#5 Gerakan Non-Koperasi Tampil ke Depan

Rusaknya organisasi dan hilangnya kader-kader sentral menyebabkan PKI tidak dapat mengadakan penyimpulan yang sistimatis dan menarik pelajaran dari pemberontakan tahun 1926. Pada hal ini sangat penting bagi perjuangan selanjutnya.

Dengan demikian seluruh barisan PKI belum dapat menyedari mengapa pemberontakan menderita kekalahan. Dari situ juga samasekali tidak mengherankan bahwa dalam perjalanan berikutnya PKI masih saja mengandung kelemahan masa lampaunya. Yang paling parah adalaha meninggalkan pekerjaan di kalangan kaum tani yang diputuskan oleh Kongres Nasional ke-III di kotagede. Belum saja bisa disadari bahwa tanpa ikutnya kaum tani dalam gerakan apapun tidak bisa dimenangkan.

Dan karena itu pula tidak mengherankan, bahwa kader dan anggota yang masih selamat tidak lalu terjun ke tengah-tengah kaum tani dan dengan demikian menciptakan syarat-syarat bagi revolusi di kemudian hari. Sebaliknya mereka masih saja menitik beratkan aktivitet di kota-kota untuk mengorganisasi kaum buruh.

Sesudah gagalnya pemberontakan tahun 1926 gerakan kemerdekaan rakyat Indonesia kehilangan pimpinannya yang terpercaya dan mengalami kemunduran. Tetapi kemunduran ini bersifat sangat sementara saja. Gerakan pembebasan yang terpukul jatuh pasti akan bangkit kemabli melanjutkan perjalanan  yang jauh dan berliku-liku sampai tujuan tercapai.

Kebenaran ini dibuktikan juga di Indonesia.

Kader, anggota dan simpatisan PKI yang masih selamat satu demi satu muncul kembali dan memasuki berbagai organisasi yang ada. Atau mereka mendirikan yang baru.

Pada tahun 1927 di pulau Jawa terutama muncul bermacam-macam jenis koperasi, perkumpulan kematian, rombongan sandiwara berkeliling, perkumpulan musik dls. Berbagai macam organisasi tersebut adalah selubung bagi aktivis-aktivis PKI yang bergerak secara tertutup.

Atas inisiatif Sunarjo pada tanggal 8 Juli  1928 di Surabaya didirikan organisasi buruh dengan nama Sarekat Kaum Buruh Indonesia. Sebagai ketuanya dipilih Marsudi. Marsudi adalah bekas sekretaris pengurus besar Serikat Buruh Postel dan bekas wartawan “Sinar Indonesia”. Tujuan SKBI yalah untuk mempeoleh syarat kerja yang lebih baik dan untuk melawan perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Yang lebih jauh dari itu, SKBI untuk  bersama-sama  dengan rakyta-rakyat tertindas di sekita Saamudra Pasific berjuang untuk kemerdekaan.

Pada awal April 1929 pimpinan SKBI mengadakan hubungan dengan secretariat Liga Anti Imperialisme Dan Untuk Kemerdekaan Nasional di Berlin dan menyatakan ingin menjadi anggotanya. Sudah barang tentu hal ini disambut gembira oleh badan tersebut. Akan tetapi, begitu berita tersebut tercium oleh yang berwajib, pemerintah terus saja menggunakan tinju. Rumah pimpinan-pimpinan SKBI baik yang di Jawa maupun yang di Sumatra digledah (26 Juli 1929). Tujuh dari pimpinan organisasi itu ditangkap. Marsudi dibuang ke Digul.

SKBI hanya merupakan salah satu lingkaran saja dari banyak lingkaran lain yang dipimpin oleh kaum komunis. Oleh berbagai lingkaran tersebut telah diusahakan pendekatan. Tetapi karena ketatnya pengawasan kekuasaan kolonial pendekatan itu belum bisa sampai ke tingkat koordinasi. Yang dapat dicapai pada waktu itu satu program bersama yang terdiri dari delapan belas fasal:

1. Kemerdekaan penuh bagi Indonesia

2. Pembebasan semua tahanan politik dan mereka yang dibuang ke Digul

3. Hak bersidang dan berkumpul. Penghapusan sistim pas (untuk bepergian dari satu daerah ke daerah lain, terutama di luar pulau Jawa)

4. Menolak bantuan apapun yang digunakan untuk menindas rakyat Indonesia

5. Menghapuskan segala hutang negara pada kaum kapitalis

6. Undang-undang sosial. Delapan jam kerja sehari

7. Gaji sama untuk pekerjaan yang sama

8. Melawan setiap usaha menurunkan upah kerja

9. Setiap minggu satu hari libur dengan bayaran penuh

10. Bantuan bagi kaum penganggur dari pemerintah atau fihak penguasa swasta

11. Pelajaran dengan pengantar bahasa Indonesia di sekolah umum dan kejuruan. Pemberantasan buta huruf

12. Batalkan semua kontrak yang membelenggu kaum buruh

13. Hapuskan segala macam bentuk kerja paksa

14. Tanah untuk tani, Sita tanah yang dikuasai kaum imperialis, tuantanah dan lintah darat

15. Hapuskan tunggakan pajak kaum buruh, tani dan kaum miskin kota

16. Hapuskan kontrak paksa pada perkebunan asing

17. Hapuskan hutang kaum tani pada lintah darat

18. Lawan persiapan perang imperialis oleh kaum imperialis Belanda dan sokongannya pada persiapan intervensi terhadap Uni Sovyet dan Tiongkok Sovyet.1)

Sementara itu di Eropa terjadi sesuatu peristiwa yang cukup penting dan perlu mendapat perhatian. Sudah dikemukakan di depan  bahwa Semaun pada Mei tahun 1923 diusir oleh kekuasaan kolonial dan sejak itu ia menetap di Uni Sovyet. Ia mewakili PKI dalam Komintern.

Dalam bulan Desember 1926 ia berkunjung ke negeri Belanda dan mengadakan pertemuan dengan Moh. Hatta. Dalam bulan Januari tahun itu Moh. Hatta dipilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia, bersama dengan Abdulmadjid Djojodiningrat (penulis), Abutari (Bendahara) dan Sunaris serta Darsono (komisaris). Ketika itu di Jawa pemberontakan sudah gagal, tetapi pemberontakan di Sumatra belum lagi dimulai.

Pertemuan Semaun – Hattatersebut melahirkan apa yang dalam sejarah terkenal dengan nama conceptovereenkomst Semaun-Hatta, sering juga disebut konvensi Semaun-Hatta. 2) Apa yang disebut conceptovereenkomst atau konvensi itu menyebutkan bahwa fihak PKI mengakui pengurus besar Perhimpunan Indonesia dan kaum komunis Indonesia tidak akan sedikitpun menentang kepemimpinan Perhimpunan Indonesia selama PI konsekwen berjuang untuk Indonesia Merdeka. Persetujuan yang ditandatangai 5 Desember 1926 tersebut dibuat dalam bahasa Belanda dan terdiri atas 4 fasal:

Berdasarkan atas keyakinan, bahwa perlu adanya pembulatan tenaga nasional Indonesia yang bekerja untuk kemerdekaan Indonesia, kedua belah pihak sepakat mengenai fasal-fasal berikut:

Fasal 1. Perhimpunan Indonesia yang harus berkembang menjadi satu partai rakyat nasional Indonesia berjanji akan bekerja di bidang politik dan sosial bagi kepentingan rakyat Indonesia. PI harus menjadikan dirinya sebagai pimpinan inti (dari gerakan) dan bertanggungjawab sepenuhnya mengenai gerakan rakyat di Indonesia. Bidang sosial meliputi pendidikan rakyat, ekonomi nasional, kesehatan rakyat dan segalanya yang berfaedah bagi kekuatan nasional rakyat.

Fasal 2. PKI harus mengakui pimpinan PI seperti tertulis dalam fasal 1 dari konvensi ini dan harus memberikan kepadanya kepercayaan sepenuh-penuhnya. PKI dan organisasi-organisasi yang berada di bawah pimpinannya berjanji tidak sekali-kali akan mengadakan oposisi terhadap gerakan rakyat yang dipimpin oleh PI selama PI konsekwen menjalankan politik untuk kemerdekaan Indonesia

Fasal 3. Segala percetakan yang selama ini dikuasai PKI harus diserahkan kepada PI atas syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut. PI berjanji akan mengorganisasi pers nasional.

Fasal 4. Konvensi ini dibuat dalam enam lembar, tiga lembar untuk masing-masing fihak.3)

Seperti sudah disinggung sedikit di depan, penanda tanganan konvensi itu dilakukan pada saat pemberontakan di Jawa berakhir, tetapi pemberontakan di Sumatra  sudah di ambang pintu.

Hal ini menunjukkan, bahwa Semaun pada saat gerakan sedang berlangsung sudah tidak percaya lagiakan berhasilnya gerakan. Tindakan semacam ini tidak menunjukkan rasa tanggungjawab yang besar dan menimbulkan kebingungan di kalangan massa.

Dengan secara sedar menyerahkan pimpinan gerakan kepada nasionalis Hatta tidak bisa diartikan lain kecuali memisahkan rakyat dari pimpinannya yang sejati.

Tindakan Semaun itu menunjukkan betapa dangkal pandangan dan pendirian klasnya sebagai tokoh komunis ketika itu. Ia sudah kehilangan pegangan dan tidak yakin akan datangnya gelombang pasang gerakan rakyat untuk kebebasan di masa yang akan datang.

Tindakan Semaun mengadakan perjanjian dengan Mohammad Hatta itu sama saja dengan melikwidasi PKIsebagai satu-satunya kekuatan yang bisa memimpin rakyat pekerja Indonesia ke arah pembebasannya.

Tidak mengherangkan, bahwa konvensi Semaun-Hatta mendapat tentangan keras dari banyak anggota PKI. Dari Kominternpun datang kritik pedas.

Disusdutkan oleh perlawanan tersebut setahun kemudian Semaun terpaksa mengadakan otokritik secara terbuka dan menarik kembali tindakannya.

Di dalam otokritiknya itu Semaun a.l. mengemukakan, bahwa “perjanjian politik tersebut di adakan karena pada waktu itu tidak dapat berhubungan dengan anggota-anggota PKI dan tidak dapat berhubungan dengan pimpinan Komintern.4)

Belum berhasilnya PKI dibangun kembali tidak menghentikan terus majunya gerakan rakyat.

Sejak tahun 1924 di berbagai kota besar lahir lingkaran-lingkaran studi dari kaum intelektuil yang ingin memegang peranan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia dan mendorong maju gerakan itu. Berbagai lingkaran itu menggunakan nama”Studieclub” dan berkembang subur di kota-kota seperti Surabaya, Solo, Yogyakarta, Semarang, Bogor, Jakarta dan Bandung.

Di antara sebanyak studieclub itu yang menarik perhatian adalah Algemeene Studieclub Bandung. Begitu penting kedudukannya sampai-sampai H.Clijn dalam bukunya memberikan sorotan khusus.5) Seperti diketahui kabinet H.Colijn inilah yang kemudian membuang Sukarno, Hatta dan Syahrir.

Di antara anggota-anggota Algemeene Studieclub ini terdapat banyak bekas mahasiswa Indonesia di negeri Belanda dan memegang peranan penting di dalam organisasi Perhimpunan Indonesia.

Ketika mengadakan diskusi tentang kerjasama atau tidak dengan kekuasaan Belanda untuk kemerdekaan rakyat Indonesia semua yang hadir secara bulat mengambil putusan: kemerdekaan harus dicapai dengan kekuatan sendiri.

Putusan tersebut bergema di seluruh tanah air. Rakyat melihat ada harapan baru.

Sebagai perwujudan putusan Algemeene Studieclub Bandung lahirlah pada 4 Juli 1927 partai politik baru,mula-mula dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia, kemudian dirobah menjadi Partai  Nasional  Indonesia.Dalam  anggaran  dasar  dan  anggaran  rumahtangga PNI disebutkan

bahwa tujuannya adalah Indonesia Merdeka yang mempunyai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Tujuan ini akan dicapai dengan aksi massa yang sedar berdasarkan kekuatan sendiri dan dengan kerjasama dengan dan memberikan bantuan kepada organisasi-organisasi lainnya yang sama tujuannya. Metode perjuangannya yalah non-koperasi, yaitu tidak mengadakan kerjasama dengan kaum penjajah dan tidak ikut serta dalam dewan-dewan perwakilan rakyat yang didirikan oleh dan mengabdi pada kaum penjajah.

Apa yang dimaksudkan dengan non-koperasi Ir. Sukarno yang menjadi ketua hoofdbestuur PNI menerangkan a.l. sebagai berikut:

“Non-koperasi kita adalah salah satu azas-perjuangan (strijdbeginsel) kita untuk mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam mengejar Indonesia Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum yang dijajah. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan politik non-coopertion. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas-perjuangan yang lain-lain,  – misalanya machtvorming, massa-aksi, dan lain-lain.

Oleh karena itulah, maka non-koperasi bukanlah hanya suatu azas perjuangan “tidak duduk di dalam raad-raad pertuanan” sahaja. Non-koperasi adalah suatu prinsip yang hidup, tidak mau bekerja bersama di atas segala lapangan politik dengan kaum pertuanan, melainkan mendakan suatu perjuangan yang tak kenal damai; dengan kaum pertuanan itu.” 6)

Dalam waktu yang singkat PNI berhasil merebut simpati rakyat dan karena itu ia berkembang cepat ke seluruh wilayah Indonesia. Di kota-kota besar sering diselenggarakan rapat umum di mana tokoh-tokoh PNI mempropagandakan tujuan partai mereka.

Sesudah bergerak l.k. dua tahun PNI mempunyai anggota 10.000 orang. Banyak anggota bekas organisasi massa yang dipimpin PKI, dan bahkan anggota PKI sendiri masuk dalam PNI. Yang duduk dalam pengurus besar PNI adalah Ir. Sukarno, Mr. Sartono, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Sunarjo, Dr. Samsi Sastrowidagdo dan Ir. Anwari.

Salah satu langkah penting yang diambil PNI beberapa bulan sejak berdirinya adalah usaha untuk menggalang suatu front melawan imperialisme Belanda.

Atas dasar prakarsa ini pada 18 Desember 1927 lahirlah di kota Bandung PPPKI, singkatan dari Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Badan federasi ini beranggotakan PNI, PSI (Partai Sarekat Islam), Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Sarekat Madura, Indonesische Club Surabaya, Algemeene Studieclub Bandung.

Dalam manifesto PPPKI yang dikeluarkan sesudah rapat pendirian itu, manifesto mana diberi nama “Manifesto Kepada Rakyat Indonesia” dijelaskan, bahwa tujuan PPPKI adalah untuk lebih manyatukan dan memperkuat aksi-aksi untuk kemerdekaan Indonesia.

Dalam perjuangannya, PPPKI dengan keras menuntut agar fasal-fasal dalam Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang membatasi kebebasan bergerak rakyat segera dihapus. Yang dimaksud adalah antaranya fasal 153 bis dan ter (larangan untuk “menghasut” dan “mengganggu ketertiban umum” dls.) dan fasal 161 bis (larangan mogok).

PPPKI juga dengan keras menuntut supaya tempat pembuangan Digul dihapuskan dan para tahanan dibebaskan; supaya peraturan-peraturan kejam  terhadap para kuli kontrak di Deli dicabut dan supaya semua peraturan yang melarang pegawai negeri menjadi anggota suatu partai politik ditiadakan.

Selanjutnya PPPKI juga berjuang keras, agar pemberian hak erfpacht kepada perusahaan asing dihentikan,  dan  passenstelsel  (peraturan  yang membatasi kebebasan bergerak dari satu daerah kedaerah lain) ditarik kembali.

Dalam hubungannya dengan luar negeri dijelaskan bahwa Perhimpunan Indonesia adalah pos depan gerakan rakyat Indonesia.

Kongres ke-I PPPKI secara besar-besaran dilangsungkan  di kota Surabaya antara 30 Agustus dan 2 September 1928. Yang hadir tidak kurang dari 2.000 orang. Kongres ini diikuti oleh yang ke-II setahun kemudian di Solo (25 – 27 Desember 1929).

Sangat disayangkan, PPPKI tidak berumur panjang. Kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam tubuh semakin banyak dan semakin sulit teratasi. Perbedaan-perbedaan pendapat antara golongan Islam dan golongan nasionalis mengenai masalah-masalah penting Indonesia semakin menonjol. Pada bulan Desember tahun 1931 Partai Sarekat Islam mengundurkan diri dari badan gabungan tersebut.

Sebelum melanjutkan bagian ini, baik kiranya berhenti sejenak untuk mempelajari apa dan bagaimana gerak Perhimpunan Indonesia yang oleh PPPKI dijadikan pos depan gerakan kemerdekaan Indonesia di Eropa itu.

Seperti diketahui, sejak permulaan abad ke-20 semakin banyak pemuda Indonesia yang meneruskan pelajaran ke barat, terutama ke negeri Belanda.

Sebagai anggota masyarakat Eropa mereka tidak bisa lepas dari pengaruh kemajuan benua ini.

Masyarakat kapitalis yang demikian majunya menghadapkan mereka pada hubungan-hubungan sosial yang asing bagi masyarakat dari mana mereka berasal.

Jiwa remaja mahasiswa cepat menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut. Bukan sampai di sini saja. Mereka cepat dan menyerap nilai-nilai baru dari masyarakat di mana mereka hidup.

Awal abad ke-20 menunjukkan kemajuan luar biasa drai gerakan buruh di Eropa. Marxisme sebagai suatu ilmu perkembangan masyarakat semakin luas tersebar dan dipelajari.

Keadaan dan segala perkembangan itu tidak terlepas dari perhatian para mahasiswa Indonesia.

Demikianlah pada tahun 1908 lahir di negeri Belanda organisasi pertama para mahasiswa  Indonesia diberi nama Indische Vereniging. Seperti kita masih ingat, pada tahun itu juga di Indonesia lahir Budi utomo.

Mula-mula organisasi ini sifatnya lebih banyak sosial, saling bantu antara sesama mahasiswa. Lambat laun isinya berobah, sesuai dengan hukum perobahan masyarakat di Eropa.

Revolusi Oktober Sosialis 1917 Rusia menggetarkan seluruh dunia, apalagi Eropa, tidak terkecuali negeri Belanda.

Seperti sudah disebutkan di bab depan, getaran revolusi 1917 sampai-sampai terasa di Indonesia dan disambut hangat oleh ISDV.

Di Nederland suasanapun menjadi hangat. ISDV bahkan ketika itu menduga, bahwa kaum sosialis yang dipimpin P.J.Troelstra akan mencetuskan revolusi di negeri Belanda. Ternyata itu hanya ilusi belaka.

Bagi Indische Vereniging meletusnya revolusi 1917 berarti satu langkah maju ke arah kedewasaannya.

Sifat-sifat organisasi sosial ditanggalkan dan Indische Vereniging  setapak demi setapak berobah menjadi organisasi politik. Pada tahun 1922 namanya dirobah menjadi Indonesische Vereniging. Majalahnya bernama Hindia Putra. Pimpinan baru yang dipilih pada tahun 1923 mengenai sikap terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia menemukan pernyataan sebagai di bawah ini:

“Masa datang bangsa Indonesia semata-mata dan hanya terletak pada adanya suatu bentuk pemerintah yang bertanggungjawab kepada rakyat dalam arti yang sebenarnya, karena hanya bentuk pemerintah yang semacam itulah dapat diterima oleh rakyat. Bentuk pemerintah semacam itu harus dituju oleh tiap-tiap orang Indonesia menurut kecakapannya dengan kekuatan dan kemampuan diri-sendiri, bebas dari bantua asing. Tiap-tiap perpecahan tenaga –tenaga Indonesia, dalam bentuk apapun, ditentang sekeras-kerasnya, karena hanya persatuan tenaga-tenaga putra Indonesia  dapat mencapai tujuan bersama itu.” Memberikan penjelasan mengenai pernyataan  tersebut ketua baru Indonesche Vereniging (Iwa Kususma Sumantri) mengatakan a.l. bahwa “perkumpulan (IV) tidak melihat jalan lain dari pada jalan non-cooperatin……. Dengan menolak kerjasama dengan Belanda, Indonesia bekerja untuk tenaga nasional.” 7)

Pada tahun 1924 Indonesische Vereniging berhasil menerbitkan buku kenang-kenangan 15 tahun berdirinya organisasi tersebut. Buku yang terbitnya setahun terlambat ini menimbulkan reaksi luar biasa di kalangan yang berkuasa di negeri Belanda. Para mahasiswa dikecam karena dihinggapi semangat revolusioner yang berbahaya dan mahaguru yang memberikan pelajaran dipersalahkan karena tidak baik dalam memberikan bimbingan.

Isi buku kenang-kenangan itu yalah

1. Meninjau ke belakang (A.A.Maramis);

2. Maju menanjak (Subardjo);

3. Rintisan baru (Sukiman);

4. Indonesia dalam persekutuan dunia (Hatta);

5. Sejarah nasional (Nazif);

6. Indonesia di tengah-tengah revolusi Asia (Hatta);

7. Hukum nasional (Nazif);

8. Jalannya waktu (Sulaiman);

9. Astabrata (Purbotjaroko);

10. Pendidikan dan pengajaran oleh kita sendiri (Ismail);

11. 300 tahun penjajahan ( Darmawan Mengunkusumo);

12. Serikat sekerja di Indonesia (Gatot);

13. Pengaruh komunisme di Timur (Iwa Kusumasumantri).

Barisan pengarang buku kenang-kenangan itu dengan sengaja disebut untuk sekedar mengenal mereka yang setelah kembali ke Indonesia masih meneruskan perjuangan untuk kemerdekaan.

Tema-tema dalam buku itu juga menunjukkan, bahwa di samping belajar, para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda tetap satu dengan usaha rakyat Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman kolonialsme.

Bahwa politik yang maju selalu menghadapi penentang dalam barisan sendiri juga dibuktikan dalam pengalaman Indonesische Vereniging. Salah satu anasir semacam ini adalah Noto Suroto. Ia seorang keturunan ningrat Jawa, penyair dalam bahasa Belanda yang berdomisil di negeri Belanda. Ia termasuk anggota organisasi mahasiswa Indonesia ketika namanya masih Indische Vereniging.

Noto Suroto secara terang-terangan menentang politik non-koperasi yang dianut Indonesische Vereniging. Hampir semua anggota tidak bisa menerima cara semacam itu. NotoSuroto kemudian diseret ke depan satu rapat khusus untuk mempertanggung jawabkan sikap dan tindakannya (1924). Pimpinan menetapkan Arnold Mononutu sebagai penggugatnya. Tangkisan Noto Suroto tidak bisa diterima  oleh sebagian terbesar yang hadir dalam sidang. Akhirnya ia dipecat dari organisasi.

J.B.Sitanala mengalami nasib yang sama ketika mencoba membela Noto Suroto dengan menulis satu surat kiriman dalam satu suratkabar Belanda.

Untuk menyesuaikan diri dengan situasi di Eropa dan perkembangan gerakan kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1925 nama Indonesische Vereniging dirobah menjadi Perhimpunan Indonesia (bulan Februari).

Di antara pimpinan terdapat Sukiman (ketua), Hatta, Sunarjo, Mononutu dan Mohammad Jusuf yang pada awal revolusi Agustus 1945 mendirikan PKI di Cirebon.

Sejak 1925 itu Perhimpunan Indonesia meninggalkan bingkai-bingkai lamanya. Ia mulai memasuki arena perjuangan yang lebih luas. PI mulai mencari hubungan dengan gerakan mahasiswa dari Asia yang juga berjuang untuk kemerdekaan negeri dan rakyat mereka masing-masing. Pusat mereka pada waktu itu berada di Paris. Banyak yang datang dari Tiongkok, Vietnam, Kambodja, India dls.

Bersma dengan para mahasiswa Asia lainnya PI berhasil mengirimkan wakil dalam kongres perdamaian yang dilangsungkan di Bierville (dekat Paris) dalam bulan Agustus 1926. Kongres Bierville ini dalam salah satu resolusinya memperkuat pendirian bahwa setiap nasion berhak menentukan nasibnya sendiri dan berjuang menghancurkan kolonialisme adalah sesuatu yang sah.

Dalam rangka kerja sama kebudayaan dengan mahasiswa-mahasiswa Asia di Paris dan untuk memperkenalkan kesenian Indonesia, di kota tersebut PI pernah menyelenggarakan malam kesenian Jawa. Pertunjukan ini benar-benar mengagumkan para penotonya. Di antara penarinya terdapat Supomo dan Prodjodikoro. Yang satu kemudian pernah menjadi menteri kehakiman RI, sedangkan yang lain menjadi ketua mahkamah agung.

Pada awal tahun 1927 terjadi satu peristiwa internasional yang selama-lamanya akan terpaku dalam sejarah. Peristiwa ini yalah dilangsungkannya Kongres Internasional Anti Kolonialisme. Kongres ini diselenggarakan antara 10 – 15 Februari di ibukota Belgia, Brussel. Tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan dan gerakan kaum buruh dari Amerika Latin, Eropa, Afrika dan Asia hadir dalam kongres.

Perhimpunan Indonesia tidak ketinggalan, menerima juga undangan dari penyelenggara kongres, Liga Anti Imperialisme yang berkedudukan di Berlin.

Dalam kongres yang mendapatkan sorotan penuh dari seluruh dunia ini delegasi Indonesia membelejeti kekejaman kolonialisme Belanda dan mempropagandakan perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan.

Disertai sambutan hangat kongres mensahkan resolusi khusus untuk Indonesia. Dalam resolusi tersebut dijelaskan, bahwa kongressepenunya mendukung usaha rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan dan akan memberikan bantuan sekuat tenaga. Kepada kekuasaan Belanda dituntut untuk memberikan kemerdekaan, menghapuskan tempat pembuangan Digul dan memberikan amnesty kepada semua tahanan politik.

Perhimpunan Indonesia semakin moncer di luar negeri. Namanya semakin harum. Tak lama sesudah berakhirnya Kongres Anti Kolonialisme Perhimpunan Indonesia menerima undangan untuk mengirim delegasinya ke Kongres Internasional Wanita Untuk Perdamaian dan Kemerdekaan di Jenewa. Kepada delegasi Indonesia diminta untuk a.l. memberikan ceramah dengan judul “Indonesia dan masalah kemerdekaannya”.

Aktivitas Perhimpunan Indonesia tidak hanya menarik perhatian gerakan progresif di Eropa. Kekuasaan Belanda sendiri juga tidak tinggal diam. Terhadap anggota-anggota organisasi tersebut mulai dilakukan tekanan-tekanan. Mula-mula tekanan dilakukan lewat orang tua yang mempunyai kedudukan tinggi dalam pemerintahan Hindia Belanda. Tidak sedikit mahasiswa menerima ancaman tidak akan lagi dikirim beaya jika masih saja ikut dalam organisasi. Tapi tidak sedikit juga yang melawan acaman tersebut. Jika tidak secara terang-terangan masih bisa secara diam-diam, misalnya pura-pura non-aktif, tapi masih meneruskan aktivitet secara gelap.

Milhat tindakannya tidak berhasil pemerintah Belanda mengambil tindakan yang dianggapnya lebih efektif. Didahului oleh penggeledahan di berbagai rumah pengurus Perhimpunan Indonesia pemerintah pada bulan September 1927 melakukan penangkapan atas diri 4 orang pengurus, Mohammad Hatta, Nazir, Pamontjak, Ali Sastroamidjojo dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Tuduhan terhadap keempat terdakwa adalah menghasut lewat tulisan-tulisan dalam “Indonesia Merdeka”, majalah organisasi mereka.

Setelah mengalami penahanan selama lima setengah bulan mereka dibebaskan. Oleh para hakim tuduhan di atas dinyatakan tidak pada tempatnya.

Sementara itu pemerintah kolonial Belanda sangat kuatir atas perkembangan Partai Nasional Indonesia. Ini dapat dibuktikan dari pidato gubernur jenderal ketika membuka sidang volksraad 1928/1929 dan keterangan wakil pemerintah ketika membicarakan anggaran belanja tahun 1928. Kedua-duanya mencap gerakan non-koperasi sebagai bentuk permusuhan terhadap kekuasaan Hindia Belanda dan karena itu pemerintah dikatakan akan tetap mengawasinya dengan keras.

Sebaliknya perkembangan situasi politik di Indonesia yang dilahirkan oleh perjuangan PNI mendapat sambutan hangat dari Perhimpunan Indonesia. Menurut penilaian PI sejak meletusnya pemberonatakan 12 November pemerintah kolonial Belanda senantiasa berusaha menghancurkan komunisme. Memang benar pemerintah kolonial berhasil memukul PKI, tetapi dengan demikian satu kekuatan baru lain yang muncul, gerakan nasionalis yang bercorak radikal. Dikatakan seterusnya oleh kalangan PI bahwa PNI adalah pembawa dan jurubicara fikiran-fikiran baru (non-koperasi).

Mulai tahun 1928 PNI memperkenalkan diri secara besar-besaran di tengah-tengah rakyat. Hampir di setiap kota diselenggarakan rapat umum. Pengunjungnya semakin lama semakin banyak. Agitasi dan propaganda PNI berhasil membangkitkan kembali antusiasme massa luas.

Pada tun 1929 PNI mulai melangkah mendirikan organisasi massa buruh. Di Bandung muncul Persatuan Chauffeur Indonesia. Nama ini kemudian dirobah menjadi Persatuan Motoris Indonesia. Di Jakarta berdiri organisasi kaum kelasi dengan nama Sarekat Anak Kapal Indonesia. Di Surabaya muncul persatuan pelayan yang diberi nama O.J.S. Bond Indonesia, organisasi kaum buruh Oost Java Stoomtram Maatschappij. Pemerintah Hindia Belanda cemas melihat perkembangan ini.

Sementara itu pers modal asing tidak henti-hentinya menghasut supaya pemerintah mengambil tindakan. Jangan terlalu terlambat seperti biasanya, demikian a.l. suratkabar “De Locomotief”. 8)

Pada 29 Desember 1929 pemerintah Hindia Belanda melakukan penggeledahan di rumah pemimpin-pemimpin PNI di banyak tempat. Delapan orang ditahan. Empat dibebaskan tak lama kemudian. Yang 4 lainnya terus ditahan, Ir. Sukanro, Gatot Mangkuprodjo, Maskun dan Supriadinata.

Perkara 4 orang tokoh PNI tersebut diajukan ke depan pengadilan Bandung pada 18 Agustus 1930. Seperti sudah bisa diduga sebelumnya mereka dikenakan artikel terkenal, yaitu 153 bis dari KUHP. Artikel ini di kalangan kaum pergerakan masa itu sering diejek sebagai artikel (undang-undang) karet. Dia bisa dibikin bengkak, tapi juga bisa dibikin susut. Perbuatan apa saja yang tidak disenangi pemerintah bisa ditahan atas dasar artikel ini.

Bunyi artikel ini sebagai berikut: “Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan fikiran yang biarpun secara menyindir atau samar-samar memuat anjuran untuk mengganggu  keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda, dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum 300 rupiah”.

Ternyata di samping dikenakan artikel tersebut Ir.Sukarno dan 3 pemimpin lainnya dikenakan juga artikel 169. Fasal ini mengancam dengan hukuman barang siapa “mengambil bagian dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan”.9)

Didampingi oleh para pembelanya (a.l. Mr. Sartono), Ir. Sukarno membacakan pembelaannya. Dengan semangat berkobar-kobar ia menjelaskan azas dan tujuan PNI. Pembelaan ini menarik perhatian besar, diikuti dengan cermat di dalam negeri dan di luar negeri. Teks pembelaan itu tak lama kemudian secara lengkap diterbitkan di negeri Belanda dalam bahasa Belanda. Judulnya “Indonesië klaagt aan” (“Indonesia menggugat”).

Oleh pengadilan negeri Bandung Ir.Sukarno dijatuhi hukuman penjara 4 tahun, Gatot Mangkuprodjo 2 tahun, Maskun 1 tahun 8 bulan, Supriadinata 1 tahun 3 bulan.

Putusan tersebut pada bulan April 1931 diperkuat oleh Raad van Justitie Jakarta. PNI dicap sebagai organisasi terlarang. 10)

Untuk menanggapi putusan Raad van Justitie itu PNI menyelenggarakan kongres di Yogyakarta. Sesudah didiskusikan situasi politik kongres memberikan kekuasaan pada pengurus besar untuk mengambil putusan terakhir.

Putusan pengurus besar PNI disampaikan tak lama kemudian: PNI dibubarkan. Kepada semua anggota dianjurkan untuk tidak melakukan kegiatan politik.

Putusan tersebut disusul oleh pengumuman berdirinya partai baru, Partai Indonesia, lebih terkenal dengan singkatan Partindo. Disebutkan bahwa partai nasionalis baru ini dasarnya nasionalisme dan selfhelp. Tujuannya Indonesia Merdeka. Ketua pengurus besar Mr. Sartono.

Dengan lahirnya Partindo timbullah perpecahan di kalangan sayap kiri gerakan nasionalis Indonesia. Memang sebagian besar bekas anggota PNI menggabungkan diri dalam Partindo. Tapi sebagian lagi menolak pembubaran PNI. Mereka ini menamakan diri Golongan Merdeka dan meneruskan eksistensi PNI lama.

Sementara itu putusan pengadilan negeri Bandung atas diri 4 tokoh PNI menimbulkan kegusaran di kalangan kaum gerakan di luar negeri, termasuk yang di negeri Belanda sendiri. Atas desakan kekuatan demokratis di berbagai negeri itu pemerintah kolonial terpaksa mengurangi hukuman Ir. Sukarno. Putusan 4 tahun penjara dikurangi 2 tahun. Sisa waktu 2 tahun dipotong lagi dengan waktu selama ditahan.

Ir. Sukarno dikeluarkan dari Sukamiskin pada 31 Desember 1931.

Sehari sesudah beristirahat ia menuju Surabaya untuk berbicara di depan Kongres Indonesia Raya. Perjalannya dengan kereta api di Bandung ke Surabaya seperti perjalanan kemenangan saja. Di setiap setasiun yang disinggahi rakyat berjubel untuk mengelu-elukannya.

Ketika pada 2 Januari tiba di gedung kongres tidak kurang dari 6.000 orang hadir untuk menyambutnya.

Sejak keluar dari Sukamiskin (nama penjara di sebelah timur kota Bandung) Ir. Sukarno berusaha menyatukan Partindo dan PNI. Usaha tersebut gagal. Ia terpaksa memilih fihak. Yang dipilihnya Partindo. Tak lama sesudah itu (Juli 1932) ia dipilih menjadi ketua pengurus besar.

Sesudah satu tahun berdiri anggota Partindo tidak kurang dari 30.000 orang. Bukan jumlah kecil pada waktu itu. Dan ini sekalipun pemerintah kolonial melarang pegawainya masuk Partindo atau Pendidikan Nasional Indonesia.

Marilah lebih dahulu kita pelajari bersama secara pokok hakekat Partindo, partai yang arah dan geraknya banyak dijelujuri oleh fikiran-fikiran Sukarno. Dan di belakang nanti khusus mengenai Sukarno sendiri yang di kemudian hari akan memegang peranan penting dan bahkan menduduki jabatan tertinggi dalam alam Indonesia Merdeka.

Sejak jamannya Algemeene Studieclub ia memimpin adanya satu partai pelopor yang akan membawa rakyat Indonesia ke arah kemerdekaan. Mengenai partai semacam itu ia mengemukakan a.l.: “Hanya partai yang bewust dan sedar dan radikal bisa membikin massa bewust dan sedar dan radikal. Hanya partai demikian itu bisa menjadi pelopor yang sejati di dalam pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada kemenangan dan keunggulan. Hanya partai yang demikian itu bisa membikin massa-aksi yang bewust, massa aksi yang dus dengan cepat mengundurkan stelsel (impeialisme, pen.) yang menjadi buah pelawanannya.”

Dan sesudah menggambarkan gandrungnya kepada partai pelopor semacam itu Sukarno kemudian menganjurkan agar “Marhaen-Marhaen yang paling bewust dan sedar dan radikal, harus menggabungkan diri di dalam suatu partai pelopor yang gagah berani”. 11)

Adalah wajar, bahwa partai pelopor yang diimpi-impikan Sukarno itu baginya adalah Partai Indonesia.

Sukarno adalah seorang pemimpin yang banyak membaca. Dalam almari bukunya banyak karya-karya pemimpin gerakan kemerdekaan dari banyak negeri. Juga mengenai gerakan kemerdekaan di berbagai negeri itu oleh pengarang-pengarang terkemuka. Ia gemar mempelajari revolusi-revolui besar yang dikenal didunia.

Ia mempelajari revolusi besar Perancis. Ia tertarik oleh tokoh-tokoh seperti Danton dan Robespierre. Ia mempelajari karya-karya Karl Marx. Pada awal 30-an ia telah mempelajari buku (sampul) merah “Communistisch Manifesto” terbitan Arbeiderspers Amsterdam. Ia gemar membaca biografi pemimpin-pemimpin besar, antaranya Lenin dan Gandhi. Ia seorang pemuja Dr. Sun Yat-sen. Buku San Min Chu I 12) diberi tempat khusus dalam almari bukunya.

Siapa mengikuti kursus-kursus Sukarno di Bandung jaman Partindo itu akan mudah menyimpulkan, bahwa ide non-koperasi Sukarno banyak dijiwai oleh gerakan Mahatma Gandhi di India dan bahwa ide Pancasila lahir pada saat Sukarno tertarik oleh perjuangan Dr. Sun Yat-sen dan San Min Chu I-nya pada awal tahun 30-an.

Sekalipun Sukarno sering mengutip Marx, sesuai dengan pandangan hidupnya, Sukarno lebih dekat pada Gandhi dan Sun Yat-sen daripada dengan Marx.

Sebagai bahan  pertimbangan dapat diambil  sebagai  salah  satu  contoh  perkataan  Marhaenisme yang diciptakan oleh Sukarno dan dipopulerkannya. Menurut penemunya (Sukarno). Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, azas “yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala hanya menyelamatkan Marhaen”. 13)

Pentingnya membicarakan Marhaenisme ini jadinya yalah karena istilah ini sesungguhnya mengungkap pendirian Sukarno mengenai masalah revolusi.

Dalam penjelasannya mengenai Marhaenisme Sukarno lebih jauh mengemukakan sebagai berikut:

“Partindo memakai perkataan Marhaen dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan  bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya”. Lebih lanjut lagi: ….. di dalam Marhaen itu Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian  yang besar sekali. 14)

Mengenai hubungan antara Marhaen dan proletar dijelaskan lebih jauh: “Marhaen bukanlah kaum proletar (kaum buruh sahaja), tetapi ialah kaum proletar dan kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan dan kaum lain-lain”. 15) Dan akhirnya disimpulkan: “……….. pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan ‘buruh dan sekerja’.” 16)

Marilah kita periksa bersama apa kata Marx (dan Engels) tentang proletariat.

Marx dan Engels mengatakan, bahwa yang disebut proletariat adalah klas buruh upahan modern yang terpaksa menjual tenaga-kerjanya untuk dapat hidup karena tidak mempunyai alat-alat produksi sendiri. 17)“ Dari semua klas yang sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan burjuasi, hanya proletariatlah satu-satunya klas yang betul-betul revolusioner. Klas-klas lainnya melapuk dan akhirnya lenyap bersamaan dengan berkembangnya industri besar. Proletariat adalah hasil industri besar itu sendiri,” 18) demikian lebih jauh dikemukakan. Marx dan Engels juga menjelaskan dengan gamblang, bahwa partai komunis “di satu fihak menegaskan dan mempertahankan kepentingan bersama seluruh prolatariat dalam perjuangan proletar di berbagai negeri, tak tergantung pada kebangsaan, di lain fihak dalam berbagai tingkat perkembangan yang harus dilalui oleh perjuangan antara proletariat dengan burjuasi  mereka senantiasa mewakili  kepentingan seluruh gerakan”. 19)

Dari sekedar kutipan-kutipan tersebut dapat dimengerti bahwa dalam perjuangan pembebasannya proletariat memiliki partainya sendiri.

Menang kalahnya revolusi pada akhirnya tergantung siapa yang memimpinnya. Di negeri jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia pada waktu itu, sekalipun proletariat Indonesia masih muda dan kecil dalam jumlah, ia telah bisa membuktikan diri sebagai klas yang memang revolusioner. Dilahirkan sebelum lahirnya burjuasi nasional, sejak mudanya proletariat Indonesia—seperti sudah dikemukakan dalam bab terdahulu – telah menyerap ajaran Marxisme-Leninisme dan menjelma menjadi kekuatan poltik yang sedar dalam bentuk ISDV yang kemudian menjadi PKI. Dan dalam perjuangan  untuk kemerdekaan parati ini dalam prakteknya juga mewakili kepentingan seluruh gerakan.

Apakah kedudukan proletariat Indonesia dapat disamakan dengan kaum tani dipandang dari segi revolusi? Jawabnya adalah: ya dan tidak. Ya, karena dalam revolusi nasional demokratis seperti di Indonesia klas  proletar dan kaum tani kedua-duanya tergolong tenaga penggerak revolusi. Tidak, karena sekalipun kaum tani sangat membutuhkan revolusi, ia tidak bisa memimpin revolusi karena ia tidak mewakili suatu cara produksi tertentu ( distinctive mode of production) dan juga tidak memiliki posisi politik yang bebas dan ideologinya sendiri. Dalam revolusi nasional demokratis seperti di Indonesia kaum tani bisa membebaskan diri hanya jika ia berbarengan dengan klas buruh dan dipimpin oleh klas ini. Juga revolusi agraria hanya bisa dilaksanakan dibwah pimpinan klas buruh sesuai dengan pendiriannya dan garis politiknya. Itulah sebabnya mengapa dalam revolusi yang dipimpin oleh proletariat masalah persekutuan buruh dan tani menjadi masalah terpenting.

Konsep Sukarno tentang partai politik dan partai pelopor bukanlah ssuatu yang lahir tanpa kesedaran. Konsep tersebut adalah konsep politik yang telah difikirkan secara mendalam dan kemudian dirumuskan secara sistimatis. Maksudnya adalah bagaimana menghimpun kaum buruh dan kaum tani dalam satu wadah, tidak di bawah pimpinan partainya proletariat, melainkan di bawah pimpinan partainya kaum nasionalis atau kaum burjuis.

Sukarno adalah seorang pemimpin nasionalis yang pada dasarnya tidak anti- komunis. Ia bahkan sering memuji peranan kaum komunis untuk pembebasan rakyat Indonesia. Tetapi ia juga seorang tokoh nasionalis yang tidak menerima hegemoni kaum komunis dalam gerakan dan bahkan menentang hegemoni PKI  dalam revolusi di kemudian hari.

Seperti sudah dikemukakan di depan dengan lahirnya Partindo timbul perpecahan di kalangan sayap kiri gerakan nasionalis. Sebagian masuk partindo, bagian yang lain meneruskan eksistensi PNI dan menamakan diri golongan Merdeka.

Moh. Hatta termasuk yang menentang pembubaran PNI, demikian juga Sutan Syahrir. Begitu kembali di Indonesia dari studi mereka di negeri Belanda (1932), Kedua-duanya terus mengorganisasi Golongan Merdeka dalam Pendidikan Nasional Indonesia. Mengenai penamaan ini Hatta memberikan penjelasan sbb.:

“ Organisasi kita kaum Daulat Rakyat, bernama Pendidikan Nasional Indonesia…….. Pendidikan nama perkumpulan kita, karena kita butuh akan didikan yang benar”! Dengan jalan pendidikan rakyat jelata akan mendapat keyakinan bahwa tidak saja pemimpin harus tahu akan kewajibannya, tetapi juga rakyat semuanya. Ada satu kebenaran yang sering dilupakan, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai oleh pemimpin-pemimpin saja…….. Nasib Rakyat Indonesia tergenggam di dalam tangan rakyat sendiri.” 20)

Dalam geraknya, PNI lebih mengutamakan pendidikan politik bagi anggota-anggotanya. Tidak lewat rapat-rapat umum melainkan dalam kursus-kursus yang terbatas. Dengan demikian diharapkan munculnya banyak kader yang bisa bekerja sendiri dan tidak perlu tergantung pada pimpinan atasan. Cara ini juga dimaksudkan untuk lebih menyulitkan pemerintah kolonial untuk merusak organisasi.

Ketika Hatta tiba kembali di Indonesia dari Sukarno ia menerima ajakan untuk mengadakan pertemuan. Maksudnya yalah untuk mempersatukan PNI dan Partindo. Diusulkan yang akan hadir Hatta, Syahrir, Sartono dan Sukarno sendiri.

Syahrir menolak datang dan mengusulkan supaya diganti oleh Maskun. Dan Hatta sendiri berpendapat, bahwa menyatukan kedua gerakan itu tidak mungkin. 21)

Walhasil, pertemuan di rumah Sukarno di bandung itu tidak menghasilkan apa-apa. Yang lahir adalah perpecahan yang berlarut-larut. Yang senang hanya kaum penjajah dan kaum reaksioner belaka.

Perpecahan di kalangan sayap kiri gerakan kemerdekaan ini, justru pada saat PKI belum bisa bangkit kembali sepenuhnya dari pukulan yang dideritanya sesudah pemberontakan 12 November mengakibatkan partai-partai nasionalis yang semestinya tampil ke depan meneruskan perjuangan mencapai Indonesia Merdeka itu tidak bisa menjalankan peranan sebaik-baiknya. Tapi hal ini sekaligus menunjukkan betapa masih lemahnya burjuasi Indonesia yang sedang bangkit itu.

Marilah sekarang kita periksa bersama lebih dahulu persamaan dan perbedaan antara Sukarno dan Hatta dalam pandangan politik dan sifat-sifat pribadi mereka. Mungkin ini akan berguna untuk bisa lebih baik mengikuti peranan mereka di kemudian hari selama mereka menduduki posisi tertinggi dalam Republik Indonesia.

Pada pertengahan tanhun 1931, ketika PNI dibubarkan, Hatta dari negeri Belanda kirim surat terbuka kepada pers di Indonesia. Dalam surat terbukanya tersebut Hatta menuduh Sartono melakukan tindakan diktatoris dan menjadikan rakyat hanya keset kaki belaka.

Mengenai Sukarno dikatakan, bahwa ia hanya bisa bicara di atas mimbar saja untuk mendapat tepuk tangan rakyat, tetapi sebaliknya tidak menjalin hubungan yang erat dengan massa.

Bahwa tuduhan-tuduhan itu memancing reaksi tidak usah diragukan lagi. Dan memang demikian halnya. Di samping itu masih ada soal lagi yang lebih penting yang menimbulkan polemik tak habis-habisnya. Soal ini adalah soal metode non-koperasi dalam perjuangan melawan imperialisme Belanda.

Polemik antara Sukarno – Hatta paro pertama tahun 30-an itu dapat diikuti dalam majalah-majalah yang diterbitkan oleh partindo dan PNI.

Partindo menerbitkan mingguan “Fikiran Rakyat” dan bulanan “Suluh Indonesia Muda”, sedang PNI mengeluarkan majalah 10 harian “Daulat Rakyat”.

Di samping itu untuk menjelaskan pendapatnya masing-masing oleh Hatta kemudian diterbitkan brosur dengan judul “Kearah Indonesia Merdeka”, ketika itu terkenal dengan singkatan Kim. Sukarno menerbitkan brosur “Mencapai Indonesia Merdeka”, terkenal dengan singkatan Mim.

Tidak cukup berpolemik dengan majalah dan brosur, podium-pun digunakan untuk menjelaskan kepada rakyat pendirian dan pandangan masing-masing dalam perjuangan untuk kemerdekaan.

Baik Hatta maupun Sukarno adalah tokoh non-koperator. Perbedaan mulai tampak ketika Hatta pada tanggal 8 Desember 1932 menerima kawat dari OSP (Onafhankelijk Socialistische Partij) dari negeri Belanda yang minta kesediaannya dicalonkan untuk parlemen. Hatta tidak segera menjawab karena harus berbicara dulu dengan pimpinan umum PNI. Tapi “Aneta” kantor berita Belanda, menyiarkan, bahwa Hatta telah menerima pencalonan itu. Berita tersebut menimbulkan kegemparan.

Hatta segera memberi penjelasan mengenai duduk perkaranya. Ia sekaligus menerangkan, bahwa menurut keyakinannya duduk dalam parlemen Belanda tidak menyalahi prinsip non-koperasi. 22)

Pada kesempatan lain Hatta lebih mendalami masalah itu. Ia setuju memboikot dewan-dewan perwakilan ciptaan Belanda di Indonesia (termasuk Volksraad), karena di negeri jajahan kedudukan pemerintah tak dapat diusik. Sebaliknya duduk bersidang dalam Tweede Kamer (parlemen Belanda), demikian Hatta, tidak bertentangan dengan dasar non-koperasi karena “Tweede Kamer  adalah  suatu  parlemen, bukan dewan jajahan. Dalam parlemen pemerintah dan oposisi  sama derajadnya. Dan oposisi jikalau sampai kuat, dapat menjatuhkan pemerintah dan dapat pula bertukar rol dengan dia.” 23)

Justru pendapat Hatta inilah yang menimbulkan perdebatan hangat antara  Hatta-Sukarno, juga antara kedua partai PNI dan Partindo.

Sukarno:”….Jatuhnya pemerintah didalam parlemen Den Haag, gugurnya minister-minister dari kursinya, menggigitnya debu kabinet-kabinet Belanda, – itu sama sekali belum berarti Indonesia menjadi merdeka! Jatuhnya parlemen den Haag hanyalah berarti jatuhnya sisteem – pemerintahan yang ada. Selama Indonesia masih menjadi ‘bakul nasinya’ negeri Belanda, selama Indonesia masih menjadi ‘gabus di atas mana  negeri Belanda terapung-apung’,  selama masih ada perkataan ‘Indië verloren rampspoed geboren  (Hindia hilang bencana lahir, pen.), Indonesia merdeka, Nederland bangkrut, – selama keadaan masih begitu, maka kemerdekaan Indonesia tidaklah tergantung pada berdiri atau gugurnya minesterie-minesterie  di parlemen den Haag.” 24)

Bahwa bantahan Sukarno itu mendapat sambutan Hatta dan kemudian disusul oleh kontra sambutan Sukarno sudah tentu tidak mengherankan lagi. Tapi di luar tulisan ini untuk mengikuti  polemik Sukarno-Hatta secara panjang lebar. Dengan sekedar uraian dan kutipan di atas rasanya sudah disinggung kesamaan dan perbedaan pendapat kedua tokoh nasionalis itu mengenai non-koperasi.

Atas kritik Hatta, bahwa yang baik “sedikit bicara tapi banyak bekerja” oleh Sukarno dijawab bahwa dalam perjuangan yang diperlukan adalah “banyak bicara dan banyak bekerja.” 25)

Marilah sekarang kita pelajari kesamaan dan perbedaan sifat perorangan kedua tokoh ini.

Sukarno sejak kecil suka kesenian. Melihat wayang adalah baginya suatu kenikmatan. Jika ki dalang dengan tangkas memainkan Gatutkaca, ia seperti melihat dirinya sendiri. Jika ki dalang menceriterakan kemakmuran kerajaan Dworowati yang tidak ada tandingannya, itulah negeri yang diidam-idamkannya.

Sejak ia memimpin mingguan :Fikiran Rakyat”, hampir semua karikatur di halaman depannya dialah yang membikin (dengan nama Soemini, pen.). Kegemarannya akan seni lukis bisa dilihat dari banyaknyan karya semua pelukis terkenal Indonesia di Istana Jakarta dan Bogor.

Waktu masih sekolah di HBS Surabaya Sukarno mondok di keluarga HOS Tjokroaminoto. Di sini ia mulai kenal dengan banyak pemimpin pergerakan antaranya Alimin, Semaun dan Muso. Rumah Tjokroaminoto merupakan pusat pertemuan tokoh-tokoh pergerakan ketika itu.

Dalam bidang politik Sukarno sendiri mengakui telah banyak belajar dari Tjokroaminoto. Juga dalam seni pidato ia menjadikan tokoh utama SI itu sebagai teladan. Memang Tjokroaminoto terkenal sebagai ahli pidato yang ulung. Sampai-sampai ia dapat julukan harimau podium. Begitu mahir ia menggunakan kata sebagai senjata untuk mempengaruhi massa.

Orang boleh mengatakan apa saja tentang Sukarno. Tapi dalam satu hal orang tidak bisa mencelanya, yaitu semangat anti imperialismenya. Dalam perjuangan anti imperialis ia bahkan pernah memimpikan perlawanan bersama dari bangsa-bangsa Asia. Tidak bosan-bosannya ia mendengungkan semboyan “Jika leong barongsay dari Tiongkok bersatu dengan lembu Nandi dari India, dengan merak dari Birma, dengan gajah putih dari Siam dan dengan banteng dari Indonesia….. niscaya hancur leburlah imperialisme.”

Ketika di kemudian hari ia menjadi presiden, ia bahkan berani mengutuk Amerika Serikat dengan ucapannya yang terkenal “Go to hell with your aid”. Akibatnya sudah bisa diperhitungkan sebelumnya. Dunia barat menyumpat bantuan keuangan pada RI.

Sukarno adalah seorang yang mudah bergaul. Charisma yang ada pada dirinya menyebabkan ia bisa menciptakan lingkaran sahabat yang luas di sekitarnya. Yang menarik perhatian yalah bahwa dalam keadaan semacam itu ia tidak bisa menciptakan sahabat yang setia dan kekal. Ketika berkuasa ia malahan banyak dilingkari oleh orang-orang yang biasanya disebut kaum pemuja yang mencari keuntungan bagi diri sendiri.

Sukarno adalah seorang perasa. Oleh sahabat-sahabat terdekatnya ia dikenal sebagai orang yang takut darah. Potong ayam sendiri ia tidak pernah berani. Sebagai presiden di kemudian hari ia mempunyai hak menentukan hidup-matinya seseorang. Tapi sepanjang hidupnya hanya sekali ia menanda tangani  vonis hukuman mati. Yaitu vonis pengadilan atas diri tokoh Darul Islam, Katosuwirjo.

Sebaliknya ketika istri Allen Pope26) menangis di depannya, Sukarno luluh hatinya. Allen Pope dibebaskan dengan tanda tangannya.

Mohammad Hatta adalah manusia tipe lain lagi. Ia dilahirkan di tengah-yengah masyarakat, di mana agama Islam berakar kuat, Minakabau.

Di samping itu di lingkungan keluarganya banyak yang bergerak dalam bidang perdagangan.

Dalam masalah pendidikan, Hatta memilih jurusan dagang.

Ketika masih duduk di bangku sekolah di Sumatra Barat ia sudah tertarik pada dunia pergerakan. Tokoh Abdul Muis adalah tokoh pujaannya ketika itu. Seperti diketahui Abdul Muis adalah tokoh kedua dari SI sesudah Tjokroaminoto. Kata Hatta tentang Abdul Muis: “Aku kagum melihat cara Abdul Muis berpidato, aku asyik mendengar suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya….. tapi belum ada yang menyamai pidato yang diucapkan oleh Abdul Muis.27)

Sukarno dengan mengagumi Tjokroaminoto  menjadi seorang orator. Hatta dengan mengagumi Abdul Muis hanya bisa membikin jemu pendengarnya. Pidatonya datar, kering, tak beragam.

Sesudah lulus dari bagian sekolah dagang PHS (Prins Hendrik School) di Jakarta, pada tahun 1921 Hatta melanjutkan pelajarannya di Sekolah Tinggi Dagang Rotterdam (negeri Belanda). Hatta tinggal selama sebelas tahun di Eropa.

Ia berpengalaman dalam perjuangan politik di tingkat internasional. Ia kenal dan bergaul dengan berbagai tokoh gerakan kemerdekaan dari berbagai negeri.

Ia sering mewakili Indonesia dalam berbagai sidang internasional. Ia pernah duduk dalam presidium Konferensi Internasional Anti Imperialisme Dan Kolonialisme. Untuk melaksanakan dan meneruskan usaha-usaha konferensi ini dibentuk satu organisasi yang diberi nama Liga Menentang Imperialisme dan Untuk Kemerdekaan Nasional Rakyat-Rakyat Tertindas. Hatta juga duduk dalam pimpinan badan ini. Markasnya di Berlin. Dalam tahun 1930 terjadi satu peristiwa yang tidak akan dilupakan Hatta selama hidupnya. Ia dipecat dari badan itu dengan alasan karena ia seorang nasional reformis. Boleh jadi peristiwa tersebut juga jadi salah satu sebab Hatta membenci komunisme.

Hatta seorang yang sukar bergaul. Lingkaran sahabatnya relatif tidak seluas Sukarno. Tapi yang ada itu dikonsolidasinya sungguh-sungguh dan menjadi sahabat yang kekal dan setia. Sekretaris pribadinya seorang bekas anggota PNI dari tahun 30-an. Orang ini dipilihnya ketika ia menjadi seorang dari Empat Serangkai dari Pusat Tenaga Rakyat (tahun 1943). Sampai saat H

atta meninggal, ia tetap sekretaris pribadinya. Hal serupa adalah juga yang menyangkut juru tik-nya, sekalipun yang belakangan ini bukan anggota PNI. Begitulah kekalnya hubungan antara Hatta dengan bekas teman-teman seperjuangannya.

Ketika Hatta mengejar-ngejar kaum komunis pada tahun 1948 (Peristiwa Madiun), ia melindungi beberapa orang komunis yang pernah ia jumpai waktu ia di buang sebentar ke Digul.

Dalam satu hal lagi Hatta berbeda dari Sukarno. Sukarno tergolong seorang pemimpin  yang bisa menjalankan “100 kali berobah taktik dalam satu hari jika diperlukan”. Hatta adalah sebaliknya. Ia bukan pemimpin selincah Sukarno dalam mengubah taktik.

Tentang Sukarno dan Hatta orang juga bisa berbicara banyak dan berbeda-beda. Tapi satu hal yang harus diakui. Sukarno Hatta sampai ajalnya bukan tipe pemimpin yang korup. Idealisme dan romantik perjuangan untuk kemerdekaan rakyat Indonesia mereka bawa sampai ke liang makam.

Marilah sekarang disambung lagi benang yang terputus di depan tadi.

Pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mengambil putusan yang menyentuh syaraf seluruh tubuh gerakan rakyat. Putusan itu berupa satu peraturan yang dinamakan “ordonansi sekolah liar”. Di dalam ordonansi ini dicantumkan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh setiap sekolah swasta yang akan didirikan maupun yang sudah ada. Syarat-syarat yang dikenakan pada tenaga pengajar dan bangunan sekolah begitu berat sehingga tidak mungkin suatu sekolah swasta bisa didirikan. Memang hakekat ordonansi tersebut yalah secara halus melarang adanya sekolah swasta yang hanya akan memperkuat sentimen nasional rakyat.

Ki hadjar Dewantoro segera bangkit melawan. Sekalipun padanya oleh pemerintah diberi  jaminan Taman Siswa tidak dikenakan ordonansi tersebut Ki Hadjar berpendapat, bahwa bagaimanapun juga ordonansi itu akan menumpas hak rakyat untuk mendidik anaknya sendiri.

Di seluruh pelosok Indonesia bergema seruan Ki Hadjar “Lawan ordonansi sekolah liar. Siapkan sebanyak-banyaknya tenaga cadangan untuk menggantikan guru yang akan dipenjarakan.”

Seruan Ki Hadjar tidak sia-sia. Partai-partai segera memobilisasi tenaga-tenaga yang diminta. PNI dan Partindo berdiri  paling depan. Budi Utomo juga tidak mau ketinggalan. Semua anggotanya yang duduk dalam dewan-dewan perwakilan akan mengundurkan diri, jika ordonansi tidak dicabut sebelum 1 Maret 1933.

Pemerintah Hindia Belanda kalang kabut menghadapi aksi yang demikian luas dan bersemangat. Ordonansi sekolah liar akhirnya masuk peti es.

Keteguhan dan ketegaran PNI dan Partindo melawan kolonialisme Belanda mendorong maju seluruh gerakan nasional, termasuk gerakan kaum wanita.

Dalam bab terdahulu sudah disebutkan munculnya organisasi-organisasi wanita di Jawa dan Sumatra. Lambat laun organisasi-organisasi itu mengalami perobahan. Sifat kedaerahan tidak tampak lagi. Arah dan tujuannnya semakin luas.

Atas prakarsa beberapa organisasi wanita seperti Wanito Utomo (Ny. Sukonto), Putri Indonesia (nn.Sujatin) dan Wanita Taman Siswa (Nyi Hadjar Dewantoro) antara 22 dan 15 Desember 1928 berhasil dilangsungkan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Tempatnya di Yogyakarta.

Salah satu putusan penting Kongres ini adalah mendirikan badan gabungan (federasi) dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Nama ini kemudian dirobah menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII).

Kongres juga berhasil merumuskan program kerja. Beberapa di antaranya: memberikan penerangan dan perantaraan bagi organisasi yang tergabung di dalamnya, mendirikan fonds belajar, mengadakan kursus hygiene (kebersihan), menentang perkawinan kanak-kanak serta mendorong maju usaha mendirikan kepanduan anak-anak perempuan.

Sejak itu banyak organisasi wanita yang dalam anggaran dasar dan rumah tangganya divcntumkan azas kebangsaan dan menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan kebangsaan Indonesia.

Kongres Perempuan Indonesia II dilangsungkan pada bulan Juli 1935 di Jakarta. Dalam kongres ini soal-soal masyarakat umum mulai mendapat sorotan. Demikianlah antara lain dibicarakan nasib kaum buruh wanita dalam perusahaan. Untuk membela nasib kaum buruh wanita didirikan suatu bagian yang diberi nama Badan penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI).

Meskipun putusan-putusan kongres wanita itu menunjukkan kemajuan, masih ada yang menganggap belum sesuai dengan tuntutan jaman. Mereka pada tahun 1930 mendirikan organisasi sendiri, Istri Sedar. Tujuan organisasi baru ini mendorong maju wanita Indonesia, menanam kepercayaan pada diri sendiri dan mengembangkan kesedaran nasional.

Istri Sedar ikut hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia II. Tapi kemudian keluar karena terjadi perselisihan pendapat dengan bagian wanita daro Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) mengenai kedudukan wanita dalam hukum perkawinan Islam.

Juga gerakan pemuda tidak terlepas dari arus kemajuan.

Seperti diketahui atas inisiatif Alegemeene Studieclub Bandung pada awal 1927 didirikan organisasi pemuda. Namanya Pemuda Indonesia (semula Jong Indonesia). Organisasi ini sudah mulai berpandangan agak jauh. Cita-citanya menyebarluaskan ide persatuan nasional.

Bernaung di bawah panji-panji PNI Pemuda Indonesia  meluas ke berbagai daerah dan pulau. Juga semakin lama semakin banyak pemudi masuk di dalamnya. Karena itu lalu didirikan Putri Indonesia. Sekalipun menyatakan tidak ikut  dalam politik praktis, dalam rapat-rapat umum dan di majalah mereka, Putra Indonesia banyak bicara dan menulis tentang masalah politik.

Tahun 1928 menyaksikan semangat yang berkobar-kobar pemuda Indonesia untuk mempersatukan berbagai organisasi mereka dalam satu wadah.

Demikianlah dengan dukungan PNI berhasil diselenggarakan kongres pemuda yang ke dua yang sangat bersejarah. Yang dijadikan pemrakarsa kongres adalah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Kongres pemuda II dilangsungkan di Jakarta pada 27 dan 28 Oktober.

Kongres kali ini berhasil meletakkan dasar-dasar persatuan tidak saja  di kalangan pemuda dan gerakan kemerdekaan nasional, tetapi juga dari seluruh nasion Indonesia. Menggema ke seluruh pelosok Nusantara ketika itu trilogy sumpah pemuda yang terkenal:

“Kita pemuda Indonesia berbangsa satu, Bangs Indonesia. Kita pemuda Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia. Kita pemuda Indonesia bertanah air satu, tanah air Indonesia.”

Dalam kongres inilah pertama kalinya lagu kebangsaan “ Indonesia Raya” diperkenalkan kepada seluruh rakyat Indonesia, dipimpin langsung oleh komponisnya sendiri, Wage Rudolf Supratman.

Sedikit tentang Supratman dan cinptaannya. Ia lulusan sekolah guru bantu (4 tahun sesudah sekolah rakyat). Belajar menulis lagu dan menggesek biola dari mbakyunya sendiri.

Di samping mengkoponir “Indonesia Raya” banyak karya-karyanya yang lain. Ia pencipta mars pemuda Indonesia, mars KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), lagu Matahari Terbit dls. Ciptaan pertamnya adalah lagu Ibu Kita Kartini.

Segera sesudah lagu “Indonesia Raya” mendengung di dalam Kongres Pemuda II seluruh Indonesia seperti terkena arus listrik. Dari mana-mana datang permintaan teks lagu itu. Dan sesudah itu “Indonesia Raya” dinyanyikan pada setiap ada kesempatan.

Begitu antusias rakyat Indonesia menyambut lagu kebangsaannya, begitu ketakutan pemerintah kolonial terhadapnya. Keluarlah putusan “Indonesia Raya” tidak boleh dinyanyikan.

Perlawanan timbul. Dari mana-mana membanjir protes terhadap larangan tersebut. Akhirnya pemerintah mundur. “Indonesia Raya” boleh dinyanyikan asal teksnya dirobah. Ternyata yang ditakuti adalah perkataan “merdeka”.

Itulah sebabnya mengapa lagu kebangsaan yang semula diberi nama “Indonesia Merdeka” dirobah menjadi “Indonesia Raya”. Permulaan refrein “Indonesia, Indonesia, Merdeka, Merdeka” lalu dirobah menjadi “Indonesia Raya, Mulia, Mulia”.

Sekeluarnya Sukarno dari penjara Sukamiskin teks dirobah lagi menjadi bentuk yang sekarang ini. 28)

Cita-cita penyatuan berbagai organisasi pemuda terlaksana pada penutup tahun 1930.

Pada bulan Desember itu berbagai organisasi pemuda (kecuali yang berdasarkan agama) meleburkan diri dalam satu organisasi dengan nama Indonesia Muda. Bagian putrinya diberi nama Kaputrian Indonesia Muda. Di antara yang meleburkan diri dalam Indonesia Muda terdapat Jong Java yang sebelumnya bernama Trikoro Dharmo.

Dalam paro pertama tahun 30-an muncul pula organisasi pemuda lainnya yang menyatakan dirinya golongan non-intelektuil. Yang satu Persatuan pemuda Revolusioner Indonesia (PERPRI). Yang lain Suluh pemuda Indonesia (SPI).

Dalam tahun 1935 pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan di rumah-rumah pimpinan PERPRI, disusul oleh penangkapan dan penahanan. Di Yogya beberapa di antara mereka di ajukan ke depan meja hijau dan dijatuhi hukuman penjara rata-rata selama 1 tahun. PERPRI dikenakan peraturan larangan bersidang. Ini berarti organisasi pemuda tersebut dibunuh secara pelan-pelan.

Juga pimpinan-pimpinan PNI dan Partindo tidak lama menghirup udara bebas. Pada 1 Agustus 1933 (malam hari) Sukarno ditangkap di rumah Husni Thamrin di Jakarta.

Ia dikenakan exorbitante rechten (hak-hak luarbiasa) gubernur jenderal. Setengah tahun kemudian tanpa diajukan ke depan pengadilan ia dibuang ke pulau Flores.

Ketika itu yang berkuasa di Nederland kabinet H.Colijn dari Anti Revolusionere Partij. Di samping menjadi perdana menteri H.Clijn juga memegang kementerian daerah koloni.

Pada bulan Februari 1934, beberapa hari sebelum Sukarno diberangkatkan ke tempat pembuangan, Hatta dan Syahrir juga ditangkap. Tak lama kemudian kedua-duanya dibuang mula-mula ke Digul, kemudian dipindak ke Banda Neira.

Sesudah kehilangan pemimpin-pemimpin utama, disertai oleh larangan berrapat (vergaderverbod), baik PNI maupun Partindo menjadi lumpuh. Pada 18 November tahun 1936 bahkan Partindo membubarkan diri. Dengan demikian berakhirlah gerakan non-koperasi di Indonesia.

Panggung politik Indonesia mulai didominasi oleh sayap kanan gerakan nasionalis yang diwakili oleh Parindra (Partai Indonesia Raya, hasil fusi Budi Utomo dan Persatuan bangsa Indonesia). Parindra diberi nafas oleh yang berkuasa karena sifat politiknya yang moderat yang lebih mengutamakan bergerak di bidang ekonomi daripada politik.

Dan Parindra tidak bisa lama mempertahankan dominasinya itu. Tugas sebagai pengorganisasi dan penggerak rakyat jatug di atas pundak suatu partai baru yang lahir pada 23 Mei 1937. Partai baru ini bernama Gerindo, singkatan dari Gerakan Rakyat Indonesia.

Sesuai dengan perkembangan situasi dunia ketika itu (perang dunia kedua sudah tampak bayangannya, bahaya fasisme Jepang sudah terasa di ambang pintu) Gerindo tidak mengganakan metode non-koperasi, melainkan seluas mungkin menghimpun tenaga-tenaga anti-fasis untuk mencegah masukanya fsis Jepang. Uluran tangan ditujukan juga kepada kekuasaan Hindia Belanda.

—–ooooo0ooooo—–

catatan

1. S.J.Rutgers “Indonesia” jilid II hlm. 177-178

2. S.J. Rutgers “Indonesia” jilid II hlm. 169

3. J.Th.P.Blumgerger “De Commmnistische Beweging in Nedelands Indië” hlm. 234. Moh. Hatta “Memoir” hlm. 207

4. “Tribune”, 29-12-1927

5. H.Colijn “Koloniale vraagstukken van heden en morgen”, hlm. 25-26

6. Ir. Sukarno “Dibawah Bendera Revolusi”, jilid I hlm. 189-190

7. Mohamnad Hatta “Memoir”, hlm. 123-159.

8. Harian “De Locomotief”, Semarang 23 Mei 1929

9. Susanto Tirtoprodjo “Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia”, hlm. 61-62

10. Petrus Blimberger “Nationalische Beweging in Nederlandsch Indië”, hlm. 248

11. Sukarno “Dibawah Bendera Revolusi”, hlm. 281-283

12. Tiga Prinsip (Kebangsaan, Demokrasi, Keadilan Sosial)

13. Dibawah Bendera Revolusi”, hlm. 253

14. Idem, hlm. 254

15. Idem

16. Idem, hlm. 256

17. Noot dalam “Manifesto Partai Komunis”, hlm. 52

18. “Manifes Partai Komunis”, hlm. 52

19. Idem, hlm. 76

20. Mohammad Hatta “Memoir”, hlm. 261

21. Idem, hlm. 262

22. Moh. Hatta “Memoir”, hlm. 281.

23. Moh. Hatta “Memoir”, hlm. 281

24. Dibawah Bendera Revolusi”, hlm. 211

25. Idem, hlm. 215

26. Seorang penerbang A.S. Dalam jaman pemberontakan PRRI ditembak jatuh ketika membom kota Ambon pada 18 Mei 1958. Oleh pengadilan RI dijatuhi hukuman mati.

27. Moh. Hatta “Memoir”, hlm. 50

28. Taman Djaja “Pusaka Indonesia”, hlm. 347-353

Leave a comment