Nalagni Chandra

; Amran Halim

 

Di dadanya ada debar menggebu; debar yang tak kunjung mengundang kantuk pada kelopak matanya yang sayu. Debar yang menggali-gali luka pada ingatan yang rapuh. Debar yang lahir dari gunjingan para tetangga prihal ibunya. Debar yang mencipta tanya—“benarkah selama enam purnama terakhir ini ibu selalu pergi ketika ia terlelap? Dan apakah malam ini ibu akan pergi juga? Meninggalkan kami yang telah lama ditinggal peluk hangatnya sebuah kebersamaan keluarga?” Lantas apakah ia salah jika, pada pertengahan malam ini, ia berharap dan memastikan bahwa ibunya benar-benar tidak jadi pergi.

Ardi masih saja pandangi purnama yang bercermin pada empat genting kaca kamarnya. Cincin kabut raksasa menjadi figura langit paling maya. Semaya pancar kecantikan permukaan batu langit, serakan kerlip bintang, juga khayalan masa depan yang serba indah. Lampu gamblok telah lama dimatikan ibunya—menganggap ketiga anaknya telah benar-benar larut di alam mimpi. Hingga cahaya purnama berpendaran ke tiap sudut temaram. Melesap pada kesunyian jiwa. Membias ke ceruk mimpinya malam ini.

Di luar kamar; suara ibu masih mengalun. Berulang membaca, entah berapa kali, surah Annas, Qulhu, dan Al Falaq yang beberapa minggu kemarin harus ia hafalkan sebagai tugas sekolah. Sesekali batuknya mengagetkan Ardi, khawatir ibunya tahu bahwa ia sama sekali belum memejamkan mata dan diam-diam menguping segala yang diperbuat ibunya. Akhir-akhir ini, setelah ibu bercerai dengan bapak, ibunya kerap tak ragu memukul apalagi memarahi jika ia terlalu perlente dalam menanyakan sesuatu yang belum pantas keluar dari bibir mungil, mulai tertempel nikotin.

Debarnya kian mengencang ketika ibunya berhenti membaca ketiga surah itu. Perlahan terdengar suara langkah, gontai menghampiri pintu kamaranya. Barang kali suara cericit ranjang besi yang Ardi tiduri telah memberi kabar; bahwa Ardi sedang mencuri dengar tingkah polah ibunya sendiri.

Pintu bilik bergeser. Cahaya oranye dari lampu gamblok ruang tengah berjejal masuk menyorotkan siluet tubuh dengan lekuk yang sempurna—ya, siapa sangka jika perempuan bertahi lalat di dagunya yang lancip, bertubuh sintal menggemaskan para laki-laki dewasa, dengan air muka bercermin purnama dan rambut mayang yang tergurai itu adalah ibu dari tiga anak. Ardi tak bergerak sedikit pun. Pura-pura lelap. Serupa tidur ayam, ia membukakan sedikit kelopak matanya. Agar bisa memastikan; apakah ibunya masih memerhatikan atau tidak?

Matanya kian memejam ketika ibunya mulai melangkah maju mengarah pada tempatnya berbaring.

Tiga perangai yang tak asing diingatannya. Bermandikan cahaya. Tersorot sinar bulan; Ardi, putera pertamanya begitu jelas menyimpan guratan alis dan kuncup bibir yang begitu likat. Hasnah, puteri kedua menyimpan kuncup hidung yang mancung, sementara putera ketiganya begitu jelas menyimpan kelopak mata, dagu dan telinga. Pikirannya kembali terjajah kenangan. Raut wajah lekaki kencana itu kembali membayang. Dibelainya rambut Ardi perlahan. Serta dikecuplah kening Ardi dengan meninggalkan setetes air  di pipinya.

Disekanya air di pipi Ardi. Ia mencoba melepaskan jerat kenangan yang begitu menyiksannya kini, lelaki yang tak bisa membahagiakannya.

“Duh anaking, kenapa Bapakmu begitu tega menyiksa batin Ibumu ini. Semoga kalian mengerti apa yang Ibu rasakan.” Dikecupnyalah ketiga anaknya. Lantas ia beranjak meninggalkan pembaringan. Digeserkannya pintu bilik perlahan.

Air matanya kembali berurai. Sebagai perempuan ia sungguh tak berdaya menjalani hidup bersama ketiga anaknya dengan tuntutan ibunya yang tak juga memahami. Betapa ia tak kesal; suaminya menafkah ke kota dan bekerja di sebuah garmen, tanpa kabar dan kiriman uang lebih dari tiga kali berulang musim. Hingga pada suatu hari ketika suaminya datang ia hampir saja tak mengenalnya. Dan kerinduan yang likat direcoki begitu saja oleh ibunya karena ia hanya membawa segondol kisah kerinduan. Tak lebih, seperti apa yang tebayang. Habislah ia dicerca ibu dengan kata-kata kasar.

“Hey, kucing congkog. Datang sekedar membuahi! Kenapa tak mati saja kau. Biar jelas status Karni. Sesal dulu nerima lamaranmu. Ternyata bapakmu ngepet. Rejekinya tak berkah. Buktinya setelah bapakmu mati kerelah kita semua. Sial, padahal dulu si Rusdi, anak haji Rumli, mau sama Karni. Dulu kau maen pelet ya! Sampe Karni kesengsem.” Menunjuk-nunjuk hidung, “Karni, kau masih cantik. Carilah suami yang bener-bener tanggung jawab. Duda pun tak apa yang penting bisa menafkahi tak cuma membuahi.”

Ketika itu Karni hanya diam. Tak menampikkan perkataan ibunya apalagi meng-iya-kan. Ia merasa kikuk dengan ketiga anaknya yang tak mengerti apa-apa. Dan ia, suaminya, pun ternyata tak mampu berkilah seperti yang diharapkan oleh seorang istri. Wajahnya merah padam, menahan amarah. Ternyata ia lebih memilih pamit kembali ke kota.

“Kalau hanya itu yang ibu inginkan, baiklah. Mohon doa restu. Karni, jaga anak-anak kita. Saya janji akan kembali memenuhi keinginan ibumu.”

“Jangan berani tuk pulang kalau tak hasil!” seru ibu mengiring langkah suami Karni.

Suaminya pun pergi dengan tak menghiraukan tangisan anak-anaknya. Dan ia, sebagai perempuan, hanya mampu berharap lelakinya akan mampu membuktikan bahwa segala tuduhan ibunya tidak benar.

Namun beberapa bulan berikutnya harapan memang tinggalah harapan. Suaminya lagi-lagi tak mampu sekadar berkirim kabar. Dan ibunya kembali mengucap penyesalan; meruntuk dan menuntut agar ia meminta cerai.

“Sudahlah, kau masih cantik. Masih banyak yang mau sama kamu. Kalau seperti ini terus sampai kapan bisa bertahan. Ibu hanya khawatir, umur Ibu mungkin tak lama lagi. Dan jajanan kita mulai tidak laku, banyak saingan. Ketidakjelasan statusmu menjadi gunjinan tetangga, Nok. Ibu sedih tak bisa melihatmu bahagia, gubuk ini pun mulai terhimpit pagar-pagar tembok. Minta cerailah pada lelaki laknat itu. Carilah suami yang benar-benar bertanggung jawab. Ibu hanya ingin melihatmu bahagia sebelum menyusul ayahmu, Nok.”

Apalah daya. ia dan ketiga anaknya memang hidup dari usaha jualan jajanan keliling ibunya. Dan akhirnya ia memenuhi permintaan ibunya dengan mengajukan gugatan cerai dan memaksa pada suami juga keluarga suaminya agar menerima gugatan itu. Walau dalam dasar hatinya ada keinginan bahwa suaminya menolak gugatan cerai tersebut dengan pembuktian bahwa mereka bahagia walau hidup serba kekurangan pada ibunya. Namun hingga bulan ketiga tak kunjung ada jawaban. Hingga hukum agamalah yang bicara bahwa statusnya kini adalah janda beranak tiga.

“Entah apakah aku harus marah ketika kutahu dari orang pintar bahwa kau, mantan suamiku, ternyata menyimpan dendam. Menyelubungi aoraku dan mencipta kebencian pada siapapun saat melihatku, laki-laki atau perempuan. Kau berhasil kang mas. Mereka membenciku, mempergunjingkanku dari belakang, Menganggapku sebagai najis di kampung ini.

“Apakah kau mampu merasakan keterasingan anak-anak kita di tengah teman-teman sepermainannya sendiri? Apakah kau masih peduli bahwa aku dan anak-anakku butuh makan? Apakah pernah terbersit dalam otakmu bahwa yang kau lakukan adalah sebuah kepengecutan?

“Apakah kau mampu mendengar jerit tangis ketidakberdayaanku sebagai janda yang menjalani kutukan dendam, kepengecutan mantan suaminya sendiri dalam menjalani bahtera keluarga. Mampukah kau mendengar bisik sirik tetangga yang sudah satu tahun ini merecoki tidurku?

“Aku rela menjalani syarat yang berat dengan mandi tujuh purnama di tujuh sumur angker bertuah yang terpencil demi menghapus dan mengembalikkan dendammu, Kang Mas. Semoga ini bukan dendam yang akhirnya mencelakakanku. Aku hanya ingin Kang Mas merasakan apa yang kami rasakan.

“Aku tak tahu apa yang sedang terpikir oleh Ardi anak kita yang sudah mulai mencerna segala yang ia alami. Apa kau tahu betapa aku tersudut dan tak mampu menjawab juga menjelaskan segala pertanyaan yang ia lontarkan, sehingga aku harus berbuat kasar terhadapnya?

“Enam purnama telah saya lewati, kang mas. Pada enam sumur kusucikan kembali tubuh ini, menjalani segala godaan dan ujian yang taruhannya adalah nyawa, dan kehormatan, dengan selamat.

“Malam ini adalah purnama ke tujuh, dan sumur terakhir pembasuh dendam kesumatmu yang kan kukirim kembali pada tubuhmu, Kang Mas. Aku tak peduli dengan marabahaya yang akan saya temui.

“Semoga kau puas dengan derita yang kau cipta dari kepengecutanmu, Kang Mas!

Purnama beberapa jam lagi mencapai puncak cahayanya. Karni mulai menyiapkan segala sesuatu keperluan ritual pembersihan diri. Kembang tujuh rupa ia baurkan pada satu kantung kresek. Pakaian salinan setelah mandi juga ia masukkan dalam kantung lain. Malam ini tidak perlu persiapan berlebih karena sumur yang dituju hanya ratusan meter dari rumah, desa tetangga.

Terdengar cericit derit ranjang besi anaknya. Ia kembali menyempatkan masuk kamar dan menatap wajah anak-anaknya yang nampak lelap bermandikan cahaya purnama. Kembali ia kecupi satu persatu kening anaknya.

“Ibu, jangan pergi?” ia terperanjat. Ternyata Ardi belum benar-benar lelap seperti kedua adiknya.

“Ibu harus pergi, Nak.”

“Untuk apa?”

“Ada hal yang tak bisa Ibu jelaskan padamu. Mungkin besok atau nanti.”

“Jadi benar Ibu ngelmu hitam?” beranjak duduk.

Ia berdiri. Menampar Ardi. “Siapa yang bilang? Hah!” murka.

“Banyak yang bilang Ibu ngelmu hitam. Benar nggak, Bu?” menangis.

“Tahu apa mereka. Kenapa juga kau dengar gunjingan mereka. Ngasih makan juga tidak. Peduli apa mereka? Sudahlah Ibu harus segera pergi.”

“Ibu jangan pergi!” menggelayuti kaki ibunya seraya menangis.

“Mau Ibu pukul lagi? Diam di rumah dan jaga adikmu selama Ibu pergi! Jangan merengek nanti adikmu bangun” Mengangkat tangan kanannya seraya melotot. Sekuat apapun Ardi menggelayuti kaki ibunya akhirnya ia terpental.

Ibunya bergegas melangkah keluar. Ia hanya bisa terisak dan pasrah menatap ibunya yang hilang di telan pagar tembok tetangga. Malam terasa hening. Bias cahaya purnama menyinari sudut-sudut temaram tembok sekeliling rumahnya yang menjadi bayang dari bias cahaya lampu pijar yang bertengger di balik pagar tembok itu.

Pohonan pisang bergoyang lembut. Pada rimbun batang pohon mangga yang menjulur dari balik tembok pagar, serupa suara burung malam, terdengar ciapan seperti ciapan anak ayam kehilangan induknya—entah menertawakan atau turut menangisi kesedihan Ardi.

Setelah berpuluh menit ia mengisak di pintu. Ia dikagetkan pelukan manja adik perempuannya.

“Ibu ke mana, Kak?”

Ia bergegas menyeka air matanya, “Ibu pergi ke pasar membeli belanjaan untuk besok. Ayo kita tidur lagi.” Menutup pintu dan mengajak adiknya kembali ke tempat tidur yang temaran.

Purnama telah lama tak bercermin pada genteng kaca kamarnya. Hanya biasnya yang berkirim cahaya. Suara pak tua mulai mengumandang di mushola, membaca doa bangun tidur dan mengajak pada para jemaah tuk siap-siap solat subuh. Namun Ardi masih saja tak pejamkan mata. Ia mengelusi rambut adik perempuan yang sudah lama pulas. Ibunya tak kunjung datang. Hingga fajar mulai menyingsing, dan purnama telah benar-benar lesap di ufuk barat. Ardi mulai gelisah khawatir ibunya turut lesap bersama purnama.

Pondok ASAS, Bandung, 240408

Leave a comment