Kunang-kunang di Pucuk Ilalang

: Amran Halim

Apa lagi yang bisa Laila lakukan selain merintih menahan pedih kemelut jiwanya? Suhu tubuhnya terpanggang panas pikiran pada otak kirinya. Ia berbaring terkulai di kamar sempit yang tak sempat dinyalakan lampunya. Kian meremang. Ia melirikkan pandanganya pada kaca jendela. Di luar kilatan cahaya melecut-lecutkan gelegar yang bergulung-gulung di mega mendung mencipta kekhawatiran terhadap adiknya. Maka genaplah sebuah harap atas ketidakberdayaanya; “semoga hujan mampu menyejukkan segala pertengkaran”.

Dipejamkanlah mata yang indah itu. Laila coba menikmati setiap desir alir darah pada denyut nadi di kepalanya—memikul berjuta masalah yang belum saatnya ia pikirkan.

Rintik hujan mulai membasuh keringnya tenggorokan waktu—menyudahi perjalanan kemarau panjang, memuaskan dahaga pada nganga retakan tanah garapan. Suara tik-tak mengiring setiap butiran hujan. Menggemuruh, dari milyaran ketuk setiap detiknya pada apapun,—yang memunggungi juga yang menengadah memanjatkan harap pada langit—mencari tempat istirah: merebahkan lelah atas perjalanan langit. Hembusan angin menimang aroma kehidupan, menyeruak dari tiap butiran partikel tanah. Menyusup ke tiap pori ruang lengang, pengap, pun remang. Menyergap nafas Laila yang megap-megap, mengirim kenangan pada memori otaknya tentang kunang-kunang.

***

Suatu senja laila bersama kedua saudaranya menyusuri bekas lintasan sepur pengangkut hasil panen tebu seusai main layangan. Perjalanan mereka terhambat. Matahari terlalu gegas menyelimuti cahayanya dengan kawanan awan hitam—tergantikan oleh kiriman buliran doa para petani pada penguasa langit yang ditukar dengan butiran hujan. Digiring oleh lecutan cahaya penggembalanya, menggelegar. Sehingga tak akan mereka dapati lagi senja yang merangkai berbagai warna, mencipta lembayung untuk dijadikan bingkai sebuah lukisan tuhan pada kanvas langit.

Kakak pertama Laila memutuskan untuk berteduh di sebuah saungan sederhana—beratap Rumbia, berdindingkan bilik yang tidak terlalu tertutup di bagian muka. Lantas duduk di kursi bambu panjang. Dalam dekapan kakak keduanya, pandangan Laila terpatri pada hamparan luas tanah sisa garapan—terbelah oleh jalan beraspal yang panjang merentang—hanya ditumbuhi rerumputan serta ilalang yang menari bermandi hujan serta hembusan angin. sesekali merengut oleh kilatan petir dan gelegar guntur. Kakak pertamanya diam-diam memerhatikan. Tersenyum.

Iya, Pak. Baru potong beberapa minggu yang lalu. Dan biasanya dibiarkan sampai musim hujan datang sebelum menanam padi.” Jawab perempuan tua pemilik warung itu ramah.

“Oh, pantas rumput, dan ilalang leluasa tumbuh di lahan seluas ini,” ayah Laila manggut-manggut. Menolehkan pandangan pada hampar lautan hijau.

Laila hanya ternganga. Tak mengerti maksud dari pembicaraan mereka.

***

Hujan resap perlahan. Meraut kabut yang kalut membalut sayup suara adzan maghrib, gemetar menembus gigil. Di kejauhan, deretan rumah pada ujung tanah garapan luas yang kosong mulai menyalakan lampu-lampu listrik lima watt satu persatu. Membentuk bintik-bintik cahaya buram. Memesona ketakjuban Laila pada kesan pertama di kampung halaman ayahnya.

Entah dari celah tanah yang mana genit kerdip itu menyeruak? Beterbangan menggerayang setiap kehampaan pandang dengan cahaya rapuh di tubuhnya. Laila begitu terpukau menyaksikan itu. Ia kian tak peduli pada ayah, ibu, serta kakaknya yang mulai menyantap bebagai macam makanan di atas meja kayu besar yang diterangi petromak.

“Bu…. yang kelap-kelip itu apa, Bu?” Tanya Laila sambil menunjuk.

Ibunya menoleh. Terperangah. Lantas menjawab,

“O, itu kunang-kunang, Laila,”

“Kunang-kunag itu apa, Bu?” matanya memancarkan binar ketakjuban serta keingin tahuannya.

“Konon kunang-kunang berasal dari kukunya orang mati. Sudah, ayo mau makan apa?”

Kian terheranlah Laila. Ia mencermati kuku-kuku di jemari mungilnya. Ayahnya lagi-lagi menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah laila.

“Bukan. Kunang-kunang bukan dari kuku orang mati. Kunang-kunang adalah serangga malam, Laila. Bentuknya saja hampir sama dengan lalat kecil.” Mengelus kepala Laila penuh sayang.

“Lalat kecil?” mata lentik itu menatap tajam mata ayahnya.

“Ia, lalat kecil yang suka kau pukul dengan sapu lidi di rumah, Laila. Ga percaya? Ayo kita tangkap satu. Kakak ikut?” kakaknya hanya menggeleng.

Kesumringahan terpancar dari garis wajahnya, mungil. Digendonglah Laila oleh ayahnya menghampiri kunang-kunang yang berterbangan di sekitar warung. Laila tak sabar ingin segera mengepal cahaya kunang-kunang di telapak tangannya. Rasa dingin terbakar semangat keingin tahuannya. Ia begitu takjub ketika memutar pandang, berada di tempat yang lebih tinggi atas hampar lautan hijau yang berkerdipan mengepung pijakannya. Kedua tanganya diangkat menengadah ke langit ingin menangkap kunang-kunang yang berterbangan melintas di atas kepalanya. Ayah menggendongnya seraya berputar-putar. Ribuan kerdip kunang-kunang itu merupa garis rotasi benda-benda angkasa raya mengelilingi pusat rotasinya.

***

Lewat kisi-kisi jendela, bersit cahaya petir menerobos masuk. Meningalkan seberkas cahaya yang mewujud, merupa manusia. Bermandikan cahaya. Memintal seutas senyum begitu cahaya di bibirnya. Laila tersentak. Memicing-picingkan matanya yang kuyu. Seluruh tubuh serasa kaku. Lidah menjadi begitu kelu.

“Kau tak perlu takut, Laila. Ketakutanmu hanya akan mengungkung ruhiahmu melampaui batas gerak tubuhmu,”

“Siapa…. Siapa kalian? Mau apa?” Gagap.

“Kami akan mengajakmu mengarungi kedamaian mimpimu. Beranjaklah, Laila.” Menjulurkan tangannya.

“Kedamaian mimpi?”

“Ya, kedamaian alam bawah sadarmu. Alam yang begitu luas dalam otakmu dan tak mungkin kau alami dalam sadarmu, Laila.”

Seperti ada kekuatan, entah dari mana, mendorong tubuh Laila yang terbujur dalam ketidakberdayaan untuk beranjak. Perlahan menanggalkan belenggu ragawi yang serba terbatas. Tubuhnya serupa kapas, melayang bersama iringan cahaya—menembus pori-pori pintu kamar, menuju kesunyian yang perlahan membungkam.

Setelah menembus pintu kamarnya, Laila terperangah, ternyata ia tak dapati ruang tengah yang begitu porak-poranda akibat pertengkaran ayah dan ibu siang tadi. Melainkan langit seperti kelambu berwarna ungu, bertudung menurub padang ilalang bertabur ribuan kerlip kunang-kunang. Dinginnya kabut bercampur aroma tanah yang terbasuh kerinduan hujan menjemput desir kedatangan Laila bersama iringan cahaya. Menyibak pucuk-pucuk ilalang, membentuk gelombang, memercikan cahaya kunang-kunang.

Alunan gemerincik sungai yang menubruki dan meloncati batuan, gemerisik ilalang, jeritan tongeret memekik pada koordnya masing-masing, jengkrik yang mengikrik di sela retakan tanah, dan suara katak yang saling bersahutan mengalun membentuk simfoni pada dawai kehidupan yang tak mungkin dapat ditabulasikan pada senar gitar atau dinotasikan pada partitur lagu untuk dinyanyikan. Laila terkagum-kagum karenanya, membius kesadaran akan gigilnya kabut yang menjemput tubuh mungilnya. Bahkan laila tak sadar bahwa kabut itu benar-benar tak mampu menjamah kulit halusnya, karna ia terlalu cahaya.

“Apakah ini mimpi?” Tanya  Laila penuh kepolosan.

“Ya, inilah mimpimu.  Sebuah surga yang telah sekian lama terkungkung dalam keterbatasan jasadmu, Laila.” Ujar salah satu cahaya yang mengiringnya.

“Apakah ayah, ibu, dan kakak bisa datang menemani Laila?”

“Tidak, Laila. Surga ini adalah alam bawah sadar yang tercipta dari khayalanmu dan hanya engkaulah yang dapat mengarunginya.” Jawab cahaya yang lain.

“Tapi dalam khayalan Laila ada ayah, ibu, dan kakak yang berlarian menangkap kunang-kunang?”

“Mereka telah membentengi alam mimpinya masing-masing, Laila. Mereka telah menciptakan surganya sendiri dengan berpijak pada keinginan dalam jiwanya masing-masing.” Tukas cahaya yang satunya lagi.

“Iya, Laila. Walau raga kalian berdekatan satu sama lain, tapi jiwa serta mimpi kalian berjauhan dengan arah tujuan berbeda sama sekali. Jadi ayah, ibu, serta kakakmu tak mungkin bisa hadir dan bergandengan tangan meniti ribuan kerlip kunang-kunang dalam mimpimu, surga bawah sadarmu, Laila.”

“Kalaupun mereka hadir di sini keberadaanya hanyalah berupa bayangan atau awan yang menyerupa wajah mereka, semu. Itu pun berkat keinginanmu yang sangat kuat, Laila.” Timpal yang satunya.

“Jadi, ayah, ibu dan kakak benar-benar tidak bisa hadir di sini?”

“Sebenarnya mereka bisa hadir dalam mimpimu itupun jika jiwa kalian menyatu dan mencipta surga bawah sadar bersama dalam sebuah keinginan, Laila. Lantas apakah kau yakin bahwa mereka memiliki sebuah impian yang sama denganmu, Laila? Menikmati ribuan kerlip kunang-kunang selepas hujan.”

“Tidak,” menggeleng, “Ayah, ibu, dan kakakku terlalu asyik dengan dunianya sendiri. dan puncaknya adalah pertengkaran siang tadi. Entah apakah kabar bahwa ayah telah menikah di bawah tangan itu benar? Hingga ibu benar-benar marah dan pergi entah ke mana membawa adikku yang masih bayi. Malah kakak hampir saja menghajar ayah dengan penuh amarah, pun sebaliknya. Tapi Laila tidak bisa berbuat apa-apa, Laila hanyalah anak perempuan yang tidak berdaya dan masih dianggap belum mengerti apa-apa,” Laila mengisak. menangis.

“Laila, apakah kau sadar bahwa dari ketidakberdayaanmu itu kau telah mencipta surga dengan penuh keindahan pada alam bawah sadarmu? Karena sesunguhnya setiap manusia memilki alam yang begitu luas dalam jiwanya dan bisa menjadi apapun yang diinginkan. Namun kebanyakan orang tidak menyadari itu dan tubuh mereka sendirilah yang membatasi keistimewaan itu.”

Laila menyeka air pada sudut matanya. Mencoba menangkap pernyataan yang diutarakan oleh cahaya paling bijak di antara cahaya lainnya dan terus mengarungi padang ilalang dengan cahaya kunang-kunang tanpa batas. Berhembus seperti angin yang mengalir mengisi setiap kehampaan.

“Laila ingin jadi kunang-kunang, jadi cahaya?“ Tanya seorang cahaya.

“Tidak. Laila ingin pulang. Laila ingin menikmati kunang-kunang bersama adik.”

“Tapi kalau kau pulang, Laila. Kau akan kembali terkungkung ketidakberdayaanmu yang bocah.”

“Laila ga betah di sini. Sepi.”

“Tapi ini mimpimu, Laila. Mimpi yang kau susun sejak tiga tahun lalu.”

“Apakah kau rela memupus segala keindahan surgamu ini, Laila? Bujuk cahaya paling bijak, “Apakah kau tega membinasakan kami?” lanjutnya.

“Kau cuma akan menemukan luka, Laila!” cahaya lainnya tegas.

“Pokoknya Laila ingin pulang.”

Sekejap kilatan cahaya langit merobek temaram; menjemput hampar ilalang dengan ribuan kerlip kunang-kunang, serta cahaya yang merupa. Meninggalkan kepekatan pada ruang sempit yang tak sempat dinyalakan lampunya. Sunyi.

Hujan menyisakan rintik pada tanah becek. Maka genaplah sebuah tanya dari ketidakberdayaanya; “Apakah hujan telah menyejukkan segala pertengkaran?”

Pondok ASAS. Bandung, 231107

Leave a comment