#11 Dalam Prahara Dibutuhkan Jurumudi yang Berani dan Cakap

Sudah dikemukakan di depan bagaimana rakyat menyambut proklamasi kemerdekaan dan sampai di mana rakyat sanggup berkorban untuk membela kemerdekaan tersebut. Juga sudah dikemukakan, bagaimana kaum buruh pada awal revolusi dengan gairah merebut perusahaan –perusahaan milik asing untuk RI dan bagaimana pemuda-pemuda tanpa menghiraukan bahaya menceburkan diri dalam pertempuran sengit melawan musuh yang lebih kuat dan lebih modern persenjataannya.

Sebelum memasuki pimpinan yang bagaimana yang dibutuhkan dalam situasi semacam itu baik kiranya untuk meninjau perkembangan di daerah dan bidang lain.

Seperti sudah dijelaskan di salah satu bab di depan, di pulau Sumatra Sekutu memusatkan perhatiannya di 3 daerah, Medan dan sekitarnya, Padang dan sekitarnya dan palembang dan sekitarnya.

Di Sumatra pendaratan divisi ke-26 Inggris dimulai pada awal Oktober 1945.

Seperti halnya di Jawa tentara Inggris yang didaratkan itu menghadapi kenyataan, bahwa kekuasaan RI sudah berdiri tegak di daerah-daerah tersebut. Di samping itu di daerah-daerah tersebut juga terdapat pasukan-pasukan bersenjata rakyat.

Juga seperti halnya di Jawa tentara Inggris mula-mula tidak menghadapi kesulitan. Tetapi ketika rakyat menyaksikan tentara Belanda di antara mereka kecurigaan segera saja timbul.

Ketika orang-orang NICA mulai mengadakan terror dan menghubungi orang-orang yang pernah setia pada kekuasaan Belanda bentrokan sudah tidak bisa dicegah lagi.

Yang sangat sensitive adalah situasi di Medan dan daerah sekitarnya.

Sejak puluhan tahun daerah ini oleh kaum modal monopoli asing dijadikan daerah perkebunan yang menghasilkan bermacam-macam bahan untuk pasaran dunia. Di sini hidup banyak sekali buruh-buruh kontrak perkebunan yang selamanya menderita penindasan luar biasa dan penghisapan yang kejam.

Tetapi di daerah ini juga terdapatbanyak kaum bangsawan feodal yang menjadi perantara kaum modal monopoli asing dalam mengeksploatasi kaum uruh perkebunan itu. Mereka ini adalah sultan-sultan yang dengan kedudukan mereka tersebut berhasil menimbun kekayaan berkat keringat kaum buruh yang dari pagi buta hingga matahari terbenam bekerja untuk upah yang tidak cukup untuk memenuhi syarat hidup minimum mereka.

Proklamasi kemerdekaan bagi kaum buruh ini adalah aba-aba untuk bangkit serentak membela kemerdekaan. Sebagai lapisan yang paling berat menderita mereka inilah yang paling gairah dalam menghadapi musuh-musuh kemerdekaan. Semua tanah onderneming asing dirampas dan dijadikan sawah dan lading serta perkampungan. Mereka bersedia mengorbankan jiwa dan raga untuk membela hasil kemerdekaan bagi mereka itu. Dan inilah yang menyebabkan kuatnya posisi RI di daerah tersebut.

Tetapi sebaliknya para sultan di Sumatra timur. Mereka merasakan benar-benar dirugikan oleh tindakan itu. Mereka yang semula berjanji setia pada RI di belakang panggung rakyat mereka mencari jalan untuk memukul kembali. Kesempatan ini datang dengan munculnya NICA. Secara sembunyi sultan menjalin hubungan dengan fihak Belanda. Mereka tidak menduga bahwa rakyat punya mata dan telinga di mana-mana. Tindakan mereka akhirnya diketahui juga. Dan apa akibatnya tak sukar diterka. Rakyat tidak melihat jalan lain daripada melikwidasi musuh dalam selimut itu. Dihaului oleh pasukan-pasukan pemuda bersenjata rakyat menyerbu istana para sultan yang reaksioner. Pembunuhan tidak dapat dihindarkan lagi. Hanya seorang sultan yang merupakan perkecualian, sultan Siak yang sejak meletusnya revolusi setia berdiri di belakang Republik Indonesia.

Peristiwa berdarah di Sumatra timur itu berlangsung dalam bulan Februari dan Maret 1946 dan kemudian merembet ke daerah Tapanuli dan Sumatra Barat. Di dua daerah belakangan ini yang terjadi terbatas pada penculikan dan penangkapan pejabat reaksioner.

Tradisi revolusioner rakyat Sumatra timur bersumber pada penindasan luar biasa dari kaum modal monopoli asing yang di daerah ini mempunyai kekuasaan luar biasa besarnya.

Di Sumatra timur terdapat perusahaan tembakau yang terbesar yang berbentuk gabungan dengan nama Deli Planters Vereniging (DPV). Badan ini didirikan pada akhir abad ke-19.

Di daerah ini pernah berlaku apa yang dinamakan koeli-ordonnantie. Menurut peraturan ini (mulai 1880) kaum buruh kontrak yang menolak bekerja atau melarikan diri karena beratnya syarat-syarat kerja dengan bantuan alat-alat kekuasaan pemerintah diseret kembali untuk dijatuhi hukuman berat. Koeli-ordonnan —- menyebabkan matinya 30 orang dari setiap 100 orang buruh perkebunan. Atas perlawanan partai-partai politik Indonesia dan desakan pendapat umum dunia peraturan tersebut dicabut pada tahun 1941.

Sekarang marilah ditinjau bersama apa yang terjadi di pedesaan yang luas dan di mana kaum tani merupakan mayoritas penduduk Indonesia.

Dengan ambruknya kekuasaan fasisme Jepang dan berdirinya RI kaum tanipun membebaskan diri dari berbagai macam penindasan dan penghisapan.

Yang jelas, tidak ada lagi kekuasaan yang memaksa mereka setor padi dan ternak dan mewajibkan mereka menjadi romusya.

Kaum tani serentak menghapuskan pinjaman ijon (pada waktu tanamam masih muda dengan harga yang sangat rendah) atau setidak-tidaknya disesuaikan dengan harga panen. Pohon kelapa dan buah-buahan yang digadaaikan diambil kembali tanpa bayar kerugian atau dengan bayaran yang cukup rendah.

Disebabkan oleh kebangkitan kaum tani, kaum lintah darat dan mindring tidak berani lagi keluar masuk desa untuk menawarkan pinjaman.

Di daerah-daerah tanah partikulir tuantanah dan kakitangannya kabur tidak karuan ke mana perginya karena takut pada rakyat. Alat-alat kekuasaan lama yang merasa pernah berdosa terhadap rakyat lari atau dihakimi oleh rakyat.

Kaum tani dengan berani “mendaulat” lurah atau kepala daerah yang pernah berbuat jahat untuk “dikotak” (dimasukkan dalam tahanan).

Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa pada awal revolusi Agustus ’45 mereka yang pernah berbuat dosa tidak dapat makan enak dan tidur kenyang. Yang mereka lakukan hanya dengan penuh kekuatiran mengelus-elus dada sambil menggumam “keterlaluan”, “kurang ajar”, “kejam”, “melanggar hukum” dsb. Tentu saja mereka lupa akan perbuatan-perbuatan jelek mereka di masa lampau.

Pada awal revolusi Agustus kemenangan yang dicapai kaum tani bisa diringkas sebagai di bawah ini:

Pertama: dalam bidang ekonomi,

1. sistim lintah darat seperti ijon, bunga di luar batas dan gadai gelap sekaligus hapus;

2. tanah bekas onderneming, kehutanan dan bekas tanah militer tetap dijadikan tanah garapan;

3. tanah partikulir kembali ke tangan rakyat;

4. tanah milik feodal di Sumatra timur dan Surakarta berhubungan dengan hapusnya swapraja kembali di tangan rakyat;aturan konvensi di daerah Surakarta dan Yogyakarta dihapuskan;

5. ketentuan mengenai luas areal dan besarnya sewa tanah bagi perusahaan yang dikuasai pemerintah ditetapkan bersama oleh wakil pemerintah, wakil buruh dan wakil tani;

Kedua: dalam bidang politik:

1. Pemerintah desa dilakukan oleh dewan desa (wakil rakyat bersama pamon desa) yang berhak sepenuhnya menentukan pembagian garapan, pengairan dan penggunaan kas des;

2. Pamong desa yang tindakannya merugikan rakyat atau tidak bisa menyesuaikan diri dengan prinsip demokrasi segera diganti;

3. Status swapraja Surakarta dan Sumatra timur dihapuskan dan diganti menjadi karesidenan biasa;

4. Keamanan dan pertahanan desa dikuasi rakyat dalam bentuk badan-badan keamanan dan pertahanan rakyat yang dipilih secara demokratis;

5. Sisa-sisa beban feodal seperti pologoro1), tugur tundan2) dsb. tidak berlaku lagi, demikian juga tradisi feodal seperti sembah jongkok, sebutan ndoro dls.

Beberapa hasil tersebut didapat oleh kaum tani tidak Cuma-Cuma, tetapi lewat perjuangan yang sengit. Karena itu mereka tidak akan melepaskan lagi apa yang dicapai dengan susah payah. Karena itu juga kaum tani rela menyerahkan anak mereka berangkat ke berbagai medan pertempuran untuk menyelamatkan Republik Indonesia yang mereka ikut mendirikan dan memberi kehidupan baru bagi diri mereka.

Di depan sudah cukup banyak diuraikan betapa gairah rakyat Indonesia membela proklamasi, betapa tinggi semangat mereka di medan pertempuran. Ki dalang akan melukiskannya semabag “semangat yang membelah bumi dan memecah langit”.

Sekarang soalnya tinggal pada pimpinan. Dengan semangat rakyat seperti itu pimpinan yang tepat tentu bisa mendapat segalanya. Dengan pimpinan yang tidak tepat yang sudah ditanganpun akan hilang.Marilah kita bersama-sama meninjau pimpinan semacam apa yang memainkan peranan dalam saat yang menentukan nasib revolusi Agustus ’45 itu.

Sudah dikemukakan, bahwa pada 29 Agustus RI telah memiliki parlemen sendiri, yaitu Komite Nasional Pusat (KNIP).

Pada 5 September lahir kabinet pertama yang bersifat presidential. Sementara itu, sesuai dengan putusan Panitia kemerdekaan telah berdiri pula Badan Keamanan Rakyat.

Tentang personalia kabinet sudah sedikit diutarakan dan untuk sementara belum perlu didalami.

Pimpinan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terdiri dari 5 orang.

Ketuanya Kasman Singodimedjo. Salah seorang tokoh Masyumi. Bekas Daidanco.

Wakil ketua I Sutardjo Kartohadikusumo. Lulusan Bestuur School Jakarta (Sekolah Pangrehpraja). Lama menjadi anggota volksraad.

Wakil ketua II Johannes Latuharnary. Pernah menjadi pengacara di malang dan anggota Provinciale Raad Jawa timur (semacam perwakilan daerah dalam jaman kolonial). Salah seorang tokoh PIR (Persatuan Indonesia Raya).

Wakil ke-III Adam Malik. Tokoh Partai Murba.

Komposisi pimpinan badan legislative ini ada baiknya mendapat perhatian. Justru pada saat-saat yang menentukan itu kekuatan kiri tidak terwakili sama sekali.

Pimpinan kekuasaan di daerah oleh pusat diserahkan pada orang-orang yang pernah menjadi alat kekuasaan Hindia Belanda atau dekat dengan kekuasaan tersebut. Cobalah kita pelajari bersama satu demi satunya.

Gubernur Jawa barat adalah Sutardjo Kartohadikusumo yang namanya sudah disebut di depan.

Gubernur Jawa tengah Raden Pandji Suroso. Bekas tokoh partai politik kanan Parindra. Lama menjadi anggota volksraad.

Gubernur Jawa timur Raden Mas Tumenggung Ario Suryo. Seorang tipe pangrehpraja kolonial sampai tulang dan sungsumnya. Pernah menjadi bupati Magetan dalam jaman Belanda dan bupati Bojonegoro dalam jaman Jepang.

Gubernur Sumatra Teuku Moh. Hasan. Bekas tokoh Muhammadiyah Aceh.

Gubernur kalimantan Pangeran Noor. Bekas anggota Volksraad. Anggota dewan partai Masyumi.

Gubernur Sulawesi G.S.S.J. Ratu langi. Bekas anggota volksraad. Sebelum perang dunia ke II memimpin persatuan Minahasa.

Gubernur Maluku J. Latuharhary yang namanya sudah disebut di depan.

Gubernur Sunda kecil I.Gusti Pudja.

Bentuk dan susunan kekuasaan negara baik yang di pusat maupun di daerah dengan uraian di atas – sekalipun serba ringkas – memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa rakyat pekerja Indonesia yang berabad-abad ditindas dan dihisap dan paling mendambakan revolusi sama sekali tidak terwakili.

Juga susunan administrative negeri tidak berobah sama sekali.. Sama dengan di jaman Belanda atau di jaman Jepang. Bentuk-bentuk baru yang dilahirkan oleh revolusi tidak dipupuk dan dikembangkan. Bahkan dalam perkembangan situasi selanjutnya ditentang dan dilenyapkan. Salah satu contoh adalah apa yang sudah dengan singkat di sebut di atas, yaitu munculnya dewan-dewan desa sebagai bentuk kekuasaan yang paling bawah dan diciptakan secara demokratis. Kekuasaan paling bawah ini penting tidak saja karena ia langsung mengurusi penduduk pedesaan yang menduduki posisi penting dalam kehidupan ekonomi Indonesia, tapi di samping modal penting untuk membongkar akar feodalisme juga akan menjadi landasan bagi pendemokrasian seluruh Indonesia.

Sementara itu di pusat (Jakarta) terjadi satu peristiwa yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan politik selanjutnya.

Pada tanggal 16 Oktober dilangsungkan sidang pertama KNIP.

Sudah sejak hari pertama tampak adanya usaha untuk merobah Undang-Undang Dasar Sementara RI. Dan usaha ini berhasil. Dengan demikian lahir putusan:

1. Bahwa Komite Nasional Pusat sebelum terbentuknya majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative (pembuatan undang-undang) dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.

2. Bahwa berhubungan dengan gentingnya keadaan pekerjaan KNIP sehari-hari dijalankan oleh Badan Pekerja yang anggota-anggotanya dipilih oleh KNIP dan bertanggung jawab pada KNIP.

Selama sidang pleno itu Moh. Hatta selalu hadir. Putusan-putusan tersebut oleh KNIP terus diajukan kepada Moh.Hatta sebagai wakil presiden dan pada saat itu pula ia menyetujuinya.

Soal penting lainnya dari sidang itu adalah diajukannya dengan keras usul agar pimpinan dirombak dan sebagai calon ketua diajukan nama Sutan Syahrir. Usul ini yang datang dari fihak pemuda tidak ada yang berani menolak. Yang bersangkutan sendiri pada waktu itu tidak hadir.

Karena sudah di-stel lebih dulu tiga orang berangkat ke rumah Syahrir. Mereka adala Sukarni (Murba), Subadio Sastrosatomo (Sosialis kanan) dan Ny. Mangunsarkoro (nasionalis, simpatisan Tan Malaka).

Syahrir sudah barang tentu tidak menolak. Hal ini sudah dirundingkan bersama antara Sutan Syahrir dengan Tan Malaka. Di bawah ini akan diberikan uraiannya.

Syahrir pada saat kemerdekaan diproklamasikan tidak secara terus terang memberikan dukungannya kepada Sukarno (dan Hatta). Ia tetap tinggal di belakang layar dan melihat situasi. Ia belum yakin bahwa teks proklamasi akan bisa menggerakkan rakyat. Ia pun berkeyakainan bahwa ada kemungkinan Sekutu akan menganggap kedua tokoh itu sebagai kolaborator Jepang dan karena itu tidak akan mendapat ampun dan bahkan mungkin akan diseret ke depan tribunal militer. Tetapi sesudah mengadakan perjalanan keliling pulau Jawa menyadari betapa besar pengaruh proklamasi kemerdekaan 17 Agustus pada seluruh lapisan rakyat. Ia berputar haluan dan mulai menempuh jalan yang dianggapnya paling baik ke arah mahligai kekuasaan. Di sinilah ia bertemu dengan Tan Malaka.

Tan Malaka merasa telah berjasa pada rakyat Indonesia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena itu ia merasa sewajarnya ia memberikan pimpinan pada revolusi Indonesia dan menduduki tempat yang tertinggi. Tapi hal ini ia terhalang oleh Sukarno yang telah meduduki posisi yang ia inginkan. Mulailah isu penjahat perang dan bahwa Sekutu akan menyeret kolaborator  kaum fasis  ke depan pengadilan militer. Diisukan bahwa Sukarno dan Hatta termasuk golongan itu.

Desas desus ini semakin lama semakin luas dan di sana-sini menimbulkan suasana kekuatiran siapa yang akan meneruskan pimpinan revolusi jika Sukarno (dan Hatta) betul-betul akan ditangkap oleh Sekutu.

Ada baiknya untuk diketahui, bahwa selesai rapat samudra di lapangan Ikada pada 19 September diadakan pertemuan antara Sukarno, Hatta dan Subardjo di rumah yang disebut terbelakang. Dalam pertemuan ini mulai disinggung isu Tan Malaka mengenai penjahat perang. Pertemuan ini disusul oleh pertemuan kedua pada tanggal 23 September, di mana selain ketiga orang tersebut hadir juga Tan Malaka. Dua hari kemudian Sukarno baru menyatakan pada Hatta bahwa ia terlanjur berjanji secara lisan agar Tan Malaka mengganti kedudukan kepala negara jika mereka berdua dibekuk oleh Sekutu. Hatta mengajukan alternatif lain. Jika memang sudah begitu jauh (mereka berdua dibekuk Sekutu) sebaiknya pimpinan negara diserahkan pada suatu kolektif yang terdiri dari berbagai unsur. Mereka berdua lalu menyetujui komposisi berikut: Tan malaka yang disebut sebagai unsur radikal, Sutan Syahrir unsur setengah radikal, Sukiman unsur agama Islam dan Wongsonegoro unsur konservatif.

Dalam suatu pertemuan Iwa Kusuma Sumantri mendesak supaya Sukiman diganti olehnya dengan alasan karena ia tokh juga tokoh Masyumi. 3)

Demikianlah lahir apa yang sering disebut testamen Sukarno-Hatta. Lengkapnya putusan itu sebagai berikut: 4)

Amanat Kami

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu, yalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Setelah kami menyatakan kemerdekaan Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agustus 1945 bersandar apada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat untuk mendirikan negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Maka negara Indonesia menghadapi bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat yang bersatupadu serta gagah berani di bawah pimpinan yang cerdik, pandai, cakap dan tegap.

Sedangkan sejarah dunia membuktikan pula, bahwa penglaksanaan cita-cita kemerdekaan itu tergantung pada kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apapun juga, seperti sudah dibuktikan oleh negara atau bangsa-bangsa besar Amerika Utara dan Selatan, di eropa Barat, di Rusia, Turki dan Tiongkok. Syahdan datanglah saatnya buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakyat sendiri.

Perjuangan rakyat kita seterusnya menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia seperti yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita.

Bahwasanya setelah kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta bertanggungjawab.

Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perjuangan kemerdekaan kita diteruskan oleh saudara-saudara: Tan malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Syahrir, Wongsonegoro.

Hidup republik Indonesia!

Hidup Bangsa Indonesia !

Merdeka !

Jakarta, 1 Oktober 1945

Kami

Sukarno

Moh. Hatta

Dijalin oleh kepentingan yang sama, yaitu menduduki posisi terpenting dalam kekuasaan negara pada awal Oktobber Syahrir dengan beberapa pemuda dari menteng 31 datang di kediaman Tan Malaka di Bogor untuk mengadakan perundingan.

Mula-mula diadakan pertemuan bersama. Kemudian Tan Malaka berunding sendiri dengan Syahrir. 5)

Dalam pertemuan di Bogor ini saling bantu antara kedua pimpinan ini lebih dikonkritkan. Syahrir mendukung keinginan Tan Malaka untuk mengganti Sukarno, sedangkan Tan Malaka menyetujui Syahrir menjadi perdana menteri.

Jalan Syahrir ke arah kekuasaan diatur lewat amandemen Undang-Undang Dasar Sementara RI. Seperti sudah dikemukakan di depan pada hakekatnya KNIP dan Badan Pekerja KNIP hasil amandemen tadi mengganti kedudukan MPR sebagai instansi tertinggi RI.

Perobahan ini adalah hasil kerja sama antara golongan Syahrir dan Tan Malaka. Juga dipilihnya Syahrir menjadi ketua badan tersebut dan kemudian pengangkatannya sebagai perdana menteri adalah hasil dari kerjasama tersebut. Dan itu semua merupakan pelaksanaan dari perundingan Tan Malaka-Syahrir di Bogor.

Sukarno sendiri lebih condong mendukung Syahrir karena dengan adanya parlemen yang mempunyai hak legislative dan kemudian dibentuknya kabinet parlementer memberikan wajah demokratis pada Republik Indonesia. Sukarno juga berpendapat bahwa dengan demikian untuk dicap sebagai kolaborator menjadi berkurang.

Pada tanggal 14 November presiden Sukarno mengangkat Syahrir sebagai perdana menteri. Maka lahirlah kabinet pertama RI yang sifatnya parlementer.Susuannya sebagai berikut:

Perdana menteri Sutan Sjahrir

Menteri luar negeri Sutan Sjahrir

Menteri dalam negeri Sutan Sjahrir

Menteri penerangan Amir Sjarifuddin

Menteri keamanan Amir Sjarifuddin

Menteri keuangan Sunarjo Kolopaking

Menteri perhubungan Abdul karim

Menteri kesehatan Darma Setiawan

Menteri sosial Adjidarmo

Menteri kehakiman Suwandi

Menteri P dan K T.G.S.Mulia

Menteri pekerjaan umum Darmawan Mangunkususmo

Menteri agama H.Rasjidi

Pada akhir bulan Oktober 1945 Sutan Sjahrir menerbitkan sebuah brosur yang berjudul Perjuangan Kita. Brosur ini pada awal tahun 1946 diterbitkan oleh penerbit Vrij Nedeland (Amsterdam) di bawah tanggungjawab Perhimpunan Indonesia dalam bahasa Belanda dengan judul Onze Strijd.

Brosur ini tidak tebal. Hanya 26 halaman. Tapi, jika kita mau berbicara tentang garis politik, di dalam brosur inilah tampak dengan jelas garis politik Sjahrir. Dan garis ini yang dilaksanakan Sjahrir sejak ia memegang kekuasaan pada awal revolusi Agustus, saat yang begitu menentukan.

Dalam brosurnya itu Sjahrir berbicara tentang situasi sesudah perang duania ke-II, posisi Indonesia dalam situasi tersebut, pengertian tentang revolusi demokrasi, revolusi nasional, hubungan antara revolusi dan pembersihan, hubungan revolusi dan partai, isi kemerdekaan, kaum buruh, kaum tani, pemuda dls.

Menurut pandangan Sjahrir Indonesia terletak dalam lingkungan pengaruh imperialisme dan juga dilingkungi oleh AS dan Inggris yang imperialis dan kapitalis. Karena itu, demikian Sjahrir, bagaimanapun kita memeras keringat, kekuatan kita tidak akan cukup besar untuk menghancurkan dunia itu dan mencapai kemenangan penuh. 6)

Fikiran ini adalah fikiran yang subyektif. Sjahrir terlalu melebih-lebihkan kekuatan lawan dan meremehkan kekuatan rakyatnya sendiri yang haus akan kemerdekaan dan untuk itu sanggup mengorbankan segala-galanya seperti sudah dikemukakan di depan.

Marilah kita ambil satu contoh saja, revolusi Oktober 1917 di Rusia. Bukan dimaksudkan di sini membanding revolusi Agustus 1945 di Indonesia dengan revolusi Oktober 1917. Tidak mungkin  membandingkan revolusi yang satu dengan yang lain, karena jamannya berbeda dan wataknyapun berbeda. Yang perlu diperhataikan yalah: rakyat Rusia di bawah garis politik yang tepat dan pimpinan yang tepat berani dan sanggup mengorbankan segala-galanya untuk mencapai cita-citanya. Dan akhirnya memang cita-cita itu tercapai. Pada hal pada waktu itu Inggris dikenal dunia sebagai negeri yang menguasai gelombang samudra, “Britain rules the waves”. Amerika Serikatpun tidak kalah kuatnya. Bahkan kedua raksasa itu, bersama dengan banyak negeri lainnya secara aktif membantu menghancurkan revolusi Oktober.

Dalam brosurnya, Sjahrir mengatakan: “Selama kita hidup dalam dunia kapitalis, kita terpaksa senantiasa berjaga-jaga untuk tidak sampai bermusuhan dengan dunia yang kapitalis itu” (Zolang wij leven in een kapitalistische wereld, zijn wij gedwongen ervoor tewaken, dat wij niet in vijandschap met die kapitalistische wereld geraken.”) 7)

Dengan logika semacam ini siapa jadinya musuh-musuh yang paling berbahaya dari revolusi Indonesia?

Berabad-abad lamanya rakyat Indonesia ditindas dan hisap oleh dunia kapitalis. Jika tidak memusuhi dan melawan, dan akhirnya mengenyahkan dunia kaptilais itu dari Indonesia, bagaimana bisa terlepas dari penjajahan dan penghisapan?

Adalah suatu yang ganjil apabila musuh-musuh rakyat Indonesia yang kepentingannya diametral bertentangan dengan kepentingan pokok rakyat Indonesia – jadi juga revolusi Indonesia – mesti dielus-elus agar tidak memusuhinya.

Seperti sudah sejak semula dikemukakan di depan, revolusi nyatanya tidak dapat dilakukan dengan lemah lembut, tenang tentram, sopan santun, ramah tamah, baik budi, hormat takzim, menahan diri dan murah hati.

Revolusi adalah satu pemberontakan, adalah tindakan kekerasan dari satu klas untuk menggulingkan klas yang lain. 8)

Dengan garis politik semacam itu Sjahrir sejak awal revolusi Agustus menabur benih keragu-raguan di kalangan massa rakyat.

Tiga kali berturut-turut sejak pertengahan November 1945 hingga awal Juli 1947 Sutan Sjahrir memimpin pemerintahan RI. Dan selama periode itu banyak kerugian yang harus diderita. Sifat ofensif yang merupakan salah satu faktor terpenting untuk membawa maju revolusi lambat laun beralih ke sifat defensif yang fatal.

Di samping lemah lembut terhadap musuh-musuh revolusi dari luar ke dalam Sjahrir secara keras melontarkan cuci makian terutama terhadap pemuda-pemuda bersenjata dengan istilah “keterlaluan”, “kejam”, “fasistis”, “rasialis” dls. Sjahrir bahkan menamakan élan revolusioner pada saat permulaan revolusi itu sebagai “waardeloos of zelfs reactionair, zaoals elke fasistische daad  reactionair is” 9) (“tidak berharga atau bahkan reaksioner, seperti halnya perbuatan fasis adalah reaksioner.”)

Cobalah diperiksa sampai dimana Sutan Sjahrir mengikuti apa yang sesungguhnya terjadi pada saat permulaan revolusi Agustus, pada saat ia mempersiapkan tulisannya.

Sebelum tentara Inggris dan NICA mendarat, di wilayah RI tidak terjadi apa-apa. Keadaan cukup aman dan tenteram.

Ketika pada 18 Oktober dua batalyon tentara Inggris (pasukan Gurkha) bergerak dari Tanjungpriuk ke Bogor dan terus ke Bandung untuk menduduki dua kota tersebut rakyat tenang-tenang saja karena pasukan tersebut tidak berbuat jahat.

Keadaan baru menajadi kacau ketika  tentara asing tersebut mulai melakukan provokasi dan mengadakan terror terhadap rakyat.

Keadaan di bandung utara juga tenang-tenang saja karena mula-mula tentara Inggris tidak berbuat jahat terhadap penduduk. Tetapi begitu mereka memerintahkan rakyat untuk meninggalkan kampung halaman mulailah timbul ketegangan dan kemudian perkelahian mati-matian.

Pertempuran dahsyat di Surabaya pada akhir Ontober dan awal November juga disebabkan oleh akrena  tentara Inggris lebih dahulu mengadakan provokasi.

Jadi kekejaman dan sifat keterlaluan tidak dimulai oleh rakyat, melainkan oleh mereka yang memusuhi rakyat.

Mengenai pemuda, seperti sudah disinggung di depan, Sjahrir lebih jelas lagi mengemukakan, bahwa mereka  ini  menjiplak  cara  bertindak Jepang dan bahkan juga cara berfikir mereka. Maka

itu, demikian Sjahrir, mereka  pemuda-pemuda Indonesia membenci bangsa asing yang oleh Jepang dianggap musuh: Sekutu, Belanda, Indo Belanda, Ambon dan Menado, Tionghwa dls.

Coba kita pelajari bersama apa yang sesungguhnya telah terjadi. Ketika fihak Belanda membentuk kembali tentaranya (KNIL), tentara ini terdiri dari berbagai sukubangsa Indonesia. Di Jakarta misalnya pasukan-pasukan KNIL yang terdiri dari sukubangsa Minahasa dan Ambon bertempur melawan pasukan bersenjata rakyat. Di kalangan pasukan bersenjata rakyat ini, terutama di kalangan pemudanya, terdapat tidak sedikit putra-putra Minahasa dan Ambon pula. Dalam periode perjuangan bersenjata melawan Inggris dan Belanda di dalam daerah RI terdapat organisasi pemuda bersenjata seperti KRIS (Kebatian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan PIM (Pemuda Indonesia Maluku). Di semua medan pertempuran anggota-anggota kedua organisasi tersebut berjuanag bahu-membahu dengan pemuda-pemuda  dari berbagai sukubangsa lainnya.

Sesungguhnya, dalam situasi semacam itu, dalam pertempuran antara yang hendak menjajah kembali dan yang hendak dijajah kembali, soalny bukan lagi antara suku bangsa yang satu dengan yang lain, akan tetapi antara penajah dan yang dijajah.

Bahwa pemuda Indonesia pada awal revolusi Agustus tidak sekejam  dan fasistis seperti disebut Sjahrir bisa dikemukakan satu contoh sebagai berikut.

Pada tanggal 8 Oktober (tentara Inggris baru mendarat di semarang pada 19 Oktober) 3 orang tawanan Belanda di Ambarawa, di antaranya seorang tokoh terkenal D.M.G. Koch diangkut ke Semarang untuk seterusnya diterbangkan ke Bandung.

D.M.G.Koch mengenai perjalannya itu menulis antara lain sebagai berikut. Perjalanan Ambarawa Semarang ditempuh dengan mobil. Dalam perjalanan, di sana-sini terdapat penjagaan fihak Indonesia. Mobil harus berhenti di situ. Surat jalan diperiksa. Ternyata tidak mendapat kesukaran sedikitpun. Mobil meneruskan perjalanan dengan aman. Sore hari dari Semarang dengan pesawat udara ke Bandung. Begitu mendarat di bandung pesawat segera dikelilingi oleh satu pasukan rakyat dengan senjata golok, tombak, bamboo runcing dsb. 10) demikian a.l. apa yang dikemukakan D.M.G Koch tiba sesudah terjadi kericuhan antara tentara Inggris dan rakyat sudah bisa dipastikan, bahwa perjalanan Ambarawa Bandung tidak akan selancar seperti tertulis dalam bukunya.

Jika dikemukakan secara ringkas, brosur Sjahrir “Onze Strijd” menunjukkan, bahwa pengarangnya orang yang asing dalam masyarakat sendiri. Ia mengenal rakyat hanya dari buku dan pembicaraan, karena itu tidak akan mengerti bagaimana fikiran dan perasaan rakyat, apalagi penderitaan dan keluhannya.

Kesan tersebut akan muncul juga, jika kita mempelajari karya lain Sjahrir yang berjudul “Indonesische Overpeinzingen” (“Renungan Indonesia”) yang memuat kenang-kenangannya antara 1934 dan 1938. 11)

Bahwa Sjahrir pada awal revolusi Indonesia mendapat kepercayaan, itu antara lain disebabkan karena ia pernah berjuang untuk kemerdekaan dan pernah dibuang Belanda. Apalagi ketika ia pada bulan November 1945 mendirikan suatu partai yang menggunakan namasosialis, istilah yang menarik seperti magnit.

Populeritas Sjahrir juga disebabkan karena banyak kader yang dididiknya dalam jaman Jepang menduduki tempat penting dalam berbagai organisasi pada awal revolusi itu.

Dalam organisasi Pemuda Sosilais Indonesia (Pesindo) misalnya, sebagian besar dari dewan pimpinan pusatnya terdiri dari kader-kader didikan Sjahrir. Juga dalam berbagai organisasi massa lainnya seperti Barisan Tani Indonesia dll. terdapat hal yang sama.

Mengenai kemunculan Sjahrir dalam arena  politik pada awal revolusi Agustus sudah dikemukakan di depan. Perlu kiranya disebut pula di sini, bahwa dalam kemunculan itu Hatta sebagai wakil presiden juga memegang peranan penting. Ia yang segera memberi dukungan dan kemudian mensahkan putusan-putusan dari sidang KNIP yang mengadakan perobahan-perobahan besar dan menampilkan Sutan Sjahrir ke depan.

Tindakan Hatta itu mudah dimengerti karena sejak bersama-sama memimpin PNI Hatta dan Sjahrir tidak banyak berbeda dalam pandangan politik. Kesamaan dalam hal ini bisa dilihat dari manifesto politik yang dikeluarkan Hatta pada 1 November 1945. Dalam sejarah revolusi Indonesia manifes ini disebut “Manifestoo Satu November Hatta”.

Di dalam manifesnya Hatta mengatakan antara lain sebagai berikut:

“Kita mengetahui, bahwa kedudukan negeri kita meletakkan satu tanggungjawab yang besar di bahu kita terhadap keluarga dunia. Kita tidak membenci bangsa asing, juga tidak membenci bangsa Belanda, apalagi orang Indo, Ambon atau menado yang sebenarnya bangsa kita juga. Malahan kita mengetahui dan mengerti benar bahwa untuk keperluan negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahun yang akan datangini, kita akan memerlukan pertolongan bangsa asing di dalam pembangunan negeri kita berupa kaum teknik, dan kaum terpelajar, pun juga kaptal asing.

“Di dalam memenuhi keperluan itu kita tidak akan menghindarkan kenyataan bahwa orang yang berbahasa Belanda yaitu orang Belanda, mungkin akan lebih banyak dipergunakan oleh akrena mereka telah ada di sini dan lebi biasa akan keadaan di sini. Sehingga penglaksanaan kemerdekaan kita itu belum berarti kerugian besar untuk fihak Belanda. Jika diukur dengan orang atau jiwa, akan tetapi tentu sekali berarti perobahan yang sebesar-besarnya di dalam kedudukan politiknya.

“Kita yakin bahwa tanah kita yang kaya-raya ini jika diusahakan dengan sesungguhnya untuk meninggikan derajat penghidupan bangsa kita serta dunia umumnya akan masih banyak benar memberi ruangan untuk tenaga dari seluruh dunia, terutama dari Amerika Serikat, Australia dan Filipina, untuk turut dalam pembangunan negara dan bangsa kita…………..

“Dengan pengakuan kemerdekaan kita, kita akan menanggung segala yang patut kita tanggung menurut kedudukan kita. Segala hutang Hindia Belanda sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita, kita akui sebagai hutang kita.

“Segala milik bangsa asing selain daripada yang diperlukan oleh negara kita untuk diusahakan oleh negara sendiri, dikembalikan pada yang berhak, serta yang diambil oleh negara akan dibayar kerugiannya dengan seadil-adilnya.” 12)

Sutan Sjahrir dan Moh. Hatta menggunakan kata-kata yang berbeda dalam tulisan mereka. Tetapi nada dan isinya setali tiga uang.

Garis politik dan pimpinan semacam inilah yang lambat laun membawa revolusi Agustus 1945 ke arah kegagalannya. Sesungguhnya, dalam prahara dibutuhkan juru mudi yang berani dan cakap. Dan ini yang absen.

—–ooooo0ooooo—–

catatan

1. Bentuk pajak untuk keperluan pamong desa, a.l. meyerahkan sebagian hasil penjualan rumah, ternak dls.

2. Kewajiban menjaga di rumah lurah untuk meneruskan perintah pada penduduk atau laporan ke atasan.

3. Dr. Z. Yasni “Bung Hatta menjawab”, hlm. 17-18

4. Dr.A.H.Nasution “Sekitar perang kemerdekaan Indonesia” jilid 2, hlm. 102-103

5. “Sekitar Proklamasi 17 Agustus”. Hlm. 175. Juga dikemukakan dalam “Sekitar perang kemerdekaan” hlm. 105-106 yang mengutip karangan Adam Malik. Ada baiknya juga membaca “Nasionalism and revolution in Indonesia”, hlm. 147-151 dan 167-169.

6. “Onze Strijd” hlm. 19

7. “Onze Strijd” hlm. 25

8. Pilihan karya mao Zedong, jilid I hlm.34

9. “Onze Strijd” hlm. 12-13

10. D.M.G.Koch “verantwoording”, hlm. 146-147

11. Penerbitan “De Bezige Bij”, Amsterdam 1946

12. Dr.A.H.Nasution “Sekita perang kemerdekaan Indonesia”,jilid II, hlm. 123-124.

Leave a comment