#13 Politik Berunding yang Mencelakakan

Tidak ada keterangan yang lebih jelas mengenai sikap pemerintah Belanda tentang Indonesia daripada keterangan yang diberikannya di depan parlemen Belanda dalam bulan-bulan Januari-Februari tang 1946. Dalam keterangan itu dinyatakan a.l. bahwa Republik Indonesia itu adalah angin belaka, karena itu tidak masuk akal untuk mengakui hal yang tidak ada. Yang tidak ada bagi kekuasaan Belanda, adalah “gerakan kebangsaan” dan dengan wakil-wakil inilah jika harus ada perundingan, wakil-wakil Belanda siap melakukannya. Demikianlah pendirian pemerintah Schermerhorn-Logman yang berkuasa di negeri Belanda pada waktu itu.

Sikap semacam ini adalah sikap yang tidak aneh. Sejak 14 Agustus 1945, ketika Jepang menyerah, kaum imperialis Belanda sudah memimpi-mimpikan mengalirnya kembali hasil bumi dan hasil pelikan Hindian Belanda yang melimpah ruah ke Nederland. Mereka juga memimpikan kembalinya kekuasaan politik seperti jaman Hindia Belanda sebelum perang dunia ke-II, megah dan tak tergoyahkan. Seolah-olah dunia tidak berputar selama itu. Mereka mimpi di siang hari bolong.

Untuk langsung menghadapi Republik Indonesia sudah terang kaum imperialis Belanda tidak akan mampu. Untuk menempatkan negeri mereka sendiri di atas kakinya, sesudah berakhirnya perang dunia ke-II, mereka terpaksa menggantungkan diri pada Rencana Marshall. Tanpa bantuan ini untuk membangun kembali industri-industri yang rusak selama perang, mereka tidak akan mampu. Apalagi untuk membangun imperium mereka. Dan ini adalah hal yang mustahil.

Kesempatan yang baik baik kekuasaan Belanda adalah ditugaskannya tentara Inggris  atas nama Sekutu menduduki Indonesia.

Seperti sudah diketahui, wakil Belanda yang datang bersama dengan pasukan-pasukan tentara Inggris adalah van Mook. Ia tiba di Kemayoran pada 7 Oktober 1945. Dengan mata kepala sendiri van Mook menyaksikan betapa berani dan gigihnya rakyat Indonesia membela kemerdekaan yang telah direbutnya dari tentara Jepang. Ia juga menyaksikan, betapa sulitnya tentara Inggris mempertahankan Magelang, Ambarawa dll., betapa dahsyatnya pertempuran 10 November di Surabaya dan dalam bulan itu juga bagaimana Bandung menjadi lautan api, ketika rakyat mempertahankan bagian utara  kota tersebut. Itu adalah demonstrasi kekuatan rakyat Indonesia dalam melawan pasukan-pasukan Inggris yang cukup besar jumlahnya, dipersenjatai dengan alat-alat perang yang terbaru. Dan itu semua pula yang menyebabkan fihak Belanda harus berfikir 10-20 kali sebelum memasuki perjuangan melawan rakyat Indonesia yang sudah dengan berani merebut kekuasaan politik dan militer dari Jepang dan mendirikan negara sendiri. Ketika itu Belanda hanya memiliki sejumlah kecil pasukan. Bahkan masih sedang dalam latihan di luar negeri.

Dalam keadaan semacam itu jalan satu-satunya yang bisa ditempuh adalah mengulur waktu sampai persiapan-persiannya selesai untuk mengadu otot dengan Republik Indonesia.

Membonceng terus-menerus pada tentara Inggris yang mewakili Sekutu juga tidak mungkin, sebab pada suatu ketika tentara ini mesti ditarik mundur. Kaum imperialis Belanda terpaksa berlomba dengan waktu. Yang dipilih untuk diajak berunding bukan Sukarno, melainkan Sjahrir.

Fihak Inggris yang telah mengambil keputusan untuk menempatkan kekuasaan Hindia Belanda kembali pada tempatnya semula memprakarsai perundingan-perundingan antara fihak Belanda dan Indonesia, sebab ia tahu, bahwa di medan pertempuran Belanda pasti tidak akan bernasib baik. Untuk memberikan kesan, seolah-olah kedudukan fihak Indonesia dan fihak Belanda sama tinggi, Inggris bertindak sebagai wasit. Pertemuan segitiga pertama diadakan pada 17 Desember ’45 di bawah pimpinan jenderal Christison. Dari fihak Belanda hadir van Mook dan van der Pals. Dari fihak Indonesia a.l. Sjahrir dan Dr. Leimena.1)

Seterusnya pekerjaan berunding oleh kerajaan Inggris diserahkan kepada Sir Archibald Clark Kerr (Lord Inverchapel), bekas duta besar negeri tersebut di Moskou. Dalam bulan Februari 1946 Clark Kerr tiba di Jakarta. Tapi perundingan-perundingan resmi belum bisa dilaksanakan dengan segera karena pada bulan itu fihak RI sedang siap-siap melangsungkan sidang pleno ke-IV KNIP. Tapi sekalipun demikian dalam bulan Februari itu sudah dilangsungkan pertemuan-pertemuan antara Sutan Sjahrir dan van Mook.

Sementara itu pada tanggal 10 Februari pemerintah Belanda mengeluarkan suatu keterangan mengenai politiknya terhadap Indonesia. Secara singkat keterangan tersebut menyebutkan bahwa melewati beberapa waktu tertentu jika “rakyat sudah tenang lagi”, sesudah “keamanan dapat dipulihkan, sesudah “keadilan tegak kembali”, sesudah “orang bisa berbicara lagi secara bebas” dls.dls, rakyat Indonesia akan menentukan sendiri secara bebas hubungan dengan kerajaan Belanda  sebagai  sebagai peserta delegasi penuh  dan bersifat sukarela. Untuk membicarakan soal-soal detail dari masa peralihan itu akan dilangsungkan suatu “konferensi kerajaan” (Rijksconferentie). Pemerintah Belanda dalam hal ini mengemukakan harapan, agar Indonesia di kemudian hari menduduki tempat yang sama derajat dengan Nederland, Suriname dan Curaçao (kedua-duanya koloni Belanda di Hindia barat) di dalam suatu hubungan kerajaan (rijksverband). Bagi Indonesia yang paling tepat menurut pemerintah Belanda adalah suatu bentuk federasi. Dilukiskan bahwa  gemenebest Indonesia akan punya suatu pemerintahan yang dikepalai oleh wakil mahkota Belanda. 2)

Keterangan pemerintah Belanda yang secara singkat dikemukakan di atas itulah yang dibahas oleh sidang pleno ke-IV KNIP yang dilangsungkan di Solo dari 28 Februari sampai 3 Maret 1946. Sidang tersebut dengan bulat memutuskan, perundingan dengan fihak Belanda bisa diadakan asal bertitik tolak dari pengakuan 100% terhadap kedaulatan Republik Indonesia. Ketika putusan tersebut dikemukakan pada fihak Belanda, mereka menolak. Perundingan menjadi buntu.

Tetapi karena perundingan tokoh mesti ada, maka Jakarta yang panas ditinggalkan dan pertemuan-pertemuan baru direncanakan di tempat lain. Dipilihlah Hoge Veluwe di negeri Belanda. Diputuskan bahwa untuk “perundingan Hoge Veluwe” Indonesia akan mengirimkan 3 orang utusan. Juga akan berangkat ke sana van Mook dan Clark Kerr. Perundingan Hoge Velluwe dimulai pada tanggal 18 April sampai medio Mei ’46. Dari fihak Indonesia yang datang adalah suatu delegasi yang dikepalai oleh Suwandi sebagai ketua dan Sudarsono dan A.K.Pringgodigdo  masing-masing sebagai anggota. Kemudian hadir pula sebagai penasehat delegasi dalam pertemuan Hoge Veluwe M.M.L. Pamuntjak dan Setiadjit, masing-masing anggota Eerste dan Tweede Kamer Belanda. Tak banyak yang diketahui mengenai perundingan Hoge Veluwe.

Perundingan-perundingan yang berlangsung sampai Mei 1946, baik yang di Jakarta maupun yang di negeri Belanda sudah berkisar pada usul fihak RI yaitu supaya Belanda mengakui pada prinsipnya Indonesia Merdeka yang meliputi wilayah Hindia Belanda. Jika Belanda sudah bersikap demikian, maka dalam tahap pertama RI  sudah memandang cukup kalau Belanda mengakui secara de facto kekuasaan Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra lebih dulu. Sesudah melewati masa peralihan tiga tahun, RI dan pemerintah Belanda akan bekerja sama untuk memasukkan bagian-bagian lain dari Indonesia ke dalam Republik Indonesia sesudah diadakan plebisit. Sesudah itu antara Republik Indonesia dan kerajaan Belanda diadakan perjanjian pershabatan bukan dalam bentuk rijksverband. Demikian usul fihak Indonesia.

Tawar menawar terjadi. Yang diterima fihak Belanda akhirnya adalah pengakuan de facto atas kekuasaan Republik Indonesia di wilayah Jawa dan Madura saja.

Perundingan-perundingan yang bersifat lebih banyak mengalah pada Belanda mempunyai sumber-sumber tertentu. Yang pertama, pemerintahan Sjahrir tidak percaya pada kekuatan rakyat Indonesia yang sudah bertekad bulat melanjutkan revolusi, mempertahankan dan menkonsolidasi hasil-hasil revolusi tersebut. Yang kedua, pemerintah Sjahrir tidak dapat menganalisa secara tepat perkembangan situasi politik internasional sesudah berakhirnya perang dunia ke-II dan imbangan kekuatan baru di dunia yang disebabkan oleh lahirnya banyak negeri-negeri sosialis. Dengan demikian kekuatan sendiri dipandang rendah dan kekuatan lawan dipandang terlalu besar.

Pada saat permulaan revolusi Agustus 1945, bukan saja massa rakyat yang luas di pulau Jawa dan Sumatra yang bangkit melaksanakan dan membela isi proklamasi kemerdekaan, tetapi boleh dikatakan di semua bagian dari wilayah yang dahulu dinamakan Hindia Belanda. Cobalah apa yang dapat disaksikan di bagian-bagian itu. Di Sulawesi selatan pada akhir bulan Agustus 1945 muncul “Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi” yang sepenuhnya berdiri di belakang Republik Indonesia. Juga di sini muncul Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Buruh Indonesia dll. Oleh pemuda-pemuda dibentuk satu badan kelaskaran dengan nama LAPRIS, singkatan dari Lasjkar Pemuda Rakyat Indonesia Sulawesi. Di daerah Minahasa (Sulawesi utara) dengan Menado sebagai pusatnya muncul Barisan Nasional Indonesia (BNI) yang mempunyai pengaruh luas di daerah tersebut. Di Gorontalo (juga Sulawesi utara) muncul Gabungan Pergerakan Rakyat Indonesia, suatu federasi dari partai-partai politik yang terdapat di daerah tersebut. Di daerah Tomohon (juga Sulawesi utara) terdapat Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). Bahkan masih di daerah ini, yaitu kepulauan Sangir Talaut rakyat membangun Partai Rakyat (PR) yang berpusat di Taruna. Dan di Sulawesi tengah dengan berpusat di Poso lahir Gabungan Politik Indonesia Merdeka (Gapim).

Rakyat Kalimantan juga tidak tinggal diam. Demikianlah di Kalimantan Selatan oleh Dr. T.St. Diapari berhasil didirikan Serikat Rakyat Indonesia, lebih terkenal dengan nama singkatan SKI. Partai ini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan selatan dan pengaruhnya sangat mendalam. SKI mempunyai bagian wanita dan bagian pemuda. Yang pertama dengan nama Persatuan Pemudi Indonesia, yang kedua Persatuan Pemuda Indonesia. Dengan Persatuan Pemuda Indonesia dan Persatuan Pemudi Indonesia ini sebagai inti, lahirlah kemudian suatu organisasi  yang menggabungkan sebagian besar pemuda pemudi Kalimantan selatan dengan nama Gabungan pemuda Pemudi Kalimantan Selatan, disingkat Gappika. Gappika ini dalam tahun 1947 menggabungkan diri dalam BKPRI daerah Kalimantan selatan. Di kepulauan Sunda Kecil, pulau Bali,  mengambil kedudukan yang terpenting. Di sini semenjak kemerdekaan diproklamasikan kekuatan bersenjata rakyat cukup kuat. Dan ketika Belanda mulai mendarat dan berusaha menduduki pulau Bali, pertempuran-pertempuran bersenjata  yang berdarah berlangsung beberapa tahun lamanya. Di Bali juga lahir partai politik yang besar pengaruhnya, yaitu Partai Rakyat Indonesia (PRI). Di berbagai pulau Sunda Kecil ini juga terdapat gerakan-gerakan massa besar dan kecil. Di pulau Timor berdiri Persatuan Demokrasi Indonesia Timur.

Di daerah Maluku Selatan terdapat Partai Indonesia Merdeka (PIM) yang berpusat di Ambon. Di Maluku Utara dengan Ternate sebagai pusatnya terdapat Persatuan Indonesia Ternate.

Dilihat dari banyaknya partai-partai politik di luar Jawa, Madura dan Sumatra, bisa ditarik kesimpulan, bahwa rakyat Indonesia di seluruh wilayah Hindia Belanda dulu pada hahekatnya telah bangkit aktif ikut serta dalam revolusi. Meninggalkan daerah-daerah tersebut — sekalipun maksudnya hanya untuk sementara — hanya berarti meniadakan kekuatan-kekuatan rakyat yang luas untuk bersama-sama menghadapi imperialisme yang hendak menjajah kembali Indonesia. Pasukan-pasukan Belanda yang kemudian didaratkan  di daerah-daerah tersebut menimbulkan cukup banyak korban. Dr. Ratulangi, gubernur RI untuk Sulawesi kemudian ditangkap oleh Belanda, kemudian juga Dr. Pudja gubernur untuk Sunda Kecil. Dr. Ratulangi dibuang ke Sruni (Irian Barat) dan kemudian rakyat Sulawesi selatan mengalami terror dari kapten Westerling yang menimbulkan korban hingga 40.000 jiwa. Demikian juga halnya di banyak daerah  lainnya di luar Jawa, madura dan Sumatra. Tetapi semangat perlawanan rakyat tidak pernah dapat dipatahkan. Dan ini yang tidak diyakini oleh Sjahrir cs, kekeliruan yang menimbulkan bencana.

Di Jawa sendiri oposisi terhadap kabinet Sjahrir semakin sengit. Kelemahan-kelemahan pemerintah dalam menghadapi fihak Belanda di-exploitasi oleh golongan Tan Malaka yang mendirikan “Persatuan Perjuangan di Purwokerto pada awal Januari 1946. Pertemuan ini dilanjutkan dengan pertemuan dalam bulan itu juga  di Surakarta, di mana secara resmi “minimum programnya” yang tampaknya menarik, yaitu “berunding dengan fihak Belanda hanya atas dasar pengakuan kemerdekaan 100% dan pensitaan milik-milik modal monopoli asing tanpa ganti kerugian”. Golongan Tan Malaka mula-mula bisa menarik lebih kurang 130 partai dan organisasi-organisasi massa ke fihaknya. Tetapi ketika tak lama kemudian apa sebenarnya Tan Malaka mempelopori berdirinya Persatuan Perjuangan, organisasi ini mreteli dan akhirnya lenyap samasekali.

Memahami “Perstuan Perjuangan” tidak bisa dilakukan tanpa menguraikan apa yang dalam sejarah akan dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli”.

Pada tanggal 27 malam 28 Juni 1946 perdana menteri Sutan Sjahrir berserta beberapa orang menteri lainnya diculik oleh orang-orang Persatuan Perjuangan. Pada hari itu mereka sedang berada di Solo. Seperti diketahui, Surakarta adalah markas pusat Persatuan Perjuangan. Pasukan bersenjata yang diandalkan juga terdapat di situ, yaitu Barisan Banteng di bawah pimpinan Dr. Muwardi.

Sutan Sjahrir dan beberpa menterinya dilarikan ke Paras (sebelah barat Boyolali, di lereng gunung Merapi), dan “disimpan” di tempat peristirahatan tersebut.

Berita penculikan atas diri Sjahrir dan beberpa menteri kabinet menimbulkan kegegeran. Sebagai politik pendukung kabinet Sjahrir, Dewan Pimpinan Pusat Pesindo (ketika itu di Madiun) mengerahkan suatu pasukan besar dan bersenjata lengkap menuju ke Solo dengan persiapan terus menerobos  ke Yogyakarta untuk menyelamatkan pemerintah pusat. Kepada pasukan-pasukan yang melakukan penculikan, pimpinan Pesindno lewat siaran radio mengumumkan supaya Sjahrir cs yang diculik segera dibebaskan . Jika tidak, kota Solo akan diduduki. Ketika pada waktu yang  sudah ditentukan, belum ada kabar mengenai pembebasan Sjahrir cs., maka pasukan pesindo terus masuk Solo, markas Persatuan Perjuangan. Akhirnya Sutan Sjahrir diketemukan dan dibebaskan  dari tempat tahanannya di Paras. Melihat situasi yang mencurigakan pimpinan Pesindo segera menggerakkan pasukannya ke Yogya untuk membantu menjaga keamanan di ibukota RI.

Dan keadaan memang belum beres dengan dibebabaskannya Sutan Sjahrir dari tempat penahannya. Di Yogya sendiri ada gejala-gejala bahwa Tan Malaka dan kawan-kawannya akan melakukan suatu coup d’etat. Itulah sebabnya mengapa pada tanggal 2 malam 3 Juli di Yogya dilakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang Tan Malaka yang dicurigai.

Peristiwa ini belum berakhir di situ. Pada tanggal 3 Juli pagi-pagi hari golongan Persatuan Perjuangan melakukan penculikan terhadap Mr. Amir Sjarifuddin, ketika itu ia menteri pertahanan, di rumahnya. Dua orang pengawal Mr. Amir meninggal dalam tembak menembak yang terjadi. Akan tetapi Mr. Amir sendiri selamat, tidak berhasil diculik.

Sekalipun usaha penculikan terhadap diri Mr. Amir itu gagal, komandan divisi 3 mayor jenderal Sudarsono, disertai oleh Mr. Muh. Yamin menemui presiden Sukarno di Gedung Agung Yogya. Atas nama Tan Malaka cs. Mereka menuntut, supaya kabinet Sjahrir-Amir dibubarkan.

Pagi itu mereka berdua seperti ikan masuk dalam wuwu saja. Di halaman di sekitar Istana sudah berkumpul pasukan-pasukan yang menentang Tan Malaka cs. Major jenderal Sudarsono dan Mr. Muh. Yamin gagal mecapai tujuan. Mereka ditangkap dan terus ditahan.

Pada siang hari sebuah pesawat capung melayang-layang di atas kota Yogyakarta menyebarkan pamflet pemerintah yang menjelaskan tentang gagalnya usaha Tan Malaka merebut kekuasaan.

Rencana Tan Malaka cs. Pada hari itu adalah menggulingkan dahulu kabinet Sjahrir. Jika rencana tersebut berhasil, mereka akan terus meningkatkan ke penggulingan presiden Sukarno. Dengan demikian Sukarno sebagai presiden RI akan digantikan oleh Tan Malaka, seorang yang oleh golongannya diberi predikat “Bapak Republik”. 3) Kenyataannya pada waktu itu adalah Sudarsono dan Yamin masuk tahanan, dan Tan Malaka mengalami nasib yang sama.

Untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, penjaga keamanan istana presiden (Gedung Agung) di Yogya yang selama itu terdiri dari prajurit-prajurit TRIdari divisi 3, diganti dengan anggota-anggota pasukan Pesindo yang terdiri dari pemuda-pemuda Maluku di bawah pimpinan Ririhena. Untuk beberpa waktu lamanya peduduk kota Yogya melihat kendaraan-kendaraan  berlapis baja Laskar Pesindo melakukan perondaan di kota tersebut. Baru ketika keamanan betul-betul sudah pulih kembali, pasukan-pasukan Pesindo ditarik kembali ke Jawa timur untuk menduduki pos-pos yang semula di sekitar kota Surabaya.

Dengan digagalkannya coup d’etat Tan Malaka yang terkenal dengan nama “Peristiwa 3 Juli” itu Sutan Sjahrir merasa jalannya lapang kembali untuk mengadakan perundingan dengan Belanda.

Sementara itu fihak Belanda tidak menghentikan persiapan-persiapannya. Seperti sudah diterangkan di depan, ketika tentara Inggris diserahi mengambil oper rencana dari pasukan-pasukan tentara Amerika Serikat menduduki Indonesia, padanya tidak cukup kekuatan untuk melaksanakan tugas tersebut. Maka dari itu selian Jawa dan Sumatera, daerah-daerah lainnya diserahkan pada tentara Australia. Pada tanggal 14 Juli 1946 Sekutu menganggap tugasnya di bagian dari Indonesia tersebut telah selesai. Maka dari itu pada tanggal tersebut  di atas pertanggungan jawab diserahkan pada kekuasaan Hindia Belanda. Penggeseran pertanggungan jawab tersebut alasannya tidak lain dan tidak bukan karena fihak Sekutu menganggap Belanda sudah cukup kuat untuk menegakkan kembali kekuasaannya.

Dengan mendapatkan kekuasaan itu fihak Belanda  segera bertindak secara sefihak, yaitu merealisasi sendiri keterangan 10 Februari-nya. Atas dasar keterangan 10 Februari Belanda (1946), van Mook mengadakan konferensi Malino, suatu tempat di dekat Makasar. Konferensi berlangsung dari tanggal 16 hingga 25 Juli 1946. Yang diundang van Mook adalah wakil-wakil dari berbagai daerah yang tidak langsung diduduki oleh tentara Inggris, yaitu Riau, Bangka, Beliton, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan kepulauan Sunda Kecil. Daerah inilah yang kemudian dikenal sebagai “Daerah Malino”. Penduduk seluruh dari daerah ini kurang dari 15 juta jiwa (penduduk Indonesia ketika itu sekitar 70 juta. Pen.). Sekalipun konferensi Malino berhasil diadakan dan van Mook sendiri mempropagandakannya setinggi langit sebagai suatu konferensi yang “demokratis”, tetapi setiap orang yang jujur bisa melihat, bahwa yang diundang hanya orang-orang   yang  telah  membuktikan kesetiaan politik mereka pada kekuasaan Hindia Belanda

dahulu, atau orang-orang yang sama sekali tidak mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang mereka “wakili”. Bahkan di antara mereka banyak orang-orang  yang terkenal sebagai penindas-penindas rakyat. Di samping itu patriot-patriot yang sesungguhnya telah lama dimasukkan dalam tahanan. Tentang apa yang dinamakan “demokratis” dapat diukur dalam kenyataan berikut. Di Sulawesi selatan penduduk Tionghwa lima kali lipat penduduk Belanda. Tapi dalam konferensi tersebut golongan ini diwakili oleh 2 orang, sedangkan penduduk Belanda 5 orang.

Tidak bisa disangkal bahwa konferensi tersebut adalah sandiwara  kolonial yang gagal, seperti dibuktikan oleh perkembangan sejarah seterusnya. Salah satu putusan adalah — menyetujui adanya “Negara Indonesia Serikat” yang terdiri dari empat negara, yaitu “negara Jawa”, “negara Sumatra”, “negara Kalimantan”, dan “negara Timur Besar” (“Grote Oost”) yang masing-masing juga masih dibagi lagi dalam daerah-daerah otonomi.

Langkah van Mook berikutnya adalah mengadakan apa yang dinamakan konferensi Pangkal Pinang antara 1-12 Oktober 1946. Konferensi ini diadakan untuk “golongan-golongan minoritas” dan dimaksudkan sebagai kelanjutan dari “Konferensi Malino”. Para utusan dari “golongan-golongan minoritas” ini tidak hanya datang dari “daerah Malino” , melainkan juga dari daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Inggris. Sekalipun van Mook mengatakan bahwa “Konferensi Pangkal Pinang” berhasil, pada kenyataannya tujuan yang hendak dicapainya ternyata tidak bisa terlaksana. Utusan-utusan dari golongan-golongan Tionghwa dan Arab (utusan semuanya 90 orang) menyatakan, bahwa mereka tidak akan ikut memutuskan soal-soal yang menyangkut kenegaraan. Pada umumnya mereka berpendirian netral dalam sengketa antara fihak Belanda dan fihak Republik Indonesia. Mereka tidak mau diseret-seret dalam arus pertentangan tersebut.

Kembali pada masalah perundingan antara RI dan Belanda dapat dikemukakan, bahwa Sir Clark Kerr pada pertengahan tahun 1946 ditarik oleh Inggris dan sebagai gantinya  diangkat Lord Killern. Jika Sir Clark Kerr bekas duta besar Inggris di Moskou, Lord Killern juga adalah seorang diplomat kawakan yang antara tahun 1926-1933 pernah menjadi duta besar di Tiongkok (ketika itu masih bernama Miles Lampson). Di bawah pimpinan Lord Killern ini pada tanggal 7 Oktober di Jakarta dilanjutkan Hoge Veluwe yang gagal. Bagian terakhir dari perundingan dilangsungkan di daerah Republik, yaitu di tempat peristirahatan Linggarjati (di sebelah selatan kota Cirebon, di lereng timur gunung Ceremai). Perundingan tersebut melahirkan apa yang dikenal sebagai naskah Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani di gedung Penggangsaan Timur 56 Jakarta pada tanggal 15 November 1946.

Naskah perjanjian Linggarjati menimbulkan kekeruhan yang serius di kalangan rakyat Indonesia. Cobalah diperiksa serba singkat isi pokok naskah Perjanjian Linggarjati. Yang terpenting dari Perjanjian ini adalah fasal-fasal 1,2,3,6,8 dan 12. Fasal 1 menjelaskan bahwa “de Nederlandse Regering erkent de Regering van de Repblik Indonesia als de facto uitoefenende het gezag over Java, Madoera en Soematra. De door de geallieerde of Nederlandse troepen bezette gebieden zullen gelijdelijk, door wederzijde samenwerking, in het republikeinse gebied worden ingevoerd. Hiertoe zal aanstonds een aanvang worden gemaakt met de nodige maatregelen, zodat uitterlijk op het tijdstip in artikel 12 genoemd, de invoeging zal zijn voltooid.” Waktu yang disebut fasal 12 itu adalah 1 Januari 1949. Menurut fasal 2, pemerintah Republik dan pemerintah Belanda berjanji untuk bekerja sama dalam pembentukan selekas mungkin suatu negara yang berdasar federasi yang berdaulat, yang dinamakan Verenigde Staten van Indonesië. Fasal 3 menyebutkan, bahwa wilayah RIS akan meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda dahulu, dengan pengertian, bahwa jika penduduk sesuatu daerah bagian belum bersedia menggabungkan diri di dalamnya, untuk daerah bagian tersebut diadakan hubungan-hubungan khusus dengan kerajaan Belanda. Dalam fasal 6 disebutkan akan dibentuknya “Een Nedelands Indische Unie, waardoor het Koningrijk der Nederlanden omvattende Nederland, Nederlands Indië, Suriname en Curaçao, wordt omgezet in genoemde Unie, bestaande uit enerzijde Het Koningrijk der Nederlanden, omvattende Nederland, Suriname en Curaçao, en anderzijds de Verenigde Staten van Indonesië.” Fasal 8 menyebutkan bahwa Koning (Koningin) Belanda adalah kepala daripada Uni Indonesia-Belanda.

Adalah di luar tulisan ini untuk membahas secara panjang lebar naskah Perjanjian Linggarjati. Yang perlu dikemukakan di sini yalah bahwa salah satu akibat dari perjanjian ini adalah timbulnya polemik yang tidak ada henti-hentinya dalam suratkabar-suratkabar, “perang poster” dls. antara yang pro dan yang kontra di dalam negeri. Yang mendukung Perjanjian Linggarjati adalah Partai Sosialis, Partai Buruh, PKI (yang telah beberapa waktu muncul secara legal dan dalam bulan Januari 1947 melangsungkan Kongresnya di Solo, tetapi kantor pusatnya berada di Yogya), SOBSI dan Pesindo. Mereka ini tergabung dalam “Sayap Kiri”. Di samping itu masih ada pendukung-pendukung lainnya, misalnya partai-Partai Kristen dan Katholik.Yang menentang menggabungkan diri dalam “Benteng Republik” yang pro Tan Malaka. Di dalamnya termasuk antara lain PNI, Masyumi, Barisan Banteng.

Oleh “Sayap Kiri” antaranya dikeluarkan slogan seperti “Linggarjati merobah bambu runcing menjadi stengun”, “Linggarjati : adempauze” dan banyak lagi yang senada dengan itu. Sebaliknya slogan yang tidak setuju naskah Perjanjian Linggarjati membuat karikatur yang antara lain melukiskan presiden Sukarno di bawah rok ratu Juliana. Pertikaian ini berlarut-larut dan sangat merugikan kekuatan nasional yang sangat diperlukan dan menghadapi musuh-musuh revolusi.

Naskah Perjanjaian Linggarjati dibawa ke sidang pleno ke-V KNIP di Malang yang dibuka pada 27 Februari 1947. Untuk memenangkan politik pemerintah presiden Sukarno pada 29 Desember ’46 terpaksa mengeluarkan dekrit (Dekrit no. 6) untuk menambah jumlah anggota KNIP dari 200 menjadi 514. Dengan dekrit tersebut jumlah pendukung kabinet Sjahrir menjadi mayoritas sehingga naskah Perjanjian Linggarjati bisa “diselematkan”. Dan memang demikian kenyataannya. Sidang pada tanggal 5 Maret memberikan kepercayaan kepada kabinet Sjahrir, dan dengan demikian menerima naskah Perjanjian Linggarjati.

Perjanjian Linggarjati dengan demikian sah dan karena fihak Belanda juga siap pula, maka tinggal penanda tanganan  yang harus dilakukan. Penandatangan ini upacaranya dilakukan  pada tanggal 25 Maret 1947 di istana Rijswijk Jakarta. Delegasi dari kedua belah pihak lengkap hadir pada upacara tersebut.

Penandatangan ini tidak berarti beresnya persoalan. Sebaliknya kesulitan-kesulitan semakin bertumpuk-tumpuk. Fihak Belanda mempunyai interpretasinya sendiri mengenai fasal 2 Perjanjian Linggarjati. Demikian juga fihak Indonesia. Sebagai satu contoh saja mengenai fasal 12. Pada tanggal 27 Mei kuasa pemerintah Belanda Indonesia yang terdiri dari 3 orang dan diberi nama Komisi General menjampaikan pendapat yang bersifat ultimatum pada fihak Indonesia mengenai pengertian mereka tentang fasal 12 itu. Dijelaskan dalam ultimatum mereka, bahwa sampai hari ini yang ditentukan dalam fasal 12 (1 Januari 149), yang ada adalah suverenitet Belanda secara de jure. Dengan demikian — demikian interpretasi Belanda — sampai hari itu Indonesia harus diperintah oleh suatu pemerintah sementara yang dikepalai oleh wakil mahkota Belanda yang mempunyai kekuasaan menentukan. Di samping itu fihak Belanda mengajukan, agar selama masa peralihan tersebut dibentuk suatu gerdarmeri bersama untuk menjaga keamanan seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah yang langsung dikuasai oleh Republik.

Dalam saat-saat mempersiapkan Perundingan Linggarjati, pada saat-saat Perundingan Linggarjati dan pada saat-saat tukar menukar interpretasi mengenai Perjanjian Linggarjati itu sendiri, fihak Belanda tidak berhenti dalam mengatur persiapan-persiapan politik dan militer untuk pada akhirnya mencekik leher Republik Indonesia.

Di dalam bidang politik, sebagai follow-up dari konferensi Malino dan konferensi Pangkalpinang fihak Belanda mengadakan konferensi Denpasar. Konferensi ini dilangsungkan pada bulan Desember 1946. Tema pokoknya adalah mempersiapkan pembentukan “negara Grote Oost” (“Timur Besar”) dan “negara Borneo”. Sesuai dengan apa yang diinginkan Belanda, maka konferensi Den Pasar melahirkan apa yang dalam sejarah dikenal sebagai “Negara Indonesia Timur”, disingkat “NIT”. Ibu kotanya Makasar (sekarang Ujung Pandang), presidennya Sukawati. “Kabinet formator”-nya Nadjamuddin Daeng Malewa. Ketua “parlemen”-nya Mr. Tadjuddin Noor.

Negara macam apa NIT tersebut dapat dilihat dari upacara “kabinet”-nya yang pertama oleh “presiden” Sukawati. Peresmian ini dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 13 Januari 1947. Gedung yang dipakai adalah bekas gedung Raad van Indië (Pejambon). Suasana upacara tidak beda dari upacara-upacara dalam jaman pendudukan Jepang. Bedanya hanya dalam bahasa yang dipakai, bahasa Belanda. Sukawati membuka acara dengan Bahasa Belanda. “Perdana menteri” Nadjuddin Daeng  Malewa menyambut pidato bahasa Belanda itu juga dengan pidato dalam bahasa Belanda.Dan lebih semarak lagi, di belakang tempat duduk van Mook terpampang gambar ratu Wilhelmina. Untuk menghindarkan kritik, Nadjamuddin menyatakan bahwa disebabkan di “NIT” tidak terdapat partai-partai politik, maka “kabinet” yang dibentuknya bersifat “kabinet konstruksi”. Pada akhir pidatonya Nadjamuddin Daeng Malewa mengajak hadirin untuk bersama-sama meneriakkan tiga kali “Hidup Sri Ratu” dan “Hidup van Mook. 4) Yang merupakan wilayah “NIT” adalah daerah-daerah di sebelah timur Sulawesi dan Bali.

Sesudah “NIT” dapat dibentuk, oleh van Mook diusahan berdirinya  “negara Borneo”. Tetapi usaha ini tidak berhasil disebabkan perlawanan dari rakyat Kalimantan tetap teguh berdiri di belakang RI.

Untuk sementara fihak Belanda berhenti di situ, sebab persiapan-persiapan militer sudah dipandang  cukup untuk melakukan pukulan yang memataikan bagi Republik Indonesia.

Di bidang militer, Juli 1946, provokasi-provokasi bersenjata yang dilakukan oleh Belanda tidak ada henti-hentinya. Dalam bulan Juli 1946 pelabuhan banyuwangi yang digunakan RI untuk mengirim beras ke India, ditembaki oleh kapal-kapal perang Belanda  dan dibom dari udara sehingga menimbulkan banyak korban. (Dalam bulan Juli itu RI mengadakan perjanjian untuk mengirim 700.000 ton beras ke India untuk ditukar dengan barang-barang konsumen). Dalam bulan itu juga kapal RI (“Kangean”) dibom oleh sebuah pesawat terbang Belanda sehingga tenggelam di selat Madura.

Pada akhir tahun 1946 tentara Belanda melakukan gerakan terror secara besar-besaran di kota Bogor. Karena gerakan inilah  menyebabkan beberapa jiwa melayang; termasuk pejabat-pejabat tinggi pemerintah RI di kota tersebut.   Karena itu pemerintah RI lumpuh. Pada awal Januari 1947 fihak Belanda melakukan pengeboman terhadap kota palembang. Tindakan ini menimbulkan korban beberapa ribu jiwa, meninggal, hilang atau luka-luka. Banyak gedung milik pemerintah dan penduduk hancur. Antara tanggal 24 – 26 Januari tentara Belanda menduduki Krian dan Sidoardjo. Gerakan tersebut dilanjutkan dengan gerakan menduduki Mojokerto pada tanggal 26 Maret, sehari sesudah perjanjian Linggarjati ditandatangai secara resmi. Tindakan Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pada Oktober 1946 tentara yang dikumpulkan sudah berjumlah lebih kurang  47.000.  Jumlah  itu sudah hampir sama

Dengan jumlah tentara KNIL menjelang pecahnya perang Pasifik. Tetapi pengiriman-pengiriman tentara baru tidak ada henti-hentinya. Jenderal Spoor diangkat menjadi komandan tentara. Spoor adalah seorang bekas opsir KNIL dari jaman sebelum pendudukan Jepang, kolonial dan reaksioner sampai tulangsungsumnya, congkak dan gila hormat.Dalam benaknya hanya ada satu nafsu, memainkan peranan seperti jenderal van Heutsz untuk menaklukkan seluruh Indonesia. 5)

Sementara itu Sutan Sjahrir melihat persiapan-persiapan perang fihak Belanda tidak segera bersiap-siap memobilisasi kekuatan rakyat Indonesia, tetapi sebaliknya, memberikan konsesi baru. Tanpa mengadakan konsultasi dengan pimpinan Partai Sosialis dan Sayap Kiri ia menyampaikan jawaban kepada Belanda, sanggup menerima tuntutan mengenai pembentukan pemerintahan ad interim untuk seluruh Indonesia, di mana wakil mahkota Belanda adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Ini adalah sikap bulat-bulat menyerah kepada Belanda dan berarti melikwidasi republik Indonesia yang didirikan dengan keringat dan darah rakyat Indonesia.

Pada tanggal 26 Juni Sjahrir di Yogya diminta pertanggunganjawab mengenai tindakan yang terkahir itu di depan suatu sidang Sayap Kiri. Dalam sidang ini politik likwidasionis Sutan Sjahrir didesavoyir. Esok paginya, pada tanggal 27 Juni 1947 Sjahrir menemui presiden Sukarno dan menyerahkan kembali mandatnya. Kabinet Sjahrir berhenti bekerja.

Presiden Sukarno menerima pengunduran diri Sjahrir. Pada tanggal 3 Juli berikutnya lahirlah sebuah kabinet baru yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin. Di samping menjadi perdana menteri Amir juga merangkap portfolio pertahanan. Kabinet ini adalah kabinet ke-5 RI.

Dapat dicatat di sini, bahwa sehari sesudah jatuhnya kabinet Sjahrir, Amerika Serikat mulai muncul di atas panggung percaturan politik di Indonesia secara langsung. Pada tanggal 28 Juni pemerintah Amerika Serikat menyampaikan suatu aide-memoire kepada pemerintah RI. Dalam aide-memoire itu dijelaskan pendirian Amerika Serikat terhadap sengketa antara Belanda dan Indonesia, yaitu agar pemerintah RI menerima tuntutan fihak Belanda, supaya segera bersama-sama mendirikan pemerintah sementara (sampai 1 Januari 1949), di mana Belanda mempunyai kekuasaan de jure atas seluruh wilayah Indonesia seperti yang dinyatakan oleh Sjahrir pada fihak Belanda pada tanggal 20 Juni yang lalu. Dalam aide-memoire tersebut digambarkan kemungkinan bantuan materiil Amerika Serikat kepada kekuasaan yang akan dibentuk itu. Aide-memoire ini sepenuhnya menunjukkan satunya kepentingan imperialisme Belanda dengan imperialisme Amerika Serikat dalam mempertahankan kolonialisme di Indonesia.

Sekalipun Sutan Sjahrir sudah memberikan konsesi yang banyak dan tidak bisa diterima oleh rakyat Indonesia, fihak Belanda masih saja belum puas hati. Sesudah kabinet Sjahrir jatuh dan kabinet Amir Sjarifuddin lahir Belanda masih terus mendesak, supaya di samping konsesi-konsesi yang telah diberikan itu fihak Indonesia memberikan satu konsesi lagi, yaitu gendarmeri bersama, yang juga berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. Hal ini tidak dapat diterima oleh kabinet Amir, karena menerima gendarmeri bersama hanya berarti menyerah bulat-bulat kepada fihak Belanda.

Pada tanggal 20 Juni malam tepat pada jam 24.00, tentara Belanda mulai bergerak menyerbu daerah Republik. Perang kolonial pertama telah dimulai.

Dalam perang kolonial pertama ini Belanda menggerakkan seluruh kekuatannya di darat, laut dan udara untuk lebih banyak lagi menduduki wilayah Republik. Di Jawa barat, dari pusat kedudukannya  di  Bandung, pasukan-pasukan   Belanda   menusuk  ke  timur  ke  arah  Garut-

Tasikmalaya dan ke arah kota Cirebon. Di Jawa tengah pasukan-pasukan  Belanda bergerak  dari pusat kedudukannya di Semarang ke arah timur (Demak) dan selatan (Salatiga). Di Jawa timur mereka bergerak dari Surabaya ke selatan dan kemudian ke timur, juga ke barat. (Mereka sebelumnya sudah menduduki Sidoardjo di selatan dan Modjokerto di barat). Di Sumatra pasukan-pasukan Belanda mulai menduduki daerah-daerah di sekitar Medan, Padang dan Palembang.

Pada tanggal 29 Juli fihak Belanda mengumumkan apa yang mereka sebut “garis van Mook”. Dinyatakan bahwa dalam daerah-daerah yang dilingkari oleh garis tersebut hukum RI tidak berlaku. Di Jawa barat dan Jawa tengah garis tersebut ditarik dari suatu titik lebih kurang 30km barat daya dari Jakarta  ke Teluk Pelabuhan Ratu dan dari Pekalongan ke Kebumen. Di Jawa tengah “garis van Mook” melingkupi daerah-daerah kabupaten Semarang (termasuk di sini Ambarawa dan Salatiga) dan kabupaten Demak. Di Jawa timur garis tersebut melingkupi daerah antara selat Bali di bagian timur dan garis Malang-Jombang-Gresik di bagian barat, sedangkan di pulau Madura menjelujur sepanjang pantai barat dan pantai selatannya. Di Sumatra utara “garis van Mook” melingkupi satu daerah dengan straal (jari-jari) 150km di sekitar kota Medan, di Sumatra tengah melingkupi dataran padang dan di Sumatra selatan daerah dengan straal (jari-jari) kurang lebih 75 km di sekitar kota Palembang.

Jika “garis van Mook” merupakan kenyataan hidup, maka habislah riwayat Republik Indonesia seperti yang diidam-idamkan kaum kolonialis Belanda. Apa sebab? Pertama-tama, RI kehilangan pelabuhan-pelabuhannya yang terakhir, sehingga sisa-sisa terakhir hubungannya dengan dunia luar tertutup samasekali. Ini berarti juga RI  tidak akan bisa lagi mengekspor produksinya ke luar negeri dan mengimpor bahan sandang pangan dan alat-alat keperluan perang. Kedua, RI kehilangan daerah-daerah yang merupakan gudang beras, sedangkan yang tinggal adalah daerah-daerah minus yang senantiasa diancam oleh bahaya kelaparan.

Tetapi kenyataan tidak demikian. Suatu serangan belum tentu berarti sekaligus pendudukan (okupasi). Ketika melancarkan perang kolonial yang pertama, fihak Belanda dengan menggunakan pasukan-pasukan yang dimekasasi dan dibantu oleh pasukan udara dapat dengan pesat menusuk jauh ke daerah RI. Berlawanan dengan dugaan pimpinan tentara Belanda, pasukan-pasukan bersenjata rakyat tidak mengadakan pertahanan posisionil, melainkan hanya di sana-sini mengadakan penghadangan-penghadangan. Taktik yang digunakan adalah lebih banyak menghindari perang posisionil  dan menyisih ketika kolone-kolone  Belanda melewati jalan raya. Kemudian pasukan-pasukan rakyat berhimpun kembali membentuk basis atau markas di sekitar tempat-tempat yang diduduki pasukan-pasukan Belanda. Di samping itu di banyak tempat yang dilalui Belanda dilakukan politik bumihangus.

Dalam keadaan semacam itu di samping gagal menghancurkan kekuatan-kekuatan bersenjata rakyat, tentara Belanda di mana-mana hanya menemukan puingpuing bangunan yang masih mengepulkan asap. Tidak dapat dibantah bahwa tentara Belanda hanya menguasai kota, dan itupun hanya di waktu siang. Adalah tepat pendapat umum pada waktu itu yang mengatakan bahwa “di waktu siang Belanda yang ada, tetapi di waktu malam RI yang berkuasa’. Juga adalah suatu kenyataan, bahwa jalan-jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lainnya yang diduduki oleh Belanda sering dipatroli oleh tentara-tentara mereka. Tapi daerah-daerah pedesaan yang luas yang terbentang di sepanjang jalan-jalan tersebut masih dikuasai sepenuhnya oleh Rapublik Indonesia. Kekuasaan Belanda untuk secara riil menguasai daerah yang sedemikian luas harus mempunyai tentara yang lebih banyak lagi jumlahnya. Dan ini tidak mungkin, kecuali apabila Belanda berani mengambil resiko bangkrutnya sama sekali negeri mereka  sendiri. Karena situasi semacam itulah maka sebagian besar panenan di daerah –daerah yang oleh Belanda dinyatakan sebagai berada dalam lingkaran “garis van Mook” masih tetap dikuasai oleh Republik. Dengan demikian rakyat yang tinggal di daerah-daerah  minus masih terus dibantu oleh rakyat-rakyat yang tinggal di daerah-daerah surplus, sehingga ketahanan menghadapi Belanda masih tetap besar.

Tindakan Belanda melakukan perang kolonial di Indonesia dikutuk oleh rakyat yang cinta damai di seluruh dunia. Dewan Keamanan PBB mengambil sikap pada tanggal 1 Agustus diputuskan, agar perang segera dihentikan, agar sengketa diselesaikan dengan cara damai  dan agar Dewan Keamanan PBB senantiasa diberi laporan tentang jalannya penyelesaian tersebut.

Sebagai pelaksanaan pertama resolusi PBB itu baik fihak Indonesia maupun fihak Belanda memerintahkan pada semua angkatan bersenjata masing-masing untuk menghentikan tembak menembak pada tanggal 4 malam 5 Agustus 1947. Untuk mengatur perundingan antara kedua fihak oleh Dewan keamanan PBB dibentuk sebuah badan yang kemudian terkenal dengan nama Komisi Jasa-jasa Baik” (Committee for Goed Offices”). Komposisi badan ini penting untuk diperhatiakn. Mengenai penyususnnya diputuskan oleh Dewan Keamanan,  Indonesia diberi hak memilih suatu negeri sebagai wakilnya, demikian juga Belanda. Kemudian dua wakil tersebut memilih negeri yang ketiga. Berdasar putusan tersebut Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia dan akhirnya kedua-duanya memilih Amerika Serikat. Dengan demikian negeri yang terakhir berhasil ikut campur secara langsung dalam percaturan politik di Indonesia.

Sekalipun  sejak 4 Agustus malam  resminya tembak menembak dihentikan, tetapi dalam prakteknya pertempuran di berbagai sektor tidak ada henti-hentinya. Dan “Komite Jasa-jasa Baik” baru bisa secara resmi bersidang pada 8 Desember 1947  di atas kapal AS “Renville” di Teluk Jakarta. Hasil-hasil dari perundingan “Renville” ditandatangani secara resmi pada tanggal 17 Januari 1948. “Perjanjian Renville” terdiri dari 12 fasal-fasal pokok (4 dari padanya diambil oper dari “Perjanjian Linggarjati”) dan 6 fasal tambahan.

Untuk mendalami fasal demi fasal dari perjanjian Renville, tidak akan diuraikan dalam tulisan ini. Tetapi yang perlu dikemukakan di sini adalah, bahwa dalam “Perjanjian renville” apa yang di depan sudah dikemukakan, yaitu “garis van Mook” telah diakui secara resmi. Ini mengakibatkan daerah RI semakin menyusut. Sementara itu fihak Belanda terus menerus mendirikan “negara-negara” baru seperti “negara Sumatra timur” (16 Februari 1948), “negara Pasundan” (26 Februari 1948), “negara Sumatra selatan” (30 Agustus 1948) dan lain-lainnya. Dengan demikian Blanda melanjutkan politik yang pernah dilakukannya selama jaman kolonial, yaitu politik devide et impera.

Telah disinggung di depan bahwa pada tanggal 3 Juli 1947 telah terbentuk kabinet Amir. Mula-mula dalam kabinet ini tidak terdapat wakil-wakil dari Masyumi. Kedudukan partai ini dalam kabinet Amir diganti oleh wakil-wakil dari PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Kemudian pada November 1947 Masyumi yang semula memboikot kabinet Amir menyatakan kesanggupan untuk bekerja sama dengan Amir dan kawan-kawannya dan karena itu diberi 4 kursi. Ketika “Perjanjian Renville” ditandatangani, menteri-menteri dari PNI dan Masyumi mengundurkan diri. Dalam situasi yang demikian, Amir Sjarifuddin tidak segera mengadakan herorientasi, memperkokoh kedudukannya dan berusaha mengadakan reshuffle dan memperkuat kedudukan kabinet yang dipimpinnya. Atas keputusan Sayap Kiri, hanya karena didemonstrasi oleh beberapa ratus anggota Masyumi dari kauman (Yogya), Mr. Amir Sjarifuddin menyerahkan kembali mandatnya. Blunder ini terjadi pada  tanggal 23 Januari 1948.

Presiden Sukarno segera menunjuk Mohammad Hatta untuk menyusun kabinet baru. Kabinet Hatta yang berintikan Masyumi lahir pada tanggal 29 bulan itu juga. Dalam kedudukannya yang baru itu, yaitu di samping wakil presiden juga perdana menteri, Hatta lebih mudah melaksanakan garis politiknya yang dituangkan dalam manifes 1 November 1945.

Menyadari bahwa  pelaksanaan garis politiknya tidak boleh tidak akan ditentang mati-matian oleh PKI dan barisan kiri yang dipimpinnya, Hatta dengan bantuan kekuatan-kekuatan reaksioner luar negeri dan  bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan tersebut mempersiapkan suatu rencana untuk memukul hancur sayap kiri dari kekuatan revolusi Indonesia.

Bagaimana Hatta mengakhiri revolusi Indonesia dan menjadikan Indonesia suatu neo-koloni akan dikemukakan dalam bab berikutnya.

—–ooooo0ooooo—–

catatan

1. “Teh War Against Japan”, hlm. 332-333

2. “Het Ind. Probleem”, hlm. 68-72

3. Ada baiknya dalam hal ini juga dibaca Kahin hlm. 188-192 dan Dr. G.W.Overdijkink, hlm. 24-26.

4. Harian” Merdeka” 14-1-1947.

5. “Verantwoording”, hlm. 264

Leave a comment