun tidak mau sekolah. Ia tidak tahu kalau Diman sangat ingin melihat anaknya bisa mengenyam bangku sekolah. Diman sadar, tidak berpendidikan di jaman sekarang ini merupakan sebuah nista. Sekolah seolah telah menjadi ukuran takdir hidup seseorang selanjutnya. Tidak sekolah, terlunta-luntalah hidupnya. Terpuruklah ia dihempas gelombang jaman yang makin edan, makin liar. 

Belum juga tuntas kelas dua SD, terpaksa Diman harus mengalah. Bujuk rayunya tak mampu terpahami anaknya. Dulkamid lebih memilih ikut teman-temannya mengorek-ngorek tumpukan sampah, mencari barang-barang sisa yang laku dijual daripada pergi ke sekolah. Dulkamid memilih hidup liar, tak mengenal upacara bendera, bentakan guru dan seragam merah putih. Dulkamid tak bisa memegang pensil. Matanya tak terbiasa mengeja hurup-hurup dalam buku.

Dulkamid kemudian tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan, dia punya kelebihan sebab sudah mampu menghasilkan uang. ia mampu menyumbang uang kepada Rohaleh  sebagai tambahan  untuk membeli beras dan beberapa potong pakaian gantinya. Namun, bukan itu yang Diman dan Rohaleh inginkan. Mereka mengerti, anak kecil belum saatnya bekerja.Tapi apa daya,  lingkungan perkampungan kumuh pinggiran kota besar telah mengajarkan hidup pada Dulkamid.

Dengan hidup yang menuntut perjuangan sangat keras telah membentuknya menjadi seorang anak yang kasar. Perkelahian kerap ia lakukan dengan beberapa temannya hanya untuk mempertahankan atau memperluas wilayah kekuasaannya dalam mengumpulkan sampah-sampah bekas. Semakin menginjak remaja, perilakunya semakin tak karuan. Seperti ibu kota, Dulkamid  tumbuh terlampau cepat. Bersama beberapa temannya, ia sering melakukan tindak kejahatan. Menodong, malak, mencuri, dan yang paling patal adalah ia dan temannya beramai-ramai memperkosa pelacur yang menjadi bintang di lokalisasi tidak jauh dari kampungnya.

Film porno merangsek masuk tanpa terbendung petugas be cukai dan lembaga sensor. Pembajakan menggila tak menggubris undang-undang. Adegan cabul semarak dimana-mana, dikonsumsi banyak mata dengan harga terlampau murah, bahkan gratis. Tak heran jika berahi memuncak di seluruh penjuru negeri.   Pelacur laku keras, lebih keras dari omset penjualan beras dan minyak sayur. Gairah merayap di segala usia. Sekelompok anak kecil menenteng kelamin. Dengan penuh penasaran, mereka sudah sangat tahu untuk apa semua itu diciptakan. 

Suatu hari, salah seorang kawan Dulkamid memberi kabar bahwa dirinya baru saja melihat pelacur itu sedang mandi. Dengan tak sengaja, katanya, ia melihat seluruh tubuh pelacur itu dari celah di dinding yang hanya terbuat dari triplek.  Dengan imajinasi seksual yang terlampau kuat didirinya, ia mengungkapkan pengalamannya itu.

“Tubuhnya mulus,” katanya dipandangi kawannya dengan tatapan kosong. “Ia tidak seperti lonte, tapi seperti artis!”

“Mulus mana dengan Karminah yang biasa bergoyang oncom itu?” tanya kawan yang lain dengan sejuta penasaran. Otak semua remaja tanggung itu dipenuhi oleh bayangan-bayangan super erotis yang mampu dibayangkannya. Liar tanpa batas dan halangan.

“Wah, jauh, jauuuh sekali. Yang ini mulus tanpa noda.”

“Tidak ada noda? Bebarti ia tak pernah terluka atau korengan?”

“Ya. Tubuhnya begitu mulus, begitu montok…”

Dulkamid dan kawannya saling pandang. Tangan mereka sibuk membetulkan letak penis masing-masing yang sudah ereksi. Otak mereka semakin liar. Liar.

“Eh,  teteknya besar  tidak?” tiba-tiba kawannya yang lain bertanya, penuh ingin tahu.

“Ah, aku tidak bisa menjelaskan semuanya pada kalian. Tubuhnya tak bisa dijelaskan,  tak bisa dilukiskan kata-kata.”

“Kalau aku, untuk apa tetek gede-gede. Ngeri, kayak wewe gombel. Yang penting bodinya tinggi kurus. Perempuan yang begitu sangat ringan. Ia bisa dijungkirbalikkan semau kita,” yang lain berpendapat disambut tawa cekikikan kawannya.

“Dijungkirbalikkan?” tanya yang lebih muda. Ia tak mengerti.

“Ah, kau bodoh! Maksudnya, biar bisa disetubuhi dengan berbagai posisi, tidak itu-itu aja.”

Obrolan semakin jauh. Semakin membuat hayalan mereka terbang menyusuri lekuk tubuh si pelacur. Membayang-bayangkan kenikmatan dari persetubuhan dengan perempuan lonte paling cantik, seperti yang sering mereka tonton dalam video cabul sewaan. Kepenasaran jiwa mudanya ditambah dengan khayalan, diperkuat oleh rangsangan film cabul telah membuat kelima remaja itu nekad mendatangi si pelacur. Karena tarifnya terlampau besar, mereka sepakat untuk memperkosanya ramai-ramai. 

Dua hari setelah itu, mereka dicari-cari beberapa preman yang menguasai lokalisasi itu. Seorang perempuan setengah baya yang menjadi germonya dirugikan oleh ulah para bocah liar itu. Sebab setelah peristiwa itu jumlah pelanggan menurun drastis. Semua tempat mangkal Dulkamid dan kawannya didatangi. 

Kelima bicah itu serta merta menghilang. Mereka mencari tempat sembunyi yang aman. Selanjutnya tak pernah ada yang melihat mereka lagi hingga satu minggu kemudian ditemukan di tempat pembuangan sampah telah menjadi mayat. Sekujur tubuhnya penuh luka memar dan bekas bacokan benda tajam. Dulkamid tewas. 

*

Dulkamid adalah potret luka dan biang permasalahan bagi Diman, terutama bagi Rohaleh hingga kematiannya telah merupakan keputusan Tuhan yang dianggapnya paling tepat.  Ahmad Rambo bukan Dulkamid. Ia adalah anak “alam”nya yang pemberani, yang bisa dibanggakan. Tidak hanya bagi pasangan suami istri itu, tapi juga bagi penarik becak tempat ia mangkal menggantikan Diman.

Kehadiran Ahmad Rambo sebagai penarik becak baru telah memberikan nuansa baru. Keramahan dan kesahajaannya direspon baik oleh tukang becak lain. Kepandaiannya terbukti dalam menyelesaikan permasalahan rebutan penumpang yang tak jarang berakhir dengan pembunuhan dan perkelahian. Itu semua membuat ia dianggap pemimpin oleh yang lainya.

Meskipun usianya jauh lebih muda, Ahmad Rambo mampu menyatukan seluruh tukang becak dan mengorganisirnya. Atas idenya, ia bersama beberapa temannya membentuk sebuah wadah perkumpulan para tukang becak. Sebuah koperasi kecil-kecilan, pembagian rute dan wilayah mencari penumpang berhasil disepakati bersama. Pangkalan-pangkalan baru dibentuk menyebar dan merata sesuai dengan jumlah tukang becak yang ada di sana. 

Kedekatan dirinya dengan para tukang becak telah meyakinkannya bahwa “rakyat kecil” itu begitu polos, begitu bersahaja. Kebercukupan pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang sederhana, adalah harapan-harapan mereka yang tak jarang hanya menjadi mimpi belaka. Perubahan jaman tidak lantas membawa perubahan dan perbaikan terhadap nasibnya.

Menjalani hidup bagi mereka seperti mengayuh becaknya sendiri. Perlahan, tertatih, letih, atau kadang-kadang mendengus. Tubuh ringkihnya terbakar matahari. Keringat menggenang di sekujur tubuh. Segenggap rupiah dan betis yang menggelembung penuh otot adalah hasilnya. Tak seberapa memang, tapi itu lebih ringan daripada harus bermimpi menjadi kaya.  Di antara sisa ingatannya, Ahmad Rambo kerap meresapi keadaan itu. Potret tersebut adalah kenyataan satir yang menyindir, sebab mereka hidup di negara yang menjunjung tinggi dan mengagungkan toleransi, kebersamaan dan kemanusiaan.

Alam dan lingkungan sekeliling, baginya merupakan pembawa kabar, bahwa di tengah modernisasi yang akut ini, masih ada rakyat yang masih rapuh mengayuh hidup. Dulkamid adalah korban praktek kebebasan yang salah kaprah yang telah mengeksploitasi kemolekan tubuh perempuan sebagai komoditi bisnis berahi yang dikemas cantik berteknologi tinggi dalam sebuah keping compact disc. Ringan, kecil, dan praktis, tapi racunnya telah memporakporandakan kokohnya pertahanan tubuh dan mental generasi muda.

Budaya konsumtif telah menjadi trend. Bahkan ada yang telah mencapnya sebagai kebutuhan hidup. Sementara itu, si miskin dengan tubuhnya yang kurus kering, kulitnya yang legam, bibir dan telapak kakinya yang retak-retak, menjulurkan telapak tangan. Mengharap kemurahan nurani orang-orang di sekelilingnya untuk menjatuhkan keping recehan.

Sumber daya manusia dan bibit unggul yang dicetak melalui proses dogmatisasi dalam pabrik bernama sekolah telah menciptakan manusia-manusia yang tidak jauh berbeda dengan robot: setipe, penurut, patuh, dikendalikan. Perasaannya lenyap  digantikan semangat kompetitif dan nafsu bersaing untuk saling mengalahkan satu sama lain.

Kemarin ia baru saja membopong anak kecil usia tujuh tahun yang tak sadarkan diri karena mabuk lem. Kemarin lusa ia melihat mereka sibuk bernyanyi sumbang dengan alat musik seadanya. Itulah cara yang terpikirkan, sebab ia tidak tahu cara lain yang bisa lakukan supaya bisa makan. Di tengah kecerian yang dipaksakan anak-anak itu, sebagian ada menahan sakit atas luka di duburnya. Semalam, laki-laki pengidap phaedophili  telah menggumuli pantatnya. Laki-laki tersebut bisa jadi temannya sesama anak jalanan, atau orang lain yang jerat lintang sarafnya tak karuan dan membuatnya  hidup penuh ketaklaziman. Mereka adalah anak usia sekolah yang tak mampu sekolah.

*

 

“Rambo! Sedang apa kau?” teriak rekannya yang baru mengantarkan penumpang. Rojali nama tukang becak ini. Istrinya telah lama diekspor keluarga negeri, jadi TKW.

Beberapa lembar kertas koran bekas, lesu digenggam Ahmad Rambo. Di antara waktu luang menunggu penumpang, ia menyempatkan diri membaca potongan koran bekas yang kebetulan ditemuinya. Kembali sisa perilakunya sebelum terkena amnesia muncul dalam kesehariannya. Ia tetap belum menyadarinya. Ia masih belum mampu mengingat masa lalunya. 

“Biar jadi tukang becak yang pintar,” katanya menjawab sapaan kawannya.

 “Mana ada tukang becak yang pintar. Orang pintar mana mau jadi tukang becak seperti kita. Untuk apa? Lebih baik jadi pejabat. Menjadi pejabat kan enak. Bisa korupsi dan memiliki  banyak istri. Masih bisa selingkuh dan melonte pula. Semuanya dibiayai oleh….” tukang becak itu tidak melanjutkan ucapannya.

“Oleh siapa?” Ahmad Rambo ingin tahu.

Si Tukang becak mendekatkan mulutnya, berbisik. “Oleh siapa lagi kalau bukan negara.”

“Lho, kok bisa?”

“Bisalah. Dengan jadi pejabat, sebetulnya membuka peluang untuk korupsi. Nah, uang hasil korupsinya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya ngelonte. Sebanyak apa pun istri yang sah, tidak akan puas bagi mereka yang banyak uang dan suka bertualang.”

“Ah, Bang Jali saja barangkali yang suka begitu.”

Rojali terlihat cengengesan. Dalam hati ia mengakui apa ucapan Ahmad Rambo. “Kadang-kadang,” katanya.

“Wah, hati-hati tuh, Bang! Nanti digigit rajasinga!”

“Memangnya, rajanya singa itu apa?”

“Rajanya singa, ya…. lonte-lonte itu!”

“Lho?”

“Bang, Bang. Sering bergaul dengan lonte, tidak tahu rajanya singa. Bukannya pernah digigit hingga kelojotan, mabuk-mabuk, dan akhirnya tertidur? Bang, rajasinga itu penyakit kelamin?” Ahmad Rambo berhenti bicara. Ia menunggu reaksi.

“Maksudnya?” Rojali betul-betul bereaksi.

“Penyakit yang muncul karena kelamin yang kotor, baik itu kelamin si lonte atau kelamin pelanggannya. Semakin sering berhubungan badan dengan pasangan yang berganti-ganti, semakin besar kemungkinan terkena penyakit itu.”

Rojali mengerutkan kening. Ia memang pernah mendengar semua yang dikatakan Amhad Rambo. Ia pernah mendengar istilah penyakit kelamin. 

“Di antara pasangan-pasangan itu, mungkin saja ada salah satu yang sebelumnya sering gonta-ganti pasangan. Mereka inilah yang semakin memungkinkan untuk tertulari penyakit tersebut. Si lonte kerap menjadi perantara penularan penyakit tersebut. Misalnya, sebelum berhubungan dengan Bang Jali, si Karminah berhubungan dengan tiga pelanggannya. Salah satu pelanggannya itu mengidap rajasinga. Karena berhubungan dengan yang mengidap rajasinga, si Karminah jadi tertulari peyakit tersebut. Selanjutnya, Bang Jali berhubungan dengan si Karminah. Maka, dapat dipastikan, Bang Jali juga tertular dari si Karminah. ”

“Bahayanya apa?”

“Nih, baca,” Ahmad alias Rambo menyodorkan lembaran Koran, “Katanya, jika kita tertular, kelamin akan mengeluarkan nanah berbau, menyebabkan rusaknya sperma dan berakibat fatal pada bayi, bahkan tidak dapat menghasilkan keturunan. Mungkin juga mengakibatkan kematian.”

Rojali diam. Timbul rasa ketakutan dalam dirinya jika harus mengingat apa yang telah dilakukannya bersama lonte-lonte yang pernah dikencaninya.

Begitulah, Ahmad Rambo mentransfer apa yang selama ini ia ketahui kepada sesama tukang becak. Dalam banyak hal, ia sering menjadi tempat bertanya dan mengadu. Sedikit-sedikit, para tukang becak itu sudah mulai meninggalkan tingkah laku yang merugikan dirinya sendiri. Sama sekali ia tidak men-cap apa yang telah mereka lakukan itu sebagai dosa, tetapi mencobanya dengan metode untung rugi. Menurutnya, yang tidak berarti apa-apa, apalagi yang banyak merugikan, seharusnya ditinggalkan. Lebih baik mencari uang yang tidak seberapa daripada melakukan sesuatu yang tidak memberikan apa-apa. Sia-sia, katanya.

*

 

Seorang laki-laki ringkih mendekat ke arahnya. Ahmad Rambo segera mempersilahkan laki-laki itu untuk menaiki becaknya. Ia menanyakan tempat yang ditujunya. Laki-laki ringkih itu menjawab seperlunya.

Becak dikayuh Ahmad Rambo, perlahan masuk menyusuri gang sempit berkelok. Sesekali ia menggerutu, mengumpat anak-anak yang berlarian mengejar layang-layang putus. Hampir saja menubruk becaknya.

Tidak lama, mereka kembali datang dari arah berlawanan, terlihat seperti mau menyerang becak yang dikayuh Ahmad Rambo. Sambil berteriak-teriak ketakutan, mereka melenyapkan harapannya untuk dapat memiliki layang-layang yang diburunya. Mereka tidak menyesal sebab sudah terbiasa. Harapan bagi mereka seolah mimpi, tak pernah nyata terwujud. Hanya menimang-nimangnya, meninabobokannya supaya terlelap dalam hidup dan himpitan kemiskinan tak berakhir. Mereka hanya ingin, dan tak keberatan untuk melupakannya kembali.

Di belakang mereka, seorang perempuan sinting sedang berlari mengejar. Ia berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti siapa pun. Baju dasternya kumal. Beberapa sobekan menganga di sana-sini memperlihat kulitnya yang hitam.

Ahmad Rambo keder dibuatnya. Perempuan itu hampir saja menubruk becaknya. Namun, penumpangnya tak sedikit pun merasa terganggu. Ia bahkan dengan jeli mengawasi segala gerik-gerik perempuan itu, seolah ingin tahu. Tiba-tiba si sinting mengangkat dasternya tinggi-tinggi hingga pangkal paha.

“Aku tidak mau melihat punyamu,” kata laki-laki itu. “Aku hanya ingin menjadikanmu tokoh dalam tulisanku!” lanjutnya.

Ahmad Rambo heran mendengar ucapan laki-laki itu.  “Apakah Bapak seorang pengarang?” tanyanya.

“Bukan. Penulis,” jawab si kakek. “Pengarang itu pembual. Ia hanya menuliskan khayalan-khayalan dan imajinasinya. Ceritanya juga kurang berisi, cuma rekaan belaka. Kalau penulis adalah semua orang yang menulis, yang melakukan kegiatan menulis.” Laki-laki itu meminta berhenti. Setelah membayar, laki-laki tua itu berjalan masuk jalan sempit. 

Ahmad Rambo memandangi punggungnya. Uang seribu lima ratus rupiah digigitnya. Ia kembali mengayuh becaknya. Ia memikirkan tingkah laki-laki renta yang baru saja turun dari becaknya. Bukan hari ini saja ia melihatnya. Beberapa hari yang lalu pun ia kerap kali melihatnya sedang berjalan mengelilingi perkampungan kumuh tidak jauh dari tempatnya tinggal. Anak-anak dekil bertelanjang kaki yang sedang main kelereng, kadang menjadi tontonan yang menarik perhatian laki-laki tua itu. Dan barusan ia memperhatikan perempuan gila itu penuh penasaran.

Pandangannya kembali larak-lirik ke kanan dan ke kiri, mencari-cari calon penumpang baru yang berniat menggunakan jasanya. Tak ada. Nampaknya, orang-orang sudah kembali pulang, berkumpul bersama anak istrinya. Tak ada lagi yang berminat untuk bepergian di malam seperti ini, selain pelacur.

Perempuan-perempuan seperti merekalah yang selama ini dijadikan tempat melepas lelah para penarik becak, kuli bangunan, buruh pabrik, para pemulung, dan beberapa remaja tanggung. Ada yang hanya iseng. Ada yang tidak terpuaskan oleh istrinya yang sudah mulai keriput. Ada yang kebelet karena si istri berada jauh di kampung, atau si istri sedang bekerja sebagai TKW di luar negeri, atau sedang menstruasi. Ada juga remaja tanggung yang sekedar ingin mencoba belajar bercinta sebelum dengan istrinya kelak.

 “Becak! Becak….!”

Ahmad alias Rambo menghentikan becaknya. Seorang perempuan muda dengan gincu merah di bibirnya, menghampiri. Dandanannya yang seronok memperlihat sebagian identitas fisik keperempuananya, ditambah lagi dengan paduan warna pakaiannya yang mencolok. Sudah dapat dipastikan bahwa ia seorang lonte.

“Ke pangkalan, Bang!” ucap perempuan itu sambil naik ke atas becak. Aroma parfum menyengat diterbangkan angin. Ia mengerti yang dimaksud pangkalan oleh perempuan itu. Sebuah  lokalisasi pelacuran liar di pinggiran ibu kota.

“Bang Jali masih narik?” tanya perempuan itu. Rupanya ia mengenali Rojali. Ahmad Rambo membenarkan.

“Kasihan dia. Padahal kawin lagi aja, ya?” perempuan itu melanjutkan pembicaraannya.

“Wah, kasihan bininya. Pontang-panting nyari duit, kadang disiksa majikannya karena kerjaannya salah. Uangnya malah dipake  kawin lagi oleh suaminya.”

“Tidak usah ngasih tahu bininya, biarin saja.”

“Nanti kalau bininya pulang bagaimana?”

“Ceraikan saja, kan beres!”

Ahmad Rambo diam. Ia dapat memastikan perempuan ini menaruh hati pada Rojali.

Hari sudah beranjak gelap. Di lokalisasi pelacuran perempuan itu turun. Ahmad Rambo memutuskan untuk pulang.  Sepanjang jalan ia merapikan uang yang terselip di saku celana panjangnya. Menghitungnya. “Lima belas ribu rupiah. Lumayan!” ucapnya.

Seperti biasa, Diman dan rohaleh sudah siap menunggunya. Secercah kebahagiaan menghinggapi hidup mereka setelah kehadiran Ahmad Rambo. Namun  demikian,  keresahan kerap mengganggu. Juga hari itu. Berita penggusuran terhadap perkampungan tempat mereka tinggal semakin santer terdengar.  Seperti mereka, semua penghuni perkampungan itu pun dibuatnya resah. Harus bagaimana menyikapinya: tetap mempertahankan dengan resiko dipukuli aparat, atau pergi begitu saja tanpa perjuangan sedikit pun? Perjuangan macam apa yang mungkin mereka lakukan untuk melawan petugas? Benarkah itu yang terbaik untuk dilakukan?

Diman dan Rohaleh sedang memikirkan itu semua. Seribu do’a telah Rohaleh layangkan dalam sujudnya. Ahmad Rambo mereka harap dapat membantu memecahkannya. Ya, mereka sepakat untuk membicarakan permasalahan tersebut dengan anak angkatnya itu.

*

 

Beras murah bau apek bercampur kutu dan sedikit batu itu telah dibersihkan Rohaleh. Setelah ditanak, kini berubah menjadi nasi agak kekuning-kuningan dalam sebuah bakul dari plastik. Lima potong ikan asin berbaris tak karuan di atas piring. Cobek kayu berisi sambal terasi tengadah dan membisu di sampingnya. Diman, Rohaleh dan Ahmad Rambo mengerumuninya. Mereka sudah terbiasa makan dengan menu seperti itu. Sebagai kepala keluarga,  Diman telah berhasil meyakinkan keduanya bahwa perut mereka tidak akan pilih-pilih makanan. Kenikmatan tidak diukur dengan jenis makanan dan nilai gizinya, tapi oleh sejauh mana perasaan kita mampu menikmatinya. Kenikmatan, menurutnya, tidak dicari kemudian didapatkan, tetapi diciptakan oleh pribadi masing-masing. Asal tidak beracun dan tidak dilarang agama, semuanya boleh masuk perut. Tidak usah terbebani oleh tata tertib makan sehat dengan slogan empat sehat lima sempurna-nya sebab itu hanya milik orang berada, katanya meyakinkan.

“Dulu, kalau makan seperti ini, selalu ada ikan. Bapak suka mancingnya di kali ini. Sudah lama ikan-ikan itu mampus. Sekarang, kalau mau coba-coba mancing, yang nyangkut di kail bukan ikan, tapi karet kondom, sepatu butut, atau celana dalam rombeng yang sudah bolong di mana-mana. Coba saja cium. Pasti bau bangke kucing yang Bapak lihat kemarin. Payah memang. Apalagi orang-orang perkampungan kumuh ini. Jumlah yang sadarnya jauh lebih sedikit dibanding yang tidak sadar. Susah ngomongnya. Mereka tidak juga mengerti. Diomongin sedikit, malah disangka antek pemerintah. Malah disangka dibayar oleh lurah,” Diman membuka obrolan di sela-sela makannya. Itu awalan yang sengaja dibuatnya untuk sampai pada maksud untuk membicarakan masalah penggusuran.

 “Kita akan menghadapi masalah Rambo,” katanya. Ia menghela nafas. Kemudian melanjutkan. “Mungkin ini baru bagi kamu, tapi bagi masyarakat perkampungan kumuh di sini merupakan masalah rutin. Perkampungan kita ini selalu dijadikan sasaran pemerintah, terutama setiap menjelang musim penghujan. Kamu bisa lihat sendiri, beberapa gubuk didirikan berderet di sepanjang pinggir sungai. Dengan alasan keindahan kota dan menghindari adanya bencana banjir seperti tahun lalu, perkampungan ini akan dibongkar. Semua penghuninya akan dipindahkan. Mereka telah menyediakan tempat baru. Kalau tidak mau dibongkar paksa oleh aparat, kita semua dipersilahkan untuk membongkarnya sendiri. Kita bisa mengambil kayu-kayu yang masih bisa dipakai untuk bangunan baru. Pihak pemerintah, diwakili camat, tadi siang mendatangi si Rohim selaku ketua RT perkampungan ini. Yang memiliki rumah mendekati pinggir kali diminta segera membongkarnya sendiri. Mereka juga meminta kita supaya mau pindah ke tempat baru.

Karena permasalahan tersebut, si Rohim meminta semua kepala keluarga berikut pemudanya hadir di kantor kelurahan untuk membicarakan masalah ini. Kita harus ikut. Ini menyangkut nasib hidup kita ke depan.”

Mata Rohaleh berkaca-kaca. Ia memandang sepenuh harap pada Ahmad Rambo. Bagi sosoknya yang telah renta, seorang anak laki-laki  seperti Ahmad Rambo adalah pahlawan. Ia satu-satunya yang diharapkan akan mampu menyelesaikan permasalahan ini. Suaminya sudah tidak seperti dulu lagi. Diman tidak bisa menolak dengan lantang.

Beberapa saat Ahmad Rambo merenung. Membayangkan bagaimana keluarga Diman menghadapi hal seperti ini yang sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya.  Benar, ini pengalaman baru baginya selama hidup dan bergaul di perkampungan kumuh ini.  Ia juga mengerti maksud pandangan mata Rohaleh yang telah dianggap sebagai ibunya sendiri. Ia paham isyarat air mata perempuan setengah baya itu.

Usai makan, kedua laki-laki beda usia itu berangkat menuju kantor kelurahan. Rohaleh menatap punggung keduanya. Hatinya berharap-harap cemas. Kejadian seperti ini memang kerap ia alami selama hidupnya bersama Diman, tapi tetap saja ia selalu merasa khawatir. Khawatir akan dipisahkan dengan gubuk reyot yang telah memberinya tempat berteduh dari hingar bingar dan gemerlapnya kota. Khawatir dipisahkan dengan Diman. Dan kini ia merasa khawatir dipisahkan dari Ahmad Rambo. 

Di sini, di gubuk dan perkampungan kumuh ini, Rohaleh sering merasa hidupnya tenang. Di sini ia kerap menyadari bahwa yang miskin dan papa di negeri ini tidak hanya ia dan suaminya saja. Bahkan jauh lebih banyak dari yang diakui pemerintah dalam laporan akhir tahunnya. Ia tidak merasa terasing.

*

 

Diman dan anaknya melihat puluhan orang sudah berkerumun di luar bangunan. Keduanya merasa kaget sebab di dalam juga telah penuh sesak. Warga yang hadir  duduk melingkar. Beberapa lembar koran menjadi alasnya. Sementara semua kursi dan meja dikeluarkan. Mereka yang berada di luar memanfaatkan sebagai tempat duduk.

Asap rokok murahan mengepul memenuhi ruangan. Mengepul keluar dari mulut dan lobang hidung mereka bersama desah nafas yang gelisah. Wajah mereka terlihat tegang. Memang, sejak tadi siang, situasi perkampungan pun sudah mulai terasa tegang.

Pada waktu yang telah ditentukan, acara dibuka. Sebagai ketua RT dan pihak pengundang, Rohim yang membuka acara itu. Lurah Kondor terlihat di sebelah kanannya. Saat itu Rohim menjelaskan maksud dan tujuan acara musyawarah itu, meski semua warga pada dasarnya telah mengetahui permasalahan tersebut.

“Kita hanya diberi waktu tiga hari untuk membongkar rumah masing-masing dengan sukarela. Jika dalam waktu itu belum juga dibongkar, mereka akan membongkarnya dengan paksa. Atau mungkin mereka akan menghancurkannya. Selanjutnya, kita diminta untuk menempati tempat baru yang sekarang masih berupa rawa dangkal.  Nah, daripada dibongkar paksa terus kita akan kehilangan beberapa barang dan kayu yang masih bisa dipakai lagi, lebih baik kita mulai membongkarnya besok. Kita akan pindah ke tempat baru yang lebih nyaman, tidak bau.

Sekali lagi, kita bukan digusur, tapi dipindahkan. Kita hanya memindahkan rumah dari sini ke tempat baru. Di tempat tersebut kita tidak merasa khawatir akan terbawa banjir lagi. Bahkan, masing-masing dari kita akan mendapat uang untuk biaya pindah sebesar lima puluh ribu rupiah. Uang itu kita satukan untuk sewa truk. Sisanya buat beli bahan lain yang diperlukan.”

“Murah amat. Itu tidak akan cukup!” seseorang memotong.

Rohim terlihat celingukan. Matanya melirik ke arah Lurah Kondor yang sedang asik menghisap tembakau. “Sebetulnya, kita hanya butuh untuk ongkos angkut. Kita tidak usah beli kayu dan bahan-bahan baru lagi. Kita hanya memindahkan semua yang di sini. Jangan membayangkan uang itu untuk membangun rumah baru, sebab memang tidak akan cukup. Saya akan mengatur tata cara pengangkutannya, dan akan mencari truk yang bisa disewa dengan harga murah. Sekali lagi, malam ini, semua barang-barang dipak, dibereskan. Dan mulai besok, kita akan gotong royong membongkar rumah untuk yang mendapat giliran pertama. Sekarang, kita tinggal mengatur rumah-rumah siapa saja yang akan dibongkar gliran pertama, kedua, dan ketiga. Dalam waktu tiga hari, semua rumah diharapkan telah terbongkar. Itu maksud saya memanggil para warga semuanya. Bukan begitu Pak Lurah?” katanya sambil menganggukkan kepala ke arah Lurah Kondor di sebelahnya. Sang Lurah membalasnya dengan anggukan yang sama.

“Kalau begitu, sekarang saya akan menanyakan siapa yang rumahnya akan dibongkar giliran pertama? Yang masuk giliran pertama ini, rumahnya akan sama-sama kita bongkar besok. Dengan demikian, besok kita akan memperlihatkan kepada pemerintah bahwa kita semua sama-sama sukarela membongkar rumah dengan semangat gotong royong. Dengan membongkar rumah yang kita miliki sekarang, berarti kita telah berkorban demi lancarnya pembangunan bangsa dan negara ini. Kota ini, nantinya akan terbebas dari banjir dan akan terlihat bersih dan indah. Tanah bekas rumah kita akan dijadikan taman kota. Di sini akan tumbuh dengan subur bunga-bunga yang bagus.”

Semua warga yang hadir dalam musyawarah itu terdiam. Mereka sebetulnya tidak mau kalau harus pindah, apalagi dengan biaya lima puluh ribu rupiah. Tapi mereka tidak berani mengatakannya. Mereka hanya bisa saling pandang berbagi kebingungan melalui tatapan mata. Apa yang harus mereka katakan? Jika menolak, sudah terbayang bagaimana sekelompok preman dan aparat mendatangi rumahnya, membongkarnya hingga rata dengan tanah. Uang tidak didapat, ditambah lagi harus siap dipukuli hingga babak belur.

Semuanya masih hanyut dalam kebingungan, memikirkan cara terbaik yang harus mereka lakukan. Rokok di tangan, lupa mereka hisap. Abunya jatuh ke lantai, perlahan, lalu hancur berserakan mengenai sarung dan celana yang dikenakan. Sesaat kemudian, sebagian di antara abu-abu tersebut bergerak diterbangkan angin yang dihembuskan nafas-nafas yang masih gelisah.

“Saya mau bicara!” ucap seseorang sambil mengacungkan tangan. Dia adalah Diman. Ahmad Rambo yang duduk di sampingnya merasa kaget. Ia tidak menyangka kalau laki-laki yang ia anggap sebagai bapaknya itu berani bicara dalam rapat-rapat seperti ini. “Kalau boleh saya usul, bagimana kalau kita bicarakan lagi dengan pihak pemerintah. Kita harus mengusulkan kepada mereka bahwa masalah perkampungan kumuh seperti ini bisa diselesaikan dengan cara lain. Misalnya, kebersihannya kita jaga dan perhatikan, dan sampah-sampah yang ada di kali, kita angkat hingga bersih. Dengan demikian, tidak akan menyumbat jalannya air kali lagi. Pokoknya, bagaimana saja caranya asal jangan pindah dari sana. Mana cukup uang lima puluh ribu rupiah untuk sewa truk.” Ucap Diman diikuti anggukan kepala warga yang lain. Tanda setuju. 

“Ya sepakat, begitu saja!” kata seseorang di luar.

“Kecuali jika uang pindahnya ditambah jadi satu juta!”

“Ya betul…..!” kata yang lain riuh.

“Wah, itu tidak bisa!” Rohim berteriak. Ia memperlihatkan  keseriusannya. Sebagai pemimpin, ia ingin dituruti oleh warganya. “Itu tidak bisa kita lakukan, Saudara-saudara. Sangat terlambat. Sekarang sudah masuk musim hujan. Banjir sebentar lagi datang. Kalau kita tidak pindah, apa mau kita semua hanyut dan mampus?” wajah Rohim berbinar. Ia tidak menyangka kalau dirinya bisa bicara dengan semangat membara seperti itu.

Semuanya diam. Seolah membenarkan ucapan Rohim. Musibah banjir memang sangat mencemaskan mereka sejak beberapa tahun. Kebingungan mereka makin bertambah.

“Begini saja” ucap seseorang. “Di sini atau di tempat baru, kita akan sama-sama mampus. Kita tinggal memilih. Kalau tidak segera mengubah kebiasaan buruk, kita akan hanyut terbawa banjir.  Hentikan membuang sampah ke kali dan bersihkan sampah yang ada sekarang. Di tempat baru, kita juga akan mampus terserang demam berdarah. Daerah rawa-rawa adalah tempat bersarangnya nyamuk …!” ucap laki-laki itu yang ternyata adalah Rojali.

“Pandai bicara juga,” gumam Ahmad Rambo. Hatinya terdorong untuk bicara. Bukan karena ikut-ikutan, tapi karena ia ingin membantu memberikan solusi. Ia tahu, seribu alasan mungkin ada dalam benak masing-masing warga yang hadir, tapi ada lebih dari seribu alasan yang membuat mereka tidak bisa mengungkapkannya.

Wajah Rohim kelihatan tegang. Sama sekali tidak menyangka ada warganya yang berani menolak pendapatnya. Dengan wajah bingung, ia berulang kali mamandang Lurah Kondor.

Sang Lurah mengerti maksud tatapan itu. Kini giliran ia yang bicara.  “Begini saudara-saudara. Apa yang dikemukakan Pak Diman pernah saya sampaikan beberapa tahun lalu.  Saat itu pemerintah sepakat. Dengan catatan, warga harus betul-betul menjaga kebersihan. Keputusan itu telah saya sampaikan juga kepada saudara-saudara melalui ketua RT sebelum Rohim. Namun   kegiatan pembersihan hanya dilakukan satu kali. Hanya di awal saja. Selanjutnya tidak pernah dilakukan lagi. akibatnya banjir pun selalu terjadi hingga menghanyutkan beberapa rumah dan menewaskan tiga warga. Mungkin saudara masih ingat pada Mpok Ijah, si Narti dan Nenek Patmah yang hanyut bersama rumahnya saat banjir tahun lalu.

Musibah banjir yang terjadi setiap datang musim hujan seperti itu, apalagi mengakibatkan  korban jiwa, selalu menyalahkan pemerintah setempat. Saya dan Pak Camat kena marah bupati. Bupati dimarahin gubernur. Gubernur juga kena sentil. Padahal yang salah warganya sendiri. Kenapa mendirikan rumah di bibir kali? Kenapa membuang sampah ke kali? Kenapa perkampungan dibiarkan kumuh?

Atas dasar hal tersebut, kini pemerintah menolak tawaran pemecahan semacam itu. Tidak ada lagi tawar menawar. Mereka sudah tidak percaya lagi. Satu-satunya cara sekarang adalah membongkar rumah masing-masing dan pindah ke tempat yang telah di sediakan,” Lurah Kondor menjelaskan.

“Bagaimana dengan nyamuk-nyamuk di tempat baru? Apakah sengaja kami dijadikan mangsa?” Rojali kembali bicara.

“Kita atasi dengan menimbunnya dengan tanah. Beres!” jawab lurah dengan nada ketus. Ia tidak senang terhadap warganya yang banyak bicara seperti Rojali dan Diman. 

“Sekarang begini saja. Pak lurah dan Bang Rohim kembali menemui pak camat. Katakan agar biaya pindah ditambah. Selain biaya truk, kita juga perlu biaya untuk mengangkut tanah agar bisa menimbun rawa tersebut. Setuju?” Diman mengambil keputusan. Yang lain menjawab serempak. Semua sepakat dengan yang Diman katakan.

Lurah Kondor dan Rohim kebingungan. Apa yang harus diakukan. Dalam hati mereka mengakui, uang biaya pindah yang mereka terima dari Pak Camat sebesar seratus lima puluh ribu rupiah per rumah. Mereka berdua mengambilnya, masing-masing lima puluh ribu rupiah dari tiap rumah. Kalau mereka berdua menyampaikan usulan tersebut,  kelakuannya akan terbongkar. Karenanya, sebisa mungkin mereka berdua membujuk dan membohongi warga. Namun kenyataannya, dengan alasan apa pun, warga tetap meminta uang ganti ditambah.

“Ini keputusan akhir. Karenanya tidak bisa diubah lagi,” ucap salah seorang warga.

“Kalau tidak, kita harus demostrasi,” kata Rojali.

“Bukan demostrasi. Demontrasi,” Ahmad Rambo  membetulkan. Rojali celingukan.

“Ya, kita harus ….. demostrasi!” ia mencoba membetulkan, meskipun tetap salah. Tangan kirinya ia acungkan, disambut dengan teriakan yang lainnya.

Ahmad Rambo mengacungkan tangan. Setelah dipersilahkan, ia mulai bicara. “Kita semua menginginkan pemecahan terbaik dan tidak merugikan semuanya. Kami yang akan digusur juga ingin selamat. Kami tidak mau mati terbawa banjir. Kami juga tidak mau mati karena nyamuk-nyamuk itu. Kami tidak mau rumah ini dibongkar sendiri kalau tidak bisa diangkut ke tempat baru karena ongkos angkut yang diberikan pemerintah kurang.  Jadi, sekarang kita harus memberitahukan masalah ini ke masyarakat banyak supaya mereka tahu dan memberikan masukan kepada pemerintah tentang apa yang seharusnya dilakukan. Nah, cara ini bisa dilakukan dengan demonstrasi.

Namun, itu saja tidak cukup. Kita juga perlu menjaga-jaga perkampungan ini agar tidak dibongkar paksa petugas pemerintah.  Usulan penambahan biaya pindah melalui Pak Lurah dan Bang Rohim juga harus dilakukan. Semua itu, jika dilakukan satu-satu membutuhkan waktu lama. Semuanya harus dilakukan serentak. Caranya dengan membagi-bagi tugas.

Saya punya usul. Saya dan semua tukang becak akan melakukan demonstrasi mengelilingi jalan-jalan besar menuju  tempat-tempat ramai dan kantor gubernur. Yang lain ada yang diam di rumah dan ada yang berjaga-jaga di setiap pintu masuk perkampungan ini. Itu dilakukan untuk mencegah aparat masuk.

Sementara itu, Pak Lurah dan Bang Rohim mendatangi Pak Camat untuk menyampaikan usul kami mengenai penambahan biaya pindah. Bagaimana?”

“Setuju…………….!” suara bergemuruh di tempat pertemuan itu. Semua yang hadir, di luar maupun di dalam, menyatakan setuju dengan gagasan Ahmad Rambo. 

“Ya, betul. Kita harus bekerjasama. Jangan ada yang tidur-tiduran, apalagi dengan lonte. Tinggalkan dulu lonte-lonte itu, biarkan mereka istirahat beberapa malam, supaya anunya rapat kembali! Hidup lonte….! Eh, hidup Rambo……!” Rojali kembali bicara menggebu-gebu. Apa yang dibicarakannya tidak lepas dari urusan pelacur. Lonte.

Semua menjawab teriakkan Rojali. Nama Rambo diteriakkannya berkali-kali.  “Hidup Rambo….!”

“Hidup rakyat ….!” ucap Ahmad Rambo. Segera dibalas serempak.

Semua yang hadir sepakat dengan yang telah diusulkan Ahmad Rambo. Mereka bangga dan kagum oleh kecerdasan dan keberaniannya. Diman lebih lagi. Bukan hanya keberanian dan kecerdasannya, tapi karena idenya untuk menamakan pemuda itu Rambo, lebih banyak dipakai daripada nama Ahmad. “Dengar  saja,” pikirnya, “semua orang menyebut-nyebut nama Rambo, bukan Ahmad.”

Atas inisiatif Rojali, tubuh Ahmad Rambo dibopong.  Diangkat tinggi-tinggi.  Entah apa yang mendorongnya untuk kembali bicara. Hatinya seolah mendapat ruang dan kesempatan untuk menunjukkan sesuatu yang selama ini terpendam. Saat seperti itu ia selalu bertanya-tanya tentang dirinya, tapi saat itu pula ia melupakannya. Ia tak mampu menjawabnya.

“Rambo kita mau bicara…!” teriak Rojali. Ahmad Rambo berdiri tegak sambil memandang sekeliling ruangan. Semua mata ia tatap. Kakinya berdiri kokoh di atas pundak beberapa pemuda yang berkerumun di bawahnya. Semuanya saling pegang, kuat.

“Saudara-saudara, saatnya kita bangkit. Kita adalah rakyat miskin, hina, kumal, tersisihkan, dan rakyat yang kalah bersaing. Tapi kita bukan rakyat yang lemah. Tegakkan wajah kita mulai sekarang. Pandanglah mata mereka yang menghina kita. Tataplah  wajah mereka yang tidak mau mendengar perkataan kita. Lawan, saudara-saudara! Tantang mereka.

Mulai hari ini, kita jangan lagi diam. Mulailah berteriak! Mulailah bicara lantang! Mulailah bergerak! Bangun dan sadarlah, bahwa selama ini kita telah dibodohi. Selama ini kita ditipu oleh bualan dan omong kosong yang mengatasnamakan rakyat.

Kita! Kitalah rakyat itu, bukan mereka! Kitalah penguasa itu, bukan mereka! Negeri ini bergantung pada tangan kita, bukan tangan mereka! Mereka semua hanya pesuruh kita! Babu kita!  Mereka budak kita! Mereka yang seharusnya kita perintah. Oleh karena itu, kita jangan mau dikalahkan mereka. Kita jangan mau tunduk pada mereka. Kita jangan mau diperintah mereka…..! si Rambo diam sejenak. Matanya jalang memandang tajam ke seluruh mata hadirin di ruangan itu.

Pandangannya lalu tertuju pada kedua aparat pemerintah, Lurah Kondor dan RT Rohim.

Sementara itu, suara teriakan makin kuat bergemuruh. Para pemuda yang di luar berjingkrak-jingkrak. Mereka seolah telah menemukan pemimpin yang sehaluan dengan jiwa mudanya yang berontak.

Ahmad Rambo melanjutkan pembicarannya. “Saudara-saudara. Salama ini kita hanya bisa diam. Hasilnya, mereka makin menginjak-injak kita, ingin menyingkirkan kita. Mereka yang kita pilih melalui pemilu dari dulu hingga sekarang, semuanya orang yang tidak tahu diri. Dengan janji-janjinya mereka berkoar-koar, memelas minta dipilih. Dengan licik dan curang mereka menyuap kita dengan beberapa rupiah. Hanya karena ingin kita memilihnya. 

Sekarang, kita kembalikan mereka seperti dulu. Kita biarkan mereka mengemis, menyuap, dan memelas kepada kita. Tapi bukan minta dipilih, melainkan minta jabatan. Kita harus menggantikan mereka semua. Kita harus merebut kembali kekuasaan yang telah mereka gunakan sewenang-wenang. Kekuasaan yang dipakai korupsi, dipakai menindas, dipakai menipu, dipakai memenuhi segala kebutuhan pribadi dan keluarganya.

Kita telah lama bersabar. Kita telah lama diam. Kita telah lama tunduk. Sekarang kita tahu, bahwa sabar, diam, dan tunduk hanya akan melahirkan sakit hati. Melahirkan penderitaan. Apakah kita mau hidup terus-menerus sakit hati?”

“Tidaaak!” jawab yang lain.

“Apakah kita mau hidup terus-menerus menderita?”

“Tidaaak!”

“Kalau mau, silahkan bubar. Rasakan kembali sakit hati itu. Rasakan kembali penderitaan itu. Tapi kalau tidak mau, tetap berdiri di sini. Kita susun rencana perjuangan untuk esok. Kita lupakan lelah dan kantuk. Kita harus selalu waspada dan bersatu. Jangan loyo, jangan lemah, jangan tidur, jangan bercerai-berai!

Saudara-saudara. Mulai malam ini, mari kita susun kekuatan. Kekuatan kita. Kekuatan Rakyat. Mari kita berjuang. Bergerak. Berteriak. Mari kita kepalkan tangan dan acungkan setinggi-tingginya. Mari kita tinju penguasa korup, serakah, dan sewenang-wenang itu! Mari kita lawan mereka! Lawan penguasa! Hidup rakyat!”

“Hidup!”

“Hidup kaum miskin!”

“Hidup!”

“Hidup petani!”

“Hidup!”

“Hidup buruh!”

“Hidup!”

“Hidup nelayan!”

“Hidup!”

“Hidup guru!”

“Hidup!”

Teriakan terus bergemuruh. Tangan-tangan kiri yang terkepal, mengacung, meninju udara, meninju tempat kosong. Seluruh laki-laki tua dan muda warga perkampungan kumuh yang hadir di tempat itu, terbakar semangatnya. Semangat ingin lepas dari penderitaan. Semangat ingin lepas dari kebodohan. Semangat ingin hidup layak dan ingin lepas dari penghinaan dan pengucilan. Mereka ingin bebas dari kungkungan peraturan dan kebijakan yang selalu tidak memihak kepadanya.

Merasa dirinya sebagai bagian dari pemerintah, Lurah Kondor dan RT Rohim merasa terpojokkan. Mereka inginnya berteriak keras menghentikan semua kegilaan itu. Tapi tak bisa.

Saking gugupnya, mereka mencoba kabur. Tapi sekelompok pemuda menghadangnya. Mereka dipaksa untuk tetap berada di dalam. Keduanya terpaksa menyaksikan semua yang dilakukan oleh warga perkampungan kumuh yang dipimpinnya.

Sedikit pun Lurah kondor tidak menyangka warganya  tidak pernah sekolah dan tidak bisa membaca, mampu melakukan tindakan seperti itu. Mereka yang sehari-harinya mengorek sampah, berburu katak, menarik becak, berpakaian lusuh dan kumal, menjadi  beringas tak terkendali. Mereka yang tadinya lemah tak berdaya, kini dengan tegap membusungkan dada. Berteriak lantang dan mengepalkan tinju. Mereka telah terbakar.

Hingga pukul lima pagi, mereka masih tetap berada di kantor kelurahan. Semalaman mereka mempersiapkan segala perlengkapan untuk perjuangannya.

Tukang becak yang akan berdemonstrasi mempersiapkan kain spanduk. Kain apa pun yang ada di rumahnya dibawa dan ditulisi. Kain sprei, sarung, gorden, baju bekas, karung, tikar dan berbagai macam jenis, corak, warna dan ukuran. Mereka menghias becak dengan berbagai pernak-pernik yang mereka miliki. Atau oleh apapun yang menurutnya menarik. Meskipun yang terjadi adalah keanehan.

Rojali memasang kutang butut milik istrinya yang jadi TKW. Celana dalam miliknya yang sudah tak karuan bentuk dan warnanya, menggantung di atap becak. Sekeliling becaknya dililit kain sprei merah pudar dengan berbagai tulisan. “Pemukiman kumuh akan digusur!”, “Demi keindahan kota, kami dikorbankan!”, “Tukang pukul/ preman gemuk-gemuk, mereka dipelihara pemerintah!”

Sementara itu, warga lain yang bertugas menjaga pintu masuk perkampungan, tak kalah sibuknya. Mereka membuat tulisan yang sama: mengecam, memprotes, menghardik, mengejek. Tetapi ada juga yang terkesan lucu.  “Yang Tidak Miskin Dilarang Masuk”, “Militer dilarang masuk, kecuali telanjang!” Mereka juga telah mempersiapkan berbagai senjata tajam untuk berjaga-jaga apabila tiba-tiba aparat memaksa masuk.

Menjelang pukul enam, semua berkumpul.  Komando dipegang Rojali. Ahmad Rambo memimpin pasukan becak. Sementara yang memimpin pasukan pertahanan kampung dan warga adalah Diman. Meskipun usianya sudah setengah baya, tapi semangat, keberanian, dan kemampuannya untuk menggerakkan warga, tidak diragukan lagi oleh semuanya.

Menjelang pemberangkatan, Rojali mempersilahkan Ahmad Rambo untuk berkoar-koar membakar semangat seluruh warga. Seperti tadi malam, setelah mendengar ucapan-ucapan Ahmad Rambo, keberanian warga muncul. Mereka tidak gentar oleh apa pun. Mereka kompak dan bersatu.

*

 

Iring-iringan becak berbaris memanjang. Lebih dari empat puluh becak dengan berbagai pernak-pernik dan spanduk mulai merayap memadati jalan-jalan pusat kota.

Sepanjang perjalanan Ahmad Rambo terus mengobarkan semangat para tukang becak dengan teriakan-teriakan. Semula, rencana mereka sempat dicegah polisi dengan alasan tak memiliki izin. Tapi mereka terus memaksanya. Mereka mengemukakan alasannya, bahwa itu semua dilakukan untuk  memberitahukan permasalahan penggusuran kepada masyarakat banyak, dan meminta pemerintah untuk mencari pemecahan yang terbaik, bijak, tanpa merugikan pihak mana pun. Aparat kepolisian mengizinkan, dengan catatan tidak melakukan pengrusakan dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Iring-iringan pun terus merangkak. Menyibakkan beberapa kendaraan yang sedang melaju. Aparat kepolisian mengawalnya.    Rupanya hal itu menarik perhatian masyarakat. Mereka akhirnya tahu dan menyadari bahwa pembangunan yang diagung-agungkan karena dipercaya berhasil mengubah negeri ini dari terbelakang menjadi negara berkembang, masih menyisakan permasalahan. Tidak hanya pencemaran lingkungan, rendahnya kualitas pendidikan dan masalah pengangguran, kesejahteraan rakyat pun masih belum merata. Kenapa hanya gara-gara ingin mempercantik wajah ibu kota di mata tamu negara asing mesti menyingkirkan rakyat miskin?

Ahmad Rambo dan Rojali memutuskan untuk terus melakukan demonstrasi tanpa henti sampai didapatkan kesepakatan baru dengan pemerintah. Pusat perbelanjaan, kantor perwakilan luar negeri, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, kantor pemerintahan, pabrik-pabrik, semuanya di datangi untuk sekedar memberitahukan.

Beberapa wartawan dalam dan luar negeri sibuk meliput.  Sebagian masyarakat menaggapinya penuh simpati. Di antara mereka ada yang sukarela memberikan makanan  atau minuman. Namun tak sedikit masyarakat yang mencibir dan menganggap kegiatan yang dilakukan para tukang becak tersebut sebagai sikap yang tidak tahu diri. Beberapa pengguna jalan menggerutu karena merasa terganggu.

Sementara itu, tidak ada aktivitas dalam perkampungan kumuh itu. Semuanya turut serta dalam perjuangan. Beberapa laki-laki terlihat sedang berjaga-jaga di semua pintu masuk ke perkampungan. Perempuan dan anak-anak diwajibkan untuk diam di rumah masing-masing. Ini dilakukan agar  pembongkaran urung dilakukan karena penghuninya masih berada di dalam.

Polisi dan tentara tak kalah. Beberapa pasukan setingkat kompi diterjunkan. Mereka siaga menjaga di beberapa tempat, tapi tak ada yang berani memaksa masuk. Mereka menghindari terjadinya bentrokan.

Perjuangan telah memasuki hari ke tiga. Hujan turun sangat deras, tapi tidak membuat yang berjaga-jaga patah semangat. Sehari semalam mereka melakukan penjagaan secara bergiliran. Karena tempat pembuangan sampah juga ada di lokasi perkampungan kumuh tersebut, semua truk sampah yang akan menurunkan muatannya tidak bisa masuk. Warga melakukan blokade secara ketat, meskipun kebanyakan yang bertugas menjaga perkampungan adalah orangtua.

Sekitar pukul tujuh malam, iring-iringan pasukan becak di bawah pimpinan Ahmad Rambo sedang dalam perjalanan pulang. Meski tak begitu jelas, keputusan telah diambil pemerintah. Apa dan bagaimana isi keputusan itu,  tak mereka ketahui, kecuali mereka yang bertugas jaga kampung. Yang jelas, ini adalah hari terakhir yang diberikan pihak pemerintah untuk melakukan pembongkaran.

Alasan lain adalah kesehatan. Perjalanan keliling kota berpuluh-puluh kilometer telah menyebabkan kondisi kesehatan sebagian dari mereka melemah. Tidak ada lagi yang berteriak-teriak. Meskipun demikian, dalam hati masing-masing terpancar kepuasan. Masing-masing merasakan apa yang telah mereka lakukan sesuai dengan yang direncanakan. Hampir semua rakyat negeri ini kemungkinan besar telah mengetahui persoalan yang sedang mereka dihadapi.

Ketika sampai ke perkampungan tempat mereka tinggal, semuanya kaget. Perkampungan sudah tidak ada. Rumah-rumah dan gubuk reyot terbuat dari potongan seng bekas dan tambalan kain terpal yang mereka tempati telah lenyap. Semuanya lengang, rata dengan tanah. Menjadi tanah lapang.

Di sana-sini masih terlihat tumpukan seng bekas yang tidak dipakai. Di ujung dekat bibir kali terlihat kepulan asap bekas pembakaran. Semua mata saling pandang. Mereka sama-sama tidak mengerti. Apa yang telah terjadi pada perkampungan yang selama tiga hari berturut-turut mereka perjuangkan? Kemana para penjaga itu? Di mana istri dan anak mereka kini berada?

“Bagaimana ini? Apa yang telah terjadi?” Ahmad Rambo mmebuka kesunyian. Wajah Rojali dipandangnya, kemudian  memandang yang lainnya.

“Kampung kita telah dibakar!” dengan geram yang lain menjawab.

“Siapa yang telah membakarnya?”

“Mungkin hanyut terbawa banjir! Tadi pagi hujan besar!”

“Bukan. Kampung kita lenyap kena kutukan. Kita telah meninggalkan anak dan istri selama tiga hari!”

“Masa?”

“Tidak mungkin!”

“Tapi bisa juga…!”

“Hah, jangan-jangan …..” seseorang seperti baru mendapat jawaban. “Jangan-jangan anak istri kita juga ikut dibakar!” wajahnya pucat pasi. Ia berdiri, matanya jalang mencari sesuatu. Berlari ke tengah lapangan bekas perkampungan. Ia berlari ke sana kemari sambil memanggil anak dan istrinya.

“Busyet! Tempat mangkal lonte-lonte itu juga raib!” Rojali menggerutu. Ia baru tahu kalau lokalisasi pelacuran yang tidak jauh dari tempat itupun telah lenyap.

“Tidak ada tanda-tanda bekas banjir di sini!” teriak seseorang dari pinggir kali.

Semua berkerumun di tanah lapang itu, di puing-puing bekas rumahnya. Mereka yang masih penasaran terus menyelidikinya.

“Coba tanyakan ke penduduk di sana!” ucap seseorang sambil menunjuk ke deretan rumah yang ada di seberang jalan yang membatasi perkampungan kumuh tersebut.

Perasaan jengkel, sedih, marah, bingung, heran, tidak mengerti, bercampur dengan keletihan menggemuruh di hati mereka. Laki-laki yang menjerit-jerit histeris makin banyak. Mereka berlari sambil menangis. Ada di antara mereka yang hanya diam sambil menatap tanah tempat dulu rumahnya berdiri. Sebagian dari mereka mungkin sudah menjadi gila.

Terlihat dua orang sedang berjalan mendekat ke arah mereka berkumpul. Semua mata, kecuali yang sedang histeris dan telah gila, memandang ke arah kedua orang itu. Ahmad Rambo tiba-tiba berlari menjemput mereka. “Bapak…! Emak…!”

Kedua orang yang datang itu adalah Diman dan Rohaleh. Suami istri itu menangis. Keduanya dikerumuni. Semua penasaran ingin mendengar apa yang sebenarnya telah terjadi.

Sambil terisak, Diman menceritakan semuanya. Menurut cerita Diman, pada hari kedua, Pak Camat beserta Danramil dan Kapolsek mendatangi kampung itu. Semua yang sedang berjaga mencegahnya masuk. Namun berhasil membujuk para penjaga untuk berunding. Melalui perundingan itu, akhirnya diputuskan bahwa pemerintah siap menambah uang biaya pindah menjadi tiga ratus ribu rupiah untuk masing-masing rumah. Pemerintah juga menanggung biaya penimbunan rawa yang akan ditempati.

Diman sudah meminta warga yang lain untuk menolak. Tapi karena hujan makin hari makin besar, ketakutan akan datangnya banjir besar mmebuat mereka bimbang. Akhirnya, mereka menerima keputusan itu. Segeralah mereka membongkar rumah dan gubuknya masing-masing dibantu beberapa tentara dan polisi. Diman memilih tidak menerima keputusan itu, rumahnya dibongkar paksa.

Semua kayu dan perabotan diangkut truk tentara dan beberapa truk sewaan. Tempat yang baru rencananya akan  ditimbun beberapa hari kemudian. Hingga siang tadi, semua rumah telah terbongkar.  Kini mereka sedang membangun kembali rumah-rumahnya di tempat baru. Beberapa di antaranya ada yang telah selesai.

Diman memilih tidak menerima keputusan itu. Rumahnya diancam akan dibongkar paksa. Namun ia tak bergeming. Ia memilih untuk membakar rumahnya daripada ikut pindah ke tempat baru.  Maka dibakarlah.

“Kita tinggal bersama-sama. Sama-sama menderita, sama-sama miskin, sama-sama sedang berjuang untuk bertahan. Karena itu, saya tidak berani menerima keputusan itu sebelum dibicarakan dengan kalian semua. Saya bertahan di sini menunggu kalian. Kini terserah pada kalian. Yang mau menerima karena anak istri dan rumahnya telah berpindah ke sana, silahkan. Jika ada yang tetap mau berjuang, mari kita sama-sama berjuang lagi!” ucap Diman. Semuanya diam.

“Rumah saya bagaimana Pak Diman?” tanya Rojali.

“Kecuali punya kami yang dibakar sendiri, semuanya dibongkar secara gotong royong. Bahan yang sudah lapuk ditinggalkan. Dibakar.”

Semuanya berpikir keras. Jika perjuangan dilanjutkan, apalagi yang akan diperjuangkan sebab rumahnya telah dipindahkan. Anak dan istrinya telah tinggal di tempat baru.

“Masih banyak yang harus diperjuangkan,” ucap Diman yakin. Ia paham apa yang sedang dipikirkan para pengayuh becak itu.  “Nasib selanjutnya di tempat baru. Pekerjaan apa yang dapat dilakukan? Apakah di sana kehidupan bisa bertambah baik? Apakah betul penimbunan air rawa itu akan dikerjakan? Bagaimana jika tidak? Bagaimana dengan ancaman nyamuk-nyamuk itu?” Semuanya diam dan membenarkan apa yang Diman ucapkan. Tapi …

Diman mampu membaca kepasrahan mereka yang dipancarkan wajah-wajahnya. Mereka lelah. Mereka sayang kepada anak dan istrinya. Mereka tidak tahu langkah terbaik yang harus dilakukan.

“Itulah yang saya maksud dengan perjuangan. Kita masih harus terus berjuang untuk memperbaiki nasib. Apa yang kita alami di sini, jangan terulang lagi di tempat baru. Untuk menghindari itu, satu-satunya cara adalah berjuang. Sekarang, pergilah kalian semua ke tempat baru itu. Orangtua, anak, dan istri kalian sudah lama menunggu. Bangunlah kehidupan baru di sana. Perjuangkan nasib kalian, sebab yang paling tahu kepentingan kalian adalah kalian sendiri. Nasib kalian ada di genggaman tangan kalian sendiri. Jika ada masalah, lakukan seperti yang kemarin kita lakukan. Berbicaralah, teriaklah, bergeraklah, supaya semua orang tahu.”

“Pak Diman sendiri mau tinggal di mana?” tanya Rojali.

“Tinggal saja di rumahku!” yang lain menawarkan jasa.

“Di rumahku juga bisa!”

“Rumah kami semua, terbuka untuk Pak Diman, Mpok Rohaleh, dan Kau, Rambo!”

“Istri dan anak saya di sini. Rumah saya juga tidak dipindahkan ke sana, tapi dibakar. Jadi, tidak mungkin saya harus pergi ke sana bersama kalian. Saya akan membawa mereka pergi. Saya punya si Rambo. Selama ada dia, di mana pun berada, saya akan merasa tenang. Lekas, pergilah kalian semua ke sana. Pulanglah ke kampung kalian yang baru.”

Karena dalam keadaan kelelahan, ditambah lagi kekhawatiran dan kerinduannya pada orangtua, anak, dan istri, mereka menuruti Diman. Mereka berterima kasih karena telah mengajarkan cara untuk memperjuangkan nasib. Mereka juga berterima kasih kepada Ahmad Rambo yang telah mereka anggap pemimpin. Pemimpin sebuah perjuangan yang belum sepenuhnya berhasil. Mereka mohon pamit, bersalaman, berangkulan. Ada rasa haru dan sedih yang perlahan namun sangat dalam mereka rasakan. Air mata menggenang di sudut mata. Mata mereka yang berduka.

Langkah mereka mulai menjauhkannya dari pelataran bekas tempat tinggalnya selama ini. Diman, Rohaleh, Ahmad Rambo, dan Rojali mengiringinya dengan tatapan melekat pada punggung masing-masing. Tak terdengar mereka berkata-kata. Semuanya diam. Beberapa di antara mereka ada kerap memalingkan muka ke belakang, ke arah teman senasibnya memilih keputusan lain.

 “Kenapa kamu tidak ikut mereka?” tanya Diman. Ia kaget sebab Rojali memilih tinggal bersamanya. Ahmad Rambo mendekatinya. Rojali menangis. Ia berduka.

“Saya tidak punya siapa pun yang harus dikhawatirkan, kecuali istri saya. Dia tidak ada di kampung baru itu. Untuk apa saya ikut mereka ke tempat itu. Saya akan menunggu istri saya di sini!”

“Bagaimana kalau rumahmu tidak ada yang mengisi?”

“Tidak, tidak mungkin. Rumah saya tidak ada di sana. Rumah saya tidak dipindahkan, tapi dibongkar, dibakar. Saya melihat seng atap rumah saya di sana,” kata Rojali sambil menunjuk ke arah asap yang mengepul.

“Saya juga melihat potongan baju terbakar di sana. Mereka sibuk mendirikan rumah masing-masing, tidak mungkin mau mendirikan rumah orang lain. Jadi, saya akan tetap tinggal di sini hingga istri saya pulang. Saya akan menunggunya.”

“Saya yang mengajak mereka untuk tidak menerima tawaran pemerintah. Saya harus punya pendirian, tidak plin-plan. Karenanya, memilih untuk membakar rumah itu dan tidak ikut bersama mereka,” ucap Diman. Lama ia menatap Rohaleh, istrinya.

“Nah, Rohaleh. Kita sudah lama hidup sebagai suami istri. Sudah merasakan berbagai cobaan dan penderitan. Karenanya, Abang yakin kamu bisa menerima keputusan yang Abang ambil sekarang.  Abang yakin kamu sudah bosan menangis. Seperti yang sudah-sudah, marilah kita sambut dan jalani penderitaan selanjutnya. Kita hidup menderita, tapi punya jati diri. Jati diri kita adalah kemiskinan. Terimalah itu…” Diman berhenti sejenak, lalu menatap Ahmad Rambo.

“Rambo…” Diman menepuk bahu anak angkatnya. “Sekarang kamu sudah paham arti kemiskinan. Karenanya, janganlah mengeluh dan putus asa. Si kaya dan si miskin sama saja. Hukum kehidupan memang begitu. Tapi karena materi dan kekayaan telah dianggap segalanya, si kaya pun dipuja dan diagungkan. Sementara yang kere selalu dianggap rendah. Kebanyakan orang menganggap remeh dan tidak memperhatikan orang semacam kita. Kebanyakan orang berpikiran hidup miskin itu tidak enak sebab mereka telah terbiasa hidup enak. Karena itu, biasakanlah hidup miskin, pasti kamu akan  menyadari bahwa semuanya sejajar. Bapak percaya, kamu mampu menerimanya. Kamu mampu menghadapinya. Pandanglah kenyataan ini,” ucapnya.

mereka memutuskan untuk bermalam di tanah lapang bekas perkampungan kumuhnya. Diman dan Ahmad Rambo terjaga. Sementara Rohaleh dan Rojali menggolek beralaskan beberapa lembar kain terpal robek-robek. Kebetulan malam itu tidak turun hujan. Namun malam tetap hitam, sebab mendung masih menunggu waktu.

Itulah malam hitam kelabu yang menjadi saksi kebenaran janji Rojali kepada istrinya. Ia tetap akan menunggu istrinya pulang di reruntuhan rumahnya. Ya, Rojali menepati janjinya. Di sana, selamanya ia akan menunggu istrinya pulang.

Malam itu, di tanah lapang, Rojali meninggal. Diduga terkena penyakit kotor. Kelaminnya mengeluarkan nanah, berbau. Ahmad Rambo yang pertama kali mengetahuinya, menjelang subuh. Atas kesepakatan bersama dengan warga kampung sebelah, ia dikuburkan di sana, di tanah reruntuhan rumahnya.

“Engkau tepat janji, Kawan. Tunggulah istrimu pulang. Ceritakan kepadanya semua yang telah terjadi pada perkampungan ini,” gumam Ahmad Rambo.

Sejak saat itu, tanah lapang bekas perkampungan kumuh itu dinamakan Kampung Jali. Jali yang menepati janjinya. Di kuburnya ia menunggu. ***

bersambung..

One thought on “Bagian Tiga: “Pertemuan”

  1. Pingback: Bagian Dua: “Lahirnya Tragedi” | bandungmelawan

Leave a comment