#4 Pemberontakan Tahun 1926

Dari 11 hingga 17 Desember 1924 PKI menyelenggarakan Kongres Nasional ke-III. Tempatnya di Kota Gede, dekat Yogyakarta. Dua acara pokok yang digarap: 1. Laporan utusan PKI ke Konferensi Kanton; 2. Usul pembubaran Sarekat Rakyat. Kongres dihadiri oleh 84 utusan dari 38 seksi dengan 1.237 anggota dan 46 cabang Sarekat Rakyat dengan 33.748 anggota.

Undangan ditandatangai Winanta sebagai ketua dan Budisutjitro sebagai sekretaris-penningmeester Hoofdbestuur. Tapi dalam kongres itu sendiri Winanta tidak hadir. Tanggal 29 November ia ditangkap pemerintah. Karena itu kongres dipimpin oleh Alimin sebagai salah seorang komisaris Hoofdbestuur.

Acara pertama digunakan Alimin melaporkan hasil kunjungannya bersama Budisutjitro ke Konferensi Pan Pasific yang diadakan di Kanton. Konferensi tersebut diadakan oleh Gabungan Serikat Buruh Internasional dan dilangsungkan di Kanton pada bulan Juni 1924. Konferensi berhasil menggalang hubungan antara gerakan buruh transport  darat dan laut dari negeri-negeri di sekitar Lautan Teduh. Untuk mengatur hubungan itu di Kanton dibentuk suatu biro. Tugasnya yalah memperhatikan perjuangan kaum buruh di Tiongkok, Filipina, Jepang, India dan Indonesia. Di samping itu biro juga menghubungkan perjuangan kaum buruh di negeri-negeri tersebut dengan perjuangan proletariat di Barat. Untuk melancarkan tugas biro di masing-masing negeri perlu dibentuk secretariat vaksentral merah.

Acara kedua, pembubaran Sarekat Rakyat, diajukan oleh anggota Hoofdbestuur Aliarcham. Aliarcham seorang keluaran Hogere Kweek School (HKS) ketika itu dianggap sebagai ahli teori PKI.

Pertimbangan yang digunakan Aliarcham untuk membubarkan Sarekat Rakyat dapat diringkas sebagai berikut: Partai Komunis Indonesia adalah partai pelopor dari klas buruh. Karena itu seluruh perhatian harus dicurahkan pada klas buruh dan bukan pada golongan tani. Untuk itu PKI harus memusatkan tenaga mendirikan serikat buruh dan aktif bekerja di dalamnya. Digambarkan oleh Aliarcham dari serikat buruh dapat dibentuk satu mesin yang berdisiplin, berwatak rahasia dan revolusioner. Pekerjaan PKI dalam serikat buruh tidak boleh terbatas pada aksi-aksi mogok untuk tujuan ekonomi. Geraknya harus dipusatkan pada persiapan merebut kekuasaan politik, karena revolusi harus dipimpin oleh klas buruh.

Tentang peranan golongan tani dinyatakan, bahwa golongan ini bukan suatu kekuatan revolusioner dan baru bisa bergerak jika pemberontakan itu sendiri sudah berlangsung. Sarekat Rakyat disebutnya sebagai satu organisasi yang melebar luas, tetapi bagi revolusi tidak mempunyai arti besar. Karena golongan tani berideologi burjuis kecil, bekerja di dalamnya membahayakan kemurnian ideologi proletariat, demikian Aliarcham dalam uraiannya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kaum tani tidak bisa diajak bekerja tertutup dan karena itu membahayakan perjuangan PKI yang bersifat tertutup.1)

Usul Aliarcham untuk membubarkan Sarekat Rakyat menimbulkan diskusi hangat di kalangan para utusan. Akhirnya mengenai masalah ini diambil satu kompromi. Sarekat Rakyat tidak dibubarkan, tapi anggotanya tidak akan ditambah lagi. Mereka yang sudah dianggap masak dicalonkan menjadi anggota PKI. Tindakan ini pada hakekatnya yalah bahwa Sarekat Rakyat dalam Kongres Nasional ke-III telah ditentukan nasibnya: mati secara lambat laun. Dan dengan demikian dalam hakekatnya PKI meninggalkan tugasnya mengorganisasi kaum tani sebagai salah satu tenaga penggerak yang terpenting dari revolusi di negeri jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia. Dengan adanya tindakan ini PKI dalam perjuangannya yang maha berat kehilangan sekutu yang paling terpercaya.

kekeliruan yang fatal dan dampak perkembangannya

Kesalahan ini juga menunjukkan, bahwa pimpinan PKI belum menguasai teori revolusioner Marxisme-Leninisme sebagai pedoman yang harus diterapkan secara hidup di sesuatu negeri.

Lenin dalam Konferesni Wakil-Wakil Rakyat Timur (November 1919) dengan jelas menyatakan, bahwa mayoritet rakyat-rakyat Timur  adalah rakyat pekerja yang tipikal. Mereka bukan kaum buruh dalam arti kata yang lazim berlaku di Eropa yang lahir dalam pabrik dan perusahaan. Mereka adalah massa tani yang tertindas yang menderita  di bawah kungkungan abad pertengahan. Berhubung dengan itu Lenin menunjukkan, bahwa kaum komunis di Timur menghadapi tugas yang belum pernah dihadapi kaum komunis di Barat dan karena itu harus menerapkan teori dan praktek komunis dalam syarat-syarat istimewa yang tidak ada di Eropa, dalam situasi di mana massa terpenting terdiri dari kaum tani.

Ketika membuka Kongres ke-V Komintern pada 20 Juni 1924, ketua badan internasional tersebut menjelaskan a.l. bahwa salah satu perbedaan komintern dari pendahulu-pendahulunya (Internationale ke-I dan ke-II) terletak pada pemecahan masalah nasional dan agraria. Dikatakan lebih lanjut bahwa tanpa memecahkan masalah nasional dan agraria dalam semangat Leninisme tidak mungkin komintern menarik mayoritas massa pekerja dan tanpa memecahkan masalah-masalah tersebut mengadakan perjuangan yang bersifat menentukan.

Seperti diketahui, pendirian Lenin dan garis komintern dalam hal revolusi di negeri jajahan, setengah jajahan dan setengah feodal dipraktekkan secara tepat di Tiongkok. Tidak berkelebih-lebihan jika dikatakan, bahwa kemenangan revolusi Tiongkok dimulai dari analisa Mao Zedong tentang masyarakat Tiongkok. Analisanya dimulai dengan kalimat-kalimat seperti di bawah ini. 2)

“ Siapa musuh kita? Siapa kawan kita? Ini adalah masalah pertama untuk revolusi. Alasan pokok mengapa semua perjuangan revolusioner di Tiongkok pada masa lampau sangat kecil hasilnya yalah karena tidak bisa bersatu dengan sahabat yang sesungguhnya untuk menggempur musuh yang sesungguhnya. Partai revolusioner adalah penunjuk jalan massa, dan belum pernah ada revolusi yang tidak gagal apabila partai revolusioner salah menunjukkan jalan dalam revolusi. Untuk menjamin supaya kita tidak salah menunjukkan jalan dan pasti mencapai sukses dalam revolusi, tidak boleh tidak harus kita perhatikan hal bersatu dengan sahabat kita yang sesungguhnya. Untuk membedakan sahabat yang sesungguhnya dengan musuh yang sesungguhnya, tidak boleh tidak harus kita analisa secara umum kehidupan ekonomi klas-klas dalam masyarakat Tiongkok serta sikapnya masing-masing terhadap revolusi.”

Setahun sesudah mengemukakan analisa itu (karya “Analisa Tentang Klas-Klas Dalam Masyarakat Tiongkok” disusun pada tahun 1926) oleh Mao Zedong dikeluarkan karyanya yang kedua, yaitu “Laporan Tentang Penyelidikan Gerakan Tani di Hunan”. Tulisan ini tidak saja melengkapi tulisan yang pertama, melainkan juga sebagai jawaban terhadap kecaman kaum oportunis kanan yang tidak mau menerima pandangan pentingnya peranan kaum tani, sekutu pokok proletariat, dalam perjuangan revolusioner.” 3)

Masalah-masalah dan putusan-putusan Kongres Nasional ke-II dan ke-III PKI merupakan salah satu pembicaraan dari sidang pleno yang diperluas dari ECCI (Executive Committee Communist Internationale)  yang dilangsungkan di Moskou antara 21 Maret dan 6 April 1925. Sidang mengkonstatasi PKI dijangkiti dua kecenderungan. Pertama: pendapat bahwa di Indonesia tidak ada burjuasi seperti dikemukakan oleh anggota Hoofdbestuur Darsono dalam kongres Juni di

Jakarta. Kedua: pendapat untuk meninggalkan pekerjaan di kalangan kaum tani seperti diajukan oleh anggota Hoofdbestuur Aliarcham dalam kongres Kota Gede.

Berdasarkan kenyataan tersebut ECCI menyimpulkan bahwa “Partai Komunis Indonesia belum menjadi partai proletar yang sesungguhnya.” Kemudian oleh ECCI disarankan agar PKI menyusun satu platform untuk perjuangan nasional umumnya, di mana diutamakan kepentingan massa tani di samping program minimum untuk kaum buruh.

Juga disarankan, agar Sarekat Rakyat dipisah dari PKI dan dijadikan satu organisasi nasional yang revolusioner yang bekerjasama dengan dan berada di bawah pimpinan kaum komunis. 4)

Tetapi pada saat kesimpulan ECCI disampaikan reorganisasi dalam tubuh PKI sudah jalan jauh. Satu-satunya yang masih bisa dilaksanakan adalah mengusahakan kerja sama dengan partai-partai nasionalis.

Dalam Kongres Kotagede dipilih Hoofdbestuur yang baru. Ketua adalah Sardjono. Budisutjitro dipilih sebagai sekretaris, Winanta bendahara. Aliarcham dan Alimin masing-masing dipercayai menjadi Komisaris. Anggota-anggota Hoofdbestuur lainnya yang berkdudukan di luar Jakarta adalah Mardjohan (Semarang), Abdulkaim MS (Aceh dan Sumatra Timur), Sutan Said Ali (Sumatra Barat), S.H.Assor (Ternate), Suwarno (Solo), Kusno Gunoko (Bandung), Prawiro Sardjono (Surabaya) dan Sakirno (Cilacap). 5)

Mengingat semakin sengitnya perjuangan melawan kolonialisme oleh Kongres diputuskan, agar PKI lebih-lebih lagi mengutamakan bekerja secara tertutup dan mencegah aksi-aksi terror perseorangan. Selanjutnya anggota-anggota diorganisasi dalam gru-grup dari 10 orang, setiap grup dipimpin seorang kader yang berpengalaman dan terpercaya.

Sementara itu “Suara Rakyat”, organ resmi PKI tidak diterbitkan lagi. Supaya lebih cepat menanggapi perkembangan situasi akan dikeluarkan komunike-komunike sesuai dengan kebutuhan. Di Jakarta akan diterbitkan majalah resmi “Nyala”. Majalah “Api” yang diterbitkan seksi Semarang menjadi organ setengah resmi.

Begitu kongres berakhir semua anggota Hoofdbestuur dan sebagian dari utusan berangkat ke Surabaya untuk menghadiri peresmian secretariat Vaksentral Merah Indonesia sesuai dengan putusan Konferensi Internasional Pan Pasificdi Kanton bulan Juni 1924. Pembentukan secretariat tersebut didahului oleh pembentukan Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan (SPPL) pada tanggal 20 Januari 1925. Organisasi ini adalah hasil fusi Sarekat Buruh Pelabuhan Surabaya, Perserikatan Buruh pelabuhan dan lautan yang didirikan Alimin dan Marsum dari Jakarta dan Sarekat Laut dan Gudang di bawah pimpinan Sumatri dan Surat Hardjomartojo dari Semarang. Sebagai ketua SPPL dipilih Gondojuwono. Tetapi begitu putusan itu diumumkan, begitu Gondojuwono ditangkap. Kedudukan segera diganti oleh seorang anggota pimpinan lainnya, Syamsudin. Oleh SPPL diterbitkan majalah “Djangkar”.

Untuk menyambut lahirnya SPPL, sekaligus sebagai peresmian berdirinya Sekretariat Vaksentral Merah dilangsungkan suatu rapat umum yang dihadiri oleh 1.500 orang, jumlah yang luar biasa pada waktu itu. Dalam rapat umum tersebut diumumkan susunan pimpinan Sekretaiat Vaksentral Merah: Aliarcham (Ketua), Muso, Sugono, Sukendar, Kadarusman dan Surat Hardjomartojo.

Sebagai pelaksanan putusan-putusan kongres Kotagede oleh Hoofdbestuur PKI sejak awal 1925 diusahakan berdirinya organisasi-organisasi buruh baru di samping mengkosolidasi yang sudah ada. Berbagai macam organisasi kaum buruh mesin yang sifatnya local digabung dalam satu organisasi bernama Serikat Buruh Bengkel. Dalam SBB ini kemudian digabungkan juga organisasi kaum buruh listrik. Karena itu nama yang semula (SBB) diganti menjadi Serikta Buruh Bengkel dan Elektris (SBBE). Sebagai ketuanya dipilih Prawiro Sardjono, seorang masinis yang seperti diuraikan dipilih oleh Kongres Kotagede sebagai anggota Hoofdbestuur PKI. Serikar Buruh Pos dan Telegrap (SB Postel) dipimpin oleh Muso yang juga memimpin majalah PKI Jawa timur, yaitu “Proletar”.

Juga masih dalam rangka pelaksanaan konferensi Kanton dalam bulan Juni 1925 Hoofdbestuur PKI mendirikan Federasi Kaum Buruh Transport.

Aktivitet luarbiasa PKI sejak Kongres Kotagede sudah tentu tidak diabaikan begitu saja oleh yang berkuasa. Berbagai peraturan yang membatasi gerak organisasi rakyat lebih diperketat lagi. Rapat-rapat diawasi sangat teliti dan satu hal kecil saja yang dianggap melanggar ketentuan yang berkuasa sudah bisa digunakan untuk membubarkannya. Tidak jarang rapat umum PKI dibubarkan karena di antara pengunjungnya terdapat orang yang dianggap belum berumur 18 tahun. Undang-undang larangan mogok yang dikeluarkan secara tergesa-gesa ketika kaum buruh keretaapi mogok pada tahun 1923 dilaksanakan lebih keras lagi.

Bersamaan dengan itu di Jawa barat oleh kaum reaksi didirikan organisasi terror yang terkenal dengan nama Sarekat Hejo. Organisasi ini dipelopori oleh bupati Sumedang dan kemudian melebarkan sayapnya ke Jawa tengah dan Jawa timur. Di mana Sarekat Hejo mengacaukan dan membubarkan rapat-rapat PKI dan Sarekat Rakyat, merusak dan membakar gedung-gedung Sekolah Rakyat yang didirikan PKI, dan menyerbu serta merusak kantor-kantor PKI. Tidak jarang organisasi terror ini mengusir anggota Sarekat Rakyat dan PKI dari kampung tempat tinggal mereka. Perbuatan jahat ini tentu saja menambah kegusaran penduduk. Partai-partai dan organisasi-organisasi massa membantu atau menunjukkan simpati mereka terhadap perlawanan yang dilakukan kaum komunis dalam menanggulangi terror tersebut.

Pada akhir bulan Juli 1925 di Semarang mulai timbul pemogokan di lingkungan kaum buruh percetakan. Aksi ini segera diikuti oleh kaum buruh lainnnya, mula-mula oleh pegawai rumah sakit umum kota tersebut, kemudian disusul oleh kaum buruh pelabuhan.

Pemerintah dengan segera melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PKI. Jaksa Agung pemerintah Hindia Belanda bahkan mengusulkan, supaya sementara pemimpin PKI dibuang. Antaranya dicantumkan nama Alimin. Tetapi yang belakangan ini telah berhasil menyelamatkan diri ke Singapore.

Belum lagi pemogokan di Semarang dapat diatasi oleh yang berkuasa, maka di daerah-daerah lain, antaranya di Jakarta dan juga di luar Jawa muncul pula aksi-aksi mogok. Pada bulan Agustus 1925 pegawai-pegawai rumah sakit umum Jakarta meletakkan pekerjaan, demikian juga kaum buruh duane (pabean). Di Belawan Deli kaum buruh pelabuhan melangsungkan pemogokan pada bulan Oktober. Kaum buruh pelabuhan Emmahaven (Padang) menyusul, demikian juga yang di pelabuhan Makasar.

Pada tanggal 1 September di kota Surabaya terjadi pemogokan kaum buruh percetakan. Aksi ini berlangsung sampai dua bulan. Belum lagi pemogokan ini bisa diselesaikan, pada tanggal 5 Oktober timbul sengketa perburuhan di lingkungan pabrik mesin Nederland Indische Industrie. Aksi kaum buruh di sini meletus karena direksi memecat seorang buruh yang dituduh melakukan propaganda komunis. SBBR tampil ke depan memimpin aksi ini dan akan melakukan pemogokan total jika pemecatan tidak ditarik kembali. Fihak majikan yang melihat dengan mata kepala sendiri betapa kompaknya persatuan kaum buruh SBBE terpaksa memenuhi tuntutan tersebut, juga tuntutan-tuntutan lainnya lagi, antara lain mengadakan fonds khusus untuk hari tua  dan kematian.

Pemogokan kaum buruh SBBE diikuti oleh pemogokan di pabrik mesin Braat pada 19 November. Pada saat pemogokan tersebut sedang berlangsung pimpinan SBBE pada tanggal 2 Desember mengajukan 21 fasal tuntutan pada direksi dari 7 pabrik mesin dan bengkel. Karena fihak majikan membandel dan bahkan tidak menggubris tuntutan tadi maka pada tanggal 21 Desember dilancarkan pemogokan di pabrik mesin Nederlands Indische Industrie, Braat, Du Croo en Baruans, Dapuan, Noordijk, Polygram, dan Technisch Nureau Hellendoorn. Aksi-aksi tersebut seminggu kemudian disusul oleh pemogokan di galangan kapal dari Droogdok Maatschappij.

Di bawah bayangan terror Sarekat Hejo yang menjadi-jadi dan perlawanan spontan rakyat yang sering berupa pertumpahan darah, aksi-aksi kaum buruh yang semakin meningkat akibat penindasan yang semakin berat dan semakin terkekangnya hak-hak demokrasi, Hoofdbestuur PKI menyelenggarakan konferensi. Konferensi ini dilangsungkan di Prambanan di bawah pimpinan ketua Sardjono. Acara terpenting, yaitu penialaian terhadap perkembangan sitausi politik disampaikan oleh anggota Hoofdbestuur Sugono. Sesudah diadakan pendiskusian konferensi memutuskan, bahwa PKI tidak ada jalan lain kecuali mengangkat senjata untuk menumbangkan kekuasaan kolonial Belanda. Putusan tersebut diambil secara bulat oleh semua peserta. Sejak hari itu dimulai persiapan ke arah pemberontakan bersenjata. 6)

Pada saat pimpinan PKI melangsungkan konferensi di Prambanan, pemerintah Hindia Belanda mengambil putusan untuk menangkap beberapa anggota Hoofdbestuur PKI.

Pada awal Januari 1926 dikeluarkan perintah menangkap Muso, Budisutjitro dan Sugono. Tapi tidak seorangpun dari tiga pemimpin tersebut yang diketemukan. Pada saat itu mereka berhasil menyelinap ke Singapore untuk berunding dengan Alimim yang terlebih dulu tiba di kota tersebut. Bersama dengan Sardjono, Subakat, Mohamad Sanusi dan Winanta mereka mendiskusikan pelaksanaan Konferensi Prambanan. Dalam pertemuan tersebut diputuskan agar Alimin menemui Tan Malaka di Manila untuk minta dihubungkan dengan Komintern. Seperti diketahui Tan Malaka adalah wakil badan tersebut untuk Timur Jauh.

Sebelum melanjutkan soal di atas perlu secara singkat disebutkan di sini, bahwa pada bulan Desember 1925 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan, bahwa Mardjohan, Darsono dan Aliarcham yang sedang meringkuk dalam penjara akan diinternir. Mardjohan adalah anggota Hoofdbestuur PKI (dari Semarang) yang aktif memimpin aksi-aksi pemogokan kaum buruh. Aliarcham ditangkap pada tanggal 5 Desember. Kedua tokoh ini betul dibuang ke Digul sedangkan Darsono diperbolehkan meninggalkan Indonesia menuju negeri yang disukainya. Darsono baru sesudah kemerdekaan Indonesia pulang ke tanah airnya, sebagai seorang renegaat.

Ketika Alimin berhasil menemui Tan Malaka di Manila ia baru tahu, bahwa Tan Malaka menentang putusan Prambanan. Alasan yang a.l. dikemukakan yalah bahwa situasi belum matang dan lebih baik menunggu meletusnya perang di Pasific. Alimin menentang pendapat ini  karena politik semacam itu hanya akan menyebabkan rakyat tinggal pasif dan menunggu nasib.

Anggota-anggota Hoofdbestuur PKI yang berkumpul di Singapore tetap memegang teguh putusan Prambanan dan menugaskan Muso dan Alimin menuju Kanton menemui ECCI biro Timur Jauh., kemudian terus ke Moskou. Anggota-anggota Hoofdbestuur PKI lainnya ditugaskan untuk segera kembali ke Indonesia.

Mengenai perjalanan Muso dan Alimin ke Moskou tidak bisa dikemukakan apa-apa di sini. Dalam perjalanan kembali ke Indonesia pada bulan Desember 1926 mereka ditangkap polisi Inggris di Singapore dan karena itu tidak pernah berkesempatan menyampaikan hasil perundingan dengan Komintern. Ketika itu pemberontakan bersenjata telah meletus. Sesudah ditahan beberapa waktu lamanya Muso dan Alimin dibebaskan dan diperintahkan untuk segera meninggalkan Singapore. Mereka kembali ke Moskou dan baru kembali di tanah air sesudah jaman Indonesia merdeka. Alimin pada tahun 1946. Muso dua tahun kemudian.

Pada pertengahan bulan Januari 1926 Hoofdbestuur PKI menyelenggarakan sidang pleno diperluas dengan para komisaris dari daerah. Dalam sidang ini diadakan penilaian perkembangan politik sesudah diadakan konferensi di Prambanan. Juga direncanakan cara memberikan pimpinan pada aksi-aksi spontan massa terhadap terror yang tidak ada henti-hentinya dari kaum reaksi.

Untuk menyempurnakan putusan kongres Kotagede dan menyesuaikannya dengan situasi sistim 10 orang dirobah menjadi sistim 3 orang. Masing-masing grup merupakan satu kesatuan tempur.

Tiga bulan sesudah sidang pleno Hoofdbestuur PKI meletuslah apa yang dalam sejarah kemerdekaan terkenal sebagai “Peristiwa Bedewang”, di ujung paling timur pulau Jawa. Pada tanggal 30 April 1926 kaum tani yang sejak lama diharuskan membayar pajak berat minta keringanan. Tuntutan adil ini dibalas dengan pelor dan kelewang. Kaum tani yang sudah terpepet hidupnya itu tidak mundur bahkan serempak mengakan perlawanan. Polisi terpaksa bertunggang langgang dan menyelamatkan diri. Peristiwa belum berakhir di situ. Dua hari kemudian dari Malang didatangkan bantuan militer. Kaum tani Bedewang ditangkapi secara kejam, disiksa dan kemudian dijebloskan  dalam tahanan. Di antara mereka terdapat banyak anggota PKI  dan Sarekat Rakyat. Sekalipaun demikian aksi kaum tani tidak terhenti. Aksi diikuti oleh kaum tani di Karangcagak. Juga di sini pemerintah mengambil tindakan kejam.

Sebulan sesudah aksi kaum tani Bedewang dan Karangcagak muncul perlawanan rakyat pulau Tello (kepulauan Nias) yang menyerbu sebuah penjara dan membebaskan tawan-tawanan politik.

Pada bulan Juni menyusul bentrokan-bentrokan di Aceh, sedangkan pada bulan Juli dan Agustus terjadi pembakaran kebun-kebun tebu di Surakarta. Di berbagai tempat terjadi pembunuhan atas penguasa-penguasa reaksioner. Di Jakarta dilakukan pelemparan granat. Di daerah banten terjadi bentrokan-bentrokan senjata.

Sementara itu pemerintah pada 1 Mei melakukan penggropyokan dan penggeledahan terhadap kantor PKI di banyak tempat. Terhadap banyak pimpinan PKI dilakukan penangkapan, begitu juga terhadap pemimpin organisasi-organisasi buruh. Penerbitan PKI diawasi secara ketat. Beberapa mulai dibredel.

Tindakan kekerasan tersebut tidak membikin kecil hati rakyat. Sebaliknya PKI menjadi semakin berkembang. Pada Kongres Nasional ke-III (Kotagede) OKI mempunyai 38 seksi. Pada bulan Mei 1926 jumlah seksi meningkat menjadi 65. Jika semula sebagian terbesar seksi-seksi berpusat di Jawa, pada pertengahan tahun 1926 muncul banyak seksi baru di pulau-pulau lain. Demikianlah muncul seksi-seksi di Kotaraja, Langsa, Lok Sumawe, Medan, Padangpanjang, Bukittinggi, Padang, Sawahlunto, Bengkulu, Palembang, Jambi (semuanya di Sumatra), Manado, Gorontalo, Makasar (semuanya di Sulawesi) dan Ternate (Maluku utara).

Sarekat Rakyat juga tidak bisa dibendung perkembangannya. Bersamaan dengan perkembangannya PKI ke pulau-pulau lain, organisasi massa ini juga meluas, bahkan sampai ke pulau Timor.

Dalam keadaan yang semakin hangat di kantor Hoofdbestuur PKI demi kewaspadaan dipindah dari Jakarta ke Bandung (Mei 1926). Tetapi pada saat itu yang bisa aktif hanya Sardjono sebagai ketua. Budisutjitro sebagai sekretaris sudah sejak beberapa waktu meringkuk dalam penjara. Demikian juga nasib Winanta sebagai bendahara. Kedudukan Winanta diisi oleh Suprodjo yang sekaligus meranagkap menjadi wakil ketua.

Antara 20-26 Juni Hoofdbestuur PKI sekali lagi mengadakan sidang pleno yang diperluas. Dalam sidang ini diperiksa kembali persiapan pelaksanaan Konferensi Prambanan. Sidang memutuskan menunda pelaksanaan pemberontakan. Alasannya yalah supaya bisa mengatur persiapan yang lebih baik.

Baru saja putusan itu diambil, Suprodjo tiba kembali dari Singapore, di mana ia mengadakan perundingan dengan Tan Malaka dan Subakat (Subakat adalah penghubung PKI di tempat tersebut). Baik Suprodjo maupun Subakat terpengaruh oleh politik Tan Malaka dan ikut menentang putusan Prambanan.

Atas permintaan Suprodjo Hoofdbestuur PKI mengadakan sidang lagi. Dalam sidang ini ia menyampaikan pendirian Tan Malaka yang menentang diadakannya pemberontakan bersenjata. Suprodjo menjelaskan bahwa ia sependapat dengan Tan Malaka. 7)

Pendapat Suprodjo ditentang anggota-anggota Hoofdbestuur lainnya. Sekalipun demikian Hoofdbestuur PKI sebagai komando tertinggi pemberontakan yang digariskan di Prambanan sudah retak.

Untuk menyelamatkan pelaksaan putusan Konferensi Prambanan oleh Hoofdbstuur PKI dibentuk comite pelaksanaan pemberontakan yang diberi nama Comite Pemberontakan. Comite ini lahir pada pertengahan bulan Agustus 1926 dan terdiri dari tokoh-tokoh PKI yang setia sepenuhnya pada putusan Konferensi Prambanan. Setelah mengalami beberapa perobahan personalia Comite Pemberontakan ini terdiri dari Dahlan (seorang tokoh terkemuka PKI Sumatra Barat) sebagai ketua, Sukrawinata (salah seorang anggota pimpinan PKI seksi Jakarta) sebagai sekretaris. Anggota-anggota lainnya adalah Harujuwono (pemimpin redaksi majalah “Api” Semarang), Samudro, Baharudin Saleh (pimpinan PKI seksi Padangpanjang), mahmud Sutjintjin (pimpinan PKI seksi Padangpanjang) dan seorang tokoh lain yang bernama Sutan Hamid.

Comite Pemberontakan pada akhir bulan Oktober mengadakan sidang di Jakarta dan memutuskan pemberontakan akan dicetuskan pada 12 November tengah malam.

Persiapan terakhir diteliti kembali oleh sidang Comite Pemberontakan dari 6 November. Dalam sidang ini hadir seorang wanita, yaitu Sukaesih dari seksi Jakarta.

Sesuai dengan putusan Comite Pemberontakan, pemberontakan bersenjata yang pertama yang bersifat nasional meletus pada waktu yang sudah direncanakan, jam 12 malam dari 12 November 1926.

Bukan tempatnya di sini menguraikan jalannya dan proses perkembangan pemberontakan itu sendiri. Akan tetapi sekedar sebagai pengetahuan dan bahan studi mungkin ada faedahnya jika dikemukakan secara pokok dan singkat apa yang terjadi pada waktu itu.

Pada 12 November malam hari di Jakarta dilakukan penyerbuan terhadap kantor telepon dengan maksud memutuskan hubungan telekomunikasi kota tersebut dengan tempat-tempat lainnya. Selama waktu itu semua alat dihancurkan. Esok harinya tentara datang dan terjadi tembak-menembak. Hanya dengan susah payah tentara Belanda dapat merebut kembali sasaran penting itu.

Pada saat kantor telepon diduduki sepasukan rakyat lainnya menyerbu penjara Glodok untuk membebaskan para tahanan politik. Sementara itu sepasukan lagi menyerbu pos polisi di kampung Pejagalan, menyerbu dan membakar habis rumah kepala pemerintahan di Penjaringan. Di  jalan  raya  yang  menuju  Tanjung  Priok  didirikan  barikade  untuk  memutuskan  hubungan lalulintas. Di dekat stasiun Tanah Abang terjadi pertempuran antara sepasukan bersenjata rakyat dengan polisi. Kantor dan rumah kepala desa Pisangan diserbu dan diratakan dengan tanah.

Malam itu juga di daerah Pulau Gadung pasukan rakyat menyerbu kantor pemerintahan setempat dan mendudukinya sambil menghancurkan apa saja yang terdapat di dalamnya.

Juga di Jatinegara ( namanya masih Meester Cornelis) terjadi bentrokan senjata. Malam itu rumah assisten residen diserbu rakyat dan di sini terjadi tembak menembak yang cukup seru.

Di Tangerang sepasukan rakyat menyerbu polisi lapangan (veldpolitie) dan berhasil mendudukinya. Pemberontan bersenjata di Jakarta dan sekitarnya berlangsung selama empat hari. Selama waktu itu kekuasaan Hindia Belanda menunjukkan kepanikannya.

Lebih luas dan lebih lama adalah pemberontakan yang berkobar di daerah Banten. Di sini hubungan telepon antara tempat yang satu dan tempat yang lain banyak yang diputus sehingga 12 November malam itu  sudah banyak yang terisolasi sama sekali dari luar.

Selain hubungan telepon juga banyak jembatan diledakkan sehingga tidak dapat lagi digunakan bagi lalu lintas kendaraan.

Dengan terputusnya hubungan tilpon dan lalulintas itu penguasa daerah berada dalam kebingungan. Hubungan antara Serang dan Menes putus, demikian juga dengan Caringin (ibukotanya: Labuhan) dan Pamerayan. Pertempuran sengit berkobar di depan gedung kawedanan Menens dan di beberapa bagian kota ini timbul kebakaran. Pada waktu yang bersamaan terjadi tembak menembak di depan rumah camat Labuhan di pantai barat. Dengan berlangsungnya pertempuran ini keretaapi pertama Labuhan – Jakarta terpaksa tidak dapat meninggalkan stasiun. Pertempuran ini lambat laun meluas ke tempat kediaman wedana Labuhan. Di sini bahkan pertempuran berlangsung lebih sengit dan tentara KNIL terpaksa didatangkan untuk menyelamatkan wedana di kota tersebut.

Masih pada tanggal 12 November malam itu juga pasukan rakyat menyerbu berbagai kantor pemerintahan di kecamatan Cening.

Pada esok harinya bupati Pandeglang dibantu oleh sepasukan polisi lapangan bergerak menuju Labuhan untuk membantu menyelamatkan kota yang terancam itu. Di tengah jalan bupati dengan pasukannya ini dihadang pasukan rakyat sehingga terjadi pertempuran sengit. Pada tanggal 13 November itu tentara kolonial mulai menyambung kembali kawat-kawat tilpon yang diputus. Tetapi di dekat Bojongcanar mereka ditembaki oleh pasukan rakyat dan terpaksa meninggalkan pekerjaan dan lari tunggang langgang. Pada sore harinya sekitar jam 5 di depan rumah seorang Kyai yang reaksioner di Labuhan kemana pengausa-penguasa setempat menyelamatkan diri terjadi pula tembak menembak. Pada malam harinya pasukan rakyat menyerbu kantor dan rumah camat Petir. Di sini terjadi pertempuran dengan satu detasemen tenatar yang datang menolong.

Pada tanggal 14 November satu konvoi militer dihadang oleh pasukan rakyat di antara Kadujawer dan Kadugedung sehingga pertempuran sengit berkobar.

Di dekat Bojongcanar rakyat mendirikan barikade sedangkan banyak jembatan di sepanjang jalan raya antara Menes dan Labuhan tidak dapat dipergunakan oleh kendaraan militer yang datang membawa bala bantuan. Juga hubungan telpon antara kedua tempat tersebut masih tetap terputus. Ketika sepasukan tentara bergerak dari Menes ke labuhan lewat utara, yaitu lewat Cening, mereka juga menghadapi banyak kesukaran. Jalan penuh dengan pohon-pohon besar yang ditumbangkan sehingga merupakan barikade yang kokoh. Ketika tentara tersebut selesai menyingkirkannya dan mulai bergerak maju mereka dihadang oleh sepasukan rakyat dan terjadilah pertempuran.

Pada tanggal 15 November sore hari di kota Labuhan sepasukan serdadu KNIL dengan mendadak diserang rakyat dan tembak menembak seru terjadi.

Pada tanggal 16 November  keretaapi Labuhan – Jakarta tidak dapat meneruskan perjalanan karena satu jembatan putus.

Pada tanggal 18 November pagi hari berkecamuk pertempuran di Bama dan Pasirtengah. Jembatan kali Bama yang beberapa kali menjadi rebutan antara tentara Belanda dan pasukan rakyat diserbu oleh pasukan rakyat dan dihancurkan samasekali. Demikian pula halnya dengan hubungan telpon. Kawat-kawat yang dipotong pasukan rakyat dan dengan susah payah dibetulkan kembali oleh tentara dirusak kembali oleh pasukan-pasukan rakyat.

Pada tanggal 19 November malam hari pasukan rakyat menyerbu rumah camat Pagelaran dan membakarnya sampai habis, sedangkan hubungan telpon anatar Pandeglang dan Bojong diputus.

Pemberontakan di daerah banten baru padam sesudah sebulan lamanya bantuan militer yang tidak sedikit jumlahnya didatngkan dari tempat-tempat lain.

Pada tanggal 12 November malam hari rakyat Priangan bergerak sesuai dengan instruksi Comite pemberontakan. Pada malam itu pasukan rakyat menyerbu pos polisi Nagrek dan bersamaan dengan itu pasukan yang lain membongkar jembatan keretaapi di atas sungai Citiis. Juga jembatan jalan raya Bandung – Garut di Cirancas dihancurkan, sedangkan di 6 tempat kawat-kawat telpon diputus.

Di tempat lain, yaitu di Cimahi pasukan Rakyat membakar habis 3 sasaran. Hal yang sama terjadi di Batujajar.

Pada tanggal 13 November pasukan rakyat menghadang bantuan militer yang dikirim ke Cisarua dan terjadilah pertempuran sengit.

Dua hari kemudian terjadi bentrokan antara pasukan rakyat dengan penguasa di antara Pandeglang dan Cisarua, sedangkan pada tanggal 18 pertempuran berkobar di dekat Padalarang antara pasukan rakyat dengan fihak militer.

Di Priangan barat pada malam hari antara 14 dan 15 November di beberapa tempat pasukan rakyat menyerbu kantor-kantor pemerintahan. Hubungan tilpun dengan Gandasuli diputus.

Di Ciamis (Priangan timur) pada tanggal 12 November  malam hari pasukan rakyat bergerak ke pusat kota dan melakukan serangan terhadap gedung kabupaten. Di sini terjadi tembak menembak dengan polisi yang menjaga keamanan. Kemudian pasukan tersebut meneruskan geraknya ke arah kantor tilpun dan kemudian mendudukinya. Sepasukan polisi yang dikirim ke tempat tersebut  sudah tidak bisa lagi mencegah pasukan rakyat merusak alat-alat di dalamnya. Sesudah mengadakan pertempuran dengan pasukan polisi tersebut Pasuakn rakyat segera mengundurkan diri. Ternuata pasukan ini kemudian menyerbu rumah Assisten residen, sehimgga di sini juga terjadi tembak menembak. Rumah pejabat Belanda itu sempat di hancurkan.

Di Tasikmalaya pasukan rakyat membakar beberapa sasaran. Di pusat kota beberapa bom diledakkan untuk menghancurkan beberapa gedung pemerintahan. Para penguasa di kota tersebut dijangkiti kepanikan. Tidak diketahui apakah juga di Tasikmalaya terjadi pertempuran.

Di Solo (Jawa tengah) pemberontakan dimulai agak terlambat, baru pada tanggal 17 November malam hari. Pada saat tersebut pasukan rakyat yang terdiri dari ratusan orang menyerbu kantor dan rumah penewu sawahan (Boyolali) yang dijaga oleh satu pasukan polisi lapangan. Pertempuran snegit terjadi.

Hampir pada waktu yang bersamaan dalam kota Solo pasukan rakyat menyergap beberapa pos alat-alat kekuasaan di Gandekan dan Jebres. Gardu listrik di Laweyan dan Tipes diserbu dan aliran listrik diputuskan . Hubungan telpon Solo –  Yogya  dirusak di Pajang dan Manahan. Gudang tembakau Tebancan milik onderneming Menang di bakar.

Pembakaran-pembakaran semacam itu berlangsung terus sampai 21 November.

Rakyat di daerah Kediri yang tidak mau ketinggalan dalam melaksanakan pemberontakan. Pada tanggal 12 November malam hari pasukan rakyat bergerak di Kedungbanteng, di bagian tenggara kawedanan Lodoyo di Blitar selatan. Di tempat tersebut beberapa penguasa dilikwidasi. Hal serupa terjadi pada tanggal 15 November di kawedanan Gandusari di sebelah utara kota Blitar. Pasukan rakyat di daerah ini tidak kurang dari 2000 orang.

Sekalipun pemerintah melakukan penangkapan besar-besaran di daerah Pekalongan, juga di sini timbul bentrokan bersenjata, sekalipun sangat terbatas. Pada malam hari tanggal 17 November pasukan rakyat di daerah Pemalang menyerbu kediaman camat Ulujati dan beberapa obyek lainnya di kecamatan tersebut.

Rencana pemberontakan di karesidenan Banyumas, Kedu dan beberapa lainnya lagi tidak bisa direalisasi karena banyak pemimpin PKI berhasil ditangkap lebih dulu.

Pada tanggal 17 November pemerinatah melakukan gerakan penangkapan secara massal terhadap para pemimpin dan anggota-anggota PKI dan setiap orang yang dituduh terlibat dalam pemeberontakan.

Baru pada bulan Desember pemerintah dengan susah payah berhasil menguasai kembali situasi di pulau Jawa.

Sekalipun di Jawa pemberontakan dapat ditindas belum berarti bahwa pemberontakan bersenjata itu telah selesai. Pemberontakan di Sumatra baru akan dimulai.

Di Sumatra Barat pada tahun 1923 didirikan seksi PKI yang pertama di Padangpanjang. Pada tahun berikutnya PKI telah meluas ke tempat-tempat lainnya. Seksi baru lahir di Koto Laweh, Solok, Payakumbuh, Sungaisarik, Lubuk Basung, Silungkang, Bukit Tinggi, Muara Labuh , Sawahlunto dll.

Sesudah terjadinya perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam, di Sumatra Barat cabang-cabang SI yang melepaskan diri dari pusatnya menjadi Sarekat Rakyat dan seperti halnya di pulau Jawa mau menerima sepenuhnya pimpinan politik dari PKI.

Dalam tahun 1924 comite PKI Sumatra Barat terdiri dari Mangkudun Sati (ketua ), Saleh Jafar (sekretaris ), Mahmud, Sutan Palembang dan Baharudin Saleh yang kemudian duduk di Comite Pemberontakan seperti sudah dikemukakan didepan. Sebagai komisaris Hoofdbestuur PKI untuk seluruh Sumatra diangkat Sutan Said Ali. Oleh PKI Sumatra Barat ketika itu diterbitkan berbagai majalah, a.l. “Jago-jago” ( Padangpanjang, redaktur Natar Zainudin), “Pemandangan Islam” (Padangpanjang, redaktur Datuk Batuah), “Petir” (Padang, redaktur Baharudin Saleh), “Torpedo” (Padang, redaktur Abdul Majid).

Sesuai dengan putusan Konferensi Prambanan semua comite PKI diseluruh Sumatra Barat mengadakan persiapan yang diperlukan bagi pemberontakan. Ketika di Jawa pe,mberontakan meletus pada tanggal 12 November, pimpinan PKI dearah ini tidak segera bertindak dan mencetuskan pemberontakan karena menunggu datangnya putusan tertulis dari Hoofdbestuur PKI. Instruksi yang dinanti-nanti tidak kunjung datang karena kerasnya pengawasan pemerintah dan juga karena sebagian dari Hoofdbestuur telah ditangkap.

Karena sikap menunggu itu pemerintah dengan leluasa dapat melakukan penggeledahan dan penangkapan di Sumatra Barat untuk mencegah meletusnya pemberontakan. Juga  penjagaan keamanan diperketat.

Tetapi itu semua akhirnya tidak dapat juga membendung pemberontakan. Pada pertengahan bulan Desember 1926 pimpinan PKI seluruh Sumatra Barat mengadakan sidang rahasia di Padangpanjang. Dalam sidang ini diputuskan pemberontakan di Sumatra Barat akan dimulai pada 1 Januari 1927. Dan pemberontakan di Sumatra Barat meletus pada hari yang sudah ditetapkan itu.

Pada tanggal 31 Desember disampaikan instruksi pada pimpinan seksi Sawahlunto untuk memulai pemberontakan pada malam hari itu juga. Penghubung yang membawa instruksi tersebut singgah di Silungkang dan menyampaikan, bahwa malam itu gerakan akan dimulai di Sawahlunto. Dijelaskan pada  comite PKI Silungkang bahwa tugas mereka adalah segera menyambut pemberontakan tersebut.

Oleh comite PKI Silungkang pembawa instruksi untuk Sawahlunto itu ditahan dan disuruh menyaksikan, bahwa Silungkanglah yang akan memulai pemberontakan lebih dulu. Dengan demikian malam itu gerakan tidak dimulai oleh Sawahlunto melainkan oleh Silungkang. Para penguasa setempat ditangkapi, kantor tilpun diserbu dan diduduki dan alat-alat disitu dihancurkan. Dengan demikian Silungkang menjadi  kota terpencil. Juga stasiun kereta api diduduki.

Pada tanggal 1 Januari malam hari pasukan bersenjata rakyat bergerak dari Silungkang ke Sawahlunto untuk membantu merebut kota tersebut. Di tengah jalan, di Muara Klaban pasukan ini berpapasan dengan sepasukan polisi lapangan dan terjadilah di tempat tersebut pertempuran sengit. Asisten residen Belanda yang berkedudukan di Sawahlunto yang diberitahu adanya pertempuran itu segera beranagkat ke Muara Klaban. Tetapi ditengah jalan ia dihadang oleh pasukan bersenjata rakyat yang terdiri dari l.k. 40 orang. Pertempuran segera berkobar. Mendekati jam 3 pagi pasukan bersenjata rakyat yang besar jumlahnya secara mendadak menyeranga pasukan polisi yang menjaga jalan kereta api Muara Klaban – Sawahlunto. Pertempuran sengit berkobar pula di sini di pagi buta itu.

Hampir pada waktu yang sama di tempat lain, yaitu di Padang Sibusuk dan Tanjung Amuplu pasukan rakyat mulai bergerak dan menyerang alat-alat kekuasaan di dua tempat tersebut.

Terjadinya gerakan bersenjata di berbagai tempat itu menimbulkan kekhawatiran pemerintah bahwa kota Sijunjung yang strategis sekali letaknya akan terisolasi samasekali.  Apalagi sesudah pasukan rakyat berhasil memotong kawat-kawat tilpon ke kota tersebut.

Sesudah berhasil merebut kembali stasiun Silungkang pasukan Belanda yang di bawah pimpinan asisten residen Sawahlunto berangkat ke Padang Sibusuk. Sebelum memasuki stasiun Padang Sibusuk kereta api yang mereka tumpangi diserang oleh pasukan rakyat, sehingga terjadi pertempuran sengit.

Tidak lama sesudah itu bala bantuan Belanda dari arah Padangpanjang memasuki Padang Sibusuk. Pertempuran terjadi lebih seru. Letnan Belanda yang memimpin bala bantuana itu mati dalam pertempuran. Sambil membawa mayat komandan mereka, bala bantuan tersebut mengundurkan diri ke arah Sawahlunto.

Tidak puas dengan kekalahan itu esok harinya, tanggal 3 Januari dua brigade militer menuju Padang Sibusuk dan mengepung kota ini dari berbagai jurusan. Kota ini ternyata sudah dikosongkan lebih dulu. Pasukan Belanda hanya menemukan beberapa orang tua dan lebih kurang 200 wanita. Kepala negeri padang Sibusuk diketemukan dalam keadaan telah mati dibunuh.Di daerah tersebut ia terkenal sebagai penguasa yang jahat. Pemberontakan di daerah Silungkang dan Sawahlunto dibarengi dengan pemberontakan di tempat-tempat lain seperti Sungai Lasi, Air Angat Kuruh (Kota Gedang), Pasar Ambacang (7 km dari Padang) dll.

Pemberontakan di Sumatra Barat berakhir sesudah pertempuran-pertempuran sengit selama dua minggu. Meskipun demikian di daerah ini selama bulan Februari dan maret 1927 masih saja terjadi beberapa bentrokan bersenjata.

Dengan berakhirnya pemberontakan bersenjata di Sumatra Barat berakhirlah pemberontakan bersenjata yang pertama yang bersifat nasional di Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda sesudah itu melakukan penangkapan besar-besaran. Tidak kurang dari 20.000 orang dari seluruh pelosok Indonesia ditangkap. Ketika rumah penjara sudah penuh sesak, tangsi-tangsi militer digunakan pula sebagai kamp tahanan. Dan ketika tempat-tempat itupun menjadi penuh sesak gedung-gedung sekolah dipakai untuk keperluan tersebut.

Setelah berbulan-bulan diadakan pemeriksaan dari jumlah tahanan tersebut di atas 4.500 orang dibebaskan. Yang selebihnya dikenakan hukuman penjara mulai dari 5 sampai 20 tahun.

Para tahanan yang dianggap bersalah dan dianggap berbahaya bagi kekuasaan Hindia Belanda dikenakan hak luarbiasa (Exorbitante rechten) gubernur jenderal dan dibuang ke Digul. Jumlah mereka 1.596 jiwa, terdiri dari 1124 orang laki-laki, 420 orang wanita dan 52 anak. 8)

Di antara yang dijatuhi hukuman mati yang diexekusi adalah Egom, Dirdja dan Bakri (di penjara Ciamis, 9 September 1927), Haji Sukri dengan 5 orang kawannya (di penjara Pandeglang dalam tahun 1927), Haji Hasan dari Cimaremeh (di penjara Garut), Kartawirja dan Aman (di penjara Padalarang), Ojod dari Nagrek.

Di Sumatra Barat yang dijatuhi hukuman mati dan telah dilaksanakan adalah Manggulung, Moh. Jusuf Sampano Kajo, Baharudin Gelar Bain (di penjara Sawahlunto, Maret 1927).

Pimpinan PKI baik yang dibuang ke Digul maupun yang menjalani hukuman mati di tiang gantungan menunjukkan keperwiraan yang mengagumkan.

Aliarcham misalnya, di tempat pembuangan di Tanah Tinggi (Digul, meninggal 2 Juli 1933) pada kawan-kawannya mengatakan: “Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat; kita terima pembuangan ini sebagai satu resiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita melawan penjajahan. Yang bersalah yalah pemerintah kolonial. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara. Kita harus terus menggunakan waktu pembuangan ini untuk belajar pengetahuan Marxisme dan pengetahuan umum.”

Pada malam hari sebelum menjalani hukuman mati dari arah sel Hasan, Dirdja dan Egom terdengar nyanyian lagu-lagu revolusioner, ditutup dengan lagu Internasionale. Dan esok harinya, beberapa saat sebelum tali gantungan dijeratkan di lehernya Egom menyerukan: “Selamat tinggal istri dan anak-anak,  kawan-kawan seperjuangan. Lanjutkanlah cita-cita kita yang suci untuk kemerdekaan. Hidup komunisme!”

Dan ketika tiga tokoh PKI Sumatra Barat Manggulung, M.Jusuf Sampano Kajo dan Baharudin Gelar Bain naik tiang gantungan salah seorang di antara mereka masih sempat berpantun: “Penyalain Bukit Surungan, bancah laweh bergunung batu. Bernyanyilah tiang gantungan. Rakyat mendengar merasa rindu.”

Pemberontakan 12 November 1926 mengalami kegagalan. Tetapi kepada rakyat Indonesia pemberontakan tersebut memberikan pelajaran yang sangat berguna.

Pemberontakan 12 November membuktikan, bahwa kekuasaa kolonial Belanda yang tampaknya begitu kokoh dan tak tergoyahkan dapat digoncangkan asal rakyat bersatu dan berani menunjukkan otot-ototnya.

Dengan memimpin rakyat Indonesia dalam perjuangan bersenjata menghadapi lawan yang begitu kuat kaum komunis Indonesia meletakkan dasar yang kuat untuk masa yang akan datang  jika waktunya telah tiba untuk kemerdekaan. Menggulingkan dengan kekerasan senjata kekuasaan kaum fasis Jepang pada bulan Agustus 1945 adalah satu pembuktian yang sejelas-jelasnya.

Dengan menunjukkan keperwiraan dalam menghadapi lawan dan pengorbanan yang tanpa batas bagi kepentingan rakyat yang menderita PKI telah menanam tradisi pada angkatan-angkatan berikutnya.

Bahwa pemberontakan 12 November gagal menunjukkan bahwa PKI sebagai partai pelopornya rakyat pekerja Indonesia masih belum secara baik mengenal, apalagi menguasai teori revolusioner.

Kelemahan tersebut bersumber pada kelemahan ideologi terutama pada pimpinan PKI ketika itu. Kelemahan ideologi tersebut bersumber dari asal klas burjuis kecil dan kurangnya menguasai Marxisme-Leninisme. Pimpinan PKI tidak berhasil memadukan teori revolusioner dengan praktek konkrit revolusi Indonesia.

Indonesia adalah negeri burjuis kecil, di mana perusahaan –perusahaan pemilik kecil sangat banyak, terutama pertanian perorangan. Dalam masyarakat semacam itu PKI dari sendirinya dilingkungi oleh lautan burjuis kecil dan sebagian besar anggotanya berasal dari situ. Dengan demikian tidak bisa tidak fikiran dan kebiasaan berjuis kecil terbawa masuk dalamtubuh PKI. 9)

Yang tampak menonjol dalam pemberontakan 12 November adalah kenyataan bahwa pimpinan PKI dalam menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih kuat tidak berusaha menggalang front persatuan dengan klas-klas dan golongan-golongan lain yang tertindas oleh imperialisme dan feodalisme, lebih-lebih dengan kaum tani yang merupakan mayoritas mutlak penduduk Indonesia yang paling tertindas dan karena itu menginginkan revolusi.

Dipandang dari kelemahan tersebut, terutama dengan meninggalkan pekerjaan menggalang front persatuan adalah wajar apabila J.W.Stalin (18 Mei 1925) di depan rapat mahasiswa Universitas Rakyat-Rakyat Timur mengkritik PKI a.l. karena PKI “…….terlalu tinggi menilai kemungkinan-kemungkinan revolusioner dari pada gerakan pembebasan dan menialai terlalu rendah pentingnya persekutuan antara klas buruh dengan burjuasi yang revolusioner melawan imperialisme. Kaum komumins di Jawa yang baru-baru ini mengajukan semboyan kekuasaan Sovyet bagi negeri mereka rupa-rupanya dijangkiti oleh kecenderungan ini. Ini adalah kecenderungan ke kiri yang mengancam Partai Komunis terasing dari massa dan mengubahnya menjadi satu ‘sekte’ “.10)

Sekalipun pemberontakan 12 November di bawah pimpinan PKI gagal, Komintern memebrikan penilaian yang tinggi terhadap pemberontakan itu sendiri.

Pada saat meletusnya pemberontakan, ECCI mengeluarkan manifestoo yang a.l. menyatakan solidaritet yang setinggi-tingginya terhadap pemberontakan dan menganjurkan pada rakyat-rakyat tertindas seluruh dunia untuk mendukungnya dengan jalan mengadakan rapat-rapat umum, demonstarsi-demonstrasi di depan kedutaan Belanda dls.

Dijelaskan di dalam manifesto tersebut bahwa pemberontakan di Indonesia itu merupakan barisan depan rakyat tertindas dunia, satu pernyataan kemauan untuk merdeka yang dimiliki juga oleh rakyat tertindas di seluruh dunia.

Manifesto diakhiri dengan kalimat: “Hancurkan terror imperialis. Hidup front persatuan anti-imperialisme dari kaum buruh dan rakyat tertindas seluruh dunia. Hidup rakyat Indonesia yang bebas!”

Juga Partai komunis Belanda (CPN) memperdengarkan suaranya membela PKI dan pemberontakan 12 November. CPN tidak saja mengutuk tindakan sewenang-wenang dari pemerintah kolonial Belanda, tetapi juga menuntut dibebaskannya semua tawanan dan dikembalikan mereka yang dibuang ke Digul. Sikap tersebut memberikan pengertian pada rakyat dan klas pekerjja Indonesia, bahwa ada dua Belanda, yaitu Belanda yang kolonialis dan Belanda yang progresif yang menyokong gerakan kemerdekaan nasional.

—–ooooo0ooooo—–

catatan

1. “Suara Rakyat”, 17 Desember 1924.

2. “Analisa Tentang Klas-Klas Dalam Masyarakat Tiongkok”, Pilihan Karya Mao Zedong, jilid I, hlm. 13-25

3. Pilihan Karya Mao Zedong, jilid I, hlm. 27-75.

4. S.J.Rutgers “Indonesia”, jilid II hlm. 159-160.

5. “Api”, 20 Desember 1924.

6. “Pemberontakan November 1826”, Lembaga Sejarah PKI, Jakarta 1961, hlm. 51-53

7. Ketika itu Tan Malaka sudah mempersiapkan PARI (Partai Republik Indonesia) sebagai tandingan/ganti PKI

8. Laporan pemerintah Hindia Belanda di depan Volksraad bulan Mei 1929.

9. Otokritik Politbiro CC PKI, September 1966.

10. J.V.Stalin “Works”, FLP Moskow 1954, Vol. 7, hlm.154.

Leave a comment