#1 Sketsa Indonesia Sebelum Abad ke XX

Indonesia adalah negeri kepulauan. Lebih dari tiga ribu pulau berjejer dari barat sampai ke timur . Jarak antara ujung barat dan ujung timur sama dengan jarak antara pantai barat dan pantai timur Amerika Serikat, atau antara Inggris dan Kaukasia. Negeri kepulauan ini demikian indahnya, sehingga Multatuli1) menyebutnya laksana untaian jamrud yang melingkari khatulistiwa.

Luas daratannya hampir dua juta kilometer persegi. Bisa disamakan dengan 57 kali negeri Belanda, atau 5 kali negeri Jepang, atau 3 ½ kali negeri Perancis.

Lima pulau terbesar adalah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Barat. Kelima-limanya itu juga sering disebut sebagai Kepulauan Sunda Besar.

Tiga lautan besar mengelilingi negeri ini, Samudera Pasifik, Samudera India dan Lautan Tiongkok Selatan. Indonesia adalah matarantai yang menghubungkan benua Australia dengan benua Asia. Dipandang dari segi geografi ini saja Indonesia merupakan daerah yang sangat penting dalam lalu lintas dunia.

Sebagai negeri tropik Indonesia mempunyai dua musim, musim hujan dan musim kemarau. Yang pertama berlangsung antara September dan Maret. Yang kedua dari bulan Maret sampai bulan September.

Curah hujan tidak merata. Kalimantan mempunyai curah hujan yang tertinggi, rata-rata 130 inci (1 inci = 2,54 cm) setahunnya. Tetapi satu kenyataan adalah bahwa sepanjang tahun seluruh Indonesia tetap hijau.

Suhunya juga lumayan, rata-rata 26 derajad celcius. Suhu Jakarta rata-rata 26,4 derajat, Bandung 22,6, Semarang 26,9, sedangkan Ambon, hampir di ujung timur rata-rata 27,2 derajat.

Negeri kepulauan ini sangat subur. Sejak dahulu kala perladangan dan persawahan dikenal dan maju. Pulau Bali terkenal dengan sistim pengairan sejak berabad-abad. Di dalam bumi Indonesia terdapat berbagai macam bahan pelikan. Dari timah sampai emas, dari mangaan sampai arang batu, dari bauksit sampai minyak tanah dan gas alam. Pada waktu yang akan datang pasti akan diketemukan berbagai macam bahan pelikan lainnya lagi yang sangat berharga.

Semestinya kekayaan alam yang melimpah ruah itu membuat rakyat makmur dan berbahagia. Tapi sampai hari ini sebaliknya yang terjadi. Rakyat Indonesia papa dan sengsara di tengah-tengah kekayaan yang tak ada taranya itu.

Pada tahun 1955 jumlah penduduk Indonesia 84 juta. Pada tahun 1961 jumlah tersebut meningkat menjadi 86 juta, pada tahun 1966 menjadi 110 juta, pada tahun 1971 menjadi 119 juta dan pada tahun 1981 sudah sekitar 150 juta. Hampir dua pertiga jumlah tersebut hidup di pulau Jawa.

Nasion Indonesia terdiri dari banyak sukubangsa, mulai yang berjumlah puluhan juta sampai yang hanya beberapa ribu.

Sukubangsa Jawa adalah sukubangsa yang terbesar (45%)  disusul oleh sukubangsa Sunda (14%), Madura (8%), Makasar/Bugis (4%), Minangkabau (3%), Bali (2%), Batak (2%), Aceh (1%). Selain itu masih terdapat banyak lagi. Jumlah seluruhnya lebih dari 100. Di antaranya adalah sukubangsa Nias, Enggano, Rejang-Lampung, Badui (bagian selatan karesidenan Banten), Dayak, Toraja, Sadang (Sulawesi Tengah), Minahasa, Loinang (Sulawesi tengah-timur), Morilaki (Sulawesi tenggara), Ambon, Sasak (Lombok), Manggarai, Sika dan Larantuka (Nusa tenggara bagian timur, Antoni dan Kupang di pulau Timor 2).

Dari adanya lebih dari 100 sukubangsa, mudah difahami, bahwa di Indonesia terdapat banyak macam bahasa. Tetapi sejak perkembangannya gerakan kemerdekaan ke seluruh wilayah Indonesia lahirlah bahasa yang diakui oleh semua sukubangsa sebagai bahasa nasional. Bahasa itu adalah bahasa Indonesia yang sekarang ini.Jadi, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sangat muda.

Tingkat kebudayaan dari berbagai sukubangsa tersebut tidak sama. Tetapi semuanya mempunyai sejarah yang lama. Di samping sukubangsa-sukubangsa tersebut masih terdapat golongan minoritet keturunan asing, seperti Tionghwa, Arab dan Eropa. Masing-masing mempunyai bahasa dan kebudayaan sendiri. Tetapi mereka mengakui bahasa dan kebudayaan Indonesia juga sebagai milik sendiri.

Jauh sebelum datangnya kaum kolonialis barat ke Indonesia, rakyat negeri kepulauan ini sudah mempunyai peradaban yang tinggi. Indonesia pernah memiliki sarjana, ahli negara, ahli militer dan seniman yang jasa-jasanya disanjung dalam karya-karya besar.

Salah satu karya sastra tertua yang terkenal, yaitu “Arjuna Wiwaha”, dicipta oleh pujangga Kanwa yang hidup dalam kraton raja Erlangga yang menamakan dirinya Raja Kediri dan dinobatkan pada tahun 1010. “Arjuna Wiwaha” menceriterakan kepahlawanan Arjuna untuk memperoleh Dewi Supraba sebagai istrinya. Karya ini disusun dalam bentuk syair yang begitu tinggi nilainya, sehingga oleh para ahli ditarik kesimpulan, bahwa sebelum “Arjuna Wiwaha” itu pasti ada karya-karya besar lainnya yang belum bisa diketemukan.

Pada waktu berkuasanya raja Jayawarsa (1104) hidup pujangga Triguna yang menurut perkiraan mencipta “Sumanasantaka” dan “Krisynayana”.

Dalam jaman pemerintahan raja Kamesywara I (terdapat inskripsi-inskripsi dari padanya pada tahun 116, 1129 eqn 1130) empu Darmaja mencipta “Smaradhana”, mengenai pembakaran Dewa Cinta (yang dimaksud adalah Kamesywara I).

Dalam jamannya raja Jayabaya yang terkenal dan hidup se tidak-tidaknya antara 1135-1157 (kratonnya di Mamenang, sekarang Gurah, l.k. 10 km tenggara kota Kediri) kesusteraan Jawa kuno mencapai puncaknya. Ketika itu hidup empu Sedan dan empu Panuluh yang bersama-sama merangkum Bharatayuda, selain dari sebagian Mahabharata yang aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta. Salinan tersebut disusun demikian macam, sehingga peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam Bharatayuda seperti berlangsung di pulau Jawa dan bahwa para pahlawannya mempunyai punakawan. Hal itu membuktikan, bahwa watak Jawa secara kuat menonjol dan akhirnya bahkan mendominasi pengaruh Hindu yang datang dari India.

Jaman moncernya kerajaan Singosari yang dimulai dengan munculnya Ken Arok (1220-1227) meninggalkan warisan karya besar “Pararaton”.

Dalam jaman Mojopahit, pada waktu berkuasanya Hayam Wuruk, seorang pujangga besar Prapanca menulis “Nagarakretagama”. Karya ini memberikan bahan penting untuk mengenal Mojopahit, penguasa-penguasanya, susunan pemerintahannya, adat istiadat dls.

Jauh sebelum datangnya kaum kolonialis barat Indonesia telah mengadakan perdagangan dan menjalin hubungan yang baik dengan luar negeri.

Dalam jamannya raja Kamesywara I saudagar-saudagar Jawan berlayar mengarungi Samudera India menuju pelabuhan Sofala di pantai Afrika timur yang berhadap-hadapan dengan pulau Madagaskar. Di tempat ini mereka membeli emas, amber, besi dan logam-logam lainnya untuk pembikinan keris dls.

Dengan kerajaan Tiongkok terjalin hubungan antar kerajaan. Lalulintas antara kedua negeri cukup ramai. Seorang pendeta Budha berkebangsaan Tionghwa Fa Hien memberikan laporan yang jelas mengenai hal tersebut. Sesudah mengadakan perjalanan ke berbagai tempat suci di India pada tahun 414 Fa hien kembali ke negerinya lewat Indonesia. Ia antara lain menjelaskan, bahwa dalam perjalanan ia harus singgah di Jawa Barat. Di sini ia lalu pindah kapal yang menuju Kanton. Dalam kapal tersebut 200 saudagar dari India. Catatan Fa Hien ini membuktikan setidak-tidaknya adanya lalulintas perdagangan antara Indonesia dengan India dan antara Indonesia dengan Tiongkok. Bahwa kapal yang membawa Fahien bisa memuat sekian banyak penumpang menunjukkan, bahwa kapal dagang Indonesia pada waktu itu sudah cukup besar ukurannya 3).

Laporan Marco Polo dari Venesia (1254-1324) yang pernah tinggal di istana kaisar Kublai  melaporkan, bahwa kapal dagang Tiongkok berlayar ke Indonesia membawa batu permata, emas, perak, beludru biru, porselin dls. Kembalinya kapal tersebut membawa beras, rempah-rempah, berbagai bahan tenun, belirang, tanduk badak, berbagai jenis kayu, hasil kerajinan tangan dari emas, perak, tembaga dls. Pelabuhan terkenal yang disebut-sebut adalah antaranya Tuban, Sedayu lama dan Canggu.

Dalam tahun-tahun 1370, 1372,1375,1377, 1379, 1380, 1382 Mojopahit kirim utusan ke tiongkok membawa suvenir dan surat. Surat tahun 1370 bahkan ditulis di lembaran emas. Sebaliknya kerajaan Tiongkok juga berbuat demikian terhadap kerjaan Mojopahit 4).

Selain dengan Tiongkok Mojopahit mempunyai hubungan dengan kerajaan Kamboja, Annam, Campa dan Siam.

Betapa tinggi arsitektur Indonesia pada jaman itu dapat dibuktikan dari adanya peninggalan-peninggalan seperti candi Borobudur, Prambanan, Panataran dls. Hal ini membuktikan pula betapa tinggi kecerdasan rakyat Indonesia jauh sebelum datangnya kolonialis barat di kepulauan Indonesia.

Barang dagangan yang dijual ke luar negeri oleh negeri-negeri yang bersangkutan dijual lagi ke negeri-negeri lain dengan laba yang tinggi. Demikianlah antaranya rempah-rempah Indonesia lewat Asia tengah melalui Istambul diangkut ke Eropa. Di benua ini harga rempah-rempah sudah melambung setinggi langit.

Perkembangan ekonomi Eropa pada akhir abad ke-15 mendorong berbagai negeri untuk mencari sumber-sumber kekayaan baru. Mulailah terjadi perlombaan menemukan pulau rempah-rempah. Pelaut-pelaut disewa dan dikerahkan untuk mengarungi samudera raya. Siapa menemukan pulau rempah-rempah akan diberi hadiah besar dan kehormatan tinggi.

Vasco de Gama dari Portugal berhasil mecapai Tanjung Harapan, ujung selatan benua Afrika. Dari sini terus berlayar ke timur laut dan mencapai pantai barat India. Penemuan Vasco de Gama ini menimbulkan “demam emas” di seluruh Eropa barat. Pelaut-pelaut dan petualang lain mengikuti jejak kakinya.

Magelhan mengelilingi dunia antara 1519-1521. Untuk pertama kalinya ia membongkar muatan rempah-rempah di Eropa. Hasil bumi itu harga penjualannya 2.500 kali harga pembelian 5). Air liur si pedagang besar Eropa sudah tidak bisa ditahan lagi. Pulau rempah-rempah harus didatangi dan dikuasai. Menguasainya berarti mandi kemewahan.

Pada 22 Juni 1596 empat kapal dagang Belanda membongkar sauhnya di pelabuhan Banten. Perdagangan Indonesia – Belanda mulai dijalin. Ketika kembali kapal-kapal itu memuat rempah-rempah yang begitu diidam-idamkan. Keuntungan besar pertama mulai masuk.

Untuk lebih menjamin mengalirnya kekayaan pada tahun 1602 didirikan perseroan dagang. Namanya Verenigde Oostindische Compagnie, disingkat VOC. Di Indonesia terkenal sebagai Kompeni. Langkah yang segera diambil VOC adalah mengangkat seorang gubernur jenderal. Tugasnya adalah untuk memperkuat kedudukan VOC dan mengkordinasi perdagangan di Indonesia. Dalam menjalankan tugas itu gubernur jenderal didampingi oleh 5 orang yang merupakan dewan.

Tindakan semacam itu dipandang perlu karena dinegeri baru itu Belanda menghadapi persaingan tajam, antaranya orang portugis yang datang lebih dahulu.

Belanda menjalankan politik memecah belah kerajaan yang satu dengan yang lain. Dengan cara demikian dan dengan menggunakan kekerasan senjata mereka lambat laun berhasil memperkuat kedudukan mereka. Di mana mereka menginjakkan kaki di situ mereka harus dianggap sebagai penguasa baru dan penduduk harus mentaati perintahnya.

Ketika penduduk Maluku menanam lebih banyak pohon cengkeh yang ditetapkan dan menjual hasilnya pada saudagar Eropa lainnya Belanda datang merusak tanaman itu. Penduduk kemudian dihukum secara kejam. Dengan cara itu penduduk pulau Banda hampir binasa sama sekali. Dalam sejarah Indonesia tindakan Belanda itu dinamakan hongitochten.

Sudah barang tentu kekejaman tersebut menimbulkan kemarahan rakyat. Pada tahun 1635 rakyat Ambon memberontak. Dengan gagah berani Kakiali memimpin pemberontakan melawan kekejaman Belanda.

Lambat laun perdagangan yang semula dilakukan di Belanda menuju ke arah penguasaan atas wilayah-wilayah Indonesia.

Dalam meletakkan dasar-dasar kolonialisme Belanda gubernur jenderal J.P.Coen merebut dan membakar habis kota Jakarta pada tahun 1619. Di atas reruntuhannya ia membangun kota baru. Kota tersebut adalah Batavia. Dari kota inilah Kompeni secara berencana memperluas daerah kekuasaannya. Sementara itu saingan-saingan Belanda seperti orang-orang portugis dan Inggris dapat disingkirkan dari wilayah Indonesia. Segala macam jalan ditempuh untuk mencapai tujuan itu. “Sejarah pemerintahan kolonial Belanda – dan negeri Belanda adalah kepala nasion kapitalis dari abd ke-17 – adalah salah satu dari jalinan yang luarbiasa dari pengkhianatan, penyuapan, pembunuhan dan kelicikan”, demikian a.l. Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang terkenal “Teh History of Java”. Karl Marx dalam bukunya “Capital” juga mengemukakan a.l. “Untuk menguasai Malaka pihak Belanda menyuap gubernur Portugis. Karena suapan itu gubernur tersebut memasukkan Belanda ke dalam kota. Ini terjadi pada tahun 1641. Mereka dengan segera menyerbu kediaman gubernur dan membunuhnya untuk bebas dari pembayaran 21,875 Pond Sterling, harga dari pengkhianatannya.” 6)

Di daerah-daerah yang dikuasai, Belanda mengenakan pajak tanah (contingenten) yang tinggi. Di samping itu rakyat juga diharuskan menyerahkan sebagian hasil buminya dengan harga sangat rendah. Untuk kepentingan tersebut Belanda mempertahankan organisasi feodal yang sudah ada. Dengan demikian sistim yang dipaksakan pada rakyat dapat berjalan effesien dan murah. Sebaliknya rakyat menderita dua macam penindasan. Dari VOC dan dari raja-raja atau bupati.

Sistim paksaan dan monopoli VOC akhirnya merugikan diri sendiri. Sistim tersebut menekan perkembangannya tenaga produktif dan akibatnya memerosotkan ekonomi rakyat beserta tenaga belinya.

Dalam tahun 1800 VOC bangkrut dan gulung tikar. Hutang yang ditinggalkan tidak kurang dari 140 ½ juta gulden7). Negara (Belanda) mengambil oper segala hak dan kewajibannya.

Pada tahun 1795 negeri Belanda diduduki Perancis. Republiek der Verenigde Nederlanden dibubarkan.Sebagai gantinya berdiri Bataafse Republiek. Pada tahun 1808 republik tersebut dirubah lagi menjadi kerajaan. Kali ini rajanya seorang asing, Lodewijk Napoleon. Ia kakak Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis. Seperti diketahui ketika itu Perancis dan Inggris musuh bebuyutan. Pada tahun 1811 pasukan-pasukan Inggris menyerang pulau Jawa. Dengan mudah kekuasaan Belanda dikalahkan. Inggris mengganti kedudukannya. Kerjaan Inggris mengangkat Thomas Stamford Reffles menjadi letnan gubernur jenderal.

Kekuasaan Inggris selama 3 ½ tahun (1811-1814) tidak mengurangi penderitaan. Dalam jamannya Raffles itulah pembuatan garam dijadikan monopoli negara. Untuk secara mudah mendapatkan uang Raffles menjual tanah dengan segala hak feodal atasnya. Lahirlah tanah-tanah partikulir yang sangat luas seperti Pamanukan dan Ciasem di bagian utara Jawa barat. Kaum tani di daerah-daerah itu jatuh di tangan tuan tanah yang kekejamannya di luar batas. Inggris menjadikan semua tanah milik negara (staats domein). Atas dasar itu diciptakan pajak tanah (land rent) sebanyak tidak kurang dari 2/5 hasil panen yang baik atau 1/4 hingga 1/3 dari hasil panen yang kurang baik. Napoleon dikalahkan dalam tahun 1814. Koloni-koloni Belanda dikembalikan oleh Inggris, termasuk Indonesia. Tetapi pelaksanaannya baru pada tahun 1816.

Dengan demikian jaman Raffles juga berakhir. Yang tidak hilang dari sejarah berkuasanya Raffles itu adalah juga pemberontakan-pemberontakan antaranya di Banten, Cirebon, Yogyakarta dll.

Baru saja Belanda mengambil oper kekuasaan dari Inggris meletuslah di Jawa tengah pemberontakan Pangeran Diponegoro. Perang berkecamuk selama 5 tahun (1825-1830) dan dalam sejarah dikenal sebagai Perang Jawa. Kepahlawanan pasukan-pasukan Diponegoro dikagumi sampai sekarang ini. Pengarang-pengarang Belanda sendiri terpaksa mengakui keunggulan mereka.

Dibantu oleh perwira muda Sentot Ali Basah Prawirodirjo perang selama lima tahun itu menimbulkan kerugian materiil yang sangat besar pada fihak Belanda. Dari kas Belanda terpaksa dikeluarkan beaya sebesar 20 juta gulden. Ditambah dengan beaya melawan rakyat Belgia yang berjuang melepaskan diri dari kungkungan Belanda menyebabkan semakin parahnya keuangan negeri tersebut. Kerajaan Belanda berada di tepi kebangkrutan.

Untuk menghindari kehancuran di Indonesia diadakan apa yang disebut cultuurstelsel. Di Indonesia sendiri lebih dikenal dengan nama politik tanam paksa. Politik ini berlangsung 40 tahun, dari 1830 hingga 1870. Di bawah sistim ini kaum tani kehilangan kebebasannya sama sekali. Mereka diwajibkan menanam tanaman-tanaman untuk pasaran Eropa seperti kopi, nila (indigo), tembakau, tebu dan kapas. Sistim tanam paksa tersebut mewajibkan kaum tani menanami 1/3 sampai 2/3 dan bahkan ada kalanya seluruh tanah garapannya dengan tanam-tanaman tadi. Tanaman padi yang menjadi kebutuhan pokok rakyat sendiri terbengkelai. Tidak cukup dengan penindasan dan pemerasan seperti itu pajak tanah tidak diturunkan atau dihapuskan. Sebaliknya malahan dinaikkan. Jika harga hasil tanaman melebihi jumlah pajak yang harus dibayar kaum tani, kelebihannya tidak diserahkan pada kaum tani. Malahan tidak jarang terjadi kaum tani terpaksa menjual persediaan padi yang tidak cukup untuk dimakan sendiri guna membayar pajak tanah.

Bencana paceklik mengamuk di mana-mana dan menuntut korban yang besar. Di kabupaten Demak dari penduduk sejumlah 336.000 jiwa dalam waktu dua tahun saja telah merosot menjadi 120.000 jiwa. Dua pertiganya meninggal karena kelaparan. Di kabupaten lain yang berdekatan, yaitu Grobogan, dari penduduk sejumlah 98.000 jiwa dalam waktu dua tahun tinggal 9.000 saja. Yang lainnya juga meninggal karena kelaparan8).

Salah satu gambaran mengenai penderitaan rakyat pada waktu sistim tanam paksa itu adalah sebagai di bawah ini.

Nila mulai dimasukkan di daerah priangan pada tahun 1830. Di distrik Simpur orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun nila. Tujuh bulan mereka bekerja terus menerus, jauh dari rumah dan keluarga.

Selama itu mereka harus menyediakan makan mereka sendiri. Ketika mereka diperbolehkan pulang, tanaman padi di sawah mereka sendiri sudah punah sama sekali.

Selama lima bula pertama tahun 1831 5000 orang laki-laki dan 3000 ekor kerbau dari distrik Simpur itu juga dipaksa mengerjakan tanah untuk satu pabrik yang telah didirikan. Setelah tanah selesai digarap, benih nila yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Baru dua bulan kemudian benih tersebut tiba. Tapi ketika itu tanah yang sudah digarap sudah menjadi belukar kembali. Lelaki, perempuan dan anak-anak sekarang digiring ke tempat itu untuk menggarapnya kembali. Sering terjadi wanita hamil melahirkan bayinya selama bekerja keras semacam itu9).

Itu hanya sekelumit contoh penindasan dan penghisapan pada awal cultuurstelsel. Tapi apa yang kita saksikan pada saat-saat hendak diakhirinya sistim maut itu? Sampai pada tahun 1866 masih ada daerah-daerah di mana seorang penanam pohon kopi menerima upah 4 atau 5 sen sehari. Padahal untuk hidup ia membutuhkan 30 sen.

Dalam perkebunan nila kerap kali dibayarkan upah 8 gulden setahun. Dalam perkebunan kopi 41/2 gulden untuk satu keluarga, jadi 90 sen untuk setiap anggota keluarga setahunnya.

Pukulan dengan pentung dan siksaan adalah suatu pemandangan yang biasa saja. Dengan cara-cara semacam itulah mengalir selama 40 tahun berlakunya tanam paksa 823 juta gulden dalam kas kerajaan Belanda.

Jaman cultuurstelsel adalah jaman yang sangat gelap bagi rakyat Indonesia. Dengan cara yang sangat kejam kaum kolonialis Belanda menyedot darah rakyat Indonesia. Multatuli melukiskannya sebagai berikut: “Suatu kumpulan pipa yang bercabang-cabang dan tak terhitung banyaknya. Cabang-cabang ini masih terbagi lagi menjadi ranting-ranting yang kecil. Semuanya itu bermuara dalam dada jutaan penduduk Jawa dan dihubungkan dengan satu induk pipa yang disedot dengan satu pompa raksasa yang digerakkan dengan uap. Dalam pengusahaan swasta setiap petualang bisa berhubungan dengan semua pipa dan bisa menggunakan mesin pompanya sendiri untuk mengeduk sumbernya.”10)

Pada pertengahan abad ke-19 kapitalisme Eropa barat mulai memasuki kemodernannya. Juga di negeri Belanda. Modal swasta semakin hari semakin berkembang dan semakin keras menuntut dilaksanakannya prinsip kerja bebas dan bersaing secara bebas. Sistim monopoli lama seperti cultuurstelsel tidak mungkin dipertahankan lagi. Kaum kapitalis Belanda berusaha keras mendapat jaminan hak menguasai tanah bagi investasi kapital mereka di Indonesia. Lahirlah pada tahun 1870 Agrarisch wet de Waal ( de Waal adalah menteri urusan jajahan ketika itu), selanjutnya lebih terkenal sebagai Domeinverklaring.

Isi pokok Domeinverklaring adalah “Semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom adalah kepunyaan negara.” Dengan pernyataan ini semua tanah milik rakyat dengan nama hak apa saja asal tidak dengan hak eigendom adalah milik negara, milik pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya jelas: untuk menjamin kepentingan modal besar partikulir yang akan bergerak di bidang  pertanian dan perkebungan, dan yang untuk itu memerlukan tanah yang luas dan subur. Modal swasta Belanda mulai membanjiri Indonesia.

Muncullah seperti cendawan di musim hujan pabrik-pabrik gula dengan kebun-kebun tebunya, onderneming kopi, karet, tembakau, teh dls. Tanah yang digunakan untuk keperluan tersebut disewa secara erfpacht dengan jangka waktu 75 tahun. Waktu tersebut bisa diperpanjang. Setiap orang  atau  badan  hukum  Eropa  boleh  memiliki lebih dari satu persil. Setiap persil luasnya 500 hektare.

Di samping usaha pertanian dan perkebunan kaum modal besar Belanda juga bergerak di bidang pertambangan, diikuti dengan usaha dalam bidang lalulintas seperti pembangunan jaringan kereta api dan pelayaran.

Yang dikemukakan di depan hanya contoh yang menyangkut exploitasi dan hasilnya dalam beberapa bidang.

Jika dilihat betapa banyaknya bank Belanda yang beroperasi di Indonesia pada masa itu dan betapa  pula  besarnya  modal  yang  beredar,  maka  kita  akan membenarkan apa yang dilukiskan Multatuli yang sudah dikutip di depan. Tapi bukan bidang tulisan ini untuk memasuki secara terperinci.

Meskipun demikian perlu kiranya dikemukakan berapa angka hasil dalam jumlah uang supaya ada gambaran betapa besar keuntungan yang diangkut Belanda dan modal asing lainnya dari bumi Indonesia.

Export gula pada tahun 1870 jumlahnya 32 juta gulden. Angka tersebut tahun 1890 meningkat menjadi 51 juta gulden. Pada tahun 1900 sudah menanjak lagi menjadi 74 juta gulden. (Puncaknya terjadi pada tahun 1925, yaitu 370 juta gulden).

Export tembakau juga mengikuti perkembangan yang sama. Dalam tahun 1870 exportnya masih sebesar 4 juta gulden. Pada tahun 1880 meningkat menjadi 10 juta gulden. Dalam tahun 1900 sudah meningkat lagi menjadi 24 juta gulden. (Puncaknya tercapai pada tahun 1920 dengan jumlah 170 juta gulden). 11)

Seperti telah beberapa kali dikemukakan penderitaan dalam jaman kolonialisme itu tidak ada habisnya. Sampai-sampai seorang bekas asisten-residen Belanda menulis sebagai berikut: “Saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri begaimana orang-orang perempuan sesudah berjalan beberapa jam sampai di tempat yang dituju menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak bisa ikut panen padi, karena sudah terlalu banyak yang mengerjakannya. Di antara mereka ada yang lalu duduk di tepi jalan, menangis sedu sedan, putus asa. Padahal rata-rata bagian yang mereka bisa terima jika ikut panen paling banyak hanya 9 (sembilan) sen. Dan untuk nasib sebaik itu mereka harus jalan kaki ber-jam-jam dan kemudian bekerja sehari suntuk, di bawah matahari yang terik.” 12)

Penindasan bentuk lama lenyap. Penindasan dan penghisapan bentuk baru muncul. Indonesia menjadi tanah jajahan yang mempunyai 4 macam fungsi. Pertama: sebagai daerah pengambilan bahan baku bagi industri barat. Kedua: sebaga pasar penjualan hasil industri Eropa. Ketiga: sebagai daerah penanaman modal raksasa asing. Keempat: sebagai sumber tenaga murah. Cara-cara baru yang dipergunakan kaum modal raksasa asing dalam melakukan penghisapan mengakibatkan semakin terkurasnya kekayaan Indonesia demi tuan-tuan majikan di Eropa.

Sekedar ilustrasi apa yang terjadi dalam bidang perkebunan. Dalam tahun 1870 tanah yang dierfpachtkan baru 35.000 bau (1 bau = 0,7 ha). Pada tahun 1901 jumlah tersebut meningkat menjadi 622.000 bau. Pada tahun 1928 tercapai angka 2.707.000 bau. Jika digabung dengan konsesi-konsesi pertanian angka tersebut meningkat menjadi 4.592.000 bau13).

Sementara itu dengan pasti dapat dikatakan, bahwa pada tahun 1927 modal Belanda saja yang ditanam di Indonesia sudah meliputi jumlah 4.000 juta gulden. Jika digabung dengan modal asing lainnya jumlah itu meningkat menjadi 6.000 juta gulden. Jika keuntungannya setahun rata-rata 10 persen, maka keuntungannya saja setahunnya sudah meliputi 600 juta gulden. Pada hal dalam prakteknya keuntungan itu sampai 30, 40 dan bahkan ada yang sampai 100 persen14).

Pada tahun 1899 parlemen Belanda mensyahkan Undang-undang Pertambangan. Karena itu monopoli atas pertambangan yang semula hanya dipegang oleh negara dibuka bagi modal swasta. Exploitasi dari kekayaan di dalam bumi Indonesia sejak itu berlangsung secara besar-besaran. Sebagai contoh: Tambang timah di bangka dan Biliton tahun 1850-an baru menghasilkan 5.000 ton setahun. Pada tahun 1890-an hasilnya sudah meningkat menjadi 10.000 ton. Dalam tahun 1937 meningkat menjadi 22.000 ton dan dua tahun kemudian menjadi 31.000 ton.

Penindasan dan penghisapan luar biasa baik oleh VOC maupun oleh kerajaan Belanda menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat yang tidak ada henti-hentinya.

Di samping perang Jawa (1825-1830) di Sumatra Barat terjadi perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol (1821-1832). Baru saja perang Padri selesai muncul perang Minangkabau (1833-1837). Sementara itu antara tahun 1818 dan 1821 berkobar pemberontakan rakyat Palembang.

Pada tahun 1846 terjadi perang Bali yang pertama disusul oleh yang kedua pada tahun 1848 dan ini disusul lagi oleh yang ketiga pada tahun 1849.

Pada tahun 1858 pecah perang Taha di Jambi.

Di Sulawesi juga meletus perang Bone pada tahun 1859. Sejak tahun 1860 terjadi pemberontakan rakyat Banjarmasin dan yang baru pada tahun 1905 dapat dipadamkan.

Di daerah Tapanuli rakyatnya juga tidak tinggal diam. Pada tahun 1878 meletuslah perang Singa Maharaja. Di ujung paling barat kepulauan Indonesia, Aceh sejak tahun 1873 rakyat mengangkat senjata dan melancarkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Fihak Belanda mengatakan perang Aceh selesai pada tahun 1903. Tetapi perlawanan sebenarnya masih terus terjadi di berbagai tempat.

Pada saat hampir silamnya abad ke XIX perlawanan yang heroik dari rakyat Lombok. Perang Lombok ini berkecamuk antara 1894-1895 15).

Dari uraian di atas dapat dilihat, bahwa rakyat Indonesia tidak henti-hentinya melawan kolonialisme Belanda. Perlawanan itu belum terorganisasi baik dan masih terpencar-pencar. Tetapi lambat laun, dengan munculnya nasionalisme perlawanan tersebut semakin teratur dan terpusat. Tulisan ini berusaha mengikuti jalan rakyat Indonesia  dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan dan kebebasan.

—-oooo0oooo—-

catatan

1. Pengarang Belanda (1820-87). Karena menentang penyalahgunaan kekuasaan, dipindahkan dari Lebak (Banten), di mana ia dijadikan ass. Residen (1856). Ia putuskan lebih baik berhenti. Kembali di Eropa ia menulis banyak buku a.l. “Max Havelaar” yang memblejeti politik penindasan dan penghisapan Belanda di Indonesia.

2. L.H.  Palmier “Indonesia”, hlm. 10-11

3. W.Fruin Mees “Geschiedenis van Java”, deel I hlm. 15

4. W.Fruim Mees “Geschiedenis van Java” jilid I, hlm. 88

5. L.H.Palmier “Indonesia”, hlm.37

6. Karl Marx “Capital”, Moscow 1954, hlm. 752

7. Dr. F.W.Stapel “Indie schrijft zijn eigen geschiedenis”, hlm. 120

8. S.J.Rutgers en A. Huber “Indonesië” jilid I, hlm. 130

9. Prof. Gonggrijp “Economische geschiedenis Nederlandsch Indië”, hlm. 123. Dikutip dalam Ir. Sukarno “Indonesia Menggugat”

10. Roland Holst “Kapital en arbeid in Nederland”, hlm. 150. Dikutip dalam Ir. Sukarno “Indonesia Menggugat”.

11. Lihat a.l. L.H.Palmier “Indonesia”, hlm. 73-74

12. H.E.B. Schmalhausen “Over Java en Javanen”. Dikutip dalam Ir. Sukarno “Indonesia Menggugat”.

13. Statistek Jaaroverzicht, 1928.

14. Dr. Waller dalam rapat “Verbond van Nederlandse werkgevers”, 30 Sept. 1927. Dikutip dalam Ir. Sukarno “Indonesia Menggugat”.

15. Baca a.l. Sanusi Pane “Sejarah Indonesia”, jilid II, hlm. 25 dan 89-104

Leave a comment