#14 Provokasi Madiun

Ada dua hal yang setidak-tidaknya perlu diperhatikan untuk memahami lebih dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1948. Terutama bagian kedua tahun tersebut.

Pertama: Cominform ( Communist Information Bureau) yang lahir pada September 1948 di Warsawa, telah menyimpulkan situasi dunia pada waktu itu. Cominform mengemukakan bahwa sesudah Perang Dunia ke-II , front anti-imperialis semakin luas, kuat dan bersatu, sedangkan front imperialis sebaliknya semakin menyusut, lemah dan terpecah belah. Rakyat tertindas di dunia mulai bangkit untuk melepaskan diri dari penindasan yang berabad-abad  dideritanya dan berjuang merebut pembebasan nasional. Maka dari itu tidak ada alasan sedikit pun untuk takut pada kekuatan front-imperialis. Cominform menganjurkan agar rakyat-rakyat seluruh dunia meneruskan perjuangan untuk kemerdekaan mereka. Anjuran Cominform tersebut disambut hangat oleh rakyat–rakyat tertindas dan mempertebal keyakinan mereka, bahwa kemenangan pasti akan tiba. Seruan Cominform itu membikin kalang kabut kaum reaksioner di seluruh dunia. 1)

Kedua: adalah perkembangan revolusi Tiongkok.

Pada paro kedua tahun 1947  Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok setelah berhasil menghancurkan serangan Tjiang Kai-sek telah mulai melancarkan serangan balas secara besar-besaran. Dengan demikian situasi sudah berubah secara fundamentil. Selama 17 bulan (dari Juli 1946 – November 1947) telah ditewaskan dan luka atau tertawan  1.690.000 tentara reguler  dan tidak reguler dari klik Tjiang Kai-sek. Kemenangan di fihak Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok sejak waktu itu susul menyusul dengan cepat. Dari pemulaan Juli sampai permulaan November 1948 ketika Shenyang (di timur laut) dibebaskan, tentara KMT kehilangan lagi 1.000.000 orang. Dengan demikian jumlah seluruh tentara Kuomintang  hanya tinggal 2.900.000.

Sebaliknya TPRT yang pada bulan Juni 1946 berjumlah 1.200.000 orang, pada bulan Juni 1948 telah bertambah menjadi 2.800.000 orang dan pada pertengahan November tahun itu juga bertambah lagi menjadi 3.000.000 orang lebih. Pada 14 November 1948 Mao Zedong sudah bisa meramalkan, bahwa untuk menggulingkan samasekali pemerintah reaksioner Kuomintang hanya dibutuhkan waktu kira-kira satu tahun lagi. 2) Ramalan tersebut menjadi kenyataan sepenuhnya.

Dua peristiwa yang dikemukakan di atas menyebabkan imperialis Amerika Serikat sebagai kepala front-imperialis tergesa-gesa mengadakan pengaturan-pengaturan kembali politik dan strateginya, terutama di Asia yang mempunyai arti semakin besar. Menyadari bahwa kekuasaan politik boneka Tjiang Kai-sek akan dapat dipertahankan lebih lama lagi, imperialisme Amerika Serikat tidak boleh tidak harus mempersiapkan basis untuk mundur dan sekaligus menjadi basis pertahanan dalam usahanya melanjutkan pengepungan terhadap Republik Rakyat Tiongkok, musuh yang dianggapnya paling berbahaya di Asia. Daerah basis semacam itu adalah antara lain Indonesia.

Tidak mengherankan, bahwa sejak perundingan Linggarjati – ketika kesempatan terbuka – imperialisme Amerika Serikat lebih terbuka mencampuri soal-soal Indonesia. Tujuannya yalah menggeser kedudukan Inggris dan kemudian Belanda dan selanjutnya menjadikan Indonesia  matarantai yang bisa dipercaya dalam rangka pengepungan terhadap Tiongkok di samping sebagai daerah penanam modalnya.

Berbeda dari imperialisme Belanda yang terkenal picik dan kerdil dan yang masih memimpikan imperium seperti jaman sebelum perang dunia ke-II, imperialisme Amerika Seikat beranggapan bahwa sejarah koloni dalam bentuknya yang lama telah lampau. Sebagai gantinya muncullah kolonialisme dalam bentuk baru. Hakekatnya tidak berbeda dengan yang lama, tetapi jubahnya yang baru. Penindasan ini terselubung, karena karena dilakukan lewat boneka-boneka  dalam negeri yang menjual kepentingan rakyat negeri tersebut dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada majikan-majikan mereka dari luar. Lambat laun Indonesia berubah menjadi neo-koloni. Hatta adalah pemegang peranan utama dalam perobahan ini.

Titik pertemuan antara imperialis dan Moh. Hatta terletak pada kenyataan bahwa kedua-duanya menganggap Komunisme sebagai musuh terbesar dan paling berbahaya. Adalah sepenuhnya tepat apa yang disinyalir kaum progresif Belanda pada akhir tahun duapuluhan, bahwa Hatta pada waktu itu telah menaruh simpati pada fasisme. Watak Hatta sebagai komprador modal asing dengan jelas dicerminkan dalam manifesto 1 Novembernya (1945). Dalam manifesto tersebut Hatta dengan gamblang menjelaskan bahwa “ kita akan memerlukan pertolongan bangsa asing dalam pembangunan negeri kita berupa kaum teknik dan kaum terpelajar, pun juga kapital asing”. Ketika Hatta menjadi perdana menteri (29 Jnaurai 1948) ia bersiap-siap melaksanakan garis politiknya, jika perlu lewat lautan darah dan tumpukan mayat rakyat pekerja sedunia.

Lahirnya kabinet presidential Moh. Hatta disambut gembira oleh fihak Belanda dan Amerika Serikat. Dan sikap semacam itu beralasan, sebab mereka tahu benar siapa Moh. Hatta. Di samping itu program kabinetnya adalah program yang melempangkan jalan ke arah pelikwidasian hasil-hasil Republik Indonesia dan menguntungkan mereka.

Program kabinet Hatta terdiri dari 4 fasal.

Pertama: menyelenggarakan Persetujuan Renville

Kedua  : mempercepat pembentukan negara Indonesia Serikat

Ketiga  : rasionalisasi (dari angkatan bersenjata)

Keempat: pembangunan.

Sejak lahirnya kabinet Hatta dalam waktu singkat Hatta mondar-mandir Yogya-Jakarta dan mengadakan perundingan-perundingan (yang hasilnya tidak pernah diumumkan) dengan van Mook. Perundingan-perundingan semacam itu diadakan antaranya pada tanggal 12 dan 13 Maret 19483), tanggal 10 April4) dan 16 Juni5)  Kemudian aktivitas-aktivitas semacam itu diikuti oleh aktivitas-aktivitas diplomatic lain yang berupa kunjungan-kunjungan wakil luar negeri ke ibu kota Yogyakarta, terutama wakil-wakil Amerika Serikat. Campurtangan kaum imperialis dalam soal-soal dalam negeri Indonesia semakin mendalam. Dan ini semua merupakan latar belakang Peristiwa Madiun yang tragis.

Dari program 4 fasalnya, Hatta mengutamakan pelaksanaan program rasionalisasi dan rekonstruksi. Seperti diketahui, semenjak meletusnya Revolusi Agustus sayap kiri dari revolusi yang dipimpin oleh PKI berhasil membentuk pasukan-pasukan bersenjata rakyat yang cukup besar dan kuat. Ketika Mr. Amir Sjarifuddin menjabat menteri petahanan dan yang terakhir juga perdana menteri sekaligus, maka kekuatan-kekuatan tersebut dipelihara dan dipupuk baik-baik. Ketika Amir Sjarifuddin tidak duduk dalam kabinet lagi dan demikian juga tokoh-tokoh komunis dan tokoh-tokoh progresf lainnya, pasukan-pasukan bersenjata tersebut juga masih utuh. Di samping itu pengaruh PKI dalam TNI juga tidak bisa diremehkan. Moh. Hatta mengetahui ini semua. Maka itu PKI harus dipreteli. Dalam ussaha ke arah ini yang diincar Hatta adalah pertama-tama melenyapkan pengaruh PKI dalam angkatan bersenjata RI dan membubarkan pasukan-pasukan bersenjata yang langsung dipimpin PKI. Untuk itulah program rasionalisasi dan rekonstruksi. Dalam periode itu program Hatta ini lebih dikenal program re-ra (rekonstruksi dan rasionalisasi). Program re-ra tidak hanya terbatas pada apa yang dikemukakan di atas. Di dalamnya terdapat juga unsur untuk mengganti opsir-opsir TNI – terutama yang berbau “kiri” – dengan opsir-opsir baru yang mudah menerima penggabungan TNI dengan KNIL jika waktunya sudah datang dan sedang dipersiapkan dalam pembicaraan-pembicaraan antara Hatta dengan fihak Belanda. Dalam melaksanakan program ini secara terang-terangan Hatta mengatakan, bahwa ia bekerja sama dengan fihak Belanda. Berkata Hatta:”Selama masa peralihan kita hendak merasionalisasi TNI. Kita hendak bekerja sama dengan Belanda untuk mempersiapkan tentara federal  di kemudian hari.” 6)

Pada tanggal 17 Juni Hatta sebagai perdana menteri mengeluarkan satu komunike  yang menyatakan, bahwa pemerintah RI menganggap usul yang diajukan oleh wakil-wakil Australia  dan Amerika Serikat sebagai hal yang baik. Dalam usul tersebut yang diajukan beberapa hari sebelumnya Critchley (Australia) dan de Bois (Amerika Serikat) mengajukan agar dibentuk suatu pemerintah federal sementara, supaya angkatan perang dikurangi, dan agar republik menyerahkan kedaulatan pada pemerintah federal sementara tersebut.7)  Sementara itu program re-ra Hatta mulai dilaksanakan pada Maret 1948. Giliran pertama dikenakan pada Divisi V (Jawa timur). Di sini program Hatta dapat dilaksanakan secara mudah, tidak mendapatkan rintangan-rintangan. Ketika Divisi V sudah mulai mengadakan mobilisasi, oleh pemerintah pusat diperintahkan agar divisi IV (Penembahan Senopati) juga bersiap-siap untuk menjalankan gilirannya. Tetapi di sini perintah Moh. Hatta ditolak dengan tegas.

Berbeda dengan divisi V (Jawan timur) “Divisi Panembahan Senopati” (divisi IV) dimpin oleh pemuda-pemuda yang telah makan banyak garam dalam jaman penjajahan Belanda. Komandan divisi ini adalah kolonel Sutarto. Dalam jaman penjajah Belanda ia adalah seorang tokoh dari “Suluh Pemuda Indonesia”. Organisasi Pemuda ini tergolong dalam sayap kiri dari gerakan kemerdekaan pada tahun-tahun tigapuluhan. Suluh Pemuda Indonesia dalam orientasi politiknya sangat dekat dengan PNI (Pendidikan) yang dipimpin oleh Hatta dan Sjahrir. Bahkan ketika itu sering dikatakan bahwa SPI adalah onderbouw PNI (pendidikan). Juga opsir-opsir bawahannya dalam “Divisi Panembahan Senopati” banyak yang aktif dalam gerakan pemuda sebelum Belanda menyerah pada Jepang dalam bulan Maret 1942. Dalam jaman pendudukan Jepang ia masuk Peta, daidan Wonogiri dan diberi pangkat shodanco.

Tidak mengherankan bahwa dalam divisi IV politik re-ra Hatta ditentang. Dalam lingkungan komando divisi ini program rasionalisasi  dan rekonstruksi ditentang dengan alasan bahwa mengadakan rasionalisasi dalam lingkungan angkatan bersenjata pada saat Belanda memperbesar angkatan perangnya sama saja dengan politik melucuti diri sendiri, dan ini berarti bunuh diri. Untuk menunjukkan sikapnya itu oleh komando divisi IV  pada 20 Mei (Hari Kebangkitan Nasional) dilangsungkan demonstrasi-demonstrasi protes. Demonstrasi-demonstarsi tersebut mendapat dukungan rakyat di Surakarta. Tidak saja rakyat Surakarta membenarkan alasan divisi IV, tetapi juga karena mereka mencintai Sutarto yang berjasa besar dalam melucuti Jepang dan melancarkan revolusi di daerahnya (Surakarta). Di kalangan prajurit-prajuritnya Sutarto juga dicintai karena pandai bergaul dan memimpin mereka. Keberanian dikagumi oleh lawan maupun kawan. Selama perang kolonial pertama (21 Juli 1947) ia langsung memimpin pasukannya di front Semarang. Karena pengaruhnya yang besar di kalangan pasukan-pasukan bersenjata Indonesia sampai-sampai fihak Amerika Serikat sendiri menempatkan Sutarto sebagai musuh nomor satu. 8)

Bukan Hatta jika ia menyerah begitu saja.

Karena menentang keinginannya, kolonel Sutarto harus lenyap. Dan kolonel Sutarto “dilenyapkan”. Pada tanggal 3 Juli 1948 ia dibunuh secara pengecut di waktu malam hari dengan ditembak dari jarak dekat dari belakang. Pemerintah tidak pernah mengusut secara serius perkara pembunuhan ini. Teror terhadap kolonel Sutarto adalah rasionalisasi secara lain. Walaupun pembunuhnya dapat ditangkap, tetapi pengusutan tidak dilakukan. Malahan oleh jaksa agung ketika itu dilepaskan kembali dengan alasan “juridisch staatsrechtelijk” tidak dapat dituntut. 9)

Dengan terjadinya pembunuhan terhadap kolonel Sutarto pimpinan PKI dan semua organisasi massa yang dipimpinnya segera mempertajam kewaspadaan. Ketika itu sudah dapat diraba, bahwa peristiwa Sutarto hanya suatu permulaan  dari suatu proses untuk menghancurkan kekuatan PKI dan kekuatan-kekuatan progresif  revolusioner lainnya. Kewaspadaan itu lebih dipertingkat lagi ketika golongan kaum Trotzkis mulai muncul untuk memudahkan pemerintah melakukan tindakan-tindakan provokatif terhadap kekuatan-kekuatan kiri. Dalam bulan Juli itu juga harian “Murba” (suratkabar resmi kaum Trotzkis) mengumumkan suatu dokumen secretariat FDR (tanggal 26 Februari 1948 “Sayap Kiri” dirubah menjadi “Front Demokrasi Rakyat”, disingkat FDR), tetapi yang sudah dipalsukan. Dalam dokumen  secretariat FDR tersebut  dikemukakan bagaimana melakukan kampanye secara baik untuk terbentunya suatu pemerintahan front nasional. Dokumen tersebut karena tidak bersifat rahasia dikirimkan ke daerah-daerah lewat pos.  Ketika dokumen tersebut diumumkan oleh “Murba” isinya sudah diputar balikkan. Digambarkan seolah-olah kampanye tersebut berisi instruksi untuk penggedoran, pencurian, pembunuhan dan lain sebagainya. Sekretariat FDR segera mengadukan pemalsuan itu sebagai perkara pada polisi untuk diusut dan diadili. Tetapi fihak kepolisian maupun kejaksaan tidak mengurus pengaduan tersebut. Dokumen yang sudah dipalsu itu dengan gembira digunakan oleh wartawan-wartawan  dan penulis-penulis barat untuk ikut mencoreng-moreng PKI dan kekuatan-kekuatan progresif lainnya.

Pada tanggal 21 Juli kekuatan-kekuatan dalam dan luar negeri menyelenggarakan suatu komplotan untuk menggulung PKI dan untuk selama-lamanya melenyapkan peranannya dari panggung politik Indonesia. Pada hari itu di tempat peristirahatan Sarangan yang indah (di lereng timur Gunung Lawu) diadakan suatu pertemuan rahasia. Pertemuan ini dihadiri oleh 2 orang Amerika dan 6 orang Indonesia. Dua orang Amerika itu adalah tuan Gerard Hopkins, penasehat urusan  politik   luar  negeri  presiden  Truman,  yang lain  tuan H.Mevle Cochran, wakil Amerika

Serikat dalam Komisi Jasa-jasa Baik yang sudah kita ketahui ditugaskan untuk mengawasi perundingan-perundingan antara Fihak Belanda dan fihak Indonesia. Enam orang Indonesia yang hadir adalah presiden Sukarno, wakil presiden merangkap perdana menteri Mohammad Hatta, menteri dalam negeri Dr. Sukiman dari Masyumi, menteri penerangan Moh. Natsir dari Masyumi, Mohammad Rum dari masyumi dan kepala kepolisian negara Sukanto. 10)

Dalam pertemuan di Sarangan itu dibicarakan apa yang dikenal dengan nama “red drive proposals” yaitu rencana Amerika Serikat untuk membasmi kaum komunis dan kaum revolusioner lainnya yang disetujui oleh pemerintah Hatta. 11)  Ketika berita-berita mengenai konferensi yang mengambil keputusan jahat terhadap rakyat Indonesia itu diumumkan dalam beberapa majalah, suratkabar dan brosur-brosur, tidak ada sepatah pun bantahan dari fihak yang bersangkutan. Juga tidak ada bantahan sepatah katapun, ketika disiarkan berita, bahwa sebagai imbangan pelaksanaan red drive proposals itu pemerintah Hatta menerima uang sebesar $ 56 juta dari State Department Amerika Serikat lewat Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. 12)

Sesudah pertemuan Sarangan itu mulailah terjadi provokasi-provokasi terhadap PKI. Setiap terjadi peristiwa buruk selalu Partai komunis Indonesia atau Front Demokrasi Rakyat dijadikan kambing hitamnya. Secara provokatif gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diserbu dan diduduki oleh tentara. Kesatuan Brigade Mobil Polisi Bojonegoro di bawah pimpinan Asmaun dilucuti. Sementara itu pemogokan kaum buruh Delanggu (Surakarta) yang berlangsung antara 27 Mei dan 30 juni dan diikuti lebih dari 30.000 orang untuk menuntut perbaikan nasib  ditindas dengan kekerasan. Dalam situasi semacam itu pemerintah Hatta mengirim kepala kepolisian RI ke Amerika Serikat.

Sesudah itu perkembangan berjalan dengan cepat. Pada tanggal 5 Agustus, pemimpin Barisan banteng, yaitu Dr. Muwardi dipanggil presiden Sukarno untuk didengar keterangannya mengenai keadaan FDR terutama yang menyangkut kekuatan riilnya. Fonds yang berasal dari Biro Konsultasi Amerika Serikat  di Bankok mulai bersirkulasi menjalankan peranannya. Bukan suatu rahasia lagi, bahwa Dr. Muwardi menerima uang 3 juta ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) untuk membeayai usahanya memancing insiden militer di Surakarta, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal bertindak membersihakan “golongan kiri”. Pada tanggal 17 Agustus kaum Trotzkis yang ditawan karena peristiwa 3 Juli ’46 mulai dikeluarkan dari penjara untuk membantu Hatta memukul PKI.

Insiden militer dimulai hampir sebulan sesudah diterornya letnan kolonel Sutarto. Tepatnya pada 1 September. Pada hari itu dua orang kader PKI (Slamet Widjaja dan Pardijo) diculik oleh gerombolan bersenjata yang mula-mula tidak dapat diidentifikasikan dari kesatuan apa. Baru dalam proses berikutnya terbukti bahwa gerombolan bersenjata itu bukan yang sembarangan. Gerombolan ini yang bermarkas di Srambatan (Solo) kemudian ternyata dipimpin oleh beberapa orang opsir divisi Siliwangi (antara lain mayor  Lukas dari Batalyon “Siliwangi”). Penculikan tersebut dengan penculikan yang lain pada tanggal 7 September terhadap 5 orang perwira TNI (mayor Esmara Sugeng, kapten Sutarto, kapten Supardi, kapten Suradi dan letnan Muljono). Sampai hari ini tidak ada kabar beritanya mengenai nasib mereka. Tidak dapat diragukan bahwa sesudah diculik, mereka dibunuh oleh para penculik. Pada tanggal 9 September menyusul penculikan ketiga. Yang menjadi korban adalah letkol Suharman yang oleh atasannya ditugaskan untuk mengusut 5 perwira yang “hilang” itu. Letkol Suharman tidak dapat kembali untuk melapor. Ia juga hilang diculik.

Panglima besar Sudirman memperhatikan peristiwa penculikan-penculikan di Solo terhadap perwira-perwira TNI dan itu merupakan bahaya penggerowotan terhadap potensi TNI yang sangat menguntungkan fihak Belanda dan memperlemah pertahanan RI. Pada tanggal 9 September  letkol Suadi yang menggantikan letkol Sutarto sebagai panglima Panembahan Senopati diberi ijin oleh Panglima Besar Sudirman untuk mengambil tindakan terhadap kekacauan-kekacauan  di Solo. Letkol Suadi segera bertindak. Keesokan harinya (10 September) disampaikan ultimatum kepada pasukan yang bermarkas di Srambatan untuk melepaskan lima perwira TNI yang diculik.  Ultimatum itu berlaku 3 hari (sampai tanggal 13 September). Jika dalam waktu yang ditentukan itu (jam 14.00) perwira-perwira yang diculik  tidak dikembalikan, markas Srambatan akan diserbu. Sebagai show of force divisi melakukan manuver di bawah pimpinan mayor Slamet Rijadi dalam kota Solo. Sementara itu ultimatum juga disiarkan secara luas di kalangan penduduk kota untuk siap-siap terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Sebelum ultimatum  habis batasnya, pada jam 12.30 mayor Sutarno dikirim ke markas Srambatan untuk berunding atas nama divisi IV. Baru saja truk yang membawa berhenti di depan markas tersebut dan baru saja ia turun, mayor Sutarno disambut dengan tembakan. Ia gugur bersama orang yang mengawalnya.

Dengan demikian pertempuran sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Dan memang tepat pada jam 14.00 pasukakan-pasukan divisi Panembahan Senopati bergerak menyerang tentara gelap yang melakukan penculikan-penculikan di markas Sraambatan itu. Pertempuran sengit terjadi. Tembak-menembak yang tak ada henti-hentinya menggema di seluruh kota. Tiba-tiba pada jam 18.00 datang perintah dari panglima Besar Sudirman untuk menghentikan tembak menembak. Pelaksanaan gencatan senjata dilakukan di bawah pengawasan wakil-wakil golongan sipil dan militer yang ditunjuk. Perintah gencatan senjata ditaati sepenuhnya oleh divisi Panembahan Senopati. Tetapi fihak lain bahkan bahkan berbuat sebaliknya. Mereka meperluas gerakan untuk menduduki seluruh kota Solo. Melihat kenyataan ini pasukan-pasukan dari Divisi IV tidak tinggal diam. Pada tanggal 15 september jam 18.00 pertempuran dahsyat berkobar kembali. Pada tanggal 16 September gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singsaren diserbu oleh pasukan-pasukan Siliwangi dengan berkedok barisan banteng.

Di tengah-tengah kejadian ini muncullah suatu keajaiban. Pemerintah Hatta lewat radio dan surat-surat selebaran menyerukan supaya rakyat memberikan bantuan, tidak pada pasukan-pasukan divisi IV Panembahan Senopati, tetapi pada pasukan-pasukan yang melakukan penculikan-penculikan. Sebaliknya pasukan-pasukan letkol Suadi dicap sebagai pengacau. Peristiwa ini membuka rahasia yang menutupi pasukan yang bermarkas di Srambatan. Pasukan ini adalah pasukan dari divisi Siliwangi, anak emas Hatta sejak pembentukannya. Bagi siapapun menjadi sauatu hal yang tidak mengherankan lagi jadinya mengapa pasukan-pasukan penculik  dalam gerakanannya sudah menggunakan walkie-talkie yanag belum dimiliki oleh pasukan-pasukan yang manapun lainnya.

Untuk meneruskan gerakan-gerakan yang sudah dimulai oleh pasukan-pasukan Siliwangi oleh Hatta diangkat seorang gubernur militer, yaitu kolonel Gatot Subroto, seorang bekas marchaussé Belanda. Pasukan penculik-penculik gelap muncul sebagai pasukan yang resmi. Pasukan-pasukan divisi IV yang resmi berubah menjadi pasukan-pasukan yang dikejar-kejar dan hendak dihancurkan. Red drive proposals yang disodorkan tuan-tuan Gerard Hopkins dan H.Mevle Cochran telah mulai menuntut korban. Bedil telah berbicara. Darah mulai mengalir di Surakarta. Akan tetapi itu belum cukup. Korban yang lebih besar dan lebih banyak  akan masih menyusul. Peristiwa madiun sudah di ambang pintu. Tetapi sebelum bagian ini diteruskan ada baiknya kalau kembali sejenak meninjau suatu peristiwa sangat penting yang mempunyai tali temali  dengan Peristiwa Madiun, yang belum disoroti dalam bagian ini. Peristiwa ini bahkan peristiwa yang menduduki tempat penting dalam sejarah gerakan revolusioner dan akan bergema sepanjang masa dalam kalbu rakyat pekerja Indonesia. Peristiwa yang dimaksudkan di sini adalah datangnya kembali di tanah air tokoh dan pimpinan terbesar PKI: Muso.

Pada tanggal 11 Agustus 1948 di lapangan terbang Maguwo mendarat sebuah pesawat. Di antara penumpangnya terdapat Suripno. Suripno adalah seorang pemuda yang sangat banyak pengalamannya. Sebelum Perang Dunia ke-II pecah, ia belajar di Nederland. Di negeri ini ia berhubungan erat dengan gerakan revolusioner di Eropa. Iapun termasuk salah seorang tokoh muda dari “perhimpunan Indonesia”. Dari penanya mengalir banyak tulisan yang dimuat dalam majalah-majalah dan brosur-brosur. Ketika Revolusi Agustus meletus ia segera kembali ke tanah airnya. Di Indonesia, yang sudah merdeka, ia mengembangkan aktivitasnya dalam gerakan mahasiswa. Dekat sebelum Belanda melancarkan perang kolonialnya yang pertama (Juli 1947) Suripno ditugaskan oleh pemerintah RI sebagai wakil Indonesia untuk negegri-negeri Eropa Timur. Tugas khususnya yalah untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan diadakannya hubungan diplomatik dan keuntungan yang didapat dari hubungan semacam itu. Suripno menjadikan Praha (ibukota Cekoslowakia) sebagai tempat kedudukannya.

Ketika kembali ke tanah air 11 Agustus 1948 itu Suripno disertai oleh seorang sekretaris pribadi. Namanya Suparto. Beberapa hari kemudian timbullah kegemparan. Ternyata sekretaris pribadi Suripno yang bernama Suparto itu tidak lain dan tidak bukan adalah Muso, pemimpin PKI yang pada tahun 1926 bersama-sama pimpinan PKI lainnya – Alimin, ditugaskan ke Moskou melaporkan pada ECCI situasi politik di Hindia Belanda waktu itu. Mengenai hal ini sudah disinggung dalam bab “pemberontakan November 1926”, sehingga tidak perlu diulangi. Kedatangan kembali Muso di tanah air disambut dengan sehangat-hangatnya tidak saja oleh PKI, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia. Lain halnya dengan kaum imperialis Belanda dan Amerika serikat. Mereka menjadi kecut dan diliputi kekhawatiran dan ketakutan.

Muso dilahirkan pada 12 Agustus 1898 di Pagu (Gurah).  Tempat ini letaknya kurang lebih 15km di sebelah timurlaut kota Kediri (Jawa timur). Orang tuanya keluarga tani biasa. Bapaknya: Datar. Ibunya: Kasanah. Bapak Datar setiap hari, sehari penuh bekerja di sawah. Mbok Kasanah untuk membantu menghidupi 7 orang anak sehari-hari membatik. Jika batikannya selesai dijual atau ditukar dengan bahan-bahan keperluan hidup lainnya.

Ketika berumur 20 tahun Muso (nama aslinya Munawar) pergi ke Batavia untuk mencari pekerjaan. Sesudah lama mencari-cari akhirnya ia bekerja di sebuah kantor pos. Tapi dalam pekerjaan ini ia tidak lama. Karena aktif dalam serikat buruh ia dipecat dari kedudukannya. Sejak itu ia tidak sudi lagi bekerja pada pemerintah kolonial. Ia menjadi seorang beroeps-revolusioner.

Sebelum pemberontakan nasional pertama di Indonesia meletus (12 November 1926) Muso dan Alimin oleh Hoofdbestuur PKI diutus menghubungi ECCI untuk memberikan laporan situasi Hindia Belanda dan putusan PKI untuk mengadakan pemberontakan bersenjata. Mulailah Muso dan Alimin dengan perjalannya yang jauh dan berbahaya ke Moskou. Jalan yang mereka tempuh adalah Malaya, Thailand dan Tiongkok.

Pada bulan Juni 1926 mereka berdua tiba di tempat tujuan dan segera memberikan laporan kepada ECCI. Ketika dalam perjalanan pulang dan tiba di Shanghai tersiar berita ke seluruh dunia, pemberontakan 12 November  telah dimulai.

Berita itu mendorong Muso dan Alimin untuk lebih cepat lagi mecapai tanah air. Sesudah melewati Kanton dan Bangkok sampailah mereka di Singapura. Tempat ini sudah tidak aman. Kaum kolonialis Belanda mengirim agen-agen ke Singapura  untuk mengamat-amati orang keluar masuk Hindia Belanda. Muso dan Alimin untuk menyelamatkan diri terpaksa lebih dulu bekerja sebagai buruh di suatu perkebunan. Usaha menutupi diri itu gagal. Mereka dikenal oleh seorang agen rahasia yang bernama Agam Putih. Muso dan Alimin dimasukkan ke dalam penjara Singapura. Tetapi karena tidak ada bukti-bukti, mereka berdua tak lama kemudian dilepas kembali. Dengan mengamuknya terror putih  di Indonesia, Muso dan Alimin tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan kembali ke tanah air. Datanglah putusan dari pimpinan Comintern supaya Muso dan Alimin kembali ke Moskou.

Pada tahun 1928 Muso dipilih menjadi anggota ECCI (Executive Committee Communist Internationale). Dalam kedudukannya sebagai angggota ECCI Muso menulis banyak artikel dan menerbitkan pamflet-pamflet. Dalam tulisan-tulisannya itu ia mengupas secara ilmiah persoalan politik penting yang terjadi di tanah airnya, dan memberikan jalan keluarnya. Muso juga menaruh perhatian penuh  pada aktivitas orang-oranng Indonesia di luar negeri. Khususnya mahasiswa-mahasiswa yang belajar di negeri Belanda.

Perhimpunan Indonesia yang dianggap berbahaya oleh kolonialisme Belanda sebagai organisasi yang mendidik benih-benih perlawanan di Indonesia, mulai dimasuki pemuda-pemuda yang berhaluan kanan. Hal ini tidak terlepas dari perhatian Muso. Ia senantiasa berusaha, agar organisasi mahasiswa-mahasiswa Indonesia  itu terhindar dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh anasir-anasir semacam itu. Sesudah bekerja betahun-tahun kekuatan-kekuatan progresif di lingkungan Perhimpuan Indonesia berhasil mengusir klik Hatta dan mengisolasinya dari organisasi tersebut.

Sesudah melaksanakan misinya ke Indonesia tahun 1935, Muso memberikan laporan kepada Comintern mengenai hasil-hasil dari misi tersebut dan menjelaskan bagaimana perkembangan politik terkahir di Indonesia. Ketika itu sudah tahun 1936.

Pada tahun 1938 Muso bekerja di Belgia. Dengan menentukan negeri ini sebagai pusat aktivitasnya Muso dapat secara kontinyu berhubungan dengan partai komunis Indonesia dan dengan kekuatan-kekuatan progresif di negeri Belanda. Pada paro kedua tahun 1939 polisi berhasil menemukan jejaknya. Muso ditangkap dan diajukan ke depan pengadilan. Ia diganjar hukuman penjara 5 minggu. Tetapi berbulan-bulan telah lalu, tetapi Muso tidak saja dilepaskan. Pecahlah perang dunia ke-II. Pada awal tahun 1940 tentara fasis Jerman menyerbu Belgia. Bersama-sama tawanan-tawanan politik lainnya Muso diangkut dalam gerbong barang ke Perancis untuk dipindah ke dalam kamp konsentrasi di negeri ini. Dengan ketekunan dan tekad yang besar Muso pada musim semi 1941 berhasil melarikan diri dari kamp konsentrasi. Ia segera menuju Uni Sovyet. Ketika Jerman menyerang Uni Sovyet dengan secara mendadak dan dalam waktu yang singkat menduduki daerah yang luas, Muso dengan kepercayaan yang tak tergoyahkan  dan berkata kepada anaknya (Sunar):”Tenanglah, segala sesuatu berjalan baik. Kita tidak boleh tidak pasti berhasil mengalahkan Hitler.” Demikianlah antara lain surat Muso yang disampaikan kepada anaknya dalam bulan Juli 1941.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Muso tak jemu-jemunya melakukan propaganda  bagi tanah airnya yang sudah merdeka. Apa yang keluar dari mulutnya, mendapat kepercayaan dari pendengar-pendengarnya. Tidak ada orang di luar negeri yang lebih otoriter Revolusi Indonesia daripada Muso.

Sebaliknya tidak ada orang yang lebih sedih dari pada Muso ketika menyaksikan, bahwa di bawah pimpinan sosialis kanan Sutan Sjahrir, Revolusi Indonesia semakin merosot dan semakin menuju ke arah kehancurannya. Ia bertekad segera kembali ke tanah air untuk menyumbangkan tenaga dan fikirannya.

Ketika ia kembali ke tanah air pada bulan Agustus 1948 revolusi Indonesia sudah berada dalam tepi jurang. Muso sendiri meyakini hal ini. Maka itu, begitu datang di Yogyakarta pada tanggal 11 Agustus 1948 ia segera memulai aktivitasnya. Ia erat-erat mencengkam waktu. Setiap menit dan setiap detik digunakan sebaik-baiknya. Ia tahu benar dari mana ia harus memulainya.

Yang pertama-tama dioperasi oleh Muso adalah partai komunis Indonesia. Partai yang semestinya mengembangkan peranan semenjak Revolusi Agustus dimulai, tetapi tidak demikian halnya karena kelemahan-kelemahan yang serius terdapat tubuhnya.

Dua hari setelah tiba, dilangsungkan sidang politbiro PKI. Dalam sidang inilah Muso untuk pertama kalinya mengajaukan konsep penyelesaian revolusi Indonesia. Konsep ini kemudian terkenal dalam Sejarah gerakan revolusioner Indonesia sebagai “Jalan Baru”. Lengkapnya “Jalan Baru Bagi Revolusi Indonesia”. Konsep ini disyahkan dalam konferensi nasional PKI yang dilangsungkan dari tanggal 25 sampai 27 Agustus di Yogya.

Bukan tempatnya dalam tulisan ini untuk menguaraiakan “Jalan Baru”. Hanya yang pokok-pokok perlu dikemukakan, karena dokumen bersejarah ini akan mempunyai pengaruh panjang dalam perkembangan gerakan revolusioner selanjutnya.

Dinyatakan antara lain bahwa kesalahan pokok di bidang organisasi yalah bahwa PKI tidak mengerti perubahan politik di dalam negeri sesudah diproklamasikan kemerdekaan. Sebenarnya pada saat itulah PKI harus melepaskan bentuknya yang illegal dan muncul di hadapan masyarakat Indonesia Merdeka dengan terang-terangan.

Telah juga dijelaskan di depan bahwa kesalahan yang pada saat-saat itu muncul juga adalah bahwa pemimpin-pemimpin PKI illegal mendirikan Partai Sosialis Indonesia yang bahkan lalu difusikan dengan Partai Rakyat Sosialis-nya Sutan Sjahrir yang reformis.

Hal-hal tersebut tidak bisa diartikan lain kecuali memperkecil peranan partai Komunis Indonesia sebagai partai klas buruh dan sebagai pelopor revolusi. PKI ditempatkan pada tempat yang tidak semestinya, sehingga sebagai partai dan organisasi samasekali tidak mewujudkan kekuatan yang berarti.

Kesalahan besar dalam bidang organisasi ini diperbesar lagi karena kaum komunis sangat mengecilkan kekuatan klas buruh dan rakyat Indonesia dan karena kaum komunis terpengaruh oleh propaganda dan ancaman imperialisme Amerika Serikat. Oleh sebab itu kaum komunis Indonesia menjadi takut, dan tidak percaya pada kekuatan front anti-imperialis yang dipelopori oleh Uni Sovyet. Karena membesar-besarkan front-imperialis dan memandang rendah kekuatan anti-imperialis dan kekuatan sendiri, maka akibatnya adalah memberi terlampau banyak konsesi pada imperialisme dan klas burjuis.

Adanya tiga partai klas buruh (PKI legal, PBI, Partai Sosialis) yang semuanya dipimpin oleh PKI ilegal dan yang tergabung dalam Front demokrasi Rakyat dan menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, mengakibatkan ruwetnya gerakan buruh umumnya. Hal ini sangat menghalangi kemajuan dan perkembangan kekuatan organisasi klas buruh, juga sangat menghalangi meluasnya dan mendalamnya ideologi yang konskuen berhaluan Marxis-Leninis. Hal ini menyebabkan musuh-musuh proletariat Indonesia menghalang-halangi kemajuan gerakan komunis dengan jalan mendirikan bermacam-macam partai kiri yang palsu dan menggunakan semboyan-semboyan yang semestinya semboyan PKI. Di antaranya adalah semboyan perundingan atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%.

Disebabkan oleh sikap yang anti-Leninis di bidang politik organisasi dari pimpinan PKI ini kaum buruh Indonesia terhambat dalam pertumbuhan keinsyafan politiknya sebagai pemimpin revolusi nasional.

Juga di kalangan kaum tani pengaruh PKI sangat tipis. Padahal kaum tani merupakan sekutu terpercaya  kaum buruh.

Di kalangan prajurit di mana kaum komunis mempunyai pengaruh agak besar, PKI juga tidak mempunyai akar yang kuat dan dalam. Ini juga disebabkan karena adanya tiga partai klas buruh tidak tampak dengan jelas di depan prajurit-prajurit  revolusioner peranan PKI yang semestinya.

Di samping kesalahan-kesalahan tersebut di atas, dinyakan juga sebagai salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya yang menimbulkan kesalahan-kesalahan PKI adalah bahwa dalam pimpinan PKI kurang adanya elemen-elemen proletar.

Atas dasar itu semua yang dipandang urgent adalah, bahwa Partai Sosialis dan PBI harus dilebur dalam PKI sebagai satu-satunya partai klas buruh yang berdasarkan Marxisme-Leninisme.

Segala perhatian Muso diarahkan pada suksenya fusi tersebut. Ia berkeyakinan penuh bahwa tanpa adanya Partai Komunis Indonesia sebagai satu-satunya staf umum revolusi, rakyat pekerja Indonesia tidak akan mencapai cita-citanya. Maka itu di atas segala-galanya menurut Muso Kongres fusi yang diputuskan akan dilangsungkan bulan Oktober itu harus sukses. Segala perhatian harus diarahkan ke situ.

Kepada semua comite PKI di daerah-daerah diinstruksikan supaya mempertinggi kewaspadaan, jangan berbuat sesuatu yang mengakibatkan pemerintah bertindak terhadap PKI. “Kita tidak boleh berbuat apa-apa yang kiranya akan mengakibatkan pemerintah bertindak bertindak terhadap kita. Dalam beberapa bulan ini kita mesti pusatkan perhatian kita untuk memperbaiki organisasi dan politik partai, terutama untuk menggalang front nasional sebagai satu-satunya jaminan untuk kemenangan revolusi nasional kita”, demikian Muso berulang kali menekankan pada pimpinan-pimpinan dan kader-kader Partai Komunis Indonesia. 13)

Mengenai permulaan provokasi klik Hatta di Solo yang berbentuk penculikan-penculikan dan kemudian diikuti oleh pertempuran-pertempuran, Muso dengan tegas menginstruksikan kepada seluruh  barisan PKI untuk melokalisasinya.

Di samping mengadakan usaha perbaikan-perbaikan yang radikal di dalam tubuh PKI sendiri, Muso juga tidak lupa mengadakan pertemuan-pertemuan dengan fihak luar. Dua hari sesudah tiba di ibukota RI Muso memerlukan bertemu dengan orang yang lama ia kenal, yaitu Sukarno, dulu sering bertemu di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya, tetapi ketika bertemu kembali sudah menjadi presiden. Pertemuan berlangsung sangat ramah tamah. Ketika hendak berpisah presiden Sukarno minta supaya Muso suka membantu negara dan melancarkan revolusi. Jawab Muso tak panjang:”Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen” 14)

Atas saran Muso pimpinan sentral PKI pada tanggal 9 September menyampaikan undangan kepada pimpinan pusat Masyumi dan pimpinan PNI untuk mengadakan rapat bersama dengan maksud menggalang persatuan nasional. Sekalipun pimpinan kedua partai tersebut menolak undangan, inisiatif yang keluar dari pimpinan PKI membuktikan seriusnya PKI dalam usahanya mempersatukan semua kekuatan politik dalam wilayah RI.

Masih banyak lagi usaha-usaha Muso untuk merintis jalan ke arah bersatunya kekuatan-kekuatan anti-imperialis dan anti-feodal yang sangat penting bagi suksesnya revolusi nasional demokratis Indonesia. Tapi tidak mugkin semuanya itu dikemukakan  di sini. Kiranya beberapa contoh di depan sudah cukup untuk sementara ini.

Ketika resolusi “Jalan Baru” diumumkan, sambutan rakyat pekerja Indonesia terhadapnya sangat menggembirakan. Organisasi-organisasi massa yang selama itu menjadikan PKI (Partai Sosialis dan PBI) sebagai pimpinan politik, mereka melihat cahaya yang terang. Jalan yang ditunjukkan oleh resolusi dirasakan sebagai jalan yang cerah menuju kemenangan terakhir. Tidak saja SOBSI, tetapi juga organisasi-organisasi buruh yang tergabung  di dalamnya mengeluarkan penyataan-pernyataan setuju dan menyambut gembira lahirnya “Jalan baru”. Sambutan serupa dinyatakan oleh BTI. Juga Pesindo menyambut hangat resolusi “Jalan baru” dan siap melaksanakannya.

Partai Buruh Indonesia pada pertengahan September melangsungkan Kongres (di Kediri) dan memutuskan untuk meleburkan diri dalam PKI. Partai Sosialis akan segera menyusul melangsungkan kongresnya dengan tema yang sama.

Untuk melancarkan persiapan-persiapan kongres ke V PKI, dalam konferensi Nasional  PKI di Yogya yang berlangsung antara 25-27 Agustus disusun Politbiro PKI yang mencerminkan penggabungan antara tiga partai proletariat Indonesia yang masing-masing berdasar Marxisme-Leninisme.

Susunan Politbiro yang baru itu sebagai berikut:

Sekretariat Jenderal: Muso, Maruto Darusman, Tan Ling-dji, Ngadiman

Sekretariat Perburuhan: Adidarmo tjokronegoro, D.N.Aidit, Sutrisno

Sekretariat pemuda: Wikana, Suripno

Sekretariat Wanita: untuk sementara diurus oleh Sekr. Jenderal

Sekretariat Agitasi-propaganda: HM Lukman, Alimin, Sardjono

Sekretariat Organisasi: Sudisman

Sekretariat Daerah Pendudukan: langsung diurus oleh Sekr. Jenderal.

Sekretariat Luarnegeri: Suriptno

Sekretariat Perwakilan: Njoto

Sekretariat Kader: langsung diurus oleh Sekr. Jenderal

Sekretariat Keuangan: Ruskak

Sesudah memberikan landasan yang pokok-pokok dari Kongres Nasional ke-V PKI yang akan dilangsungkan bulan Oktober, Muso memutuskan untuk mengadakan rapat-rapat propaganda di daerah-daerah. Dalam rapat-rapat umum yang direncanakan itu Muso akan langsung membeberakan tugas-tugas pokok PKI, terutama yang menyangkut Kongres Nasional yang akan datang.  Salah satu tepmat, di aman Muso akan mengadakan pidatonya adalag Wonosobo. Rapat umum di Wonosobo ini akan dilangsungkan pada tanggal 24 September. Di tempat ini persiapan-persiapan pemerimaan Muso dan rombongan sudah dimulai jauh sebelumnya. Jawatan Penerangan Wonosobo yang diharapkan bantuannya telah pula menyampaikan kepada atasannya rencana rapat umum tersebut. 15) Seperti diketahui, Muso tidak jadi berpidato di Wonosobo karena sudah diinterupsi oleh meletusnya provokasi Hatta di Madiun.

Muso meninggalkan Yogya pada tanggal 7 September. Tidak seorang yang menduga, bahwa Muso tidak akan kembali untuk selama-lamanya.

Sebelum meneruskan uraian tentang Peristiwa Madiun, ada baiknya untuk agak mendalami, rencana apa sebenarnya yang ada pada Muso untuk bagaimanapun juga menyelamatkan Kongres ke-V PKI.

Muso adalah seorang pemimpin yang berpengalaman  dan berpandangan jauh. Dari “Jalan Baru”, Pembicaraan-pembicarran dan pidato-pidato yang diadakan oleh Muso selama berada di Yogya bisa ditangkap dengan jelas, bahwa menurut analisa revolusi Indonesia adalah revolusi nasional demokratis tipe baru, yaitu suatu revolusi nasional di negeri jajahan yang sudah menjadi bagian dari revolusi proletar dunia. Dan perspektifnya tidak boleh tidak adalah sosialisme. Karena di Indonesia masih berlangsung agresi bersenjata oleh fihak Belanda yang dibantu oleh imperialisme Amerika Serikat, maka tugas yang utama dari revolusi Indonesia adalah mengusir kaum agresor dari bumi Indonesia. Dan untuk itu harus ada suatu front nasional yang kuat di bawah pimpinan proletariat, karena hanya klas inilah yang paling konsekwen melakukan perjuangan anti-imperialis dan juga anti-feodal. Kesalah PKI selama revolusi Agustus justru letaknya di sini. Dan ini secara panjang lebar dikupas dalam “Jalan Baru”

Kaum kolonialis Belanda yang dibantu oleh imperialis Amerika Serkat adalah sasaran utama revolusi Indonesia. Unjung tombak harus diarahkan ke sasaran itu, tidak ke sasaran lain. Adalah suatu pemutar balikan kenyataan pendapat-pendapat yang menyatakan, bahwa “Peristiwa Madiun” adalah suatu “pemberontakan” yang dipersiapkan secara matang oleh FDR atau oleh PKI atau oleh kedua-duanya sekaligus.

Ketka masih di Yogya, dekat sebelum mengadakan turne propaganda, Muso telah mempersiapkan langkah-langkah konkrit yang akan diambil sesudah selesainya Kongres nasional ke-V (kongres peleburan atau kongres fusi).Ketika itu pasukan-pasukan bersenjata yang dipimpin oleh orang-orang dan simpatisan-simpatisan komunis masih cukup kuat. Mereka adalah kekuatan yang setia pada PKI dan senantiasa siap menerima perintahnya. Pasukan-pasukan inilah yang — sesudah kekuatan PKI utuh kembali — akan digerakkan untuk menyerbu pertahanan-pertahanan Belanda dan melancarkan ofensif balasan. Gerakan ini akan dilakukan serenatak di front Jawa timur, Jawa tengah dan Jawa barat. Tujuan yang hendak dicapai Muso dengan serangan umum ini adalah untuk mengembalikan inisiatif perang di tangan rakyat Indonesia dan mendorong pemerintah RI untuk ikut serta dalam perang melawan Belanda. Jika tidak, rakyat akan tahu di fihak mana pemerintah berdiri. Jika berdiri di fihak rakyat, pemerintah harus ikut melawan Belanda. Jika ia berdiri di fihak Belanda atau bersikap pasif, rakyat akan mengambil tindakan terhadapnya. Dalam situasi semacam itulah dalam perhitungan Muso inisiatif akan kembali di tangan rakyat, revolusi kembali ke atas relnya, dan PKI bisa kembali menjalankan peranan yang semestinya.

Oleh Muso rencana itu sudah dipikirkan masak-masak dan langkah-langkah pertama telah diambil. Calon komandan dari masing-masing front yang akan dibuka telah dipanggil ke Yogya dan sesudah mengadakan diskusi yang matang mereka telah bulat menyetujui rencana tersebut dan akan segera mengadakan persiapan-persiapan  konkrit secara diam-diam. Di antara mereka yang mendapat kepercayaan dalam rencana kampanye itu adalah Natak (dan wakilmya Bakri) yang kemudian gugur dalam “Peristiwa Madiun” di daerah Blitar. 16)

Soal di atas menunjukkan segamblang-gamblangnya, bahwa pada diri Muso dan juga pada pimpinan PKI pada waktu itu tidak ada sekelumitpun fikiran untuk memberontak pada kekuasaan RI. Juga dalam rangka ini adalah omong kosong (absurd) tulisan-tulisan pengarang-pengarang Amerika Serikat yang mencari-cari sumber “pemberontakan Madiun” misalnya pada konferensi pemuda se Asia di Kalkuta (India) yang dilangsungkan atas inisiatif GPDS (World Federation of Democratic Youth) dan IUS (International Union of Students) pada bulan Februari 1948. Seperti diketahui oleh Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) ketika itu diutus beberapa pemuda untuk datang menghadiri konferensi tersebut.  Utusan-utusan dari Indonesia adalah Otto Rondonuwu (KRIS) dan Supeno (PESINDO) langsung berangkat dari Yogya, Anwar (wakil BKPRI Sumatra di Bukittinggi) dan Fransisca Fanggiday (PESINDO) yang sebelumnya pergi ke Praha dan kemudian ke Kalkuta untuk membantu panitia persiapan konferensi. Ada seorang lagi dari BKPRI Sumatra yang diutus ke Kalkuta, tetapi ketika di Singapura  memutuskan perjalanan dan kemudian kembali ke Sumatra. Tidak ada diantara kelima orang itu yang sudah menjadi anggota Partai Komunis, bahkan sebagian terbesar simpatisan PKI saja bukan. Tetapi yang aneh adalah, bahwa yang disebut-sebut dalam buku-buku tulisan “ahli PKI” dari Amerika Serikat itu hanya Fransisca Fanggiday dan Supeno yang disebut-sebut dan dicap sebagai “second echelon communist leaders”. Dan untuk menambah enaknya masakan yang disajikan, ditambahkan pula, bahwa kedua orang ini sedatangnya di Indonesia terus “menodong” pimpinan angkatan tua dari PKI dan mengancam supaya melaksanakan “garis Kalkuta” yang berarti memberontak. “Ancaman”  ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk “Peristiwa Madiun”, demikian tulis mereka. 17) Tulisan-tulisan itu maksudnya jelas, menutupi aktivitas dinas rahasia Amerika Serikat, membela klik kontra-revolusioner Hatta yang berkuasa dan mengkambing hitamkan Partai Komunis Indonesia.

Jika dilukiskan secara singkat, situasi politik di Republik Indonesia pada akhir tahun 1948 adalah sebagai berikut. Di satu fihak: PKI di bawah pimpinan Muso selangkah demi selangkah , dengan secara teliti dan hati-hati mempersaipkan Kongres Nasional ke-V PKI bulan Oktober. Berhasilnya kongres ini berarti mengembalikan PKI pada kedudukannya sebagai avant-garde-nya revolusi nasional demokratis Indonesia, menempatkan Revolusi Agustus di atas rel yang sewajarnya dan maju dengan langkah-langkah tegap ke arah kekuasaan demokrasi rakyat sebagai fase peralihan ke sosialisme. Maka itu bagi PKI yang sangat penting yalah: Selamatkan Kongres Nasional ke V! Di lain fihak: klik Hatta yang kontra-revolusioner, bekerja-sama dan dibantu sepenuhnya oleh kaum imperialis Belanda dan Amerika Serikat. Bagi fihak Hatta, Kongres PKI nerupakan bahaya konkrit, karena suksesnya Kongres Nasional PKI ke V berarti berbunyinya lonceng maut bagi mereka. Di atas segala-galanya, bagi mereka yang pokok yalah: Gagalkan Kongres PKI!

Pada tanggal 7 September Muso disertai anggota-anggota pimpinan PKI lainnya mulai mengadakan turne propaganda. Pada hari itu, malam hari, Muso beridato di Solo. Pada tanggal 8 September di Madiun, dan pada tanggal 10 dan 11 di Kediri. Kemudian berturut-turut pada tanggal 14 di Bojonegoro, 16 di Cepu dan pada tanggal 17 di Purwodadi. Kemudian Muso mempunyai rencana sesudah itu akan kembali ke Yogya untuk kemudian mengadakan rapat-rapat propaganda di daerah Kedu, antara lain pada tanggal 24 akan berpidato di Wonosobo (sudah disinggung sedikit di depan). Di semua tempat yang didatangi Muso mendapat sambutan yang luarbiasa. Kaum tani yang tinggalnya berpuluh-puluh kilometer  dari kota, mereka memerlukan sehari atau dua hari sebelumnya rombongan Muso tiba. Ketika memasuki lapangan rapatumum, ia diserbu rakyat dan didukung ke mimbar di mana ia bisa memperkenalkan diri di depan puluhan atau ratusan ribu rakyat yang mengelu-elukan.

Ketika itu, provokasi-provokasi sudah tidak terbatas di kota Solo saja. Provokasi juga meluas ke kota Madiun. Di sini yang memegang peranan bukan saja divisi Siliwangi saja. Tindakan-tindakan anti-rakyat dilakukan bersama dengan brigade mobil polisi Jawa timur yang dikepalai oleh Mohammad Jasin.

Provokasi-provokasi di Madiun sebenarnya sudah dimulai sejak 18 Juli, Pada hari itu seorang buruh keretaapi Wirosudarmo dalam perjalanan ke tempat kerjanya di stasiun ditembak mati oleh seorang anggota tentara. Penguburan jenazahnya merupakan demonstrasi raksasa yang menunjukkan kemarahan rakyat terhadap pembunuhan gelap itu. Wakil-wakil partai dan organisasi-organisasi massa mengajukan protes-protes keras kepada pemerintah setempat.

Baru saja suasana agak reda terjadilah provokasi yang kedua. Seorang buruh kantor balai kota dianiaya oleh seorang perwira tentara. Sebda (Sarekat Buruh Daerah Autonom), di mana buruh tersebut tergabung sebagai anggota, menuntut supaya perwira yang bersangkutan minta maaf. Perundingan antara fihak Sebda dan instansi tentara yang bersangkutan tidak menghasilkan apa-apa. Sebda kemudian menyerahkan persoalannya kepada Sobsi Madiun. Atas desakan Sobsi maka terjadilah perundingan kedua kalinya dengan instansi tentara yang bersangkutan. Putusannya yalah bahwa perwira yang melakukan penganiayaan bersedia minta maaf.

Provokasi terjadi dalam bermacam-macam bentuk. Patroli pasukan Siliwangi dan Brimob di dalam kota, mereka berbaris seksi perseksi (1 seksi terdiri kurang lebih 50 orang), dengan sikap yang congkak menakut-nakuti rakyat. Pabrik-pabrik gula di Madiun diduduki oleh pasukan Siliwangi. Mereka juga mengadakan latihan-latihan tanpa memberitahukan kepada penduduk dan pasukan-pasukan TNI lainhya yang berada di sekitanya. Akibat dari tindakan ini semua, maka menimbulkan bentrokan-bentrokan kecil yang sukar dihindarkan antara pasukan Siliwangi dan prajurit-prajurit Brigade 29 TNI.

Insiden tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948.Pada tanggal tersebut, dimulai sejak jam 01.00 hingga jam 08.00 terjadi gerakan perlucutan senjata. Gerakan ini dilakukan oleh pasukan-pasukan Brigade 29 terhadap pasukan-pasukan Siliwangi dan Brimob. Gerakan berlangsung sangat cepat. Boleh dikatakan pertempuran sengit tidak terjadi. Dalam pertempuran singkat tersebut gugur letnan Sapari dari Batalyon 2 Brigade 29 dan kapten Djaja dari CPM.

Di dalam situasi yang keruh semacam itu, terjadilah satu peristiwa kecil yang kemudian sangat dibesar-besarkan. Ketika itu, residen Madiun tidak berada di tempat, ia sedang di Yogya. Wakil-residennya ternyata tidak bisa menguasai keadaan. Walikota madiun sedang sakit, sehingga non-aktif. Dalam keadaan yang demikian, partai-partai yang tergabung dalam FDR dan organisasi-organisasi massa yang menyokong FDR mendesak supaya Supardi, wakil walikota Madiun, bertindak untuk sementara sebagai residen selama residen belum kembali. Permintaan ini kemudian mendapat persetujuan dari komandan territorial Madiun, letnan kolonel Sumantri. Persetujuan itu diperkuat oleh wakil residen, Sidharto dan Walikota Purbosisworo. Masing-masing memberikan tandatangan mereka sebagai bukti persetujuan mereka. Di samping itu, pimpinan-pimpinan jawatan-jawatan penting juga memberikan persetujuan. Atas dorongan partai-partai dan organisasi-organisasi rakyatpejabat residen Supardi dan pemerintah setempat segera mengirim telgram kepada presiden, perdana menteri, menteri dalam negeri dan menteri pertahanan. Dalam telgram tersebut dijelaskan situasi terakhir di Madiun dan minta instruksi apa yang harus dilakukan lebih lanjut. Telgram tersebut disusul oleh kurir cepat ke Yogya membawa berita dan laporan tertulis yang lengkap mengenai peristiwa-peristiwa terakhir yang terjadi di Madiun.

Peristiwa pengangkatan wakil-walikota Madiun menjadi pejabat residen inilah yang oleh pemerintah Hatta ditiup menjadi begitu besar, seolah-olah di Madiun terjadi suatu tindakan “perampokan kekuasaan”, tindakan “mengadakan kudeta dan mendirikan pemerintah baru” dan macam-macam lagi. 18)

Pada tanggal 19 September malam (22.00)  disiarkan lewat  radio pidato presiden Sukarno. Dalam pidatonya, presiden Sukarno di antaranya menyatakan bahwa “kemarin pagi PKI Muso mengadakan kup di Madiun dan membentuk pemerintah Sovyet di bawah pimpinan Muso.” Pidato ini diakhiri dengan anjuran kepada rakyat untuk memilih “Sukarno-Hatta” atau “Muso dan PKI-nya”.

Pidato ini sama artinya dengan perintah untuk secara total membasmi PKI dan kekuatan-kekuatan revolusioner Indonesia lainnya.

Pada tanggal 18 September Muso berserta rombongannya sedang berada di Purwodadi. Dari kota ini mereka bersiap-siap untuk kembali ke Yogya dan kemudian melanjutkan turne propaganda  ke kota-kota lainnya di Jawa tengah. Tetapi kurir dari Madiun meminta dengan sangat agar Muso dan rombongan menuju ke Madiun untuk membantu penenteraman situasi. Akhirnya Muso dan rombongan memutuskan untuk menunda turne propaganda dan sesuai dengan permintaan pimpinan FDR Madiun, mereka menuju kota Madiun. Tengah malam tanggal 18 September, rombongan Muso baru tiba di Madiun. 19)

Muso segera melakukan kritik terhadap FDR Madiun yang tidak bisa mencegah terjadinya provokasi-provokasi. FDR juga termasuk salah satu yang menyetujui segera memberikan laporan selengkap-lengkapnya mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Madiun dan minta instruksi pada pemerintah pusat untuk mengatasi situasi.

Kenyataannya, sejak tanggal 18 September pagi situasi di kota Madiun tenang-tenang saja. Kehidupan sehari-hari normal seperti biasanya. Keadaan ini diakui sendiri oleh komandan brigade Suharto dari Yogya yang tiga hari sesudah terjadinya perlucutan senjata datang sendiri di Madiun untuk menyaksikan keadaan sebenarnya. Malahan sebagai bukti yang hendak disampaikan kepada pemerintah di Yogya ia membawa surat-surat dari jawatan-jawatan  yang menyatakan bahwa keadaan di Madiun tetap normal dan aman. Kepada komandan brigade Suharto oleh Muso bahkan disampaikan usul-usul lisan yang isinya adalah sebagai berikut.

Pertama: pertempuran antara kita dengan kita supaya dihentikan

Kedua  : kedua fihak bersatu kembali dan bersama-sama menggempur imperialis Belanda. PKI Dan pasukan-pasukan bersenjatanya sanggup mempelopori penyerbuan itu.

Ketiga  : program nasional tahun 1948 yang sudah disetujui oleh 40 organisasi-organisasi supaya Dijadikan program pemerintah.

Dalam pidatonya pada tanggal 19 September (malam) presiden Sukarno dengan jelas menunjukkan, bahwa laporan keadaan aman tentram Madiun dan usul-usul Muso tersebut tidak saja tidak digubris, tetapi bahkan merupakan suatu pernyataan perang terhadap PKI dan kekuatan-kekuatan revolusioner Indonesia lainnya. Putusan konferensi rahasia Sarangan mencapai taraf pelaksanaanya yang terakhir.Suatu pengejaran massal terhadap PKI telah dikomandokan.

——————————————

Muso dan pimpinan PKI dengan demikian dihadapkan kepada alternatif, menyerah atau melawan. Muso bukannya tidak tahu, bahwa melakukan perlawanan pada saat barisan sendiri masih belum beres (fusi antara PKI, PS dan PBI belum terjadi) mengandung resiko yang sangat besar dan pengorbanan yang sangat berat. Di lain fihak, jika menyerah, minta dikasihani dan diampuni, politik penghancuran terhadap PKIdan kekuatan-kekuatan revolusioner Indonesia akan dijalankan terus. Menempuh alternatif kedua, berarti membiarkan kepala dipenggal secara murah dan darah sendiri dibiarkan dihirup lawan-lawan politik secara sukarela.

Dalam memilih alternatif inilah terletak kebesaran Muso. Muso tidak membongkok-bongkok di depan lawan-lawan politiknya. Ia tidak menekukkan lutut di depan mereka. Ia tidak meminta-minta. Muso tidak memulai memukul. Tetapi jika orang lain memukul, harus memukul kembali. Dan lebih keras memukul lebih baik. Muso menerima tantangan sekalipun dalam keadaan yang sangat sulit. Ia melakukan perjuangan sampai nafanya yang penghabisan. Dengan berbuat semacam ini, satu hal yang mahapenting adalah sumbangan Muso kepada sejarah pergerakan revolusioner Indonesia dan khususnya kepada generasi-generasi komunis berikutnya, yaitu mendidik bagaimana harus berjuang dan bagaimana harus membela kepentingan rakyat pekerja. Semangat inilah yang ditinggalkan Muso bagi penerus-penerusnya.

Tanggal 19 September, jam 23.30, satu setengah jam sesudah pidato presiden Sukarno didepan corong RRI Yogya, Muso memulai pidato jawabannya. Di depan radio Gelora pemuda, ia menyatakan antaranya sebagai berikut:” Pada tanggal 18 september 1948 rakyat daerah Madiun telah memegang kekuasaan negara dalam tangannya sendiri.Dengan demikian rakyat Madiun telah melaksanakan kuajiban revolusi nasional kita ini, bahwa ia seharusnya dipimpin oleh rakyat sendiri dan bukan oleh klas lain.” Menyinggung peristiwa yang terjadi di Madiun, Muso menjelaskan:”Kejadian di Madiun dan lain-lain tempat untuk rakyat Indonesia seluruhnya adalah sinyal untuk merebut kekuasaan negara dalam tangganya sendiri. Inilah jaminan satu-sataunya bahwa republik kita akan berdaulat benar-benar dan akan cakap menghadapi serangan-serangan dari luar dan untuk selama-lamanya melepaskan diri dari bujang-bujang imperialisme (Sukarno-Hatta, pen.) itu.” Sebagai penutup pidatonya Muso menyerukan:”Rakyat Indonesia oleh Sukarno disuruh memilih ‘Suakrno atau Muso’ ! Pasti rakyat akan jawab ‘Muso selamanya menghamba rakyat Indonesia!’ “

Kota Madiun diserbu dari segala penjuru terutama dari barat dan dari timur. Sembilan hari kota ini bisa diselamatkan dari serbuan itu. Dan dalam waktu yang singkat di dalam kota berhasil didirikan suatu pemerintahan front nasional. Pembentukan  pemerintahan ini sedang dalam proses, ketika terpaksa dihentikan di tengah jalan karena Madiun sudah tidak dapat lagi dipertahankan terhadap serbuan dari berbagai jurusan. Yang jelas adalah, bahwa jawatan-jawatan  dan perusahaan-perusahaan sudah tidak lagi dipimpin oleh perorangan, akan tetapi oleh suatu Dewan Buruh yang merupakan instansi tertinggi dari jawatan-jawatan dan perusahaan-peruasahaan itu. Di samping itu oleh pemerintah front nasional dalam rapat pelajar seluruh Madiun diumumkan suatu dekrit yang menyatakan murid-murid mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas dibebaskan dari pembayaran uang sekolah. Oleh pemerintah front nasional kota Madiun segera dilaksanakan pembagian bahan makan  yang sangat dibutuhkan rakyat Untuk kaum buruh 1.500 ton. Untuk pertahanan rakyat 1.500 ton. Untuk rakyat kabupaten Ngawi 1.500 ton  Untuk rakyat kabupaten Ponorogo 1.500 ton dan untuk rakyat kabupaten Madiun 1.500 ton. Pembagian-pembagian bahan-bahan lainnya sedang disiapkan. Akan tetapi situasi sudah tidak memungkinkan lagi. Pada tanggal 30 September kota Madiun terpaksa ditinggalkan.

Sebelum melanjutkan bagian ini baik kiranya meninjau dulu apa yang terjadi sekita waktu itu di tempat-tempat lain.

Di Yogyakarta – aneh dan ajaib – penangkapan-penangkapan sudah dilakukan sehari sebelum tanggal 18 September yang menentukan itu. Pada tanggal 17 September, Serikat Buruh Kereta Api sedang mengadakan konferensi di gedung Sobsi, Tugu – Yogyakarta. Tahu-tahu gedung dikepung oleh sepasukan tentara pemerintah. Pemimpin-pemimpin SBKA yang berada di situ ditangkapi. 20)  Kejadian ini menyebabkan rapat Seksi Comite PKI Yogyakarta yang dilangsungkan di jalan Gondomanan dan dihadiri oleh Maruto Darusman, Lukman dan Njoto terpaksa dibubarkan mengingat pengalaman konferensi SBKA sehari sebelumnya.21)  Pada tanggal 19 September Tan Ling-djie, sekretaris jenderal II PKI yang sedang menyiapkan pidato untuk sidang Badan pekerja KNIP esok paginya ditangkap di rumahnya di jalan Dieng no.1 Yogya. Ia terus dimasukkan penjara Wirogunan.22) Sesudah itu di seluruh daerah Yogya dilakukan penangkapan-penangkapan massal. Untuk daerah ini didirikan dua kamp konsentrasi, yang satu di tengah-tengah kota Yogya (Sekolah Danurejan) dan yang lain di Gentan (Pakem, jurusan Kaliurang).

Tawanan-tawanan yang ditempatkan di Danurejan dan di Gentan termasuk tawanan golongan B dan C. Tawanan-tawanan golongan A dimasukkan di Wirogunan. Golongan ini adalah golongan yang harus dimusnahkan. Ketika Belanda melancarkan perang kolonialnya yang kedua, pada tanggal 19 September 1948 tawanan-tawanan golongan B dan C dibebaskan. Pada pagi hari tanggal itu Hatta sudah memerintahkan satu pasukan khusus yang terdiri dari satu seksi untuk melakukan pembunuhan massal di penjara Wirogunan. Pasukan ini di depan istana Pakualaman (dalam perjalannya ke Wirogunan) terpaksa bubar, karena tentara Belanda sudah mulai menyusup ke kota Yogya dari jurusan timur. Keadaan inilah yang membuka kesempatan bagi tawanan-tawanan golongan A untuk membebaskan diri.

Tidak demikian halnya tawanan-tawanan golongan A di tempat-tempat lain. Di Magelang 41 tawanan golongan ini yang mula-mula ditempatkan di sebuah kamp konsentrasi di luar kota pada tanggal 19 digiring pasuk penjara. Di antara mereka terdapat Suprodjo, bekas menteri Sosial dalam kabinet ke-5 RI. Pada tanggal 19 malam mereka dieksekusi tanpa pemeriksaan terlebih dahulu. Di belakang setiap tawanan berdiri seorangan  dengan sebuah karaben. Jaraknya hanya satu setengah meter dari calon korban. Terdengar satu aba-aba dengan keras “ini bajingan-bajingan !” Tak lama kemudian “Siaaap!” Dan akhirnya komando “Atas nama negara……….tembak!” Satu rentetan tembakan. Kebanykan korban kepalanya pecah dan otanya keluar. Ketika itu sudah sekitar jam 22.00. Tentara Belanda sudah ada yang menyusup ke dalam kota.

Di daerah-daerah lain, peristiwa-peristiwa semacam itupun terjadi. Di Pati, Cepu, Blora, Kediri, Malang Selatan dan di banyak tempat lagi. Dr. Wiroreno ditembak di bawah “ringin kurung” alun-alun Pati, dengan tangan diikat di punggung. Demikian juga Hadjit, Komisaris Daerah Pesindo dan banyak pejuang-pejuang lainnya di daerah tersebut. Dr. Rustam anggota BP KNIP dari Kediri juga gugur. Tak diketahui di mana makamnya. Tawanan-tawanan golongan A di kota ini dieksekusi di tiga tempat. Sebagian di sebelah timurlaut gunung Klotok (beberapa kilometer di sebelah barat kota), sebagian di desa peristirahatan Besuki (di sebelah selatan kota, di lereng gunung Mliwis), sebagian lagi dibunuh di ekitar Ngantang (jalan raya antara Pare dan Batu). Tawanan-tawanan golongan A di daerah Malang dibunuh secara massal dan jenazah mereka dikubur di daerah Malang selatan. Jusuf Bakri, adalah pimpinan tertinggi laskar Pesindo gugur di depan  peleton  tembak  tentara  Hatta  di  Wonogiri .Ketika  hendak  ditutup matanya ia menolak.

Dengan  tegas  ia  berkata:”Saya  ingin  mati  sambil  melihat  tanah  air  saya  yang saya cintai!”,

Kemudian ia menyanyikan lagu “Internasionale”. Sebelum komando “tembak” diberikan, Jusuf Bakri memekik “Hidup Komunisme. Kita pasti menang”. Jusuf Bakri adalah komandan PLDT (Pimpinan Laskar Jawa Timur) dari Pesindo.

Bukti-bukti kepahlawanan ini sangat banyak selama peristiwa Madiun. Juga tidak boleh dilupakan ketenangan dan kepahlawanan –Amir Sjarifuddin dan 10 kawannya yang lain, yaitu Maruto Darusman, Suripno, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Oei Gee Hwat, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku.—ketika akan dieksekusi pada tanggal 19 September malam di Ngalian (Karanganyar – Solo). Ke 11 pahlawan dan putra-putra terbaik dari rakyat pekerja Indonesia itu bersama-sama menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan Internasionale”. Mr. Amir Sjarifuddin berseru:”Bersataulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!” Dan Suripno :”Saya bela dengan jiwa saya! Untukmu!”

Marilah kita menyambung lagi bagian depan yang terputus.

30 september, kota Madiun terpaksa ditinggalkan karena tidak mungkin lagi dipertahankan. Pasukan-pasukan Brigade 29 yang terdiri dari 3 batalyon (semua bekas laskar Pesindo) dipusatkan di bawah satu komando. Pada tanggal 30 September itu dimulailah mars jauh yang berat dan makan tidak sedikit korban. Mula-mula pasukan-pasukan yang dipusatkan itu  bergerak ke  Dungus (sebagian ke Kandangan), di sebelah tenggara madiun , di lereng Gunung Wilis. Sejak mulai di sini sebagian dari pimpinan PKI, kader dan anggota-anggota di bawah lindungan bekas pasukan-pasukan Brigade 29 dikejar-kejar TNI. Pertempuran terus menerus dan tidak ada henti-hebtinya berlangsung selama perjalanan jauh itu. Dari Dungus dan Kandangan pasukan bergerak ke selatan menyusur lereng gunung Manyutan ke Ngebel. Di sini tidak bisa lama. Pasukan bergerak ke selatan ke kota kawedanan Pulung di sebelah timur Ponorogo. Di tempat ini menggabung satu batalyon pasukan dari Trenggalek yang bersimpati dengan perjuangan PKI. Pasukan sekarang teridiri dari 4 batalyon.

Di Pulung diadakan diskusi dan diputuskan 3 batalyon bergerak ke barat menuju Ponorogo untuk menduduki kota kabupaten itu. Sebagian (satu batalyon) menempuh jalan lain, yaitu lewat Mrayun dan Jetis menuju Balong. Balon adalah satu kota kawedanan. 3 batalyon yang bergerak ke arah Ponorogo di sebelah timur kota tersebut, yaitu di Dukuh, terpaksa bertempur dengan kekuatan musuh yang kuat. Disinilah antara lain tertawan Pitojo (Piet van Staveren) yang ternyata kemudian diserahkan kepada tentara Belanda. Gagal menyerbu Ponorogo, pasukan merubah haluan dan sambil menghindari kota tersebut bergerak ke selatan untuk berkumpul kembali dengan batalyon yang menunggu di Balong. Keempat batalyon tersebut bersama-sama menuju ke Slaung, kota kecamatan yang merupakan titik terakhir dari jalan kereta api dari Ponorogo yang menuju ke Selatan.

Dari Slaung pasukan besar berangkat menuju Tegalombo di jurusan Pacitan.Di sebuah tempat yang bernama Slumpring batalyon yang dari Trengalek diperintahkan untuk bergerak sepanjang jalan kecil melingkari Gunung Mungkok ke arah Tulakan dan kemudian menuju Pacitan. Sementara itu pasukan induk dari Tegalombo , lewat jalan besar bergerak menuju ke Pacitan. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang sampai sekarang masih belum jelas, satu batalyon dari induk ini di Tegalombo diperintahkan untuk bergerak ke Nglorog, sebuah tempat kecil beberpa kilometer di sebelah timur Pacitan. Dalam batalyon ini terdapat antara lain Muso. Dalam perjalanan menuju Nglorog inilah Muso gugur di desa Semanding pada tanggal 30 Oktober. Ia gugur dalam pertempuran melawan musuh yang jauh lebih banyak dan menggunakan senjata-senjata yang lebih modern.

Batalyon yang ditugaskan menuju Pacitan lewat jalan yang melingkari Gunung Mungkok ke Tulakan itu datang dengan selamat di Pacitan. Di sini pasukan hanya berhenti sebentar karena harus menggabung lagi dengan induk pasukan. Batalyon bergerak ke utara menuju kota kecamatan Arjosari  di jalan raya antara Pacitan-Ponorogo. Di kecamatan inilah ketiga batalyon bertemu kembali dan seterusnya mereka bersama meneruskan mars jauh sampai titik terakhir.

Dari Arjosari ketiga batalyon yang sudah bergabung menjadi satu menuju ke Bandar, di mana terjadi pertempuran yang sangat sengit. Pasukan dapat meloloskan diri tanpa korban yang berarti. Selanjutnya bergerak menuju Kismantoro di daerah Surakarta, tanpa mengaso yang cukup pasukan meneruskan ke Purwantoro, sebuah kota kawedanan di jalan raya antara Ponorogo dan Wonogiri. Untuk melintasi jalan raya tersebut bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Pasukan yang di bawah pimpinan PKI ini terpaksa melakukan pertempuran sengit lagi. Kepungan musuh dapat dipatahkan yang akhirnya berhasil melintasi jalan raya dan menuju ke utara.

Kesulitan tidak semakin berkurang, melainkan malah bertumpuk-tumpuk. Bahan persediaan makanan dan obat-obatan habis. Seorang dokter yang turut di dalam mars jauh itu terpaksa bekerja siang dan malam tanpa berhenti. Pembedahan-pembedahan hanya dilakukan dengan pisau silet. Sambil bertempur melawan musuh yang senantiasa mengejar, pasukan bergerak naik gunung Lawu lewat dukuh-dukuh kecil seperti Ngromo, Jeblok dan lain sebagainya. Pada suatu hari yang baik, pasukan tiba di jalanan yang menghubungkan Tawangmangu dan Sarangan. Yang satu adalah tempat peristirahatan di daerah Surakarta sedang yang lain adalah peristirahatan di daerah Madiun. Menuju ke mana? Akhirnya diputuskan menuju ke timur. Pasukan bergerak ke Cemorosewu. Ketika persiapan-persiapan telah diatur sebaik-baiknya serangan terhadap sarangan dilancarkan. Persiapan menggempur sarangan ini diatur begitu rapih  sehingga serangan mendadak yang dilancarkan berakhir dengan sukses besar. Ketika itu di sarangan terdapat sekolah kadet angkatan darat. Untuk menjaga keamanan ditempatkan pula di situ sepasukan TNI. Mendapat serangan mendadak yang teratur rapi dan dari tempat yang tinggi pasukan-pasukan musuh tidak berdaya. Mereka lari tunggang langgang dan tidak sempat membawa barang-barang yang mereka perlukan. Pasukan-pasukan yang sedang menderita ini, ditempat itu dapat beristirahat selama beberapa hari.

Untuk menghindari pengepungan musuh yang pasti akan menyerang, pasukan  bergerak lagi ke jurusan utara menuju kota kecamatan Kendal dan dari sini ke kecamatan Jogorogo di kawedanan Ngrambe. Untuk terus bergerak ke arah utara ada dua kesulitan yang membentang di depan mata. Yang pertama yalah jalan kereta api Madiun-Solo, sedangkan yang kedua yalah jalan raya yang juga ramai antara kedua tersebut. Sesudah diadakan perhitungan matang-matang diputuskan: harus berani menghadapi kesulitan yang mebentang itu. Sesudah dilakukan mobilisasi politik pasukan bergerak maju. Ketika hendak menyeberangi jalan keretaapi di dekat stasiun Gedunggalar, lewatlah sebuah kereta api. Diserang? Tidak, biarkan mereka lalu. Setelah situasi aman, mulailah pasukan menyeberangi jalan keretaapi. Selamat. Di depan sekarang adalah jalan raya. Di sini terjadi satu insiden. Gubernur Jatim Surjo yang sedang menuju Yogya, mobilnya terpaksa dihentikan. Dan untuk menjaga keselamatan seluruh pasukan gubernur Surjo terpaksa tidak dilepaskan, melainkan harus ikut dibawa bergerak. Dalam suatu pertempuran yang terjadi tak lama sesudah itu, gubernur Surjo terpaksa ditembak. Ketika itu pimpinan komando mars jauh sebenarnya sudah siap-siap untuk memeriksa dan mengadili gubernur Surjo. Dalam situasi terus menerus dikejar, seluruh barisan menyeberangi Bengawan Solo dan menuju ke sebuah desa Sonde. Daerah yang dilalui sekarang adalah daerah minus. Yang ada hanya hutan jati. Hanya kadang-kadang saja dijumpai dukuh kecil yang sangat miskin. Prajurit-prajurit harus makan daun-daunan dan apa saja yang dapat ditemui di jalanan. Barisan menuju Randublatung. Penderitaan ketika itu sudah memuncak, tetapi pertempuran tidak semakin kurang, sebaliknya semakin sering dan seru.

Dari Randublatung pasukan membelok ke barat. Pasukan musuh semakin banyak. Pertempuran berlangsung terus menerus tak henti-hentinya. Lewat Sulursari pasukan kemudian memotong jalan kereta api Cepu Semarang dan menuju Wirosari. Di sinilah pertempuran yang paling sengit berkobar. Banyak yang tertawan. Sekalipun demikian sebagian dari pasukan-pasukan yang tetap bersenjata dapat diselamatkan dan diperintahkan untuk menuju  daerah Klambu dan di sana membangun persiapan-persiapan untuk menyerbu daerah Belanda dan melanjutkan pertempuran melawan Belanda. Sebagian dari pasukan yang masih tertinggal di Wirosari akan segera menyusul memperkuat mereka. Tetapi rencana ini tidak dapat lagi dilaksanakan. Barisan yang sudah sangat menderita itu terpaksa ambruk di jalan. Daerah terkahir yang dicapai adalah Klambu. Di Klambu terjadi pertempuran-pertempuran terakhir yang menentukan. Sebagian dapat menyelamatkan diri, tetapi sebagian besar jatuh di tangan musuh. Ketika itu tanggal 7 Desember. Seluruh perjalanan yang ditempuh oleh “benteng berjalan” itu meliputi kurang lebih 1000 km. Duabelas hari kemudian Belanda melancarkan perang kolonialnya yang kedua.

—–ooooo0ooooo—–

catatan

1. Pilihan Karya Mao Zedong jilid IV, hlm 208-212

2. Pilihan Karya Mao Zedong, jilid IV, hlm 347-349

3. “Aneta12-13 Maret 1948”

4. “Lukisan Revolusi”, Dep. Penerangan RI hl. 363

5. Idem

6. Hatta dalam interview dengan wartawan “Christian Science Monitor” dikutip dalam “Buku Putih” cet. Ke-II, diterbitkan oleh Dep. Agitprop CCPKI, 1954

7. “5 Minggu Sebelum Madiun Affair”, Derita SP, “Sarkawi” Medan

8. Roger Vailland “Boroboudour”, Paris 1951, hlm. 159, di dalam “Buku Putih”

9. “Bintang Merah” tahun ke-VIII no. 12-13, Agustus-September 1951

10. Roger Vailland “Boroboudour” bab “La nuit de Sarangan” hlm. 154.

11. “Bintang Merah” no.12-13 th 1951

12. Idem

13. “Bintang Merah”, th. VII no. 12-13, 1951.

14. Harian “Revolusioner” 19-8-48

15. “Nationalis and Revolution”, hlm. 286.

16. Pembicaraan antara Muso dan penulis di ruang kerjanya (di rumah Mr. Amir Sjarifuddin) di Yogya, sebelum berangkat turne propaganda di Jatim dan Jateng.

17. Lihat “Nationalism and Revolution” hlm. 257-258

18. Brackman “Indonesian Communism” Lihat buku “Calcuta………”  by Ruth Mc Vey

19. Moh. Hatta,”Mendayung antara dua karang”, hlm. 87 Ada baiknya dibaca proses D.N.Aidit di depan pengedilan Jakarta yang dimuat dalam Pilihan Tulisan Aidit jilid I hlm. 352-380.

20. “ Buku Putih” Dep. Agitprop CC PKI

21. Idem

22. Idem

Leave a comment