Dewi Sukesi

: Amran Halim

Di sebuah taman, alun-alun Alengka. Ketiga putra Alengka, titisan dosa Sukesi, bermain dengan riangnya. Layaknya anak-anak seumuran mereka: mengejar kupu-kupu yang terbang dengan segala keindahannya. Burung tadahasih yang biasanya menangis kini bernyanyi gembira. Bunga-bunga kenanga menggelembungkan butiran-butiran keharumannya yang maya, gemulai dibelai atma, hembus kehidupan. Akarnya menghisapi darah yang telah sekian lama membasuh kedahagaan tanah Alengka yang terkutuk. Lembayung senja memendarkan cahaya perlahan. Kawanan awan menyerupai garis keriput pada kening kakek tua.

Di keputren, samping taman. Sukesi menyusui anak perempuannya, Sarpakenaka, dengan melantunkan kidung kasih sayangnya. Menyimpul senyum di bibir, mencermati tingkah ketiga putranya di taman.

“Duh Anaking, reguklah purnama di dadaku ini hingga unggun api di tenggorokanmu padam, serupa senja yang perlahan menelan surya yang renta. Teguklah patinya, agar kelak purnama di dadamu membuncahkan mata air kasih yang abadi untuk buah kasihmu dari lelaki kencana di hatimu.” Sarpakenaka makin asyik menghisapi puting, merah jambu, buah dada Dewi Sukesi,.

Tak terasa, air mata Dewi Sukesi menetes pada pipi Sarpakenaka yang lelap di pangkuannya. Ia terkenang pada dosa yang pernah ia perbuat. Namun, bukan karena darah para raja yang telah mengalir sia-sia pada tanah Alengka atas ketidakmampuan mereka mengalahkan kesaktian Arya Jambumangli dalam sayembara. Tapi pada malam yang begitu berahi bersama Begawan Wisrawa saat mewedarkan Sastra Jendra.

***

Malam penuh berahi itu berjalan begitu cepat. Saat Sastra Jendara terwedar sebagai cinta, tubuh Dewi Sukesi serasa terapung menghuni sebuah alam yang tak berbatas ruang dan tak dituai oleh waktu. Hingga para bidadari Kahyangan melelehkan air liurnya karena iri. Dan para Dewa di Kahyangan akan mati jika semua manusia di bumi tahu bahwa Sastra Jendra adalah cinta yang akan membawa manusia pada ketentraman jiwa.

Cahaya bulan purnama membentuk siluet tubuh Dewi Sukesi yang sempurna hingga begitu nikmat dipandang mata—sebuah keindahan tiada tara. Lebat rambutnya terurai. Matanya menyala bintang kejora. Langkahnya gemulai serupa kembang setaman. Gaun putihnya yang tertiup angin, menampakkan bulatan punama pada buah dadanya serta lekuk tubuh yang molek pada sisi lainya. Wajah  Begawan Wisrawa memancarkan cahaya Dewata, menampakkan ketampanan di masa mudanya. Aroma kembang melati menaburkan wangi kamar pengantin istana. Mengundang berahi dua manusia yang berlainan jenis. Menuangkan cinta pada malam yang tiada siapa pun selain mereka berdua.

“Tubuh ini kini milikmu, Begawan. Aku pernah berkata, siapa pun yang dapat mewedarkan sastra jendra, dialah yang berhak menjadi suamiku. Kini milikilah aku. Karena kau yang dapat mewedarkan sastra jendra. Bukan Danareja anakmu, Begawan. Mari kita reguk malam ini. Puaskan dahaga kesendirianku dengan menikmati cinta yang baru kita temukan,” rayu Dewi Sukesi, lembut.

Begawan Wisrawa terperangah. Tatapnya yang larut pada tubuh molek Dewi Sukesi membutakan mata pada tujuan mewedarkan Sastra Jendra, melamar Dewi Sukesi untuk anaknya, Danareja. Darahnya mendidih. Tubuhnya yang masih tegak meluputkan ketuaannya. Kaki-kakinya yang kokoh menapakkan langkah medekati Dewi Sukesi. Ia hendak meraba sukma Dewi Sukesi yang langsat gemerlapan, menggeletarkan hawa nafsunya.

“Mari Sukesi, kita nikmati aroma bunga melati yang menjadi wangi kamar pengantin kita malam ini. Tak perlu kita perdulikan Danareja. Biarkanlah ia menjalani derita kesendiriannya. Mari kita hiasi malam ini dengan percikan darahmu pada gaun putihmu yang diiringi jerit dan  rintihan suaramu, saat kita berbagi peluh dan lenguh pada malam pertamamu bersamaku.”

Makin lama, Begawan Wisrawa makin menikmati setiap rintih, lenguh, serta halus dan wanginya kulit Dewi Sukesi yang langsat. Dewi Sukesi pun makin menikmati setiap percik darahnya, serta kegelian atas jelajah jemari dan kecup Begawan Wisrawa pada lekuk-lekuk tubuh dan ranum puting buah dadanya. Dan mereka berdua makin terhanyut dalam pertempuran keluh dan lenguh dengan iringan suara-suara binatang malam, bercahayakan sinar purnama dan wangi kembang melati yang menjadikan hutan belantara sebagai kamar pengantin pada malam pertama Dewi Sukesi.

***

Purnama telah lelah menemami sepasang manusia yang hanyut dalam hawa nafsu. Matanya memerah dan padam di ufuk barat. Mentari perlahan menyibak selimut kabutnya, memanjati langit, merangkak perlahan. Dua manusia itu masih berpelukan dan tak sempat mengenakan penutup badan karena lelah dan terlelap oleh kenikmatan hawa nafsu. Batara Surya tercengang menyaksikan mereka. Ia segera menutupi mentari dengan kawanan awan, mendadak mendung, tak ingin kedua manusia itu diketahui oleh manusia lain.

“Wisrawa, bangunlah. Lihatlah coreng pada wajahmu yang tak lagi bening pada telaga. Air telaga yang jernih pun akan menjadi keruh karna kotornya dosa yang kau perbuat. Sukesi, bangunlah dari kenikmatan hawa nafsumu. Kukira kan ada yang berhati manusia dari tanah Alengka yang terkutuk. Ternyata hanya wadagmu saja yang berwujud manusia. Lihatlah diri kalian. Kalian hanya memahami Sastra Jendra sebatas pikiran, namun hati kalian masih dangkal untuk memahami hakikat Sastra Jendra yang sesungguhnya.” Suara keilahian menggema dari langit. Mereka terperanjat. Tersadar dari gejolak hawa nafsu.

“Sukesi, pada rahimmu kini tertanam benih dosa yang tak terampuni. Sekalipun kau tumpahkan pada tanah sebelum waktunya. Benih itu akan tetap tumbuh dan menjelma raksasa yang haus darah dan takkan menghormatimu layaknya seorang anak terhadap ibunya. Dan segala dosa yang diperbuatnya akan membuatmu sesal telah mengikuti hawa nafsumu.” Suara keilahian itu kemudian melesap. Dewi Sukesi tertunduk. Menangis.

Begawan Wisrawa sejenak membatu. Wajahnya kini serenta usianya. Tak lagi mencahaya.

Yamaraja, jaramaya. Apa yang telah kuperbuat malam tadi. Mataku telah dibutakan hawa nafsu. Hatiku telah ternodai empedu birahi yang begitu menggiurkan. O, Danareja anakku. Ampunilah aku yang telah menodai perempuan paling kencana di hatimu.” Rintihnya lirih. Wajahnya menengadah ke langit.

Selepas menatap langit Begawan Wisrawa mengalihkan pandang pada Dewi Sukesi yang masih tersedu—menyembunyikan wajah pada himpit lututnya yang ditekuk—lantas memeluknya erat.

“Lihatlah Sukesi. Gaunmu yang putih kini ternodai percik merah darah berahimu. Rambutmu kusut terurai pada bunga kenanga. Puspitamu meredup. Pada rahimmu kini tertanam benih hawa nafsu yang dikutuk oleh para Dewa. Maafkan aku, Sukesi.” Mereka berpeluk makin erat. Dewi Sukesi makin tersedu, membasahi dada bidang Begawan Wisrawa dengan tetesan air mata penyesalan.

Sebuah pagi yang begitu muram. Mega mendung menutupi langit dan memekat.

***

Lokapala terguncang. Rakyatnya bergunjing atas kedatangan Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. “Lihatlah! Ayahanda Prabu Danareja memapah Dewi Alengka yang berlumuran Dosa. Yamaraja-jamaraya, jauhkanlah kutukanmu pada negeri yang subur makmur ini dari kesialan atas dosa Dewi Alengka yang kini menapakkan kaki di negeri Lokapala.”

Gunjingan rakyatnya itu terdengar begitu menyayat hati Danareja. Debar jantungnya saat menatap kerlip ribuan bintang di langit saat menikmati kerinduan pada ayahandanya yang memapah Dwi Sukesi untuknya kini telah menjadi bara. Matanya memerah terbakar amarah saat menatap Begawan Wisrawa berjalan begitu ringkih menggandeng Dewi Sukesi yang puspitanya tak lagi memancarkan cahaya purnama, memasuki pelataran istana sebagai ibunya. Makin bergetarlah tubuh Danareja.

Dewi Sukesi tertunduk. Begawan Wisrawa menghampiri Danareja dan hendak memeluknya. Namun Danareja mengelak hingga Begawan Wisrawa terjerembab pada kaki Danareja.

“O, Danareja. Ampunilah Ayahandamu ini. Dulu kujanjikan Dewi Sukesi untuk lekat dalam pelukanmu, demi kehangatan tanah Lokapa. Tapi kini kubawakan ia sebagai Ibumu.” Sesal Begawan Wisrawa yang masih terjerembab di lantai marmer istana lokapala.

“Entah. Mata ini terasa perih saat melihat dewi paling kencana di hati ini menjadi begitu lusuh, Ayahnda.”

Tatapan amarah Danareja begitu menusuk mata Dewi Sukesi yang kuyu. Lembab air mata. Membuat Dewi Sukesi makin menunduk dan tak berani memerhatikan apa yang terjadi.

Begawan Wisrawa menghampiri Dewi Sukesi dan memapahnya, meninggalkan pelataran istana Lokapala menuju tanah Alengka. Meningalkan jejak kasih, ikatan darah dan lambaian yang tak berbalas dari Danareja. Udara Lokapala begitu panas terpanggang bara amarah Prabu Danareja, membakar asmaranya pada Dewi Sukesi yang kini menjadi ibunya.

***

Begawan Wisrawa pergi meninggalkan Dewi Sukesi di istana Alengka. Ia kembali menjadi seorang petapa yang mencoba menyucikan diri pada kesunyian alam. Memasrahkan hidup pada bimbingan alam dengan tapa mati geni, membakar segala nafsu ragawi dengan mematikan raga, menghanyutkan sukma dan memasrahkannya pada alam.

Dewi Sukesi meratap. Kandungannya makin membesar. Benih dalam rahimnya telah menjadi daging yang telah dikutuk oleh para dewa. Setiap kali ia menyesali dan memukul-mukul perutnya setiap kali itu juga perutnya terasa dililit. Daging dalam rahimnya murka seolah hendak memecahkan rahim yang mengandungnya.

Ia tersadar bahwa sudah terlalu banyak dosa yang telah diperbuat: pada Kahyangan, Alengka, Danareja bahkan dirinya sendiri karena keinginannya untuk mewedarkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruating Diyu.

Dan ia sadar, manusia tak akan sanggup mencapai kesempurnaan selama wadag masih mengungkung ruhaniahnya dengan hawa nafsu. Suara hatinya yang tak berdaya memanggil keilahian Batara Guru untuk meruatnya dari dosa.

Kahyangan berguncang. Hati Batara Guru bergetar mendengar rintih penyesalan Dewi Sukesi.

“Betapa hina hidupmu, Sukesi. Memasrahkan tubuh surgamu demi mewedarkan Sastra Jandra, kesempurnaan hakikat hidup. Tapi hari ini kau telah memahami hakikat hidup yang sebenarnya. Memasrahkan diri pada keilahian, mengakui segala kesalahan atas nafsu.” Bisik hatinya Iba. Ia turun menuju bumi Alengka yang penuh dosa, memenuhi panggilan rintih hati Dewi Sukesi. Sekejap Batara Guru berada di hadapan Dewi Sukesi.

“Kau menyesal, Sukesi?” Suara Batara Guru rendah berat. Dewi Sukesi terperangah tak percaya.

“Terimalah sembah sujudku, Batara Guru,” terhuyung mencium tanah, “Aku menyesal, ruatlah aku, dari segala dosaku, Batara Guru,” memohon.

“Ruatlah dengan hatimu sendiri, Sukesi. Tebuslah dosamu dengan memberikan penuh kasih sayangmu pada benih dalam rahimmu. Sebenarnya dirimulah, Sukesi. Serupa pilar bagi Negeri Alengka. Berjaya dan runtuhnya Alengka bergantung pada kekokohan jiwamu melawan hawa nafsumu. Jika kau tetap luluh menuruti hawa nafsumu maka runtuhlah Negeri Alengka ini. Dan kau akan lebih berdosa jika anakmu tersiakan dan kelak meneruskan dosa-dosamu, Sukesi.”

Setelah memberi wejangan itu. Batara Guru kembali ke Kahyangan. Dewi Sukesi masih menunduk, tak sempat mengucap terima kasih kepada Batara Guru.

***

Lamunannya terkoyak, ketika ketiga anaknya menghampiri setelah lelah bermain seharian.

Dewi Sukesi menempelkan telunjuknya pada bibir, “ssst, jangan ribut,” ia melepaskan isapan Sarpakenaka pada putingnya yang masih ranum, serta merangkul ketiga putranya.

“Tidurlah, Nak. Labuhkan lelahmu di pangkuanku. Lihatlah rembulan sudah tak sabar memanjati langit, kunang-kunang mulai menghiasi taman dengan cahayanya. Hampar langit telah dipenuhi kerdip bintang. Lekaslah besar, Nak. Jadilah raja Alengka yang bijak, hapuskanlah kutukan Dewata pada tanah Alengka dengan kedamaian, dengan kemakmuran Alengka hingga bibir rakyatmu membentuk senyuman bunga angsoka yang manja dibangunkan embun pagi.”

Kidung kasih sayang Dewi Sukesi telah melelapkan keempat anaknya yang telah beranjak dewasa.

Di langit, iringan bidadari perlahan menaburkan butiran kabut.

 

 

 

Pondok ASAS Kamis, 260407

Leave a comment