Si Kampeng

; Amran Halim

Udara panas menjalar bersama angin menderu. Matahari perlahan menuju puncak langit. Seolah menggelayut pada daun kelapa di pojok pekarangan rumah Kampeng. Di bawah pohon kelapa itu, Kampeng sedang mencari cara dan menimbang-nimbang apakah mitos itu masih mampu menjawab tantangan untuk menghafal surat Yassin?

Badannya yang kurus berbaju koko sedang menyiapkan suatu ritual rahasia. Air suci Jumat Keliwon, dari sumur masjid keramat, telah ia siapkan untuk mendorong abu sobekan surat Yassin pada tenggorokannya nanti.

Korek api masih dalam genggamannya. Matanya beringas khawatir ulahnya diketahui bapaknya. Ia sembunyikan buku Yassin di balik kokonya. Karena tipisnya kain koko, nampaklah sebuah foto dari cover buku Yassin itu dari luar. Ia ingat betul ketika bapaknya ngamuk-ngamuk karena mendapati ulahnya, hendak membakar Juz Amma. Saat itu Kampeng samasekali tak mampu memberi alasan; bahwa ia ingin menghafal seisi Juz Amma tersebut. Tapi itu adalah waktu yang lalu. Juz Amma telah dihafalnya setelah tak tertangkap basah lagi oleh bapaknya. Kali ini ia harus menaklukkan surat Yassin. Hanya itu isi pikirannya.

Tiga jam lagi waktu untuk salat jumat tiba. Itu berarti keampuhan air suci yang didapatnya selepas subuh tadi akan sia-sia. Sementara tinggal belasan menit lagi bel sekolah akan berbunyi sebagai tanda jam istirahat telah usai. Meski gurunya adalah paman sendiri dan pesantren itu milik keluarga besarnya, tapi hukuman bagi yang tidak disiplin sama sekali tak mengenal ikatan darah. Ia pun merasa diburu waktu.

Pojok pekarangan tempat ia berdiri sangat tepat untuk menjalani niatnya yang lumayan akan menyita waktu. Di bawah pohon kelapa yang berjarak sepuluh langkah untuk sampai rumahnya. Mangga Aromanis cangkokan rindang persis samping rumah rimbun menutupi keberadaannya.

Kampeng merapalkan doa. Doa yang ia dapat dari santri senior yang konon merasa iba. Setelah ia menjadi saksi atas rasa panas yang menjalar di paha, ketika pegangan kipas bambu mendarat dengan suara yang pedas, setiap kali Kampeng tersendat di ayat kedua surat Al Insiroh.

Ternyata memang ampuh. Surat demi surat ia hafal dalam satu minggu. Sekarang ia beranjak untuk belajar surat Yassin sebelum belajar Al Quran seluruhnya.

***

Kampeng memang memliki persoalan dalam menghafal. Setiap pelajaran yang berbau hafalan telah menegaskan bahwa Kampeng nampak bodoh karenanya. Tapi ia sebenarnya memiliki keunggulan dalam memahami sesuatu. Sebagai bukti, permainan apa yang tak ia kuasai? Sebut saja nama yang jago atas permainan tersebut, pastilah di hari berikutnya terdengar kabar bahwa Kampeng lah pemenanganya. Tapi apalah daya. Tak ada sesuatu yang meski dia pahami dalam setiap mata pelajaran di sekolahnya, bahkan dalam mata pelajaran olah raga sekalipun. Tetap saja ia dituntut untuk menghafal teori untuk ia tuliskan ulang di setiap ulangan atau ujian kenaikan kelas. Sehingga ia harus berjarak dua tahun dari teman sebangkunya di kelas satu. Ganjaran setimpal atas kegagalannya menghafal beberapa teori mata pelajaran. Dan akhir-akhir ini, di madrasah tempat ia mengaji, ia sebenarnya tak diwajibkan menghafal surat Yassin, hanya surat-surat dalam Juz Amma yang mengalami pengharusan untuk dihafal sebagai modal awal melaksanakan solat. Tapi karena tantangan dari dalam dirinyalah. Masak anak seorang guru ngaji, calon kiayi besar di madrasah tempatnya mengaji, tak hafal surah Yassin. Pasti malu ia pada saudara-saudaranya juga para santri.

Waktu tak mau menunggu. Lembar-lembar surat Yassin yang telah ia pisahkan dari cover bergambar almarhum tetangganya, dan lembaran doa di halaman belakang telah ia letakkan di atas selembar seng untuk menampung abunya. Tapi angin masih saja bertiup kencang dan mematikan api pada batang korek. Kalau pun ia berhasil membakarnya, angin akan selalu siap menerbangkan setiap serpihan abu dari robekan surat Yassin tersebut. Ia tak mau menyerah. Lembaran demi lembaran ia baca kemudian ia bakar meski susah payah ia menahan angin.

Bel sekolah tanda jam istirahat habis telah berdering, tapi Kampeng tak bergeming.

***

Matahari menyengat di atas ubun-ubun jemaat solat Jumat yang tak tertampung oleh masjid Jalaludin. Terkecuali Kampeng. Keberadaannya tergantikan oleh namanya dalam pengumuman sebelum khutbah dibacakan Khotib. Bahwa Kampeng mengalami sesuatu hal yang ganjil. Ia terkapar di rumah, dan malam nanti para santri diminta membaca surat Yassin bergilir di rumahnya.

Tak ada bahasa yang keluar dari mulut Kampeng. Hanya erang dan desah. Sesekali turut merafal beberapa ayat dari surat Yassin, namun terdengar seperti igauan pemabuk menjelang tidur. Bapak dan ibu Kampeng terus berada di dekatnya sambil merafalkan doa-doa. Sepertinya tak terlintas samasekali untuk memanggil Dokter di desa tetangga, atau pergi ke Puskesmas untuk meminta pertolongan Mantri. Bukan mereka tak percaya, atau tak mampu membayar, tapi karena mereka terlanjur yakin bahwa Kampeng kembali melakukan ketotolannya, meminum abu kertas. Keyakinan mereka dibuktikan oleh buku Yassin yang koyak moyak di tempat Kampeng terkapar.

Kampeng, si tubuh kering kerempeng, bernama Asep Jamal Jalaludin bin Jalil Jalaludin, terbujur di ranjang besi yang tak henti bersuara bila ia menggeliat karena perutnya terasa diremas. Sementara bapaknya tidak mau ketololan Kampeng diketahui Dokter apalagi santri-santrinya. Ia meyakinkan santrinya bahwa sakit yang Kampeng alami adalah kualat akibat kemarahan Almarhum tetangganya yang baru  meninggal lima puluh hari lalu. Buku Yassin yang mestiya dibacakan untuk arwahnya malah dibakar entah atas dasar apa. Sehingga meminta para santri untuk membacakan surat Yassin di samping Kampeng yang tak kunjung sadarkan diri. Untunglah bapak Kampeng adalah Kiayi salah satu pemilik pondok pesantren Jalaludin, sehingga ia tak perlu bingung untuk membayar atau mengganti mahar bacaan surat Yassin dari beberapa santri.

Baru hampir tengah malam Kampeng tersadar. Ia meminta segelas air pada ibunya. Setelah minum segelas air bening seperti pejalan gurun pasir ketika menemukan kedai di tengah gurun pasir. Tandas. Puas. Sehingga hanya engahnya yang tersisa.

“Alhamdulillah, ….” Ucap para santri yang dapat giliran baca surat Yassin serempak.

Entah berapa kali surat Yassin telah dibacakan di telinganya, entah berapa santri yang mengantri, dan entah seberapa gembira bapak, ibu serta saudara-saudaranya melihat Kampeng kembali sadarkan diri. Kampeng adalah anak semata wayang yang otomatis ahli waris Jalil Jalaludin untuk melanjutkan hak bapaknya atas sekolah, madrasah dan pesantren yang diasuh oleh keluarga besar Jalaludin. Sementara keturunan paman-pamannya lebih banyak perempuan, kalau pun ada beberapa anak laki-laki, mereka lebih memilih melanjutkan sekolah di kota dan pulang ketika hari raya saja. Hanya Kampeng lah yang bertekad dan memiliki cita-cita untuk mengembangkan dan mengabdikan diri pada Pondok Pesantren Jalaludin.

Maka tak heran jika seluruh keluarga bapaknya berharap, bahwa Kampeng lah yang kelak menjadi imam di madrasah atau pondok pesantren Jalaludin, terkecuali sekolah umum biarlah dikepalai oleh akademisi. Sebab sepinya santri yang mengaji atau mondok di madrasah dan pesantren, atau menyulapnya menjadi sekolahan umum seratus persen adalah mimpi buruk bagi keluarga besar Jalaludin atas mimpi indahnya untuk mempertahankan dan menyebarkan ajaran Islam di tengah gempuran kapitalisme barat. Dalam kesehariannya yang pendiam, sebenarnya Kampeng merasa terbebani atas tuntutan yang meski ia hadapi. Tapi ia memiliki keyakinan, bahwa setiap niatan pasti menemukan jalan penyelesaiannya sendiri.

Kampeng telah benar-benar sadarkan sendiri. Ia telah mampu mengenali orang-orang yang sedang mengelilinnya. Dalam kondisi seperti ini—meski sebetulnya dalam kondisi apa pun—segala permintaan Kampeng pasti dipenuhi. Bodohnya Kampeng adalah tidak memanfaatkan itu.  Ia malah meminta disodorkan Al Quran. Mencari surat Yassin. Ia hendak menguji tingkat keberhasilan upayanya yang telah kesekian kali ini untuk menghafal surat Yassin. Tentu lebih sulit dari pada menghafal surat-surat pada Juz Amma.

Ayat demi ayat ia baca sambil sesekali memejamkan mata. Bapak, ibu, saudara-saudara dan para santri yang sedang berada di kamar Kampeng hanya terdiam. Ternganga. Hampir tak percaya dengan penglihatannya. Setelah usai membaca Kampeng meminta air minum. Kembali ia mereguknya bagai seorang pengamen keliling menemukan kedai di tepi sawah ribuan hektar. Tandas. Kampeng hanya tersenyum pada orang-orang di sekelilingnya. Ia kemudian memejamkan mata dan merafalkan surat Yassin ayat demi ayat dengan perlente. Orang-orang di sekitarnya kembali ternganga. Tak berani menyela atau mengusik. Pun Wak Idgsom, guru ngajinya.

***

Kejadian itu telah seminggu berlalu. Kini Kampeng mulai mempelajari dan menghafal Asmaulhusna sebelum benar-benar mengeja huruf demi huruf dan menelusuri Asbabunujul pada surat Al Fatihah dan surat-surat berikutnya dalam Al Quran. Maka ia pun meminta izin pada Wak Idgsom untuk membawa satu Al Quran ke rumah. Wak Idgsom, pamannya sendiri, tak bisa menolak permintaan calon Kiayi besar Jalaludin, meski ia tahu bahwa Al Quran itu tidak akan kembali pada raknya di kemudian hari.

 

Pondok ASAS, Bandung.

Leave a comment