Pencabutan Subsidi BBM adalah Politik Anti Rakyat serta Menggadaikan Kedaulatan Energi Nasional!

Oleh: FPR

Front Perjuangan Rakyat (FPR), aliansi progresif organisasi-organisai massa demokratis, militan dan patriotik, menolak kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi dan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang rencanya akan dilakukan hari ini (17/6), sesuai dengan hasil rapat paripurna soal Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP 2013). Kebijakan ini merupakan serangan terhadap kehidupan rakyat, ditengah krisis dunia yang berkepanjangan sampai hari ini. Pencabutan subsidi BBM bukanlah kebijakan populis, seperti apa yang tengah dikampanyekan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono (SBY-Budiono), melainkan kebijakan yang anti rakyat, dan pro terhadap kapitalis monopoli internasional. Kebijakan ini juga telah meniadakan capaian kecil gerakan buruh dalam kampanye kenaikan upah, yang berhasil menaikan 12% upah ditingkat nasional.

Alasan pencabutan subsidi tidak ilmiah dan usang!

Alasan-alasan yang paling utama digunakan oleh pemerintah yakni: a). Untuk penyelematan anggaran (APBN) dari pembengkakan akibat kebutuhan subsidi yang tinggi, b). Karena naiknya harga minyak dunia, c). Karena subsidi yang tidak tepat  sasaran dan pengalihan subsidi untuk sektor lain yang lebih berguna. Tentu saja alasan-alasan ini sangat tidak ilmiah dan mengada-ada, serta bertolak belakang dari kenyataan yang terjadi:

Mengapa APBN bengkak?

1). Pemerintah menyatakan bahwa total minyak (untuk menutupi kekurangan) yang harus di import sebesar 990 ribu barrel perhari. Artinya, dalam perbandingan, kebutuhan konsumsi dan jumlah produksi tersebut (jika dihitung hanya berdasarkan jatah Pemerintah: 540 ribu barrel/hari), didalamnya terdapat  selisih 130 ribu barrel (20,7 kl) perhari, setara dengan Rp. 124, 02 M. Atau sama dengan 46,8 jt barrel pertahun, setara dengan Rp. 1,49 T. Pertahun. Jadi sebenarnya, kekurangan cadangan minyak nasional yang harus dipenuhi melalui Import bukanlah sebesar 990 ribu barrel, melainkan 860 ribu barrel. Artinya, terdepat selisih angka yang “digelapkan” oleh pemerintah sebesar 130 ribu barrel/hari. Dengan demikian, keuntungan yang diraup oleh pemerintah dari “penggelapan” 130 ribu barrel perhari mencapai US$.13 Jt/hari , samadengan Rp. 124,8 Milliar/hari atau Rp. 1, 498 Trilliun/tahun.

2). Jika seluruh hasil produksi minyak nasional diorientasikan untuk kebutuhan domestik/nasional, maka sebenarnya Indonesia hanya kekurangan 550 ribu barrel perhari dengan nilai US$. 55 jt. Namun karena pemerintah lebih mengutamakan eksport, akibatnya jumlah Import yang harus ditanggung negara melebihi jumlah produksi minyak didalam negeri. Belum lagi jika dihitung bahwa minyak yang dieksport adalah minyak mentah, sementara kita harus melakukan impor sebagian besar adalah minyak jadi, termasuk 540 ribu barrel jatah pemerintah dari setiap produksi tersebut, harus diekspor kembali untuk diolah menjadi minyak jadi. Dengan demikian maka beban biaya yang ditanggung oleh Negara menjadi berlipat-lipat.

Untuk memenuhi kekurangan cadangan minyak tersebut, Christian Damayanto (Direktur Pengolahan PT. Pertamina) mengatakan bahwa, total Import pertamina saat ini sebesar 200.000 barrel perhari dengan harga yang dipatok oleh pemerintah berdasarkan Indonesian Crued Price (ICP) sebesar US$ 100, dengan total anggaran yang disediakan sebesar 46,1 jt kl. dengan Nilai Rp.69,150.000.000.000. Kenyataannya, jika dihitung berdsarkan ICP yang ditetapkan Pemerintah, US$.100, maka Angka riil untuk membiayai Import sebesar 200.000 barrel perhari menjadi sebesar Rp. 69.120.000.000.000. Dari perhitungan tersebut terdapat selisih angka (over bugdet) mencapai Rp. 30 T. Jadi, jika pemerintah menyatakan bahwa APBN yang dialokasikan untuk 46,1 kl minyak tersebut masih kurang, tentulah alasan tersebut adalah alasan yang mengada-ada dan bohong belaka, kelebihan hingga Rp. 30 T. Tersebut bahkan belum termasuk APBN-P yang diusulkan mencapai 50-53 juta kl.

Monopoli adalah masalah utamanya!

Selama ini pemerintah Indonesia melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk menutup kekurangan konsumsi minyak harian Indonesia yang pada tahun 2012 mencapai 1,3 juta barel per hari dan 2013 mencapai 1,4 juta barrel per hari, Sedangkan produksi minyak dalam negeri selama ini hanya sekitar 910.000 – 920.000 barel per hari pada tahun 2012 dan, pada tahun 2013 turun menjadi 850 barrel per hari. Hal tersebut menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp 1.500 untuk premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia dan membengkaknya anggaran engara untuk subsidi BBM. Monopoli atas produksi hingga distribusi minyak telah menyebabkan harga minyak naik, dan bukan sekedar akibat turunnya volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional.

Sesungguhnya instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai Instrumen pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Inter Continental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga minyak dunia dengan “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC.

Pertukaran minyak internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan di ICE Future terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan (Benchmark) atas harga kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua pasar minyak tersebut dominan atas pembentukan patokan harga (benchmark) minyak khususnya untuk jenis minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent), selain itu DME juga memiliki peranan yang sama sebagai kepanjangan tangan dari NYMEX. Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi pasar di Eropa dan Asia, sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis minyak ini terutama jenis Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini dilakukan di pantai timur AS.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ICE selama ini merupakan partner bagi penguasa–penguasa perdagangan minyak seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter) atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli minyak di pasar dunia.

Sehingga dari sinilah terlihat bahwa masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai sebab yang selama ini dipropagandakan oleh imperialis maupun pemerintah bonekanya. Masalah tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi yang kemudian digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan ekonomi AS sebagai konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.

Pengalihan subsidi adalah politik pencitraan menuju pemilu!

Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri bergantung seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri imperialis. Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor penting dalam ekonomi.

Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.

Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Meskipun rencana penetapan kenaikan tersebut akan dilakukan pada pertengahan Bulan ini (17 Juni 2013), faktanya sejak awal tahun (bulan Januari) rakyat terus diguyur dengan kenaikan harga kebutuhan pokok secara beruntun setiap bulan. Mulai dari kenaikan tarif dasar listrik pada bulan januari dan April yang masing-masing sebesar 4,3%, kemudian disusul dengan kenaikan harga daging, cabe, bawang, telur dan Tomat serta kebutuhan pokok lainnya. Fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok (Inflasi) yang terjadi setiap bulan tersebut hanya terjadi di Indonesia. Dari kenyataan tersebut, dapat digambarkan bagaimana kenyataan yang harus dihadapi rakyat paska penaikan BBM bulan ini, terlebih pada awal bulan selanjutnya sudah akan memasuki bulan puasa (Ramadhan), kemudian Lebaran, selanjutnya Natal dan tahun baru.

Beberapa komponen sembako masih bertahan di harga semula, tetapi perubahan dapat terjadi setiap hari dan cenderung untuk naik meski pelaksanaan tarif BBM baru belum berlaku. Dampak kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin mencapai antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi ditambah kenaikan per 1 April nanti pasti akan melesat naik.

Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 persen dari 77 persen total konsumsi minyak nasional. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya.

Di sektor industri, khususnya Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibat meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan.

Di sektor pertanian, kaum tani menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah darat, Contoh di desa Sukamulya Rumpin (Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4.000 per karung (20 kg) dari harga sebelumnya Rp 2.700 per karung. Kenaikan ini akibat biaya transportasi dan harga karung. Di Cirebon, pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 juga telah meningkatkan harga sewa tanah naik 100 persen menjadi Rp 10 juta/hektar per tahun.

Disektor kelautan juga sangat menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah penggunaan solar yang merupakan komponen terbesar biaya produksi yang mencapai 60 persen lebih. Mayoritas nelayan di Indonesia dari 2,6 juta adalah nelayan pengguna kapal kecil yang bobotnya di bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar eceran yang harganya dapat mencapai dua kali lipat per liter.

Penurunan daya beli, Tarif baru BBM akan menurunkan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti. Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 7,2 persen (naik dari asumsi inflasi APBN 2013 yang berada di kisaran 4,9 persen) sehingga nilai uang serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan umum masyrakat perkotaan (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional, Pegawai rendahan, dan Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.

Angka kemiskinan meningkat, Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Hal tersebut juga senada dengan  yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Chatib Basri) mengungkapkan, kenaikan harga BBM bersubsidi 2013 akan menciptakan sekitar 4 juta orang miskin baru.

Kedua, Politik. Demi menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim merasa terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini, sejak tahun 2012 lalu telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan pemerintah, oleh Presiden SBY secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas” setiap demonstrasi atau gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan tersebut.

Disisi yang lain pula, pengalihan subsidi menjadi kompensasi dalam berbagai bentuk tidak terlepas dari kepentingan politik menuju pemilu 2014 yang sudah semakin dekat. Pemberian Kompensasi melalui program percepatan dan perluasan perlindungan social senilai Rp. 12,5 Trilliun dan Bantuan lansung sementara (BLSM) senilai Rp. 30,1 Triliun tak ubahnya sebagai politik pencitraan semata.

Ketiga, Kebudayaan. Sudah pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.

Sebagai contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang dikenal dengan “Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya tidak pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta didik dari keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun masih melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan diskriminasi dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru mengurangi tanggungan wajib pemerintah (20% Anggaran pendidikan dari APBN), dimana anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran 20% tersebut yang juga tidak pernah terealisasi secara utuh, meskipun pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran tersebut sudah terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya termasuk dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah tampak menjadi lebih besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih tidak lebih dari hanya 11%.

Dampak lansung, dari kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah angka putus sekolah dan pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun 2009, terhitung jumlah siswa putus sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000 siswa. Sementara akses ke pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah (18-25 tahun), yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa, dan dari angka tersebut menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari 150.000 Mahasiswa setiap tahun.

Selain dampak lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda Indonesia secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut kemudian menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di release BPS tahun 2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi. Tercatat, Pengangguran dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008 berjumlah 4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada Februari 2009.

Artinya bahwa kenaikan harga BBM kali inipun pasti akan menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih pemerintah sendiri oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran Pendidikan dan Kesehatan” menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas pemotongan subsidi yang akan dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM 2012). Menurut forum rektor yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan tinggi, juga telah menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan kenaikan harga BBM. UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan menaikkannya sesuia dengan kenaikan BBM.

Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah naik hingga 10 persen, bahkan obat yang mengandung parasetamol mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.

Draf RUU Pendidikan Tinggi Versi 3 April 2012 Hasil Timus/Timsin Panja RUU DIKTI Untuk Bahan Rapat Panja RUU DIKTI 4 April 2012

                                                     RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN 2012

TENTANG

PENDIDIKAN TINGGI

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang:

 

  1. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia;
  2. bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan;
  3. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektualis, ilmuwan, dan/atau profesionalis yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa;
  4. bahwa untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis;
  5. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi;

 

Mengingat:

 

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI.

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
  2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia.
  3. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu.
  4. Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup, serta peningkatan mutu kehidupan manusia.
  5. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
  6. Perguruan Tinggi Negeri, selanjutnya disingkat PTN, adalah perguruan tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.
  7. Perguruan Tinggi Swasta, selanjutnya disingkat PTS, adalah perguruan tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
  8. Tridharma Perguruan Tinggi, selanjutnya disebut Tridharma, adalah kewajiban perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
  9. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau  pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.  
  10. Pengabdian kepada masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
  11. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa dengan dosen dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
  12. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
  13. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
  14. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi.
  15. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan tinggi.
  16. Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi.
  17. Universitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dan jika memenuhi syarat, universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
  18. Institut adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
  19. Sekolah Tinggi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
  20. Politeknik adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dan jika memenuhi syarat, politeknik dapat menyelenggarakan pendidikan profesi keahlian.
  21. Akademi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu.
  22. Akademi Komunitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang  ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.
  23. Otonomi pengelolaan adalah keleluasaan dalam mengelola perguruan tinggi secara akuntabel.
  24. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
  25. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
  26. Kementerian adalah perangkat pemerintahan yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
  27. Kementerian lain adalah perangkat pemerintahan yang membidangi urusan pemerintahan di luar bidang pendidikan.
  28. Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, selanjutnya disingkat LPNK, adalah lembaga pemerintah pusat yang melaksanakan tugas pemerintahan tertentu.
  29. Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian di bidang pendidikan.

 

Pasal 2

Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pasal 3

Pendidikan Tinggi berasaskan:

  1. kebenaran ilmiah;
  2. penalaran;
  3. kejujuran;
  4. keadilan;
  5. manfaat;
  6. kebajikan;
  7. tanggung jawab;

h. kebhinnekaan; dan

  1. keterjangkauan.

Pasal 4

Pendidikan Tinggi berfungsi:

  1. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
  2. mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan
  3. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 5

Pendidikan Tinggi bertujuan:

  1. berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
  2. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan  daya saing bangsa;
  3. dihasilkannya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian agar bermanfaat bagi kemandirian dan kemajuan bangsa, serta kemajuan paradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
  4. terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

BAB II

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI 

 

Bagian Kesatu

Prinsip dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi

 

Pasal 6

Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip:

  1. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika;
  2. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa;
  3. pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca-tulis bagi Sivitas Akademika;
  4. pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat;
  5. keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas mahasiswa dalam pembelajaran;
  6. pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang;
  7. kebebasan dalam memilih program studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan mahasiswa;

h. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna;

  1. keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi;  dan
  2. pemberdayaan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan tinggi.

Pasal 7

(1)   Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.

(2)   Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi.

(3)   Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi terkait dengan pendidikan tinggi keagamaan, Menteri yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan bertanggung jawab melakukan pengaturan, perencanaan, pengawasaan, pemantauan dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi.

(4)   Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan pendidikan tinggi meliputi:

  1. pengembangan dan koordinasi pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan tujuan pendidikan tinggi;
  2. penetapan kebijakan nasional dan penyusunan rencana pengembangan jangka panjang, menengah, dan tahunan pendidikan tinggi yang berkelanjutan;
  3. penjaminan peningkatan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses pendidikan tinggi secara berkelanjutan;
  4. pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya perguruan tinggi;
  5. pemberian dan pencabutan izin penyelenggaraan program studi;
  6. penghimpunan dan pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tinggi;
  7. pembentukan dewan, majelis,  komisi,  dan/atau konsorsium yang melibatkan masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan pendidikan tinggi; dan

h. pelaksanaan tugas lain untuk menjamin pengembangan dan pencapaian tujuan pendidikan tinggi.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta tugas dan wewenang Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

 

Paragraf 1

Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan

 

Pasal 8

(1)   Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

(2)   Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

(3)   Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi sivitas akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi.

Pasal 9

(1)   Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan akademik untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.

(2)   Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan cabang ilmunya.

(3)   Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan otonomi sivitas akademika pada suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik.

 

Paragraf 2

Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 10

(1)   Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang berkembang secara alami dan disusun secara sistematis.

(2)   Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

  1. ilmu agama;
  2. ilmu humaniora;
  3. ilmu sosial;
  4. ilmu alam;
  5. ilmu formal; dan
  6. ilmu terapan.

(3)   Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditransformasikan, dikembangkan, dan/atau disebarluaskan oleh Sivitas Akademika melalui Tridharma.

(4)   Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 3

Sivitas Akademika

 

Pasal 11

(1)   Sivitas Akademika merupakan komunitas yang memiliki tradisi ilmiah dengan mengembangkan budaya akademik.

(2)   Budaya akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan asas pendidikan tinggi.

(3)   Pengembangan budaya akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan interaksi sosial tanpa membedakan suku, agama, ras, antar-golongan, jenis kelamin, kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi, dan aliran politik.

(4)   Interaksi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, penguasaan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah.

(5)   Sivitas Akademika berkewajiban memelihara dan mengembangkan budaya akademik dengan memperlakukan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai proses dan produk serta sebagai amal dan paradigma moral.

 

Pasal 12

(1)   Dosen sebagai anggota sivitas akademika memiliki tugas mentransformasikan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang dikuasainya kepada mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran sehingga mahasiswa aktif mengembangkan potensinya.

(2)   Dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya.

(3)   Dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika.

Pasal 13

(1)   Mahasiswa sebagai anggota sivitas akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesionalis.

(2)   Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektualis, praktisi, dan/atau profesionalis yang berbudaya.

(3)   Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.

(4)   Mahasiswa berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kemampuannya.

(5)   Mahasiswa dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak melebihi ketentuan batas waktu yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.

(6)   Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati norma pendidikan tinggi untuk menjamin terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya akademik.

(7)   Ketentuan lebih lanjut mengenai mahasiswa diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 14

(1)   Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan.

(2)   Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.

(3)   Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Ketiga

Jenis Pendidikan Tinggi

 

Paragraf 1

Pendidikan Akademik

 

Pasal 15

(1)   Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan program pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu.

(2)   Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan akademik berada dalam tanggung jawab Kementerian.

 

Paragraf 2

Pendidikan Profesi

Pasal 16                                     

(1)   Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.

(2)   Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu pelayanan profesi.

 

Paragraf 3

Pendidikan Vokasi

 

Pasal 17

(1)   Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.

(2)   Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan oleh Pemerintah sampai program magister terapan atau program doktor terapan.

(3)   Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan vokasi berada dalam tanggung jawab Kementerian.

 

Bagian Keempat

Program Pendidikan Tinggi

 

Paragraf 1

Program Sarjana, Program Magister, dan Program Doktor

Pasal 18

(1)   Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah.

(2)   Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Universitas, Institut, atau Sekolah Tinggi yang memiliki program sarjana.

(3)   Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyiapkan mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesionalis.

(4)   Program sarjana wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat.

(5)   Lulusan program sarjana berhak menggunakan gelar sarjana.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program sarjana diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 19

(1)   Program magister merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.

(2)   Program magister sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Universitas, Institut, atau Sekolah Tinggi yang memiliki program pascasarjana.

(3)   Program magister sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan mahasiswa menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesionalis.

(4)   Program magister wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat dengan jabatan akademik minimum lektor.

(5)   Lulusan program magister berhak menggunakan gelar magister.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 20

(1)   Program doktor merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.

(2)   Program doktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Universitas, Institut atau Sekolah Tinggi yang memiliki program pascasarjana.

(3)   Program doktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau mengembangkan teori melalui penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia.

(4)   Program doktor wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat dengan jabatan akademik minimum lektor kepala.

(5)   Lulusan program doktor berhak menggunakan gelar doktor.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 2

Program Profesi dan Program Spesialis

Pasal 21

(1)   Program profesi merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja.

(2)   Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu pelayanan profesi.

(3)   Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyiapkan profesionalis.

(4)   Program profesi wajib memiliki dosen berkualifikasi akademik minimum lulusan program profesi dan/atau lulusan program magister atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun.

(5)   Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar profesi.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 22

(1)   Program spesialis merupakan pendidikan keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi lulusan program profesi yang telah berpengalaman sebagai tenaga profesional untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi spesialis.

(2)   Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu pelayanan profesi.

(3)   Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam cabang ilmu tertentu.

(4)   Program spesialis wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program spesialis dan/atau lulusan program doktor atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun.

(5)   Lulusan program spesialis berhak menggunakan gelar spesialis.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program spesialis diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Paragraf 3

Program Diploma, Magister Terapan, dan Doktor Terapan

Pasal 23

(1)   Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi.

(2)   Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Politeknik, Akademi, dan Akademi Komunitas serta dapat diselenggarakan oleh Universitas, Institut, dan Sekolah Tinggi yang memiliki pendidikan vokasi.

(3)   Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyiapkan mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan bidang keahliannya.

(4)   Program diploma sebagaimana dimaksud  pada ayat (3) terdiri atas program:

  1. diploma satu;
  2. diploma dua;
  3. diploma tiga; dan
  4. diploma empat.

(5)   Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat.

(6)   Pada program diploma satu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan program diploma dua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dapat menggunakan instruktur yang berkualifikasi akademik minimum lulusan diploma tiga atau sederajat yang memiliki pengalaman.

(7)   Lulusan program diploma berhak menggunakan gelar ahli atau sarjana terapan.

(8)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program diploma diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 24

(1)   Program magister terapan merupakan kelanjutan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana terapan atau sederajat untuk mampu mengamalkan dan mengembangkan penerapan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.

(2)   Program magister terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Politeknik yang memiliki program pascasarjana.

(3)   Program magister terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan mahasiswa menjadi ahli yang memiliki kapasitas tinggi dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada profesinya.  

(4)   Program magister terapan wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat dengan jabatan akademik minimum lektor.

(5)   Lulusan program magister terapan berhak menggunakan gelar magister terapan.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister terapan diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 25

(1)   Program doktor terapan merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister terapan atau sederajat untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi bagi penerapan, pengembangan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.

(2)   Program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, atau Politeknik yang memiliki program pascasarjana.

(3)   Program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai ahli dan menghasilkan serta mengembangkan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian yang komprehensif dan akurat dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia.

(4)   Program doktor terapan wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat dengan jabatan akademik minimum lektor kepala.

(5)   Lulusan program doktor terapan berhak menggunakan gelar doktor terapan.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor terapan diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 4

Gelar Akademik, Gelar Profesi, dan Gelar Vokasi 

 

Pasal 26

(1)   Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik.

(2)   Gelar akademik terdiri atas:

  1. sarjana;
  2. magister; dan
  3. doktor.

(3)   Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesi.

(4)   Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi.

(5)   Gelar profesi terdiri atas:

  1. profesi; dan
  2. spesialis.

(6)   Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi.

(7)   Gelar vokasi terdiri atas:

  1. ahli pratama;
  2. ahli muda;
  3. ahli madya;
  4. sarjana terapan;
  5. magister terapan; dan
  6. doktor terapan.

(8)   Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

(1)   Selain gelar doktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c, Perguruan Tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan atau doctor honoris causa kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar doktor kehormatan atau doctor honoris causa diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 28

(1)   Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi.

(2)   Gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi.

(3)   Gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi hanya dibenarkan dalam bentuk dan inisial atau singkatan yang diterima dari Perguruan Tinggi.

(4)   Gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila:

  1. dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau
  2. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang bukan Perguruan Tinggi.

(5)   Gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Perguruan Tinggi apabila karya ilmiah yang digunakan untuk memperoleh gelar akademik, gelar profesi, atau gelar vokasi terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat.

(6)   Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar profesi, dan/atau gelar vokasi.

 

Bagian Kelima

Pendidikan Tinggi Keagamaan

Pasal 29

(1)   Pemerintah atau Masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan.

(2)   Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dan dapat berbentuk Ma’had Aly, Pasraman, Seminari, dan bentuk lain yang sejenis.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan tinggi keagamaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam

Pendidikan Jarak Jauh

 

Pasal 30

(1)   Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar-mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi.

(2)   Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:

  1. memberikan layanan pendidikan tinggi kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau regular; dan
  2. memperluas akses serta mempermudah layanan pendidikan tinggi dalam pendidikan dan pembelajaran.

(3)   Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketujuh

Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

 

Pasal 31

(1)    Program Studi dapat dilaksanakan melalui pendidikan khusus bagi mahasiswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran.

(2)    Selain pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Program Studi juga dapat dilaksanakan melalui pendidikan layanan khusus dan/atau pembelajaran layanan khusus.

(3)    Pelaksanaan Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diselenggarakan dengan sistem pendidikan jarak jauh dengan berbasis teknologi informasi dan multi media.

(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi yang melaksanakan pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pendidikan layanan khusus dan/atau pembelajaran layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Kedelapan

Proses Pendidikan dan Pembelajaran

 

Paragraf 1

Program Studi

 

Pasal 32

(1)   Program pendidikan dilaksanakan melalui Program Studi.

(2)   Program Studi memiliki kurikulum dan metode pembelajaran sesuai dengan program pendidikan.

(3)   Program Studi diselenggarakan atas izin Menteri setelah memenuhi persyaratan minimum akreditasi.

(4)   Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.

(5)   Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin penyelenggaraan.

(6)   Program studi wajib diakreditasi ulang pada saat jangka waktu akreditasinya berakhir.

(7)   Program Studi yang tidak diakreditasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dicabut izinnya oleh Menteri.

(8)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pencabutan izin Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 33

(1)   Program Studi diselenggarakan di kampus utama Perguruan Tinggi.

(2)   Selain diselenggarakan di kampus utama Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Program Studi juga dapat diselenggarakan di luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan Tinggi setempat.

(3)   Program Studi di luar kampus utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diselenggarakan apabila di luar kampus utama tidak terdapat Perguruan Tinggi yang mampu menyelenggarakan program studi yang sama.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan program studi di kampus utama Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyelenggaraan program studi di luar kampus utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 2

Kurikulum

Pasal 34

(1)    Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.

(2)    Kurikulum pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan.

(3)    Kurikulum pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat:

  1. pendidikan agama;
  2. pendidikan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  3. pendidikan kewarganegaraan; dan
  4. bahasa Indonesia.

(4)    Kurikulum pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:

a. kurikuler;

b. ko-kurikuler; dan

  1. ekstrakurikuler.

(5)    Ketentuan lebih lanjut mengenai kurikulum diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal  35

Kurikulum pendidikan profesi dirumuskan bersama Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

 

Paragraf 3

Sistem Kredit Semester

Pasal 36

(1)   Program Studi diselenggarakan dengan menerapkan Sistem Kredit Semester yang bobot pembelajarannya dinyatakan dalam satuan kredit semester.

(2)   Sistem Kredit Semester sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kesatuan proses pembelajaran yang saling berkaitan untuk melaksanakan kegiatan akademik yang dilaksanakan secara bertahap, sistematis, dan terukur dalam kurikulum untuk penyelesaian program studi.

(3)   Penyelesaian program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan satuan kredit semester yang merupakan ukuran yang dipergunakan untuk menyatakan besarnya beban studi, tugas, pekerjaan yang diukur dengan banyaknya waktu yang diperlukan.

(4)   Sistem Kredit Semester sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:

  1. mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuannya;
  2. merencanakan dan mengatur waktu pembelajaran serta beban studi sesuai dengan kemampuan dan kepentingan mahasiswa atas bimbingan penasihat akademik; dan
  3. mengukur beban studi mahasiswa  serta beban kegiatan akademik dan nonakademik dosen dengan satuan kredit semester.

(5)   Pada program studi tertentu dapat diterapkan sistem selain Sistem Kredit Semester.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Kredit Semester diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 4

Bahasa Pengantar

 

Pasal  37

(1)   Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar utama dalam pendidikan tinggi.

(2)   Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam program studi bahasa dan sastra daerah.

(3)   Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di Perguruan Tinggi dan/atau program studi yang mengkaji dan mengembangkan bahasa asing serta Perguruan Tinggi dan/atau program studi tertentu untuk mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan berbahasa asing bagi mahasiswa.

 

Paragraf 5

Perpindahan dan Penyetaraan

 

Pasal 38

(1)   Perpindahan mahasiswa dapat dilakukan antar:

  1. Program Studi pada program pendidikan yang sama;
  2. jenis pendidikan tinggi; dan/atau
  3. Perguruan Tinggi.

(2)   Ketentuan mengenai perpindahan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 39

(1)   Lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi dapat melanjutkan pendidikannya pada pendidikan akademik melalui penyetaraan.

(2)   Lulusan pendidikan akademik dapat melanjutkan pendidikannya pada pendidikan vokasi atau pendidikan profesi melalui penyetaraan.

(3)   Ketentuan mengenai penyetaraan lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyetaraan lulusan pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 40

(1)   Lulusan perguruan tinggi negara lain dapat mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia setelah melalui penyetaraan.

(2)   Ketentuan mengenai penyetaraan lulusan perguruan tinggi negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 6

Sumber Belajar, Sarana dan Prasarana

Pasal 41

(1)   Sumber belajar pada lingkungan pendidikan tinggi wajib disediakan, difasilitasi, atau dimiliki oleh Perguruan Tinggi sesuai dengan program studi yang dikembangkan.

(2)   Sumber belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan secara bersama oleh beberapa Perguruan Tinggi.

(3)   Perguruan Tinggi wajib menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kecerdasan mahasiswa.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 7

Ijazah

 

Pasal 42

(1)   Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi.

(2)   Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang memuat program studi dan gelar yang berhak dipakai oleh lulusan pendidikan tinggi.

(3)   Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh rektor, ketua, atau direktur Perguruan Tinggi dan diserahkan kepada yang berhak pada saat dinyatakan lulus.

(4)   Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai syarat untuk melanjutkan pendidikannya, memperoleh pekerjaan, dan/atau menduduki jabatan tertentu.

(5)   Lulusan pendidikan tinggi yang menggunakan karya ilmiah untuk memperoleh ijazah dan gelar, yang terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat, ijazahnya dinyatakan tidak sah dan gelarnya dicabut oleh Perguruan Tinggi.

(6)   Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan ijazah.

 

Paragraf 8

Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi

 

Pasal 43

(1)   Sertifikat profesi merupakan pengakuan yang diperoleh lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertangung jawab atas mutu layanan profesi.

(2)   Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi.

(3)   Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat profesi.

(4)   Ketentuan mengenai sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1)   Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang  sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya.

(2)   Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi.

(3)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu.

(4)   Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan

Penelitian

 

Pasal 45

(1)   Penelitian di Perguruan Tinggi merupakan kegiatan sivitas akademika sebagai pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan metode ilmiah.

(2)   Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika sesuai dengan otonomi keilmuan dan budaya akademik.

(3)   Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan jalur kompetensi dan kompetisi.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 46

(1)   Hasil penelitian bermanfaat untuk:  

  1. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperkaya pembelajaran dan khazanah ilmu pengetahuan;
  2. sebagai indikator  tingkat kemajuan perguruan tinggi serta  kemajuan dan tingkat peradaban bangsa;
  3. meningkatkan kemandirian, kemajuan, daya saing bangsa, dan mutu kehidupan manusia.
  4. memenuhi kebutuhan strategis pembangunan nasional; dan
  5. mendorong perubahan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat pengetahuan.

(2)   Hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan dan/atau dipatenkan oleh Perguruan Tinggi, kecuali hasil penelitian yang bersifat rahasia, mengganggu, dan/atau  membahayakan kepentingan umum.

(3)   Hasil penelitian sivitas akademika yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna, dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar dapat diberi anugerah yang bermakna oleh Pemerintah.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 47

(1)   Perguruan Tinggi berperan aktif menggalang kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang penelitian.

(2)   Pemerintah, Pemerintah daerah, dan Masyarakat mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3)   Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK.

(4)   Pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang penelitian.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pendayagunaan fasilitas penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kesepuluh

Pengabdian Kepada Masyarakat

Pasal 48

(1)   Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan sivitas akademika dalam mengamalkan dan membudayakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

(2)   Pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik, keahlian, dan/atau otonomi keilmuan sivitas akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat.

(3)   Hasil pengabdian kepada masyarakat digunakan sebagai proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengayaan sumber belajar, dan/atau untuk pembelajaran dan pematangan sivitas akademika.

(4)   Pemerintah memberikan penghargaan atas hasil pengabdian kepada Masyarakat yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh dunia usaha dan dunia industri, dan/atau teknologi tepat guna.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Kesebelas

Pelaksanaan Tridharma

 

Pasal 49

(1)   Ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan Tridharma dilakukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan setiap jenis dan program pendidikan tinggi.

(2)   Ketentuan mengenai ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan Tridharma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Keduabelas

Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi

Pasal 50

(1)   Kerja sama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.

(2)   Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada prinsip bebas aktif, solidaritas, toleransi, dan rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang saling memberi manfaat bagi kehidupan manusia.

(3)   Kerja sama internasional mencakup bidang pendidikan, penelitian, dan  pengabdian kepada masyarakat.

(4)   Kerja sama internasional dalam pengembangan pendidikan tinggi dapat dilakukan, antara lain, melalui:

  1. hubungan antara lembaga pendidikan tinggi di Indonesia dan lembaga pendidikan tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
  2. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar negeri; dan
  3. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri.

(5)   Kerja sama internasional dapat dikembangkan bersama-sama oleh perwakilan Indonesia di luar negeri dengan perwakilan luar negeri di Indonesia.

(6)   Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional pendidikan tinggi ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

 

BAB III

PENJAMINAN MUTU

 

Bagian Kesatu

Sistem Penjaminan Mutu

 

Pasal 51

(1)   Pendidikan tinggi yang bermutu merupakan pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif mengembangkan potensinya dan menghasilkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

(2)   Pemerintah menyelenggarakan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi untuk mendapatkan pendidikan bermutu.

Pasal 52

(1)   Penjaminan mutu pendidikan tinggi merupakan kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan.

(2)   Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar pendidikan tinggi.

(3)   Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(4)   Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.

 

Pasal 53

Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri atas:

  1. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi; dan
  2. sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan melalui akreditasi.

 

Bagian Kedua

Standar Pendidikan Tinggi

Pasal 54

(1)   Standar pendidikan tinggi terdiri atas:

  1. Standar Nasional Pendidikan Tinggi ditetapkan oleh Menteri atas usul suatu badan yang bertugas menyusun dan mengembangkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
  2. Standar Pendidikan Tinggi ditetapkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(2)   Standar Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat.

(3)   Standar Nasional Pendidikan Tinggi dikembangkan dengan memperhatikan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.

(4)   Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas sejumlah standar dalam bidang akademik dan nonakademik  yang melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(5)   Dalam mengembangkan Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Perguruan Tinggi memiliki keleluasaan mengatur pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(6)   Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi secara berkala.

(7)   Menteri mengumumkan hasil evaluasi dan penilaian Standar Pendidikan Tinggi kepada Masyarakat.

(8)   Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga

Akreditasi

 

Pasal 55

(1)    Akreditasi merupakan kegiatan penilaian berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(2)    Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan kelayakan program studi dan Perguruan Tinggi atas dasar kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(3)    Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi untuk mengembangkan sistem akreditasi.

(4)    Akreditasi program studi sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri.

(5)    Akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi.

(6)    Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan lembaga mandiri bentukan Pemerintah atau lembaga mandiri bentukan masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi.

(7)    Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi dan lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Keempat

Pangkalan Data Pendidikan Tinggi

 

Pasal 56

(1)   Pangkalan Data Pendidikan Tinggi merupakan kumpulan data penyelenggaraan pendidikan tinggi seluruh Perguruan Tinggi yang terintegrasi secara nasional.

(2)    Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber informasi bagi:

  1. lembaga akreditasi untuk melakukan akreditasi program studi dan Perguruan Tinggi;
  2. pemerintah untuk melakukan evaluasi program studi dan Perguruan Tinggi; dan
  3. masyarakat untuk mengetahui kinerja  program studi dan Perguruan Tinggi.

(3)    Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan dan dikelola oleh Kementerian.

 

Bagian Kelima

Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi

Pasal 57

(1)   Lembaga layanan pendidikan tinggi dibentuk oleh Menteri di wilayah untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Menteri menetapkan tugas dan fungsi lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhan.

(3)   Menteri secara berkala mengevaluasi kinerja lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Bagian Keenam

Koordinasi Penjaminan Mutu

 

Pasal 58

Penyelenggaraan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

 

BAB IV

PERGURUAN TINGGI

 

Bagian Kesatu

Bentuk Perguruan Tinggi

 

Pasal 59

(1)      Bentuk perguruan tinggi terdiri atas:

  1. universitas;
  2. institut;
  3. sekolah tinggi;
  4. politeknik;
  5. akademi; dan
  6. akademi komunitas.

(2)      Universitas menyelenggarakan paling sedikit 3 (tiga) fakultas dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3)      Institut menyelenggarakan paling sedikit 3 (tiga) fakultas dalam sejumlah rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu.

(4)      Sekolah Tinggi menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) jurusan dalam satu rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu.

(5)      Politeknik menyelenggarakan paling sedikit 3 (tiga) jurusan dalam satu atau lebih rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu.

(6)      Akademi menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) jurusan dalam satu rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu.

(7)      Akademi Komunitas menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) jurusan dalam satu rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu.

(8)      Universitas, Instititut, dan Sekolah Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat menyelenggarakan pendidikan profesi bekerjasama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

(9)      Universitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan institut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang rektor dan dibantu oleh beberapa orang wakil rektor.

(10)   Sekolah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipimpin oleh seorang ketua dan dibantu oleh beberapa orang wakil ketua.

(11)   Politeknik, Akademi, atau Akademi Komunitas dipimpin oleh seorang direktur dan wakil direktur.

Pasal 60

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal  59 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua

Organisasi Penyelenggara Perguruan Tinggi

 

Pasal 61

(1)   Organisasi Penyelenggara merupakan unit kerja perguruan tinggi yang secara bersama melaksanakan kegiatan Tridharma dan fungsi manajemen sumber daya.

(2)   Organisasi penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur:

  1. penyusun kebijakan;
  2. pelaksana akademik;
  3. pengawas dan penjaminan mutu;
  4. penunjang akademik  atau sumber belajar; dan
  5. pelaksana administrasi atau tata usaha.

 

Bagian Ketiga

Pendirian Perguruan Tinggi

Pasal 62

(1)   PTN didirikan oleh Pemerintah.

(2)   PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara badan hukum, bersifat nirlaba, dan wajib memperoleh izin menteri.

(3)   Perguruan Tinggi yang didirikan harus memenuhi standar minimum akreditasi.

(4)   Pemerintah dapat mengubah atau mencabut izin PTS apabila tidak memenuhi persyaratan pendirian dan melanggar peraturan perundang-undangan.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) serta perubahan atau pencabutan izin PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 63

(1)   Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62  harus memiliki statuta perguruan tinggi.

(2)   Ketentuan mengenai statuta perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Keempat

Pengelolaan Perguruan Tinggi

 

Pasal 64

(1)   Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.

(2)   Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi.

(3)   Dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi oleh menteri.

 

Pasal 65

Otonomi pengelolaan perguruan  tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. akuntabilitas;

b. transparansi;

c. nirlaba;

d. mutu; dan

e.       efektivitas dan efisiensi.

Pasal 66

(1)   Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.

(2)   Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.

(3)   Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:

a. organisasi;

b. keuangan;

c. kemahasiswaan;

d. ketenagaan; dan

f.  sarana prasarana.

 

Pasal 67

(1)   Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.

(2)   PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)   PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:

  1. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
  2. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
  3. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
  4. wewenang mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri;
  5. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi;
  6. wewenang untuk menyelenggarakan dan menutup program studi; dan
  7. wewenang untuk mengelola kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah.

(4)   Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.

(5)   Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 68

Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 69

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 68 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kelima

Kepegawaian

 

Paragraf 1

Pengangkatan dan Penempatan

 

Pasal 70

(1)      Pegawai perguruan tinggi terdiri atas:

  1. dosen; dan
  2. tenaga kependidikan.

(2)      Dosen dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditempatkan di Perguruan Tinggi oleh Pemerintah atau badan penyelenggara.

(3)      Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan pada Perguruan Tinggi oleh Pemerintah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)      Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)      Setiap orang yang memiliki keahlian dan/atau prestasi  luar biasa dapat diangkat menjadi dosen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6)      Badan penyelenggara atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7)      Menteri menempatkan dosen yang diangkat oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di PTN untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi.

(8)      Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dirotasi pada PTN yang berbeda.

(9)      Pemerintah memberikan insentif kepada dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8).

(10)   Pemimpin PTN dapat mengangkat dosen tetap sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi atas persetujuan Pemerintah.

(11)   PTN memberikan gaji kepada dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (10).

(12)   Pemerintah memberikan tunjangan jabatan akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan kehormatan kepada dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (10) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(13)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemberian insentif kepada dosen sebagaimana diatur pada ayat (9), pengangkatan dosen tetap pada PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Paragraf 2

Jenjang Jabatan Akademik

                                               

Pasal 71

(1)   Jenjang jabatan akademik dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.

(2)   Jenjang jabatan akademik dosen tidak tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara perguruan tinggi.

(3)   Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun sebagai dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik profesor.

(4)   Batas usia pensiun profesor 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.

(5)   Ketentuan mengenai pengangkatan dosen dalam jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Bagian Keenam

Kemahasiswaan

Paragraf 1

Penerimaan Mahasiswa Baru

Pasal 72

(1)   Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional atau bentuk lain.

(2)   Pemerintah menanggung biaya calon mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional.

(3)   Calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.

(4)   Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.

(5)   Penerimaan mahasiswa baru merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.

(6)   Penerimaan mahasiswa baru PTS untuk setiap program studi diatur oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru PTS dengan mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru PTN secara nasional.

(7)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan mahasiswa diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Pasal 73

(1)    PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa  yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi.

(2)    Program Studi yang menerima calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.

 

Pasal 74

(1)   Warga negara lain dapat diterima menjadi mahasiswa pada Perguruan Tinggi.

(2)   Penerimaan mahasiswa warga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

  1. kualifikasi akademik;
  2. program studi;
  3. jumlah mahasiswa; dan
  4. lokasi perguruan tinggi.

(3)   Ketentuan mengenai persyaratan penerimaan mahasiswa warga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 2

Pemenuhan Hak Mahasiswa

 

Pasal 75

(1)   Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.

(2)   Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:

  1. beasiswa  kepada mahasiswa berprestasi;
  2. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
  3. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

(3)   Perguruan Tinggi atau penyelenggara perguruan tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang menanggungnya.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

Paragraf 3

Organisasi Kemahasiswaan

Pasal 76

(1)   Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang diselenggarakan oleh, dari, dan untuk mahasiswa.

(2)   Organisasi kemahasiswaan berfungsi:

  1. mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi mahasiswa;
  2. mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian dan kepemimpinan, serta rasa kebangsaan;
  3. memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa; dan
  4. mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan pengabdian kepada Masyarakat.

(3)   Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra perguruan tinggi.

(4)   Pengurus organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari, oleh, dan untuk mahasiswa.

(5)   Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan.

(6)   Ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam statuta perguruan tinggi.

 

Bagian Ketujuh

Akuntabilitas Perguruan Tinggi

 

Pasal 77

(1)   Akuntabilitas perguruan tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban perguruan tinggi kepada Masyarakat yang terdiri atas:

  1. akuntabilitas akademik; dan
  2. akuntabilitas nonakademik.

(2)   Akuntabilitas perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diwujudkan melalui keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dan kapasitas sarana prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

(3)   Akuntabilitas perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan.

(4)   Laporan tahunan akuntabilitas perguruan tinggi dipublikasikan kepada Masyarakat.

(5)   Sistem pelaporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kedelapan

Pengembangan Perguruan Tinggi

 

Paragraf 1

Umum

 

Pasal 78

(1)   Pemerintah memfasilitasi kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha, industri, alumni, Pemerintah daerah, dan/atau pihak lain.

(2)   Pemerintah mengembangkan sistem pengelolaan informasi pendidikan tinggi.

(3)   Pemerintah mengembangkan sistem pembinaan berjenjang melalui kerja sama antar Perguruan Tinggi.

(4)   Pemerintah mengembangkan jejaring antar Perguruan Tinggi dengan memanfaatkan teknologi informasi.

 

Paragraf 2

Pola Pengembangan Perguruan Tinggi

Pasal 79

Pemerintah mengembangkan secara bertahap pusat unggulan pada  Perguruan Tinggi.

 

Pasal 80

(1)    Pemerintah mengembangkan paling sedikit 1 (satu) PTN berbentuk Universitas, Institut, dan/atau Politeknik di setiap provinsi dan/atau di daerah perbatasan.

(2)    PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berbasis Tridharma sesuai dengan potensi unggulan daerah untuk mendukung kebutuhan pembangunan nasional.

Pasal 81

(1)   Pemerintah bersama Pemerintah daerah mengembangkan secara bertahap paling sedikit 1 (satu) Akademi Komunitas dalam bidang yang sesuai dengan potensi unggulan daerah di kabupaten/kota dan/atau di daerah perbatasan.

(2)   Akademi Komunitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berbasis kebutuhan daerah untuk mempercepat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

 

Pasal 82

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 81 diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB V

PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN

 

Bagian Kesatu

Tanggung Jawab dan Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi

Pasal 83

(1)   Pemerintah bertanggung jawab dalam pendanaan pendidikan tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2)   Pemerintah daerah dapat memberikan dukungan pendanaan pendidikan tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

 

Pasal 84

(1)   Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi.

(2)   Pendanaan pendidikan tinggi yang diperoleh dari peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk:

  1. hibah;
  2. wakaf;
  3. zakat;
  4. persembahan kasih;
  5. kolekte;
  6. dana punya;
  7. sumbangan individu dan/atau perusahaan;
  8. dana abadi pendidikan tinggi; dan
  9. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 85

(1)   Perguruan Tinggi dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi melalui kerja sama pelaksanaan Tridharma.

(2)   Pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

 

Pasal 86

(1)   Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.

(2)   Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 87

Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kedua

Pembiayaan dan Pengalokasian

Pasal 88

(1)   Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara periodik berdasarkan:

  1. Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
  2. jenis program studi; dan
  3. indeks kemahalan wilayah Perguruan Tinggi.

(2)   Standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada PTN.

(3)   Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa.

(4)   Biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

(5)   Biaya pendidikan tinggi yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 89

(1)   Dana pendidikan tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) dialokasikan untuk:

  1. PTN guna membiayai  investasi, pegawai, operasional, dan pengembangan;
  2. PTS guna membantu investasi dan pengembangan; dan
  3. mahasiswa sebagai dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan tinggi.

(2)   Dana pendidikan tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan dana yang disediakan oleh Pemerintah daerah untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi di daerah masing-masing sesuai dengan kemampuan daerah.

(3)   Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN paling sedikit 2,5% (dua koma lima persen) dari anggaran fungsi pendidikan.

(4)   Dana bantuan operasional PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) untuk penelitian di Perguruan Tinggi.

(5)   Dana penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikelola oleh Kementerian.

 

BAB VI

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI OLEH LEMBAGA PENDIDIKAN NEGARA LAIN

Pasal 90

(1)   Perguruan Tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)   Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui

di negaranya.

(3)   Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan program studi yang dapat diselenggarakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)   Penyelenggara pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

  1. memperoleh izin Pemerintah;
  2. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
  3. mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.

(5)   Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengembangkan ilmu dasar   di Indonesia dan mendukung kepentingan nasional.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh negara lain diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB VII

PERAN SERTA MASYARAKAT

 

Pasal 91

(1)    Masyarakat berperan serta dalam pengembangan pendidikan tinggi.

(2)    Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, dengan cara:

  1. ikut menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha dan dunia industri;
  2. memberikan beasiswa dan/atau bantuan pendidikan kepada mahasiswa;
  3. turut serta dalam mengawasi dan menjaga mutu pendidikan tinggi melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat;
  4. menyelenggarakan PTS bermutu;
  5. berpartisipasi dalam lembaga semi-Pemerintah yang dibentuk oleh Menteri;
  6. berpartisipasi sebagai sponsor dalam kegiatan akademik dan kegiatan sosial sivitas akademika;
  7. berpartisipasi dalam pengembangan karakter, minat, dan bakat mahasiswa;

h. menyediakan tempat magang dan praktik kepada mahasiswa;

  1. memberikan berbagai bantuan melalui tanggung jawab sosial perusahaan;
  2. mendukung kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; dan
  3. berbagi sumberdaya untuk pelaksanaan Tridharma.

 

BAB VIII

SANKSI ADMINISTRATIF

 

Pasal 92

(1)   Perguruan Tinggi yang melanggar Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 ayat (4), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (4), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (5), Pasal 25 ayat (5), Pasal 28 ayat (5), Pasal 32 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 46 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 72 ayat (3) dan ayat (5), Pasal 73 ayat (1), Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, Pasal 77 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (5) dikenai sanksi administratif.

(2)   Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan tertulis, penghentian sementara bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah, penghentian sementara kegiataan penyelenggaraan pendidikan, penghentian pembinaan, dan/atau pencabutan izin.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

 

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 93

Perseorangan, organisasi atau penyelenggara pendidikan tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 42 ayat (6), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 62 ayat (2), Pasal 90 ayat (4) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

                                                          BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 94

Lembaga layanan pendidikan tinggi harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

Pasal 95

 

(1)   Perguruan Tinggi yang dikelola oleh Kementerian lain dan LPNK tetap menyelenggarakan pendidikan dan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun sudah dialihkan tanggung jawab pengelolaannya kepada Menteri.

(2)   Pada saat Undang-Undang ini berlaku, izin pendirian Perguruan Tinggi dan izin penyelenggaran program studi yang sudah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku.

(3)   Pengelolaan perguruan tinggi, termasuk pengelolaan perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara harus disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 96

Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

Pasal 97

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan pendidikan tinggi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

 

Pasal 98

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Disahkan di Jakarta

         Pada tanggal ….

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                                          ttd

Dr.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

 

 

 

 

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal ….

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd.

 

 

AMIR  SJAMSUDDIN

 

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …. NOMOR …

 

 


PENJELASAN

ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …
TAHUN 2012

TENTANG

PENDIDIKAN TINGGI

 

 

I.       UMUM

 

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…” berdasarkan Pancasila.

 

Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Selain itu pada Pasal 31 ayat (3) mengamanahkan agar Pemerintah memanjukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

 

Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian masih memerlukan pengaturan agar pendidikan tinggi dapat lebih berfungsi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk pemberdayaan dan pembudayaan bangsa.

 

Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang makin mengutamakan basis ilmu pengetahuan, pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

 

Pada tataran praksis bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antarbangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa lain di pihak lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing bangsa dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era globalisasi, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mewujudkan dharma pendidikan, yaitu menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat manusia. Dalam rangka mewujudkan dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan karya penelitian dalam cabang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diabdikan bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.

 

Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Perguruan Tinggi berlaku  kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan. Dengan demikian perguruan tinggi dapat mengembangkan budaya akademik bagi sivitas akademika yang berfungsi sebagai komunitas ilmiah yang berwibawa dan mampu melakukan interaksi yang mengangkat martabat Indonesia dalam pergaulan internasional.

Perguruan tinggi sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

 

  1. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

 

Pasal 2

Cukup jelas.

 

Pasal 3

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas kebenaran ilmiah” adalah pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kebenarannya diverifikasi secara ilmiah.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas penalaran” adalah pencarian, pengamatan, penemuan, penyebarluasan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengutamakan kegiatan berpikir.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kejujuran” adalah pendidikan tinggi yang mengutamakan moral akademik dosen dan mahasiswa untuk senantiasa mengemukakan data dan informasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana adanya.

 

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah pendidikan tinggi menyediakan kesempatan yang sama kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras dan antargolongan, serta latar belakang sosial dan ekonomi.

 

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah pendidikan tinggi selalu berorientasi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

 

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas kebajikan” adalah pendidikan tinggi harus mendatangkan kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan sivitas akademika, masyarakat, bangsa dan negara.

 

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab” adalah Sivitas Akademika melaksanakan Tridharma serta mewujudkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan/atau otonomi keilmuan, dengan menjunjung tinggi nilia-nilai agama dan persatuan bangsa serta peraturan perundang-undangan.

 

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas kebhinnekaan” adalah  pendidikan tinggi diselenggarakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan  memperhatikan dan menghormati kemajemukan masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Huruf i

Yang dimaksud dengan “asas keterjangkauan” adalah bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya, orang tua atau pihak yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh pendidikan tinggi tanpa hambatan ekonomi.

 

Pasal 4

Cukup jelas.

 

Pasal 5

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Cukup jelas.

 

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Karya penelitian, antara lain, berupa invensi dan inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu meningkatkan taraf hidup untuk menjadi bangsa yang maju.

 

Pasal 6

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

 

Huruf d

Cukup jelas.

 

Huruf e

Cukup jelas.

 

Huruf f

Cukup jelas.

 

Huruf g

Cukup jelas.

 

Huruf h

Yang dimaksud dengan “sistem terbuka” adalah penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki sifat fleksibilitas dalam hal cara penyampaian, pilihan dan waktu penyelesaian program, lintas satuan, jalur dan jenis pendidikan (multi entry multi exit system).

Yang dimaksud dengan “multimakna” adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup.

 

Huruf i

Cukup jelas.

 

Huruf j

Cukup jelas.

 

Pasal 7

Cukup jelas.

 

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “akademik” dalam “kebebasan akademik” dan “kebebasan mimbar akademik” adalah sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang dikembangkan dalam pendidikan akademik.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan cabang ilmunya” adalah dosen yang telah memiliki kualifikasi doktor atau setara.

 

Profesor merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di Perguruan Tinggi.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Huruf a

 

Ilmu agama merupakan ilmu pengetahuan yang menjadikan keyakinan tentang ketuhanan atau ketauhidan serta teks-teks suci agama sebagai sasaran kajian yang memiliki paradigma, pendekatan dan metode ilmiah untuk menghasilkan bidang atau sub bidang ilmu agama.

 

Ilmu agama Islam, antara lain, ilmu ushuluddin, ilmu syariah, ilmu adab, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah.

 

Ilmu agama Hindu, antara lain,  ilmu pendidikan agama Hindu, ilmu penerangan agama Hindu, filsafat agama Hindu, ilmu pariwisata agama Hindu.

 

Ilmu agama Budha, antara lain,  ilmu pendidikan agama Budha, ilmu penerangan agama Budha, filsafat agama Budha.

 

Ilmu agama Kristen/Katholik, antara lain,  ilmu pendidikan, teologi, misiologi, konseling pastoral.

 

Ilmu agama Kong hu chu….

Huruf b

Rumpun ilmu humaniora merupakan rumpun ilmu yang mengkaji dan mendalami manusia dan pemikiran manusia, antara lain, meliputi ilmu sejarah, bahasa, sastra, seni panggung, filsafat, dan seni rupa.

Huruf c

Rumpun ilmu sosial merupakan rumpun ilmu yang mengkaji dan mendalami hubungan antar manusia dan berbagai fenomena masyarakat, antara lain, meliputi ilmu antropologi, arkeologi, kajian wilayah, budaya dan etnik, ekonomika, gender dan kajian gender, geografi, politik, psikologi, dan sosiologi.

 

Huruf d

Rumpun ilmu alam merupakan rumpun ilmu yang mengkaji dan mendalami alam semesta selain manusia, antara lain, meliputi ilmu angkasa, kebumian, biologi, kimia, dan fisika.

 

Huruf e

Rumpun ilmu formal merupakan rumpun ilmu yang mengkaji dan mendalami sistem formal teoritis, antara lain, meliputi ilmu komputer, logika, matematika, statistika, dan sistema.

 

Huruf f

Rumpun ilmu terapan merupakan rumpun ilmu yang mengkaji dan mendalami aplikasi dari ilmu-ilmu di atas, antara lain, ilmu pertanian, arsitektur dan perencanaan, bisnis, pendidikan, teknik, kehutanan dan lingkungan, keluarga dan konsumen, kesehatan, olahraga, jurnalisme media dan komunikasi, hukum, perpustakaan dan permuseuman, militer, administrasi publik, kerja sosial, dan transportasi.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

                   Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 13

Cukup jelas.

 

Pasal 14

Cukup jelas.

 

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Dalam hal pendidikan akademik cabang ilmu agama, tanggung jawab pembinaan dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang agama berkoordinasi dengan Kementerian.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi, antara lain penetapan standar kompetensi, penetapan kualifikasi lulusan, penyusunan kurikulum, penggunaan sumber belajar, dan uji kompetensi.

 

Pasal 17

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pendidikan vokasi” adalah pendidikan yang menyiapkan mahasiswa menjadi tenaga profesional dengan keterampilan/kemampuan kerja tinggi.

 

Kurikulum pendidikan vokasi disiapkan bersama dengan masyarakat profesi dan organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesinya agar memenuhi syarat kompetensi profesinya.

 

Dengan demikian pendidikan vokasi telah mencakup pendidikan profesinya.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “berbudaya” adalah sikap dan perilaku yang senantiasa berdasarkan sistem nilai, norma, dan kaidah ilmu pengetahuan, yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 19

Cukup jelas.

 

Pasal 20

Ayat (1)

Mahasiswa program magister yang memiliki kemampuan luar biasa dapat melanjutkan ke program doktor setelah sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun mengikuti program magister tanpa harus lulus program magister terlebih dahulu.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Program profesi merupakan tanggung jawab dan kewenangan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu pelayanan profesi. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi hanya dapat menyelenggarakannya bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi.

 

Program profesi dapat menggunakan nama lain yang sederajat seperti program profesi dokter, insinyur, apoteker, notaris, psikolog, guru/pendidik, wartawan sesuai ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Program spesialis dapat menggunakan nama lain yang sederajat dan memiliki tingkatan, antara lain program dokter spesialis dan subspesialis, program insinyur profesional pratama, madya, dan utama, dan program spesialis lainnya yang sejenis sesuai ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

 

Program spesialis dapat menggunakan nama lain yang sederajat seperti program dokter spesialis, program insinyur profesional sesuai dengan ketentuan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “sederajat dengan lulusan magister, antara lain lulusan perguruan tinggi yang memakai gelar doctorandus, doctoranda, insinyur, mister en de rechten yang belum menggunakan Sistem Kredit Semester.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

Cukup jelas.

 

Ayat (8)

Cukup jelas.

 

Pasal 24

Cukup jelas.

 

Pasal 25

Ayat (1)

Mahasiswa program magister terapan yang memiliki kemampuan luar biasa dapat melanjutkan ke program doktor terapan setelah paling sedikit (1) satu tahun mengikuti program magister tanpa harus lulus program magister terlebih dahulu.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

Cukup jelas.

 

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Gelar profesi, antara lain, digunakan oleh profesi dokter yang disingkat dr.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

Cukup jelas.

 

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

 

Pasal 28

Cukup jelas.

 

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

 

Pasal 31

Cukup jelas.

 

Pasal 32

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Izin program studi yang berkaitan dengan ilmu agama diberikan oleh Menteri yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

Pencabutan izin program studi yang berkaitan dengan ilmu agama dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan.

 

Ayat (8)

Cukup jelas.

 

Pasal 33

Cukup jelas.

 

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pendidikan agama” adalah pendidikan untuk membentuk mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pendidikan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”; adalah pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada mahasiswa mengenai ideologi dan konstitusi Indonesia.

Hal itu selain diajarkan dalam mata kuliah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga diajarkan dalam berbagai bentuk mata kuliah komponen keindonesiaan, seperti: Sistem Hukum Indonesia, Sistem Kenegaraan Indonesia, Sistem Komunikasi Indonesia, Sistem Kesehatan Indonesia, Sistem Ekonomi Indonesia, Sistem Sosial Indonesia, Sistem Politik Indonesia, Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Sistem Pertanian Indonesia dan/atau Arsitektur Indonesia.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pendidikan kewarganegaraan” adalah pendidikan untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

 

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Kegiatan kurikuler merupakan serangkaian kegiatan yang terstruktur untuk mencapai tujuan program studi.

 

Huruf b

Kegiatan ko-kurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa secara terprogram atas bimbingan dosen, sebagai bagian kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua satuan kredit semester.

 

Huruf c

Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai penunjang kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua satuan kredit semester.

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 35

Cukup jelas.

 

Pasal 36

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “satuan kredit semeseter” adalah setiap satu satuan kredit semester terdiri atas 50 (lima puluh) menit tatap muka, 60 (enam puluh) menit tugas terstruktur dan 60 (enam puluh) menit tugas mandiri dalam pembelajaran.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “penasihat akademik” adalah dosen yang diberikan tugas dan wewenang untuk memberikan pertimbangan akademik dan nonakademik dalam rangka kelancaran studi mahasiswa.

 

Huruf c

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “program studi tertentu” adalah program studi yang memerlukan pembelajaran khusus, misalnya, program berbasis kompetensi atau program berbasis pembelajaran. Penetapan sistem selain Sistem Kredit Semester dilakukan melalui penyetaraan.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 37

Cukup jelas.

 

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

 

Pasal 40

Cukup jelas.

 

Pasal 41

Ayat (1)

Sumber belajar dapat berbentuk antara lain, alam semesta, lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, rumah sakit pendidikan, laboratorium, perpustakaan, museum, studio, bengkel, stadion, dan stasiun penyiaran.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 42

Cukup jelas.

 

Pasal 43

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “sertifikat profesi” antara lain sertifikat pendidik yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk meneyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai guru dan dosen.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 44

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “keahlian dalam cabang ilmunya” adalah kemampuan seseorang yang diakui oleh Masyarakat karena keahlian praktis, seperti potong rambut, desain grafis, montir, dan bentuk keahlian praktis lainnya.

 

Yang dimaksud dengan “prestasi diluar program studinya” adalah keahlian lain yang tidak berkaitan langsung dengan program studinya, seperti mahasiswa kedokteran yang meraih juara renang, mahasiswa teknik  mesin yang trampil dalam jurnalistik atau fotografi dan sebagainya.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas

 

Pasal 45

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah” adalah kegiatan sivitas akademika dalam memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai suatu proses yang harus dicari, digali, dan dirumuskan sendiri.

 

Yang dimaksud dengan “metode ilmiah” adalah upaya memperoleh kebenaran ilmiah dengan jujur, benar, dan taat asas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “penelitian dilaksanakan berdasarkan jalur kompetensi” adalah penelitian yang diberikan kepada dosen yang memiliki kualifikasi akademik lulusan program doktor tanpa melalui kompetisi.

 

Yang dimaksud dengan “penelitian berdasarkan jalur kompetisi” adalah penelitian yang diberikan kepada dosen dengan cara berkompetisi.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 46

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “hasil penelitian yang bersifat rahasia, menganggu, dan/atau membahayakan kepentingan umum”  adalah penelitian yang sifat dan hasilnya berkaitan dengan rahasia atau keselamatan negara sehingga tidak dapat atau tidak boleh diketahui, dimiliki, dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.

Dipublikasikan artinya bahwa hasil penelitian dimuat dalam jurnal ilmiah yang terakreditasi dan/atau buku yang telah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau penerbit lainnya dan memiliki ISBN (International Standard Book Number).

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

 

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud “prinsip bebas aktif” adalah bebas dalam arti tidak memihak, aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan atau program internasional.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 51

Cukup jelas.

 

Pasal 52

Cukup jelas.

 

Pasal 53

Cukup jelas.

 

Pasal 54

Cukup jelas.

 

Pasal 55

Cukup jelas.

 

Pasal 56

Cukup jelas.

 

Pasal 57

Cukup jelas.

 

Pasal 58

Cukup jelas.

 

Pasal 59

Cukup jelas.

 

Pasal 60

Cukup jelas.

 

Pasal 61

Cukup jelas

 

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Pendirian PTS mendapatkan izin Menteri.

 

Pendirian PTS yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan mendapatkan izin Menteri yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan.

 

“Badan penyelenggara badan hukum bersifat nirlaba” dapat berbentuk yayasan, lembaga, perkumpulan, perserikatan, dan organisasi.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 64

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Dasar dan tujuan serta kemampuan pengelolaan perguruan tinggi ditetapkan oleh Menteri.

Dasar dan tujuan serta kemampuan pengelolaan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan.

Pasal 65

Cukup jelas.

 

Pasal 66

Cukup jelas.

 

Pasal 67

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

“PTN badan hukum” merupakan PTN yang sepenuhnya milik negara dan tidak dapat dialihkan kepada perseorangan atau swasta untuk melaksanakan fungsi pendidikan tinggi yang berada dalam lingkup tanggung jawab Kementerian. Pemerintah memberikan kompensasi atau menanggung sebagian biaya yang telah dikeluarkan oleh PTN badan hukum.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 68

Cukup jelas.

 

Pasal 69

Cukup jelas.

 

Pasal 70

Ayat (1)

Huruf a

Dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “tenaga kependidikan” meliputi pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “orang yang memiliki keahlian dan/atau prestasi luar biasa” adalah dimaksudkan untuk memenuhi dosen pada semua program pendidikan tinggi terutama pada program diploma satu dan program diploma dua.

 

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah undang-undang yang mengatur mengenai guru dan dosen.

 

Ayat (6)

Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja memuat tentang gaji pokok, penghasilan yang melekat pada gaji, penghasilan lain dan jaminan kesejahteraan sosial serta kemaslahatan tambahan sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai guru dan dosen.

 

Ayat (7)

Cukup jelas.

 

Ayat (8)

Cukup jelas.

 

Ayat (9)

Cukup jelas.

 

Ayat (10)

Yang dimaksud dengan “dosen tetap” adalah dosen yang tidak diangkat oleh Pemerintah (bukan pegawai negeri sipil/bukan aparatur sipil negara).

 

Ayat (11)

Cukup jelas.

 

Ayat (12)

Cukup jelas.

 

Ayat (13)

Cukup jelas.

 

Pasal 71

Cukup jelas.

 

Pasal 72

Ayat (1)

Pola penerimaan mahasiswa secara nasional atau bentuk lain hanya berlaku bagi mahasiswa program sarjana dan program diploma.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

Cukup jelas.

 

Pasal 73

Cukup jelas.

 

Pasal 74

Cukup jelas.

 

Pasal 75

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

huruf a

Cukup jelas.

huruf b

Bantuan atau membebaskan biaya pendidikan dapat  diberikan kepada mahasiswa yang membutuhkan.

 

huruf c

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 76

Cukup jelas.

 

Pasal 77

Cukup jelas.

 

Pasal 78

Cukup jelas.

 

Pasal 79

Cukup jelas.

 

Pasal 80

Cukup jelas.

 

Pasal 81

Cukup jelas.

 

Pasal 82

Cukup jelas.

 

Pasal 83

Cukup jelas.

 

Pasal 84

Cukup jelas.

 

Pasal 85

Cukup jelas.

 

Pasal 86

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Insentif kepada dunia usaha, industri, atau Masyarakat dapat diberikan dalam bentuk pengurangan pajak, penghapusan pajak, penghargaan, dan bentuk insentif lainnya.

Pasal 87

Hak pengelolaan kekayaan negara dapat berbentuk, antara lain, hak pengelolaan: lahan, laut, pertambangan, perkebunan, hutan, dan museum.

 

Pasal 88

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Standar satuan biaya operasional” merupakan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi di luar investasi dan pengembagan. Biaya investasi, antara lain biaya pengadaan sarana dan prasarana serta sumber belajar.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “kemampuan mahasiswa” adalah kemampuan setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan orang tua mahasiswa atau pihak yang membiayainya.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 89

Ayat (1)

huruf a

Anggaran untuk PTN dialokasikan oleh Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

huruf b

Anggaran untuk PTS dialokasikan oleh Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau oleh Pemerintah daerah dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah dalam bentuk, antara lain hibah, bantuan program kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain bantuan pendanaan, PTS dapat memperoleh bantuan tenaga dosen yang diangkat oleh Pemerintah.

 

Huruf c

Alokasi anggaran untuk mahasiswa dapat diberikan dalam bentuk beasiswa, bantuan biaya pendidikan, dan/atau pinjaman dana pendidikan.

 

Yang dimaksud dengan “beasiswa” adalah dukungan biaya pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi berdasarkan pertimbangan utama prestasi dan/atau potensi akademik.

 

Yang dimaksud dengan “bantuan biaya pendidikan” adalah dukungan biaya pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi berdasarkan pertimbangan utama keterbatasan kemampuan ekonomi.

 

Pinjaman dana tanpa bunga yang diterima oleh mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi dengan kewajiban membayar kembali setelah lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “dana bantuan operasional” adalah dana Kementerian di luar Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk membantu biaya operasional layanan Tridharma.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 90

Cukup jelas.

 

Pasal 91

Cukup jelas.

 

Pasal 92

Cukup jelas.

 

Pasal 93

Cukup jelas.

 

Pasal 94

Cukup jelas.

 

Pasal 95

Cukup jelas.

 

Pasal 96

Cukup jelas.

 

Pasal 97

Cukup jelas.

 

Pasal 98

Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TOLAK RUU PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Pernyataan Sikap Yayasan LBH Indonesia Tentang perampasan tanah dengan RUU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, disampaikan Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia Alvon Kurnia Palma, SH dan Abdul Kadir Wokanubun, SH masing-masing sebagai wakil ketua dan direktur advokasi dan kampanye, Rabu (23/3).

Pernyataan sikapnya sebagai berikut:

Modus perampasan hak atas tanah rakyat marak terjadi di negara ini, mulai pada jaman Orde Baru hingga sekarang. Berbagai bentuk perampasan dan pencaplokan tanah-tanah rakyat dengan mengatasnamakan Pembangunan demi kepentingan umum, namun faktanya pembangunan yang dimaksud hanya untuk kepentingan segelintir orang-orang yang disekeliling pemegang tampuk kekuasaan (negara) & yang punya modal (swasta).

Konsepsi Pembangunan untuk kepentingan umum kemudian ditafsirkan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang dirubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pada awalnya sangat ditentang oleh masyarakat banyak.

Saat ini Perpres tersebut bermetamorfosa menjadi RUU Pengadaan tanah Untuk Kepentingan Umum.

DPR-RI melalui Surpres Nomor R-98/Pres/12/2010 tertanggal 15 Desember 2010 menyerahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Dalam Surpres ini Presiden memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala BAPPENAS secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri mewakili pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang ini.

RUU ini disahkan menjadi Prolegnas prioritas tahun 2011 pada tanggal 14 Desember 2010 oleh Ketua DPR-RI Marzuki Alie melalui Keputusan DPR-RI Nomor 02B/DPR RI/II/2010-2011 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2011, dan Saat ini RUU tersebut sementara di bahas di DPR RI.

RUU Pengadaan Tanah mempunyai anatomi Judul, Konsiderann sosiologis, philosophis dan batang tubuh. Sedangkan batang tubuh terdiri dari XI BAB dan 73 pasal.

RUU ini secara umum mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan untuk kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta (vide pasal 4 RUU).

Pengaturan pengadaan tanah sebagaimana disebutkan dalam pasa 4 RUU tersebut mempunyai tahapan proses yang mirip yakni meliputi adanya proses pengadaan tanah yang apabila untuk kepentingan umum lebih menditeil jika dibandingkan untuk kepentingan swasta.

Adapun RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang baru ini juga menyimpan potensi masalah yang cukup mengkhawatirkan & pemaksaan kehendak Negara yang kecenderunganya akan terjadi pelanggaran HAM.

RUU Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum lahir di tengah konflik pertanahan yang tak berkesudahan.

Yayasan LBH Indonesia dengan 15 kantor LBH melalui catatan akhir tahun 2010, menangani sebagian besar konflik agraria, dengan jumlah 3.406 kasus, yang melibatkan pemegang tampuk kekuasaan (negara) & yang punya modal (swasta) , maka sudah bisa di pastikan ketika RUU ini menjadi UU eskalasi konflik pertanahan semakin massif dan tentunya rakyat yang menjadi korban.

RUU Pengadaan tanah untuk kepentingan Umum merupakan alat legitimasi perampasan tanah rakyat tanpa adanya jaminan perlindungan hak milik, mengingat RUU ini mensyaratkan kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi.

Padahal, sebagian tanah rakyat yang ada di Indonesia tidak beralaskan sertifikat, hanya mengandalkan kebiasaan-kebiasaan lokal dengan batas-batas alam.

Berdasarkan itu, Yayasan LBH Indonesia yang konsern terhadap HAM, Hukum dan Demokrasi menyatakan sikap :

1. Menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang sedang dibahas oleh Pansus DPR-RI;

2. Menghentikan pembasan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan oleh Pansus DPR-RI. *en*

PP Pengganti UU BHP

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 66 TAHUN 2010

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2010

TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :  a.  bahwa  Peraturan  Pemerintah Nomor  17  Tahun  2010

tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

tidak mengatur tata kelola satuan pendidikan karena

telah  diatur  dalam  Undang-Undang  Nomor  9  Tahun

2009 tentang Badan Hukum Pendidikan;

b.  bahwa  berdasarkan  Putusan  Mahkamah  Konstitusi

Nomor  11-14-21-126-136/PUU-VII/2009  tanggal

31 Maret 2010, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009

tentang  Badan  Hukum  Pendidikan  dinyatakan  tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

c.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana

dimaksud  dalam  huruf  a  dan  huruf  b  perlu

menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

17  Tahun  2010  tentang  Pengelolaan  dan

Penyelenggaraan Pendidikan;

Mengingat  :  1.  Pasal  5  ayat  (2)  Undang-Undang  Dasar  Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2.  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2003  tentang

Sistem  Pendidikan  Nasional  (Lembaran  Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4301);

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :  PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS

PERATURAN  PEMERINTAH  NOMOR  17  TAHUN  2010

TENTANG  PENGELOLAAN  DAN  PENYELENGGARAAN

PENDIDIKAN.

Pasal I

Beberapa  ketentuan  dalam  Peraturan  Pemerintah

Nomor  17  Tahun  2010  tentang  Pengelolaan  dan

Penyelenggaraan Pendidikan  (Lembaran Negara Republik

Indonesia  Tahun  2010  Nomor  23,  Tambahan  Lembaran

Negara Nomor 5105), diubah sebagai berikut:

1.  Ketentuan  Pasal  1  diubah,   di  antara  angka  17  dan

angka 18 disisipkan 1  (satu) angka yakni angka 17A

dan  ketentuan  angka  22  diubah,  sehingga  Pasal  1

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam  Peraturan  Pemerintah  ini  yang  dimaksud

dengan:

1.    Pengelolaan  pendidikan  adalah  pengaturan

kewenangan  dalam  penyelenggaraan  sistem

pendidikan  nasional  oleh  Pemerintah,

pemerintah  provinsi,  pemerintah

kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang

didirikan  masyarakat,  dan  satuan  pendidikan

agar  proses  pendidikan  dapat  berlangsung

sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

2.    Penyelenggaraan  pendidikan  adalah  kegiatan

pelaksanaan komponen  sistem pendidikan pada

satuan  atau  program  pendidikan  pada  jalur,

jenjang,  dan  jenis  pendidikan  agar  proses

pendidikan  dapat  berlangsung  sesuai  dengan

tujuan pendidikan nasional.

 

 

 

 

3.    Pendidikan  anak  usia  dini  adalah  suatu  upaya

pembinaan  yang  ditujukan  kepada  anak  sejak

lahir  sampai  dengan  usia  6  (enam)  tahun  yang

dilakukan  melalui  pemberian  rangsangan

pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan  jasmani  dan  rohani  agar  anak

memiliki  kesiapan  dalam memasuki  pendidikan

lebih lanjut.

4.    Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat

TK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan

anak  usia  dini  pada  jalur  pendidikan  formal

yang  menyelenggarakan  program  pendidikan

bagi  anak  berusia  4  (empat)  tahun  sampai

dengan 6 (enam) tahun.

5.    Raudhatul  Athfal,  yang  selanjutnya  disingkat

RA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan

anak  usia  dini  pada  jalur  pendidikan  formal

yang  menyelenggarakan  program  pendidikan

dengan  kekhasan  agama  Islam  bagi  anak

berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam)

tahun.

6.    Pendidikan  formal adalah  jalur pendidikan yang

terstruktur  dan  berjenjang  yang  terdiri  atas

pendidikan  dasar,  pendidikan  menengah,  dan

pendidikan tinggi.

7.    Pendidikan  dasar  adalah  jenjang  pendidikan

pada  jalur  pendidikan  formal  yang  melandasi

jenjang  pendidikan  menengah,  yang

diselenggarakan  pada  satuan  pendidikan

berbentuk  Sekolah  Dasar  dan  Madrasah

Ibtidaiyah atau bentuk  lain yang sederajat serta

menjadi  satu  kesatuan  kelanjutan  pendidikan

pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah

Menengah  Pertama  dan  Madrasah  Tsanawiyah,

atau bentuk lain yang sederajat.

 

 

8.    Sekolah  Dasar,  yang  selanjutnya  disingkat  SD,

adalah  salah  satu  bentuk  satuan  pendidikan

formal  yang  menyelenggarakan  pendidikan

umum pada jenjang pendidikan dasar.

9.   Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat

MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan

formal  dalam  binaan  Menteri  Agama  yang

menyelenggarakan  pendidikan  umum  dengan

kekhasan agama  Islam pada  jenjang pendidikan

dasar.

10.    Sekolah  Menengah  Pertama,  yang  selanjutnya

disingkat SMP, adalah salah satu bentuk satuan

pendidikan  formal  yang  menyelenggarakan

pendidikan  umum  pada  jenjang  pendidikan

dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk

lain  yang  sederajat  atau  lanjutan  dari  hasil

belajar  yang  diakui  sama  atau  setara  SD  atau

MI.

11.   Madrasah  Tsanawiyah,  yang  selanjutnya

disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan

pendidikan  formal dalam binaan Menteri Agama

yang  menyelenggarakan  pendidikan  umum

dengan  kekhasan  agama  Islam  pada  jenjang

pendidikan  dasar  sebagai  lanjutan  dari SD, MI,

atau  bentuk  lain  yang  sederajat  atau  lanjutan

dari hasil  belajar  yang  diakui  sama  atau  setara

SD atau MI.

12.    Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan

pada  jalur  pendidikan  formal  yang  merupakan

lanjutan  pendidikan  dasar,  berbentuk  Sekolah

Menengah  Atas,  Madrasah  Aliyah,  Sekolah

Menengah  Kejuruan,  dan  Madrasah  Aliyah

Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat.

13.    Sekolah  Menengah  Atas,  yang  selanjutnya

disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan

pendidikan  formal  yang  menyelenggarakan

pendidikan  umum  pada  jenjang  pendidikan

menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau

bentuk  lain  yang  sederajat  atau  lanjutan  dari

hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP

atau MTs.

14.   Madrasah  Aliyah,  yang  selanjutnya  disingkat

MA,  adalah  salah  satu  bentuk  satuan

pendidikan  formal dalam binaan Menteri Agama

yang  menyelenggarakan  pendidikan  umum

dengan  kekhasan  agama  Islam  pada  jenjang

pendidikan  menengah  sebagai  lanjutan  dari

SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau

lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau

setara SMP atau MTs.

15.    Sekolah  Menengah  Kejuruan,  yang  selanjutnya

disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan

pendidikan  formal  yang  menyelenggarakan

pendidikan  kejuruan  pada  jenjang  pendidikan

menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau

bentuk  lain  yang  sederajat  atau  lanjutan  dari

hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP

atau MTs.

16.   Madrasah  Aliyah  Kejuruan,  yang  selanjutnya

disingkat MAK, adalah salah satu bentuk satuan

pendidikan  formal dalam binaan Menteri Agama

yang  menyelenggarakan  pendidikan  kejuruan

dengan  kekhasan  agama  Islam  pada  jenjang

pendidikan  menengah  sebagai  lanjutan  dari

SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau

lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau

setara SMP atau MTs.

17.    Pendidikan  tinggi  adalah  jenjang  pendidikan

pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan

menengah  yang  dapat  berupa  program

pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis,

dan  doktor,  yang  diselenggarakan  oleh

perguruan tinggi.

17A.   Akademi  adalah  perguruan  tinggi  yang

menyelenggarakan  pendidikan  vokasi  dalam

1  (satu)  cabang  atau  sebagian  cabang  ilmu

pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu.

18.    Politeknik  adalah  perguruan  tinggi  yang

menyelenggarakan  pendidikan  vokasi  dalam

sejumlah bidang pengetahuan khusus.

19.    Sekolah  tinggi  adalah  perguruan  tinggi  yang

menyelenggarakan  pendidikan  akademik

dan/atau  vokasi  dalam  lingkup  satu  disiplin

ilmu  tertentu  dan  jika  memenuhi  syarat  dapat

menyelenggarakan pendidikan profesi.

20.    Institut  adalah  perguruan  tinggi  yang

menyelenggarakan  pendidikan  akademik

dan/atau  pendidikan  vokasi  dalam  sekelompok

disiplin  ilmu  pengetahuan,  teknologi,  dan/atau

seni  dan  jika  memenuhi  syarat  dapat

menyelenggarakan pendidikan profesi.

21.    Universitas  adalah  perguruan  tinggi  yang

menyelenggarakan  pendidikan  akademik

dan/atau  pendidikan  vokasi  dalam  sejumlah

ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan

jika  memenuhi  syarat  dapat  menyelenggarakan

pendidikan profesi.

22.    Program  studi  adalah  program  yang  mencakup

kesatuan  rencana  belajar  sebagai  pedoman

penyelenggaraan  pendidikan  yang

diselenggarakan  atas  dasar  suatu  kurikulum

serta  ditujukan  agar  peserta  didik  dapat

menguasai  pengetahuan,  keterampilan,  dan

sikap sesuai dengan sasaran kurikulum.

23.    Jurusan  atau  nama  lain  yang  sejenis  adalah

himpunan  sumber  daya  pendukung  program

studi  dalam  1  (satu)  rumpun  disiplin  ilmu

pengetahuan,  teknologi,  seni,  dan/atau

olahraga.

24.    Fakultas  atau  nama  lain  yang  sejenis  adalah

himpunan sumber daya pendukung, yang dapat

dikelompokkan  menurut  jurusan,  yang

menyelenggarakan  dan  mengelola  pendidikan

akademik,  vokasi,  atau  profesi  dalam  1  (satu)

rumpun  disiplin  ilmu  pengetahuan,  teknologi,

seni, dan/atau olahraga.

25.    Standar  Nasional  Pendidikan  adalah  kriteria

minimal  tentang  sistem  pendidikan  di  seluruh

wilayah  hukum  Negara  Kesatuan  Republik

Indonesia.

26.    Standar  pelayanan  minimal  adalah  kriteria

minimal  berupa  nilai  kumulatif  pemenuhan

Standar  Nasional  Pendidikan  yang  harus

dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan.

27.    Kurikulum  adalah  seperangkat  rencana  dan

pengaturan  mengenai  tujuan,  isi,  dan  bahan

pelajaran,  serta  cara  yang  digunakan  sebagai

pedoman  penyelenggaraan  kegiatan

pembelajaran  untuk  mencapai  tujuan

pendidikan.

28.    Dosen adalah pendidik profesional dan  ilmuwan

pada  perguruan  tinggi  dengan  tugas  utama

mentransformasikan,  mengembangkan,  dan

menyebarluaskan  ilmu  pengetahuan,  teknologi,

dan  seni  melalui  pendidikan,  penelitian,  dan

pengabdian kepada masyarakat.

29.   Mahasiswa  adalah  peserta  didik  yang  terdaftar

dan belajar pada perguruan tinggi.

30.    Sivitas  akademika  adalah  komunitas  dosen  dan

mahasiswa pada perguruan tinggi.

31.    Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di

luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan

secara terstruktur dan berjenjang.

32.    Kelompok  belajar  adalah  satuan  pendidikan

nonformal  yang  terdiri  atas  sekumpulan  warga

masyarakat  yang  saling  membelajarkan

pengalaman  dan  kemampuan  dalam  rangka

meningkatkan mutu dan taraf kehidupannya.

33.    Pusat  kegiatan  belajar  masyarakat  adalah

satuan  pendidikan  nonformal  yang

menyelenggarakan  berbagai  kegiatan  belajar

sesuai dengan kebutuhan masyarakat atas dasar

prakarsa dari, oleh, dan untuk masyarakat.

34.    Pendidikan  berbasis  keunggulan  lokal  adalah

pendidikan  yang  diselenggarakan  setelah

memenuhi  Standar  Nasional  Pendidikan  dan

diperkaya  dengan  keunggulan  kompetitif

dan/atau komparatif daerah.

35.    Pendidikan  bertaraf  internasional  adalah

pendidikan  yang  diselenggarakan  setelah

memenuhi  Standar  Nasional  Pendidikan  dan

diperkaya  dengan  standar  pendidikan  negara

maju.

36.    Pembelajaran  adalah  proses  interaksi  peserta

didik dengan pendidik dan/atau sumber belajar

pada suatu lingkungan belajar.

37.    Pendidikan  jarak  jauh  adalah  pendidikan  yang

peserta  didiknya  terpisah  dari  pendidik  dan

pembelajarannya  menggunakan  berbagai

sumber  belajar  melalui  teknologi  komunikasi,

informasi, dan media lain.

38.    Pendidikan  khusus merupakan  pendidikan  bagi

peserta  didik  yang  memiliki  tingkat  kesulitan

dalam  mengikuti  proses  pembelajaran  karena

kelainan  fisik,  emosional,  mental,  sosial,

dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa.

39.    Pendidikan  berbasis  masyarakat  adalah

penyelenggaraan  pendidikan  berdasarkan

kekhasan  agama,  sosial,  budaya,  aspirasi,  dan

potensi  masyarakat  sebagai  perwujudan

pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

40.    Pendidikan  informal  adalah  jalur  pendidikan

keluarga dan lingkungan.

41.    Organisasi  profesi  adalah  kumpulan  anggota

masyarakat  yang  memiliki  keahlian  tertentu

yang  berbadan  hukum  dan  bersifat

nonkomersial.

42.    Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang

beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang

peduli pendidikan.

43.    Komite  sekolah/madrasah  adalah  lembaga

mandiri  yang  beranggotakan  orang  tua/wali

peserta  didik,  komunitas  sekolah,  serta  tokoh

masyarakat yang peduli pendidikan.

44.    Kementerian  adalah  kementerian  yang

menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  di

bidang pendidikan nasional.

45.    Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

46.    Pemerintah  daerah  adalah  pemerintah  provinsi,

pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.

47.    Menteri adalah menteri  yang menyelenggarakan

urusan  pemerintahan  di  bidang  pendidikan

nasional.

 

2.  Ketentuan  Pasal  49  diubah  sehingga  Pasal  49

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49

(1)  Pengelolaan  satuan  pendidikan  bertujuan

memajukan  pendidikan  nasional  berdasarkan

Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  Negara

Republik  Indonesia  Tahun  1945,  dengan

menerapkan  manajemen  berbasis

sekolah/madrasah  pada  jenjang  pendidikan

dasar  dan  menengah  dan  otonomi  perguruan

tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.

(2)  Pengelolaan  satuan  pendidikan  didasarkan

pada prinsip:

a.  nirlaba,  yaitu  prinsip  kegiatan  satuan

pendidikan  yang  bertujuan  utama  tidak

mencari  keuntungan,  sehingga  seluruh  sisa

lebih  hasil  kegiatan  satuan  pendidikan

harus  digunakan  untuk  meningkatkan

kapasitas  dan/atau  mutu  layanan  satuan

pendidikan;

b.  akuntabilitas,  yaitu  kemampuan  dan

komitmen  satuan  pendidikan  untuk

mempertanggungjawabkan  semua  kegiatan

yang  dijalankan  kepada  pemangku

kepentingan  sesuai  dengan  ketentuan

peraturan perundang-undangan;

c.  penjaminan  mutu,  yaitu  kegiatan  sistemik

satuan  pendidikan  dalam  memberikan

layanan  pendidikan  formal  yang memenuhi

atau  melampaui  Standar  Nasional

Pendidikan secara berkelanjutan;

d.  transparansi,  yaitu  keterbukaan  dan

kemampuan  satuan  pendidikan menyajikan

informasi  yang  relevan  secara  tepat  waktu

sesuai  dengan  ketentuan  peraturan

perundang-undangan dan standar pelaporan

yang  berlaku  kepada  pemangku

kepentingan.

e.  akses  berkeadilan,  yaitu  memberikan

layanan  pendidikan  formal  kepada  calon

peserta  didik  dan  peserta  didik,  tanpa

pengecualian.

 

3.  Ketentuan  Pasal  53  diubah  sehingga  Pasal  53

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

(1)  Satuan  pendidikan  wajib  memberikan  layanan

pendidikan  kepada  calon  peserta  didik  dan

peserta didik, tanpa  memandang latar belakang

agama,  ras,  etnis,  gender,  status  sosial,  dan

kemampuan ekonomi.

(2)  Satuan  pendidikan  wajib  menjamin  akses

pelayanan  pendidikan  bagi  peserta  didik  yang

membutuhkan pendidikan khusus, dan layanan

khusus.

 

4.  Di  antara  Pasal  53  dan  Pasal  54  disisipkan  2  (dua)

pasal  yakni  Pasal  53A  dan  Pasal  53B  yang  berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 53A

(1)  Satuan  pendidikan  menengah  dan  satuan

pendidikan  tinggi  yang  diselenggarakan  oleh

Pemerintah  atau  pemerintah  daerah  sesuai

dengan  kewenangan  masing-masing  wajib

mengalokasikan tempat bagi calon peserta didik

berkewarganegaraan  Indonesia,  yang  memiliki

potensi akademik memadai dan kurang mampu

secara  ekonomi, paling  sedikit 20%  (dua puluh

persen)  dari  jumlah  keseluruhan  peserta  didik

baru.

(2)  Satuan  pendidikan  menengah  dan  satuan

pendidikan  tinggi  yang  diselenggarakan  oleh

Pemerintah  atau  pemerintah  daerah  sesuai

dengan  kewenangan  masing-masing  wajib

menyediakan  beasiswa  bagi  peserta  didik

berkewarganegaraan  Indonesia  yang

berprestasi.

(3)  Satuan  pendidikan  menengah  dan  satuan

pendidikan  tinggi  yang  diselenggarakan  oleh

Pemerintah  atau  pemerintah  daerah  sesuai

dengan  kewenangan  masing-masing  wajib

menyediakan  bantuan  biaya  pendidikan  bagi

peserta  didik  berkewarganegaraan  Indonesia

yang  tidak  mampu  secara  ekonomi  dan  yang

orang  tua  atau  pihak  yang  membiayai  tidak

mampu secara ekonomi.

(4)  Bantuan  biaya  pendidikan  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (3),  diberikan  kepada

paling  sedikit  20%  (dua  puluh  persen)  dari

jumlah seluruh peserta didik.

(5)  Satuan pendidikan  tinggi  yang diselenggarakan

oleh  Pemerintah  dapat  mengalokasikan

beasiswa bagi warga negara asing.

(6)  Ketentuan  lebih  lanjut mengenai  beasiswa  dan

bantuan  biaya  pendidikan  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (2),  ayat  (4),  dan  ayat  (5)

diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 53B

(1)  Satuan pendidikan  tinggi  yang diselenggarakan

oleh  Pemerintah  wajib menjaring  peserta  didik

baru program  sarjana melalui pola penerimaan

secara nasional paling sedikit 60% (enam puluh

persen)  dari  jumlah  peserta  didik  baru  yang

diterima  untuk  setiap  program  studi  pada

program pendidikan sarjana.

(2)  Pola  penerimaan  secara  nasional  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  tidak  termasuk

penerimaan  mahasiswa  melalui  penelusuran

minat dan bakat atau bentuk lain yang sejenis.

(3)  Peserta  didik  baru  yang  terjaring  melalui  pola

penerimaan  secara  nasional  sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), termasuk peserta didik

yang  tidak  mampu  secara  ekonomi  dan  yang

orang  tua  atau  pihak  yang  membiayai  tidak

mampu secara ekonomi.

(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pola

penerimaan  secara  nasional  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan

Peraturan Menteri.

 

5.  Di  antara  Pasal  58  dan  Pasal  59  disisipkan

10  (sepuluh)  pasal  yakni  Pasal  58A,  Pasal  58B,

Pasal  58C,  Pasal  58D,  Pasal  58E,  Pasal  58F,  Pasal

58G,  Pasal  58H,  Pasal  58I,  dan  Pasal  58J  yang

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58A

Satuan  pendidikan  anak  usia  dini  jalur  formal,

pendidikan  dasar,  dan/atau  pendidikan  menengah

yang  diselenggarakan  oleh  Pemerintah  atau

pemerintah  daerah  memiliki  paling  sedikit  2  (dua)

organ yang terdiri atas:

a.  kepala  sekolah/madrasah  yang  menjalankan

fungsi manajemen  satuan  pendidikan  anak  usia

dini  jalur  formal,  pendidikan  dasar,  dan/atau

pendidikan menengah; dan

b.  komite  sekolah/madrasah  yang  menjalankan

fungsi  pengarahan,  pertimbangan,  dan

pengawasan akademik.

Pasal 58B

(1)  Pengelolaan  satuan  pendidikan  anak  usia  dini

jalur  formal,  pendidikan  dasar,  dan/atau

pendidikan  menengah  yang  diselenggarakan

oleh  Pemerintah  atau  pemerintah  daerah

menggunakan tata kelola sebagai berikut:

a.  kepala  sekolah/madrasah  menjalankan

manajemen  berbasis  sekolah/madrasah

untuk  dan  atas  nama

Gubernur/Bupati/Walikota  atau  Menteri

Agama  sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan

b.  komite  sekolah/madrasah  memberi

bantuan  pengarahan,  pertimbangan,  dan

melakukan  pengawasan  akademik  kepada

dan terhadap kepala sekolah/madrasah.

(2)  Manajemen  berbasis  sekolah/madrasah

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  a

merupakan  kewenangan  kepala

sekolah/madrasah menentukan  secara mandiri

untuk  satuan  pendidikan  yang  dikelolanya

dalam bidang manajemen, yang meliputi:

a.  rencana strategis dan operasional;

b.  struktur organisasi dan tata kerja;

c.  sistem audit dan pengawasan internal; dan

d.  sistem penjaminan mutu internal.

(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pengelolaan

satuan  pendidikan  anak usia  dini  jalur  formal,

pendidikan  dasar,  dan/atau  pendidikan

menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur  dengan  Peraturan

Gubernur/Bupati/Walikota  atau  Peraturan

Menteri Agama.

Pasal 58C

(1)  Organ dan pengelolaan satuan pendidikan anak

usia  dini  jalur  formal,  pendidikan  dasar,

dan/atau  pendidikan  menengah  yang

diselenggarakan oleh masyarakat menggunakan

tata  kelola  yang  ditetapkan  oleh  badan hukum

nirlaba  yang  sah  berdasarkan  ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2)  Pengelolaan  satuan  pendidikan  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  diselenggarakan

berdasarkan prinsip  sebagaimana diatur dalam

Pasal 49 ayat (2).

Pasal 58D

(1)  Satuan pendidikan  tinggi  yang diselenggarakan

oleh  Pemerintah  memiliki  paling  sedikit

4 (empat) jenis organ yang terdiri atas:

a.  rektor,  ketua,  atau  direktur  yang

menjalankan  fungsi  pengelolaan  satuan

pendidikan tinggi;

b.  senat  universitas,  institut,  sekolah  tinggi,

akademi, atau politeknik yang menjalankan

fungsi  pertimbangan  dan  pengawasan

akademik;

c.  satuan  pengawasan  yang  menjalankan

fungsi  pengawasan  bidang  non-akademik;

dan

d.  dewan  pertimbangan  yang  menjalankan

fungsi  pertimbangan  non-akademik  dan

fungsi  lain  yang  ditentukan  dalam  statuta

satuan pendidikan tinggi masing-masing.

(2)  Nama  organ  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  huruf  c  dan  huruf  d  diatur  dalam

statuta  satuan  pendidikan  tinggi  masing-

masing.

(3)  Ketentuan  mengenai  jumlah  dan  jenis  organ

selain  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)

diatur  dalam  statuta  satuan  pendidikan  tinggi

masing-masing.

Pasal 58E

(1)  Rektor,  ketua,  atau  direktur  sebagaimana

dimaksud  dalam  Pasal  58D  ayat  (1)  huruf  a

diangkat  dan  diberhentikan  oleh Menteri  atau

Menteri  Agama,  sebagai  pemimpin  satuan

pendidikan tinggi.

(2)  Rektor,  ketua,  atau  direktur  sebagaimana

dimaksud pada ayat  (1), dibantu oleh beberapa

unsur  pimpinan  pada  tingkat  satuan

pendidikan  tinggi  dan/atau  pada  tingkat

fakultas atau sebutan lain yang sejenis.

(3)  Jumlah  dan  jenis  unsur  pimpinan  satuan

pendidikan  tinggi  sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur dalam statuta satuan pendidikan

tinggi masing-masing atas persetujuan Menteri

yang  menyelenggarakan  urusan  pemerintahan

di bidang pendayagunaan aparatur negara.

(4)  Ketentuan  mengenai  tata  cara  pengangkatan

dan pemberhentian rektor, ketua, atau direktur

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur

dengan Peraturan Menteri.

Pasal 58F

(1)  Tata  kelola  satuan  pendidikan  tinggi  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  sebagai

berikut:

a.  rektor,  ketua,  atau  direktur  menjalankan

otonomi  perguruan  tinggi  untuk  dan  atas

nama  Menteri  dalam  bidang  pendidikan

tinggi,  penelitian,  pengabdian  kepada

masyarakat  dan  bidang  lainnya  sesuai

dengan  ketentuan  peraturan  perundang-

undangan;

b.  senat  universitas,  institut,  sekolah  tinggi,

akademi,  atau  politeknik  memberi

pertimbangan  dan  melakukan  pengawasan

terhadap rektor, ketua, atau direktur dalam

pelaksanaan  otonomi  perguruan  tinggi

bidang akademik;

c.  satuan pengawasan melakukan pengawasan

pelaksanaan  otonomi  perguruan  tinggi

bidang non akademik untuk dan atas nama

rektor, ketua, atau direktur;

 

d.  dewan  pertimbangan  memberi

pertimbangan  otonomi  perguruan  tinggi

bidang non-akademik dan fungsi lain sesuai

statuta kepada rektor, ketua, atau direktur.

(2)  Otonomi  perguruan  tinggi  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  a  terdiri  atas

kewenangan  rektor,  ketua,  atau  direktur

menentukan secara mandiri satuan pendidikan

yang dikelolanya antara lain dalam:

a.  bidang manajemen organisasi, yaitu:

1.  rencana strategis dan operasional;

2.  struktur organisasi dan tata kerja;

3.  sistem  pengendalian  dan  pengawasan

internal; dan

4.  sistem penjaminan mutu internal,

yang  ditetapkan  oleh  rektor,  ketua,  atau

direktur sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

b.  bidang akademik, yaitu:

1.  norma,  kebijakan,  dan  pelaksanaan

pendidikan:

a)  persyaratan akademik mahasiswa yang

akan diterima;

b)  pembukaan,  perubahan,  dan

penutupan program studi;

c)  kerangka  dasar  dan  struktur

kurikulum  serta  kurikulum  program

studi;

d)  proses pembelajaran;

e)  penilaian hasil belajar;

f)  persyaratan kelulusan; dan

g)  wisuda.

2.  norma,  kebijakan,  serta  pelaksanaan

penelitian  dan  pengabdian  kepada

masyarakat.

c.  bidang kemahasiswaan, yaitu:

1.  norma dan kebijakan kemahasiswaan;

2.  kegiatan  kemahasiswaan  intrakurikuler

dan ekstrakurikuler;

3.  organisasi kemahasiswaan; dan

4.  pembinaan bakat dan minat mahasiswa.

d.  bidang sumber daya manusia, yaitu:

1.  norma dan kebijakan pengelolaan sumber

daya manusia;

2.  persyaratan  dan  prosedur  penerimaan

sumber daya manusia;

3.  penugasan  dan  pembinaan  sumber  daya

manusia;

4.  penyusunan target kerja dan jenjang karir

sumber daya manusia; dan

5.  pemberhentian sumber daya manusia,

yang ditetapkan oleh  rektor, ketua, direktur

sesuai  dengan  ketentuan  peraturan

perundang-undangan bidang kepegawaian.

e.  bidang sarana dan prasarana, yaitu:

1.  norma dan kebijakan pengelolaan  sarana

dan prasarana; dan

2.  penggunaan sarana dan prasarana,

sesuai  dengan  ketentuan  peraturan

perundang-undangan.

(3)    Otonomi perguruan tinggi dalam:

a.  bidang keuangan yaitu:

1.  norma  dan  kebijakan  pengelolaan  bidang

keuangan;

2.  perencanaan  dan  pengelolaan  anggaran

jangka pendek dan jangka panjang;

3.  tarif setiap jenis layanan pendidikan;

4.  penerimaan,  pembelanjaan,  dan

pengelolaan uang;

5.  melakukan  investasi  jangka  pendek  dan

jangka panjang;

6.  melakukan  pengikatan  dalam  tri  dharma

perguruan tinggi dengan pihak ketiga;

7.  memiliki  utang  dan  piutang  jangka

pendek dan jangka panjang; dan

8.  sistem  pencatatan  dan  pelaporan

keuangan.

b.  bidang sumber daya manusia yaitu jenis dan

besar gaji serta tunjangan yang melekat pada

gaji  yang  diberikan  di  atas  gaji  dan

tunjangan  melekat  yang  diterima  pegawai

negeri sipil.

c.  bidang sarana dan prasarana yaitu:

1.  pembelian dan tatacara pembelian sarana

dan prasarana;

2.  pencatatan sarana dan prasarana;

3.  penghapusan sarana dan prasarana,

dapat  dijalankan  apabila  satuan  pendidikan

tinggi  menerapkan  pola  pengelolaan  keuangan

badan layanan umum.

(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pengelolaan

satuan  pendidikan  tinggi,  dan  otonomi

perguruan  tinggi  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diatur  dalam  statuta

masing-masing  satuan  pendidikan  tinggi  yang

ditetapkan oleh Menteri.

(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  otonomi

perguruan  tinggi  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (3)  yang  sesuai  dengan  karakteristik

pengelolaan  satuan  pendidikan  tinggi

ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan

urusan  pemerintahan  di  bidang  keuangan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(6)  Dalam  hal  satuan  pendidikan  tinggi  tidak

menerapkan  pola  pengelolaan  keuangan  badan

layanan  umum  maka  otonomi  sebagaimana

tercantum  pada  ayat  (3)  diatur  dengan  pola

pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

Pasal 58G

(1)  Organ  dan  pengelolaan  satuan  pendidikan

tinggi  yang  diselenggarakan  oleh  masyarakat

menggunakan  tata  kelola  yang  ditetapkan  oleh

badan  hukum  nirlaba  yang  sah  berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Pengelolaan  satuan  pendidikan  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  diselenggarakan

berdasarkan prinsip sebagaimana diatur dalam

Pasal 49 ayat (2).

Pasal 58H

(1)  Pemerintah  atau  pemerintah  daerah  sesuai

dengan  kewenangan  masing-masing

menanggung  seluruh  biaya  investasi,  biaya

operasional,  beasiswa,  dan  bantuan  biaya

pendidikan  bagi  satuan  pendidikan  dasar  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  atau

pemerintah daerah.

(2)  Pemerintah  atau  pemerintah  daerah  sesuai

dengan  kemampuan  dan  kewenangan  masing-

masing  menanggung  biaya  investasi,  biaya

operasional, beasiswa, dan/atau bantuan biaya

pendidikan  bagi  satuan  pendidikan  anak  usia

dini  jalur  formal  dan/atau  pendidikan

menengah  yang  diselenggarakan  oleh

Pemerintah  atau  pemerintah  daerah  sesuai

dengan  ketentuan  peraturan  perundang-

undangan.

(3)  Pemerintah  sesuai  dengan  kemampuan

keuangan  negara menanggung  biaya  investasi,

biaya operasional, beasiswa, dan/atau bantuan

biaya pendidikan bagi satuan pendidikan  tinggi

yang  diselenggarakan  oleh  Pemerintah  sesuai

dengan  ketentuan  peraturan  perundang-

undangan.

(4)  Dana untuk  biaya  investasi,  biaya  operasional,

beasiswa,  dan/atau  bantuan  biaya  pendidikan

bagi  satuan  pendidikan  anak  usia  dini  jalur

formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan

menengah  yang  diselenggarakan  oleh

Pemerintah atau pemerintah daerah disalurkan

kepada  kepala  sekolah/madrasah  dan  dikelola

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(5)  Dana untuk  biaya  investasi,  biaya  operasional,

beasiswa,  dan/atau  bantuan  biaya  pendidikan

bagi  satuan  pendidikan  tinggi  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  disalurkan

kepada rektor, ketua, atau direktur dan dikelola

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 58I

Satuan  pendidikan  menengah  yang  diselenggarakan

oleh  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  dapat

menerapkan  pola  pengelolaan  keuangan  badan

layanan umum.

Pasal 58J

(1)  Akuntabilitas pengelolaan dan penyelenggaraan

satuan  pendidikan  wajib  diwujudkan  paling

sedikit dengan:

a.  menyelenggarakan  tata  kelola  satuan

pendidikan berdasarkan prinsip  tata kelola

satuan  pendidikan  sebagaimana  dimaksud

dalam Pasal 49 ayat (2);

b.  menyeimbangkan  jumlah  peserta  didik,

kapasitas  sarana  dan  prasarana,  pendidik,

tenaga  kependidikan  serta  sumber  daya

lainnya;

c.  menyelenggarakan  pendidikan  tidak  secara

komersial; dan

d.  menyusun  laporan  penyelenggaraan

pendidikan  dan  laporan  keuangan  tepat

waktu,  transparan,  dan  akuntabel  sesuai

dengan  ketentuan  peraturan  perundang-

undangan.

(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  akuntabilitas

pengelolaan  dan  penyelenggaraan  satuan

pendidikan  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

6.  Ketentuan  Pasal  60  diubah  sehingga  Pasal  60

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60

(1)  Penyelenggaraan pendidikan formal meliputi:

a.  pendidikan anak usia dini;

b.  pendidikan dasar;

c.  pendidikan menengah; dan

d.  pendidikan tinggi.

(2)  Penyelenggara satuan pendidikan terdiri atas:

a.  pemerintah daerah yang menyelenggarakan

satuan  pendidikan  anak  usia  dini  jalur

formal, pendidikan dasar dan menengah;

b.  Kementerian  yang  menyelenggarakan

urusan  pemerintahan  di  bidang  agama

menyelenggarakan satuan pendidikan anak

usia dini jalur formal, pendidikan dasar dan

menengah;

c.  Kementerian  yang  menyelenggarakan

satuan pendidikan tinggi; dan

d.  masyarakat yang menyelenggarakan satuan

pendidikan  anak  usia  dini  jalur  formal,

pendidikan  dasar,  menengah,  dan/atau

tinggi,  melalui  badan  hukum  yang

berbentuk  antara  lain  yayasan,

perkumpulan, dan badan lain sejenis.

 

7.  Ketentuan  Pasal  170  diubah  sehingga  Pasal  170

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 170

(1)  Pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan

pendidikan  yang  diselenggarakan  oleh

Pemerintah  atau  pemerintah  daerah,  berstatus

sebagai  pegawai  negeri  sipil  dan  non-pegawai

negeri  sipil  sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(2)  Pendidik dan tenaga kependidikan non-pegawai

negeri  sipil  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  membuat  perjanjian  dengan  kepala

sekolah/madrasah  atau  rektor,  ketua,  atau

direktur.

(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  jenis  dan  isi

perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diatur dengan Peraturan Menteri.

 

8.  Judul  BAB  XIII  diubah  sehingga  BAB  XIII  berbunyi

sebagai berikut:

BAB XIII

PENDIRIAN, PERUBAHAN, DAN PENUTUPAN SATUAN

PENDIDIKAN

 

9.  Ketentuan  Pasal  182  diubah  dan  di  antara  ayat  (9)

dan ayat  (10) disisipkan 1  (satu) ayat yakni ayat  (9a)

sehingga Pasal 182 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 182

(1)  Pendirian  program  atau  satuan  pendidikan

anak  usia  dini  formal,  pendidikan  dasar,

pendidikan  menengah,  dan  pendidikan  tinggi

wajib  memperoleh  izin  Pemerintah  atau

pemerintah  daerah  sesuai  dengan

kewenangannya.

(2)  Izin  pendirian  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  untuk  TK,  SD,  SMP,  SMA,  dan  SMK,

yang  memenuhi  standar  pelayanan  minimum

sampai  dengan  Standar  Nasional  Pendidikan,

diberikan oleh bupati/walikota.

(3)  Izin  pengembangan  SD,  SMP,  SMA,  dan  SMK,

yang  memenuhi  Standar  Nasional  Pendidikan

menjadi  satuan  dan/atau  program  pendidikan

bertaraf internasional diberikan oleh Menteri.

(4)  Izin  pengembangan  SD,  SMP,  SMA,  dan  SMK,

yang  memenuhi  Standar  Nasional  Pendidikan

menjadi  satuan  dan/atau  program  pendidikan

berbasis  keunggulan  lokal,  diberikan  oleh

bupati/walikota.

(5)  Izin  pendirian  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1) untuk satuan pendidikan khusus pada

jenjang  pendidikan  dasar  dan  menengah

diberikan oleh gubernur.

(6)  Izin  pendirian  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  untuk  RA,  MI,  MTs,  MA,  MAK,  dan

pendidikan  keagamaan  dikeluarkan  oleh

Menteri Agama.

(7)  Izin pengembangan RA, MI, MTs, MA, MAK, dan

pendidikan  keagamaan  menjadi  satuan

dan/atau  program  pendidikan  bertaraf

internasional  atau  berbasis  keunggulan  lokal

dikeluarkan oleh Menteri Agama.

(8)  Izin  pendirian  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  untuk  universitas  dan  institut  yang

diselenggarakan oleh Pemerintah diberikan oleh

Presiden atas usul Menteri.

(9)  Izin  pendirian  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  untuk  sekolah  tinggi,  politeknik,  dan

akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah

diberikan  oleh  Menteri  setelah  mendapat

persetujuan  tertulis  dari  Menteri  yang

menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  di

bidang pendayagunaan aparatur Negara.

(9a)   Izin  pendirian  perguruan  tinggi  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  yang  diselenggarakan

oleh  masyarakat  diberikan  oleh  Menteri  atas

usul pengurus atau nama lain yang sejenis dari

badan  hukum  nirlaba  yang  sah  berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(10)  Izin  pendirian  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  untuk  satuan  pendidikan  Indonesia  di

luar negeri diberikan oleh Menteri.

(11)  Ketentuan  lebih  lanjut  tentang  tata  cara

pemberian  izin  satuan  pendidikan  formal

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  sampai

dengan  ayat  (10)  diatur  dengan  Peraturan

Menteri.

 

10. Ketentuan  Pasal  184  diubah,  dan  ditambahkan

1  (satu)  ayat  yakni  ayat  (6)  sehingga  Pasal  184

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 184

(1)  Syarat-syarat  pendirian  satuan  pendidikan

formal  meliputi  isi  pendidikan,  jumlah  dan

kualifikasi  pendidik  dan  tenaga  kependidikan,

sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan

pendidikan,  sistem  evaluasi  dan  sertifikasi,

serta manajemen dan proses pendidikan.

(2)  Syarat-syarat  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  berpedoman  pada  ketentuan  dalam

Standar Nasional Pendidikan.

(3)  Selain  syarat-syarat  sebagaimana  dimaksud

pada  ayat  (1)  pendirian  satuan  pendidikan

harus melampirkan:

a.  hasil  studi  kelayakan  tentang  prospek

pendirian satuan pendidikan formal dari segi

tata ruang, geografis, dan ekologis;

b.  hasil  studi  kelayakan  tentang  prospek

pendirian satuan pendidikan formal dari segi

prospek  pendaftar,  keuangan,  sosial,  dan

budaya;

c.  data  mengenai  perimbangan  antara  jumlah

satuan pendidikan formal dengan penduduk

usia sekolah di wilayah tersebut;

d.  data  mengenai  perkiraan  jarak  satuan

pendidikan  yang  diusulkan  di  antara  gugus

satuan pendidikan formal sejenis;

e.  data mengenai kapasitas daya  tampung dan

lingkup jangkauan satuan pendidikan formal

sejenis yang ada; dan

f.  data mengenai perkiraan pembiayaan untuk

kelangsungan  pendidikan  paling  sedikit

untuk 1 (satu) tahun akademik berikutnya.

(4)  Satuan pendidikan  tinggi yang diselenggarakan

oleh kementerian lain atau lembaga pemerintah

nonkementerian,  selain  harus  memenuhi

persyaratan  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (2)  dan  ayat  (3)  harus  pula  memenuhi

persyaratan:

a.  memiliki  program-program  studi  yang

diselenggarakan  secara  khas  terkait  dengan

tugas dan  fungsi kementerian atau  lembaga

pemerintah  nonkementerian  yang

bersangkutan; dan

b.  adanya  undang-undang  sektor  terkait  yang

menyatakan  perlu  diadakannya  pendidikan

yang  diselenggarakan  secara  khas  terkait

dengan  tugas  dan  fungsi  kementerian  atau

lembaga  pemerintah  nonkementerian  yang

bersangkutan.

(5)  Kewenangan  membuka,  mengubah,  dan

menutup program studi sebagaimana dimaksud

dalam  Pasal  58F  ayat  (2)  huruf  (b)  butir  (1.b)

diberikan  secara  bertahap  kepada  perguruan

tinggi.

(6)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pentahapan

pemberian  kewenangan  untuk  membuka  dan

menutup program studi sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

11. Di antara Pasal 184 dan Pasal 185 disisipkan 2 (dua)

pasal  baru  yakni  Pasal  184A  dan  Pasal  184B  yang

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 184A

(1)  Perubahan  perguruan  tinggi  dapat  dilakukan

melalui:

a.  perubahan  nama  dan/atau  bentuk  dari

nama  dan/atau  bentuk  perguruan  tinggi

tertentu  menjadi  nama  dan/atau  bentuk

perguruan tinggi yang lain;

b.  penggabungan 2  (dua) atau  lebih perguruan

tinggi  menjadi  1  (satu)  perguruan  tinggi

baru;

c.  1  (satu)  atau  lebih  perguruan  tinggi

bergabung ke perguruan tinggi lain;

d.  pemecahan  dari  1  (satu)  bentuk  perguruan

tinggi  menjadi  2  (dua)  atau  lebih  bentuk

perguruan tinggi yang lain.

(2)  Perubahan  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  untuk  perguruan  tinggi  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  dilakukan

setelah  mendapat  pertimbangan  dari  Menteri

yang  menyelenggarakan  urusan  pemerintahan

di bidang pendayagunaan aparatur negara.

(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  perubahan

perguruan  tinggi  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 184B

(1)  Penutupan  universitas  dan  institut  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  ditetapkan

oleh Presiden atas usul Menteri.

(2)  Penutupan  sekolah  tinggi,  politeknik,  dan

akademi yang diselenggarakan oleh Pemerintah

ditetapkan oleh Menteri.

(3)  Penutupan  perguruan  tinggi  yang

diselenggarakan  oleh  masyarakat  dilakukan

oleh  badan  hukum  penyelenggara  pendidikan

setelah ijin dicabut oleh Menteri.

(4)  Penutupan  perguruan  tinggi  atau  pencabutan

ijin  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),

ayat  (2),  dan  ayat  (3)  dilakukan  apabila

perguruan  tinggi  yang  bersangkutan  tidak  lagi

memenuhi  syarat  pendirian  atau  proses

penyelenggaraan  perguruan  tinggi  tidak  sesuai

dengan  ketentuan  peraturan  perundang-

undangan.

(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penutupan

perguruan  tinggi  atau  pencabutan  ijin

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  diatur

dengan Peraturan Menteri.

 

12. Pasal  207  diubah  sehingga  Pasal  207  berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 207

(1)  Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai

dengan  kewenangannya  dapat  memberikan

sanksi  administratif  berupa  peringatan,

penundaan  atau  pembatalan  pemberian

sumber  daya  pendidikan  kepada  satuan

pendidikan,  penutupan  satuan  pendidikan

dan/atau  program  pendidikan  yang

melaksanakan  pendidikan  yang  tidak  sesuai

dengan  ketentuan  sebagaimana  dimaksud

dalam  Pasal  51,  Pasal  53,  Pasal  53B  ayat  (1),

Pasal  54,  Pasal  55,  Pasal  57,  Pasal  58,  Pasal

58J ayat (1), Pasal 69 ayat (4), Pasal 71 ayat (2)

dan ayat  (3), Pasal 72, Pasal 81 ayat  (6), Pasal

95, Pasal 122 ayat (1), Pasal 131 ayat (5), Pasal

162 ayat (2), Pasal 184, dan Pasal 184A.

(2)  Pengenaan  sanksi  administratif  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  tidak  meniadakan

pengenaan sanksi lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara

pemberian  sanksi  administratif  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan

Peraturan Menteri.

 

13. Di  antara  Pasal  220  dan  Pasal  221  disisipkan

6  (enam)  pasal  yakni  Pasal  220A,  Pasal  220B,

Pasal 220C, Pasal 220D, Pasal 220E, dan Pasal 220F

yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 220A

(1)  Pengelolaan  pendidikan  yang  dilakukan  oleh

Universitas  Indonesia,  Universitas  Gadjah

Mada,  Institut  Teknologi  Bandung,  Institut

Pertanian  Bogor,  Universitas  Sumatera  Utara,

Universitas  Pendidikan  Indonesia,  dan

Universitas  Airlangga masih  tetap  berlangsung

sampai  dilakukan  penyesuaian  pengelolaannya

berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

(2)  Penyesuaian  pengelolaan  sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3

(tiga)  tahun  sebagai  masa  transisi  sejak

Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

(3)  Pengalihan  status  kepegawaian  dosen  dan

tenaga  kependidikan  pada  Universitas

Indonesia,  Universitas  Gadjah  Mada,  Institut

Teknologi  Bandung,  Institut  Pertanian  Bogor,

Universitas  Sumatera  Utara,  Universitas

Pendidikan  Indonesia,  dan  Universitas

Airlangga  yang  sebelumnya  berstatus  sebagai

pegawai  Perguruan  Tinggi Badan Hukum Milik

Negara diatur berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4)  Universitas  Indonesia,  Universitas  Gadjah

Mada,  Institut  Teknologi  Bandung,  Institut

Pertanian  Bogor,  Universitas  Sumatera  Utara,

Universitas  Pendidikan  Indonesia,  dan

Universitas  Airlangga  ditetapkan  sebagai

perguruan  tinggi  yang  diselenggarakan  oleh

pemerintah.

(5)  Penetapan  lebih  lanjut  masing-masing

perguruan  tinggi  sebagaimana  dimaksud  pada

ayat  (1)  sebagai  perguruan  tinggi  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  ditetapkan

dengan Peraturan Presiden.

Pasal 220B

(1)  Pengelolaan  keuangan  Universitas  Indonesia,

Universitas  Gadjah  Mada,  Institut  Teknologi

Bandung,  Institut  Pertanian  Bogor,  Universitas

Sumatera  Utara,  Universitas  Pendidikan

Indonesia,  dan  Universitas  Airlangga,

menerapkan  pola  pengelolaan  keuangan  badan

layanan umum.

(2)  Penetapan  penerapan  pola  pengelolaan

keuangan  badan  layanan  umum  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  ditetapkan  dalam

peraturan  pemerintah  mengenai  pengelolaan

keuangan badan layanan umum.

(3)  Penyesuaian  tata  kelola  keuangan  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  diselesaikan  paling

lambat 31 Desember 2012.

Pasal 220C

(1)  Perguruan  Tinggi  Badan  Hukum  Milik  Negara

yang  telah  memperoleh  pemisahan  kekayaan

negara  yang  ditempatkan  sebagai  kekayaan

awal  Perguruan  Tinggi  Badan  Hukum  Milik

Negara dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)

tahun  wajib  menyelesaikan  pengalihan

kekayaan negara kepada Menteri.

(2)  Para  pihak  pada  perjanjian  yang  telah  dibuat

oleh  Perguruan  Tinggi  Badan  Hukum  Milik

Negara  dengan  pihak  lain  wajib  disesuaikan

dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah

ini.

Pasal 220D

(1)  Satuan pendidikan anak usia dini  jalur  formal,

pendidikan  dasar,  dan/atau  pendidikan

menengah  yang  diselenggarakan  oleh

Pemerintah  atau  pemerintah  daerah  tetap

mengelola satuan pendidikan sampai dilakukan

penyesuaian  tata  kelola  paling  lama  4  (empat)

tahun  sejak  Peraturan  Pemerintah  ini

diundangkan.

(2)  Satuan pendidikan  tinggi yang diselenggarakan

oleh  Pemerintah  tetap  mengelola  satuan

pendidikan sampai dilakukan penyesuaian  tata

kelola  paling  lama  3  (tiga)  tahun  sejak

Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

(3)  Penyesuaian  tata  kelola  satuan  pendidikan

anak  usia  dini  jalur  formal,  pendidikan  dasar,

dan/atau  pendidikan  menengah  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  atau

pemerintah  daerah  sebagaimana  dimaksud

pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  Menteri  Agama

atau Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya.

(4)  Penyesuaian  tata  kelola  satuan  pendidikan

tinggi  yang  diselenggarakan  oleh  Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

oleh Menteri.

 

(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penyesuaian

tata  kelola  satuan  pendidikan  anak  usia  dini

jalur  formal,  pendidikan  dasar,  dan/atau

pendidikan  menengah  yang  diselenggarakan

oleh  Pemerintah  atau  pemerintah  daerah

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  diatur

dengan  Peraturan  Menteri  Agama  atau

Peraturan  Gubernur/Bupati/Walikota  sesuai

dengan kewenangannya.

(6)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penyesuaian

tata  kelola  satuan  pendidikan  tinggi  yang

diselenggarakan  oleh  Pemerintah  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (4)  diatur  dengan

Peraturan Menteri.

Pasal 220E

Yayasan,  perkumpulan,  dan  badan  lain  sejenis  yang

telah  berstatus  badan  hukum,  tetap

menyelenggarakan  satuan  pendidikan  sepanjang

tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  peraturan

perundang-undangan  yang  mengatur  mengenai

badan hukum nirlaba.

Pasal 220F

(1)  Pengelolaan  pendidikan  yang  dilakukan  oleh

Universitas  Pertahanan  yang  sebelumnya

adalah  Badan  Hukum  Pendidikan  Pemerintah

Universitas Pertahanan dinyatakan masih tetap

berlangsung  sejak  tanggal  31  Maret  2010

sampai  Universitas  Pertahanan  menyesuaikan

tata  kelola  berdasarkan  Peraturan  Pemerintah

ini.

(2)  Penyesuaian tata kelola sebagaimana dimaksud

pada  ayat  (1)  dilakukan  paling  lama  3  (tiga)

tahun  sejak  Peraturan  Pemerintah  ini

diundangkan.

(3)  Universitas  Pertahanan  ditetapkan  sebagai

perguruan  tinggi  yang  diselenggarakan  oleh

pemerintah.

(4)  Penetapan  lebih  lanjut  Universitas  Pertahanan

sebagai  satuan  pendidikan  tinggi  yang

diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan

Peraturan Presiden.

 

Pasal 220G

(1)  Pengelolaan  keuangan  Universitas  Pertahanan

menerapkan  pola  pengelolaan  keuangan  badan

layanan umum.

(2)  Penetapan penerapan pola pengelolaan keuangan

badan  layanan  umum  sebagaimana  dimaksud

pada  ayat  (1)  ditetapkan  dalam  Peraturan

Pemerintah  mengenai  Pengelolaan  Keuangan

Badan Layanan Umum

(3)  Penyesuaian  tata  kelola  keuangan  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat  (1)  diselesaikan  paling

lambat 31 Desember 2012.

 

Pasal 220H

Pada  saat  Peraturan  Pemerintah  ini  mulai  berlaku,

tata kelola perguruan tinggi yang diatur dalam:

a.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  152  Tahun  2000

tentang  Penetapan  Universitas  Indonesia  sebagai

Badan  Hukum  Milik  Negara  (Lembaran  Negara

Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 270);

b.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  153  Tahun  2000

tentang  Penetapan  Universitas  Gadjah  Mada

sebagai  Badan  Hukum  Milik  Negara  (Lembaran

Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2000  Nomor

271);

c.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  154  Tahun  2000

tentang  Penetapan  Institut  Pertanian  Bogor

sebagai  Badan  Hukum  Milik  Negara  (Lembaran

Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2000

Nomor 272);

d.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  155  Tahun  2000

tentang  Penetapan  Institut  Teknologi  Bandung

sebagai  Badan  Hukum  Milik  Negara  (Lembaran

Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2000

Nomor 273);

e.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  56  Tahun  2003

tentang  Penetapan  Universitas  Sumatera  Utara

sebagai  Badan  Hukum  Milik  Negara  (Lembaran

Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2003

Nomor 125);

f.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  6  Tahun  2004

tentang  Penetapan  Universitas  Pendidikan

Indonesia  sebagai  Badan  Hukum  Milik  Negara

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 13);

g.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  30  Tahun  2006

tentang  Penetapan  Universitas  Airlangga  sebagai

Badan  Hukum  Milik  Negara  (Lembaran  Negara

Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 6); dan

h.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  38  Tahun  2010

tentang  Badan  Hukum  Pendidikan  Pemerintah

Universitas  Pertahanan  (Lembaran  Negara

Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 48);

masih  tetap  berlaku  sepanjang  dimaknai  sebagai

fungsi  penyelenggara  pendidikan  tinggi  yang  tidak

bertentangan  dengan  Peraturan  Pemerintah  ini  dan

peraturan  perundang-undangan  sesudah  masa

transisi.

 

Pasal 220I

Tata kelola perguruan tinggi yang dinyatakan masih tetap

berlaku  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal  220H

adalah tidak termasuk tata kelola keuangan.

 

 

Pasal II

 

Peraturan  Pemerintah  ini  mulai  berlaku  pada  tanggal

diundangkan.

 

Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan

pengundangan  Peraturan  Pemerintah  ini  dengan

penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik

Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta,

pada tanggal 28 September 2010

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

Diundangkan di Jakarta,

pada tanggal 28 September 2010

 

MENTERI  HUKUM  DAN  HAK  ASASI  MANUSIA

REPUBLIK  INDONESIA,

 

 

 

 

PATRIALIS AKBAR

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN  2010 NOMOR 112

 

 

 

 

http://www.djpp.depkumham.go.id

PASAL – PASAL PENTING DALAM KONSEP REVISI/AMANDEMEN UU 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN


UU 13 TAHUN 2003 USULAN PERUBAHAN DARI PEMERINTAH DAMPAK PERUBAHAN
01   Pasal 1. Tambahan ayat 26

SKORING adalah pembebasan tugas untuk jangka waktu tertentu sebagai akibat pelanggaran oleh pekerja/buruh terhadap ketentuan – ketentuan yang telah disepakati antara pekerja/ buruh dan pengusaha.

 
02 Pasal 35

  1. .
  2. .
  3. Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 35

    1. Tidak ada Perubahan.
    2. Tidak ada Perubahan.
    3. Dihapus.
TIDAK ADA LAGI KEWAJIBAN PENGUSAHA UNTUK MEMBERIKAN PERLINDUNGAN DAN MENYEDIAKAN FASILITAS KESEJAHTERAAN BAGI PEKERJA
03 Pasal 38

  1. .
  2. .
  3. .
Pasal 38

    1. Tidak ada Perubahan.
    2. Tidak ada Perubahan.
    3. Tidak ada Perubahan.
    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kerja sebagaimana diatur pasal …. Dan lembaga pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana diatur pasal …… diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
04 Pasal 46

  1. Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
  2. Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 46

    1. Dihapus.
    1. Dihapus.
TENAGA KERJA ASING DIPERBOLEHKAN MENJADI HRD (ANCAMAN BAGI KALANGAN MANAGER HRD, MAUPUN MANAGER LAINNYA)
05 Pasal 49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan peletihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 49

DIHAPUS

MENGHILANGKAN KEWAJIBAN PENGUSAHA UNTUK MEMBERIKAN DIKLAT BAGI TENAGA KERJA INDONESIA PENDAMPING TKA.
06 Pasal 50

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pasal 50

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara PEMBERI KERJA dan pekerja/buruh.

TANGGUNG JAWAB DALAM HUBUNGAN KERJA BERALIH KE PEMBERI KERJA. DALAM PASAL LAIN (USULAN PEMERINTAH ) PEMBERI KERJA TIDAK HARUS BERBADAN HUKUM, JADI PEMBERI KERJA BISA DIREKRUT DARI PARA MANAJER ATAU SUPERVISOR DAN PADA MASA YANG AKAN DATANG, TIDAK DIPERLUKAN LAGI PENJENJANGAN JABATAN KARENA ATASAN PEKERJA ADALAH PARA PEMBERI KERJA.
07 Pasal 56

  1. Perjanjiankerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
  2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas :
  1. Jangka waktu; atau
  1. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 56

    1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
    2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu .

Penjelasan ayat (2)

Termasuk dlm PKWT yang diatur ayat ini adalah Hubungan kerja antara pekerja/buruh paruh waktu atau pekerja/buruh harian lepas dengan pemberi kerja.

08 Pasal 59

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
  1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya ;
  1. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun ;
  2. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
  3. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
  2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu   dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  3. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
  4. Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
  5. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
  6. Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 59

  1. PKWT yang dilakukan atas dasar jangka waktu, dapat dilakukan untuk SEMUA JENIS PEKERJAAN.
  1. PKWT yang didasarkan atas jangka waktu  dapat diadakan untuk paling lama 5 (lima) tahun.
  2. Setelah berakhirnya PKWT sebagaimana diperjanjikan pekerja/buruh berhak atas santunan yang besarnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  3. PKWT yang dilakukan secara terus menerus dan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun demi hukum berubah menjadi PKWTT.
  1. Dalam hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan oleh pengusaha, maka wajib membayar sisa upah dan santunan yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT.
  1. Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/buruh melanggar ketentuan didalam perjanjian kerja maka pekerja/buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai dengan berakhirnya PKWT.
TIDAK ADA LAGI PEKERJA TETAP DAN TIDAK ADA LAGI JAMINAN KEPASTIAN BEKERJA.

SANTUNAN DIARTIKAN SEBAGAI DERMA DAN OLEH KARENANYA BESARANNYA AKAN DITETAPKAN SESUKA HATI.

APABILA PEKERJA MELAKUKAN KESALAHAN DALAM PEKERJAAN DAN ATAU MELANGGAR TATA TERTIB KERJA, MAKA SELAIN DI PHK PEKERJA YANG BERSANGKUTAN DITUNTUT UNTUK MEMBERIKAN GANTI RUGI, YANG KALAU TIDAK DIPENUHI BISA DIPIDANAKAN OLEH PERUSAHAAN.

GILA NGGAAAK !!!!!!.

09   PASAL 59 A (Tambahan)

  1. PKWT yang dilakukan atas dasar selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat 2 huruf b, tidak ada pembatasan jangka waktu.
  2. PKWT atas selesainya suatu pekerjaan harus memuat batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
PERJANJIAN KERJA KONTRAK SECARA SEPIHAK
10   Pasal 63 A (tambahan)

Ketentuan lebih lanjut mengenai PKWT diatur dengan Peraturan Menteri.

11 Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemboronggan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

LABOUR SUPPLIER (PERUSAHAAN JASA TENAGA KERJA) MERAJALELA DAN PEKERJA TETAP DIGUSUR.
12 Pasal 65

  1. Penyerahan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
  2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama ;
  1. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan ;
  2. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan ; dan
  3. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
  1. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
  1. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebgaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
  3. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
  4. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
  5. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
  6. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8). maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Pasal 65

  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
DENGAN DIHAPUSNYA PASAL INI, MAKA

    1. OUT SOURCHING / PENYERAHAN PEKERJAAN DILAKUKAN DENGAN BEBAS (TIDAK DIBATASI HANYA UNTUK KEGIATAN PENUNJANG).
    1. PEMBERI KERJA TIDAK HARUS BERBADAN HUKUM.
    1. PERLINDUNGAN KERJA DAN SYARAT-SYARAT KERJA TIDAK HARUS SAMA DENGAN PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA ATAU SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU.
    2. HUBUNGAN KERJA ANTARA PEKERJA DENGAN PEMBERI KERJA TIDAK HARUS DIATUR MELALUI PERJANJIAN KERJA (DITETAPKAN SECARA SEPIHAK OLEH PEMBERI KERJA).
    1. TIDAK MUNGKIN MENJADI PEKERJA TETAP.
13 Pasal 66

  1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
  2. Penyediaan jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh ;
  1. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf (a) adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dan.atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak ;
  2. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh ; dan
  3. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
  1. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
  1. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf (a), huruf (b), dan huruf (d) serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerja.
Pasal 66

  1. Perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagimana dimaksud dalam pasal 64, wajib membuat perjanjian secara tertulis dengan perusahaan penyedia jasa yang sekurang kurangnya memuat :
    1. nama dan alamat perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan.
    2. Nama dan alamat penyedia jasa
    3. Pekerjaan pekerjaan yang diserahkan.
    4. Lingkup tanggung jawab kepada pekerja/buruh yang mengerjakan pekerjaan yang diserahkan.
    5. Hak dan kewajiban masing – masing pihak.
    6. Akibat hokum apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi).
  2. Perusahaan penyedia jasa harus memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
  1. Pekerja/buruh yang melasanakan pekerjaan – pekerjaan yang diserahkan mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa.
  2. perjanjian secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan pada instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan.
  3. Ketentuan mengenai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
14 Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun

15 Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 72

DIHAPUS

TIDAK JELAS UNTUK TUJUAN APA?
16 Pasal 78

  1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
  1. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
  1. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
  1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
  2. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
  3. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78

    1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
      1. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
      2. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Alternatif huruf B :

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

    1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
    2. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau JABATAN tertentu.
    3. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
17   PASAL 78 A

Pekerja/buruh yang menduduki posisi manager atau posisi lain yang menetukan dilaksanakannya kerja lembur, tidak berhak mendapatkan upah kerja lembur.

MENGHILANGKAN HAK ATAS UPAH LEMBUR BAGI ATASAN PEKERJA YANG MEMERINTAHKAN KERJA LEMBUR (FOREMAN, SUPERVISOR)
18 Pasal 79

  1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
  2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
  1. istirahat antara jam kerja =, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
  1. istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
  2. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
  3. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bualn dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunanannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
  1. Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  2. Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
  3. Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79

    1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
    2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
      1. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
      2. istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
      3. Istirahat tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
      1. DIHAPUS
    1. selain waktu istirahat dan istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha dapat memberi waktu istirahat lainnya kepada pekerja/buruh yang bekerja dalam jangka waktu tertentu.
    2. Ketentuan pemberian dan jangka waktu lamanya pemberian waktu istirahat lainnya kepada pekerja/buruh ditentukan dan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
    3. Pelaksanaan waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

DIHAPUS.

DIHAPUS.

MENGHILANGKAN HAK ATAS ISTIRAHAT PANJANG YANG DIDAMBAKAN PEKERJA SETIAP ENAM TAHUN SEKALI.
19   PASAL 79 A ( Tambahan)

Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

20 Pengupahan

Pasal 88

  1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
  3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
  1. upah minimum;
  1. upah kerja lembur;
  2. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
  3. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
  4. upah karena menjalankan hak waktu istirahata kerjanya;
  5. bentuk dan cara pembayaran upah
  6. denda dan potongan upah;
  7. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
  8. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
  9. upah untuk pembayaran pesangon; dan
  10. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
  1. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pengupahan

Pasal 88

  1. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.

Ayat 2 Baru.

  1. Upah minimum memperhatikan kemampuan sector usaha yang paling lemah /marginal.
  1. DIHAPUS.
  1. DIHAPUS.
PENETAPAN UPAH MINIMUM TIDAK DIDASARKAN KEPADA “ KEBUTUHAN HIDUP LAYAK “ DAN NILAINYA TIDAK MUNGKIN AKAN TINGGI KARENA HARUS MENGACU KEPADA KEMAMPUAN SEKTOR USAHA YANG PALING LEMAH/MARGINAL (MISALNYA: CLEANING SERVICE DAN PABRIK KRUPUK).

PEMERINTAH TIDAK LAGI BERWENANG UNTUK MENETAPKAN KEBIJAKAN PENGUPAHAN UNTUK MELINDUNGI PEKERJA YANG MELIPUTI: UPAH MINIMUM, UPAH KERJA LEMBUR, UPAH TIDAK MASUK KERJA KARENA BERHALANGAN, UPAH TIDAK MASUK KERJA KARENA MELAKUKAN KEGIATAN LAIN DILUAR PEKERJAANNYA, UPAH KARENA MENJALANKAN HAK WAKTU ISTIRAHAT KERJANYA, BENTUK DAN CARA PEMBAYARAN UPAH, DENDA DAN POTONGAN UPAH, HAL-HAL YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN UPAH, STRUKTUR DAN SKALA PENGUPAHAN YANG PROPORSIONAL, UPAH UNTUK PEMBAYARAN PESANGON, UPAH UNTUK PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN.

21 Pasal 89

  1. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas :
  1. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
  1. upah minimum berdasrakan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
  1. Upah miminum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
  1. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
  2. Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 89

    1. Upah diatas upah minimum diatur sesuai dengan skala upah yang ditetapkan oleh perusahaan.
    1. DIHAPUS.
    1. DIHAPUS.
    1. DIHAPUS.
    1. TIDAK ADA LAGI PERUNDINGAN UPAH SUNDULAN.
    2. PENETAPAN UPAH MINIMUM BERDASARKAN WILAYAH PROPINSI, KABUPATEN DAN KOTA SERTA PENETAPAN UPAH MINIMUM BERDASARKAN SEKTOR PADA WILAYAH PROPINSI ATAU KABUPATEN/KOTA MENJADI TIDAK JELAS.
    3. UPAH MINIMUM TIDAK LAGI DIARAHKAN KEPADA PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK.
    4. TIDAK JELAS SIAPA NANTI YANG AKAN MENETAPKAN UPAH MINIMUM SERTA TIDAK JELAS PULA MEKANISME PENETAPANNYA.
22 Pasal 90

  1. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
  2. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
  3. Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90

    1. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

Besarnya upah minimum bagi pekerja/buruh paruh waktu didasarkan atas upah perjam dengan rumus 1/173 X Upah Minimum sebulan.

    1. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
    2. Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
23 Pasal 91

  1. Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan penguapahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 91

    1. DIHAPUS.
    1. DIHAPUS.
PERUSAHAAN YA AKAN SEENAKNYA SENDIRI DALAM MEMBUAT KESEPAKATAN.
24 Pasal 92

  1. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
  2. Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
  3. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 92

    1. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan dan jabatan.
    2. Pengusaha melakukan peninjauan upah dengan memperhatikan produktivitas perusahaan (MEMBEBASKAN PENGUSAHA DALAM MENETAPKAN KEBIJAKAN PENGUPAHAN DAN TIDAK ADA LAGI PENGHARGAAN ATAS PENDIDIKAN, MASA KERJA DAN KOMPETENSI)
    3. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
DALAM MENETAPKAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH, FAKTOR MASA KERJA, PENDIDIKAN DAN KOMPETENSI TIDAK LAGI DIJADIKAN BAHAN PERTIMBANGAN.

BELUM JELAS ARAHNYA AKAN KEMANA? TETAPI DIPERKIRAKAN JELAS ADA MAKSUD-MAKSUD TERTENTU.

25 Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Pasal 94

  1. Pengusaha dapat menetapkan komponen upah yang terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap.
  2. Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
PENETAPAN KOMPONEN UPAH YANG TADINYA DIATUR OLEH UU 13/03, SEKARANG DISERAHKAN KEPADA PENGUSAHA.
26 Pasal 97

Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalm Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 97

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

27 Pasal 100

  1. Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
  2. Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.
  3. Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 100

    1. Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha menyediakan fasilitas kesejahteraan.
    2. Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
    3. DIHAPUS
AYAT 1: PERUSAHAAN TIDAK DAPAT DIKENAKAN SANKSI JIKA MELANGGAR. DAMPAK AYAT 2: PENGATURAN PELAKSANAAN DISERAHKAN KEPADA PENGUSAHAA YANG CENDERUNG MENETAPKAN SEENAKNYA. DAMPAK AYAT 3: TIDAK ADA JENIS DAN KRITERIA FASILITAS KESEJAHTERAAN PEKERJA.
28   PASAL 115 A (tambahan)

    1. Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) atau peleburan perusahaan (konsolidasi) dan masing-masing perusahaan mempunyai peraturan perusahaan, maka masing – masing peraturan perusahaan masih tetap berlaku sampai dengan disyahkannya peraturan perusahaan yang baru.
    2. perusahaan yang telah melakukan penggabungan perusahaan (merger) atau peleburan perusahaan (konsolidasi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat dan mengajukan pengesahan peraturan perusahaan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal terjadinya penggabungan perusahan (merger) atau peleburan perusahaan (konsolidasi).
29 Pasal 131

  1. Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
  2. Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama, maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
  1. Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama, maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal 131

    1. Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama dimaksud.
    2. Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) atau peleburan perusahaan (konsolidasi) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama, maka masing – masing perjanjian kerja bersama masih tetap berlaku sampai dengan disepakatinya perjanjian kerja bersama yang baru.
    3. Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) atau peleburan perusahaan (konsolidasi) dan terdapat perusahaan yang mempunyai peraturan perusahaan dan perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama, maka masing – masing peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama masih tetap berlaku sampai dengan disyahkannya peraturan perusahaan atau disepakatinya perjanjian kerja bersama yang baru.
APABILA TERJADI PERUBAHAN KEPEMILIKAN, MANAJEMEN BARU DAPAT MEMBUAT PERATURAN PERUSAHAAN DAN ATAU PKB YANG NILAINYA LEBIH RENDAH DARI PKB SEMULA, SETELAH BERAKHIRNYA MASA BERLAKU PKB.
30 Pasal 142

  1. Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
  2. Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 142

    1. Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
    2. Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Alternatif I :

      1. Mogok kerja tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di PHK tanpa pesangon.

Alternatif II :

  1. Mogok kerja tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan mangkir.
  2. Mogok kerja tidak sah yang mengakibatkan perusahaan rugi, pekerja/buruh dapat dituntut ganti rugi.
APABILA PEKERJA YANG MELAKUKAN MOGOK KERJA TIDAK SAH, PEKERJA DITUNTUT UNTUK MEMBAYAR GANTI RUGI
31 Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseoarangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, , maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan yang mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

PEKERJA YANG BEKERJA DI PERUSAHAAN BUMN/BUMD TIDAK ADA PERLINDUNGAN HAK ATAS PESANGON
32 Pasal 151

  1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
  2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat  memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 151

  1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
  2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat untuk mendapat penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
  4. Dalam hal penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai kesepakatan, pengusaha baru dapat melakukan pemutusan hubungan kerja setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial.
33 Pasal 155

  1. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
  2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
  3. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 155

  1. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
  2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
  1. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja.
  1. Pengusaha yang melakukan tindakan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar upah dan hak – hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh selama – lamanya 6 (enam) bulan.
  2. Apabila setelah melebihi 6 (enam) bulan dan putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyatakan permohonan pemutusan hubungan kerja tidak dapat dikabulkan serta pekerja/buruh harus dipekerjakan kembali, maka upah pekerja/buruh yang belum diterima sampai dengan terbutnya putusan harus dibayar oleh pengusaha.
MENGHILANGKAN HAK PEKERJA
34 Pasal 156

  1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
  1. Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
  1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  1. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun , 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
  1. Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
  1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;
  1. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
  1. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusanaan atau perjanjian kerja bersama.
  1. Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat  (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 156

  1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
  2. Pekerja yang berhak mendapatkan pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama dengan 1 (satu) kali pendapatan tidak kena pajak (PTKP).

Oleh karena direksi/komisaris atau yang sejenisnya bukan pekerja/buruh, maka tidak berhak uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

  1. Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
  1. masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan tetapi kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  1. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun , 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. DIHAPUS
  8. DIHAPUS
  1. Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
  1. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 10 (sepuluh) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 10 (sepuluh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 20 (dua puluh) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 20 (dua puluh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 25 (dua puluh lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih, 6 (enam) bulan upah;
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. penggantian perumahan sebesar 10 % bagi pekerja/buruh yang mendapat fasilitas atau tunjangan perumahan serta penggantian pengobatan dan perawatan sebesar 5 % (lima perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi pekerja/buruh yang di PHK yang mendapat pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja;
  4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusanaan atau perjanjian kerja bersama.
  1. Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat  (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
PEKERJA TIDAK MEMILIKI HAK ATAS PESANGON, TERKECUALI PEKERJA YANG MEMILIKI UPAH DI BAWAH PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP

AYAT 2: PEKERJA YANG UPAHNYA LEBIH TINGGI DARI PTKP( PENERIMA UPAH YANG JAUH DIATAS UPAH MINIMUM) TIDAK BERHAK MENDAPATKAN UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA DAN UANG PENGGANTIAN HAK.

PERHITUNGAN UANG PESANGON HANYA SAMPAI PADA MASA KERJA 6 TAHUN ATAU LEBIH YAKNI SEBESAR 7(TUJUH) BULAN

MENGURANGI BESARAN NILAI PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA DAN AUNG PENGGANTIAN HAK

UANG PESANGON SEBELUMNYA 9 BULAN UPAH SEKARANG DITURUNKAN MENJADI 7 BULAN UPAH

BERKURANGNYA BESARAN UANG PENGHARGAAN MASA KERJA YANG SEBELUMNYA MAKSIMUM 10 BULAN UPAH, SEKARANG DENGAN INTERVAL WAKTU DIPERPANJANG SEMULA 3 TAHUN MENJADI 5 TAHUN

BERKURANGNYA BESARAN UANG PENGGANTIAN HAK, YANG SEBELUMNYA 15% MENJADI 5%

35 Pasal 158

  1. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
  1. Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
  1. pekerja/buruh tertangkap tangan;
  1. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau
  2. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
  1. Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
  1. Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 158

    1. Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing terhadap pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat di lingkungan usaha pemberi kerja.
    2. kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

TIDAK ADA PERUBAHAN

    1. Tindakan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila memenuhi syarat –syarat sebagai berikut :
      1. pekerja/buruh tertangkap tangan atau ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutandan didukung oleh sekurang – kurangnya 2 (dua) orang saksi; dan
      2. adanya laporan tertulis dari perusahan ke pihak yang berwajib untuk diproses secara pidana.
    1. Selama dilakukan tindakan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemberi kerja tidak wajib membayar upah.
    2. Dalam hal pengadilan memutuskan bahwa pekerja/buruh bersalah dan telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap, maka pemberi kerja dapat memutuskan hubungan kerja terhadap Pekerja/buruh yang bersangkutan, dan wajib membayar uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
    3. Dalam hal pengadilan memutuskan bahwa pekerja/buruh tidak bersalah dan telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap, atau terhadap kasus yang telah diterbitkan Surat perintah penghentian penyidikan (SP 3), maka pemberi kerja wajib mencabut skorsing dan wajib membayar semua upah dan hak – hak pekerja/buruh lainnya selama masa skorsing dengan tidak menghilangkan hak pekerja/buruh untuk menuntut pemberi kerja secara pidana maupun menuntut ganti rugi secara keperdataan.
36 Pasal 161

  1. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
  2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  1. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161

    1. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
    1. Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Penjelasan ayat (2) :

yang dapat diberikan surat peringatan pertama dan terakhir antara lain:

      1. Mabuk, minum minumam keras yang memabukkan.
      2. Merokok di arel SPBU.
    1. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
MENGHAPUS HAK ATAS UANG PESANGON.
37 Pasal 161 A

  1. Sebagai upaya penegakakan aturan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menjatuhkan skorsing pembinaan paling lama 1 (satu) bulan.
  2. Ketentuan Penjatuhan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibantumkan secara tegas dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  3. selama menjalankan skorsing pekerja/buruh berhak memperoleh upah sebesar 50 % dari yang biasa diterima.
SEMAKIN BERAT SANKSI PELANGGARAN TATA TERTIB KERJA.
38 Pasal 162

  1. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  1. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanannnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  2. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat :
  3. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 162

    1. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja tetapi berhak uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
    2. Tidak ada perubahan.

Penjelasan : pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha harus ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.

    1. Tidak ada perubahan
    1. Tidak ada perubahan
39 Pasal 163

  1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
  2. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 163

    1. Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan perusahaan, maka hubungan kerja dan pemenuhan hak – hak pekerja beralih kepada perusahaan baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan, penggabungan atau peleburan perusahaan.

Penjelasan : Penggabungan (Merger). Peleburan (Konsolidasi).

    1. Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
MENGURANGI BIAYA PHK BAGI MANAJEMEN BARU.
40 Pasal 164

  1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  2. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
  3. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan  karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang  pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164

  1. Pemberi kerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena effisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Penjelasan : yang dimaksud effisiensi dalam pasal ini adalah effisiensi yang berakibat pada pengurangan pegawai.

  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
PENGURANGAN HAK PEKERJA YANG DI PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI. Ayat 2 dihapus. DAMPAKNYA : TIDAK ADA KETENTUAN MENGENAI AUDIT OLEH AKUNTAN PUBLIK.
41 Pasal 164 A

    1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena keadaan kahar ( force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
    2. Pemberi kerja dapat untuk tidak memenuhi kewajiban terhadap pekerja/buruh sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila keadaan kahar (force majeur) tersebut telah memusnahkan seluruh asset dan harta benda milik pemberi kerja dengan ketentuan asset pemberi kerja tidak diasuransikan sehingga tidak memungkinkan perusahaan untuk melakukan pembayaran apapun.
PEKERJA TIDAK MENDAPAT UANG PESANGON, UPMK DAN UPH.
42 Pasal 165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165

  1. Dalam hal perusahaan pailit berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh berakhir demi hukum dan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  1. Hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud ayat (1) harus didahulukan pembayarannya.
43 Pasal 166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

  1. Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan santunan uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  2. Santunan sebagaimana dimaksud ayat (1) diperhitungkan dengan jaminan kematian yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan ayat 2 : yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah JAMSOSTEK.

MENGURANGI HAK ATAS PEKERJA YANG MENINGGAL DUNIA
44 Pasal 167

  1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uamg penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  2. Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
  3. Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  5. Dalam hal pengusaha tidak  mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  6. Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 167

  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
  1. DIHAPUS
DAMPAKNYA:PENGATURAN PENSIUN MELALUI DANA PENSIUN DAN ATAU MEKANISME PP/PKB DISERAHKAN KEPADA PENGUSAHA SERTA MENGABURKAN HAK PEKERJA ATAS JAMINAN HARI TUA DARI JAMSOSTEK.

MENGHILANGKAN KETENTUAN TENTANG PENSIUN

45 Pasal 168

  1. Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
  2. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk kerja.
  3. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 168

    1. Tidak ada Perubahan.
    1. Tidak ada Perubahan.
    1. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas pesangon dan uang penghargaan masa kerja tetapi berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama