#12 Kehidupan Politik Pada Awal Revolusi

Tidak mudah untuk mengemukakan keadaan ada apa yang terjadi pada awal revolusi Agustus 1945. Ini mudah-mudahan bisa difahami, karena keadaan pada periode itu memang semrawut. Dan ini disebabkan terutama karena tidak tegasnya pimpinan politik ketika itu.

Marilah kita tinjau bersama fakta-faktanya.

Pada 30 Oktober Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) mengambil putusan menghapuskan fikiran sistim satu partai dan menggantikannya dengan sistim banyak partai. Ini satu koreksi terhadap salah satu putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 18 Agustus yang menganjurkan sistim satu partai tersebut.

Putusan BP KNIP itu disetujui oleh wakil presiden (yang juga mengatasnamai presiden) dan diumumkan pada 3 November.  Alasan untuk membentuk banyak partai yalah terutama karena pada bulan Januari 1946 akan dilangsungkan pemilihan umum. Maka sejak 3 November muncullah berbagai partai politik seperti munculnya cendawan di musim hujan.

Tetapi yang menarik perhatian adalah kenyataan, bahwa pada tanggal 1 November sudah tersiar Maklumat No.I dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didirikan kembali dan berpusat di Cirebon. Pimpinan pertamanya adalah Mohammad Jusuf. Seperti sudah dikemukakan di depan, Moh. Jusuf adalah seorang mahasiswa Indonesia di Belanda yang pernah dipilih menjadi komisaris Perhimpunan Indonesia ketika Hatta menjadi ketuanya. Mengenai PKI dan Moh. Jusuf akan diulas lebih lanjut di belakang nanti.

Pada awal November lahir Partai Sosialis Indonesia di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin, disusul oleh munculnya Partai Rakyat Sosialis (PARAS) dari Sutan Sjahrir.

Dalam suatu kongres di Cirebon antara 16-17 Desember kedua partai tersebut berfusi menjadi Partai Sosialis. Ketika itu beberapa kader PKI ilegal sudah ada yang mulai bertanya-tanya apakah dengan menggalang fusi itu tokoh-tokoh PKI illegal tidak mengaburkan garis pemisah antara Marxisme-Leninisme dengan partai sosial democrat tipe internasonale ke-II.

Seperti sudah kita ketahui Amirsjarifuddin adalah seorang tokoh komunis sejak 1935 ketika Muso kembali ke tanah air dan selama itu tahun mendidik kader dalam rangka membangun kembali PKI. Bisa diharap seorang tokoh komunis jika keadaan memungkinkan (dan pada awal revolusi Agustus memang dimungkinkan) membangun kembali partainya dan bukan partai lain yang bukan partainya.

Amirsjarifuddin dan beberapa tokoh PKI lainnya rupanya ketika itu beranggapan, bahwa tidak bijaksana untuk menonjolkan nama PKI dengan alasan bahwa nama PKI ditakuti oleh rakyat. Untuk menghilangkan rasa takut itulah dianggap perlu untuk lebih dahulu membangun partai yang berdasarkan Marxisme tapi tanpa menggunakan nama PKI. Salah satu tugas penting partai semacam itu adalah mendidik anggota-anggotanya untuk memiliki syarat untuk menjadi anggota PKI. Pada awal revolusi orang menyebutnya “partai jembatan” atau “partai peralihan”. Partai Sosialis merupakan partai semacam itu.

Tidak berbeda adalah peranan dari Partai Buruh Indonesia yang didirikan 7 November 1945. Partai ini diketuai oleh Setiadjit yang namanya akan sering disebut di belakang nanti.

Sementara itu di samping mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, kaum komunis dari tempat pembuangan Digul (yang kemudian diangkut ke Australia) pada awal tahun 1946 mulai berdatangan. Sardjono, ketua PKI pilihan 1924 pada bulan Maret tiba di Jakarta dan terus menuju Yogyakarta. Dari Moskou datang Alimim yang seperti sudah kita ketahui mininggalkan Indonesia pada tahun 1925.Dalam suatu wawancara Alimin menerangkan sejak meninggalkan Indonesia pada tahun 1925 ia sampai tahun 1943 tinggal di Moskou. Untuk pekerjaan –pekerjaan praktis ia pernah ke Inggris dan Jerman. Pada tahun 1943 ia beranagkat ke Yenan, ketika itu pusat kedudukan Partai Komunis Tiongkok. Ia tinggal di sana sampai tahun 1946. Pada tahun itu ia melanjutkan perjalanan pulang ke tanah air. 1)

Pada tanggal 29 April 1946 PKI dimunculkan kembali secara terbuka. Ketuanya masih tetap Sardjono. Kantor pusatnya terletak di Bintaran, Yogyakarta.

Dengan didirikannya PKI ini, maka di wilayah RI terdapat 3 partai Marxis yang bekerja terbuka, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia dan PKI.

Dengan disebarnya anggota-anggota dan tokoh-tokoh PKI dalam ketiga partai tersebut semakin terasa perlunya ada suatu badan yang mengkoordinasi dan memimpin pekerjaan yang begitu luas.

Hampir bersamaan dengan munculnya kembali PKI secara terbuka PKI illegal yang masih terpisah-pisah dan saling bertentangan berhasil dipersatukan di bawah pimpinan Comite Central PKI illegal. Dalam CC PKI illegal duduk Amir Sjarifuddin, Tan Ling Dji, Sudisman, Sutrisno, A,Tjokronegoro, Wikana, Sukiman, Setiadjit, Maruto Darusman, Jusuf Muda Dalam dan Gondo Pratomo. 2)

Dengan adanya 3 partai yang berdasarkan Marxisme itu yang dari belakang dipimpin oleh PKI illegal seluruh kekuatan kiri dari revolusi dari sendirinya juga terpecah belah. Massa luas tidak bisa mengetahui lagi mana dan siapa pemimpin yang sejati.

Akhirnya Partai Sosialis yang menonjol ke depan dan memegang tampuk pimpinan revolusi. PKI dan PBI pada hakekatnya hanya menjadi embel-embel belaka. Garis politik yang berlaku hakekatnya juga apa yang dipaparkan Syahrir dalam brosurnya Perjuangan Kita dan Manifes Satu November Hatta. Dan ini berarti menjadikan diplomasi sebagai titik berat dan perjuangan bersenjata sebagai cadangan.

Karena hanya mengikuti politik oportunis Partai Sosialis dalam tubuh PKI timbul berbagai kesulitan yang sukar diatasi secara tepat.

Baiklah kita kembali sedikit ke belakang. Sebagai akibat terpukulnya pimpinan pusat PKI illegal oleh Jepang, PKI illegal terpecah-pecah. Di Jawa timur terdapat kelompok dengan pimpinannya sendiri, demikian juga di Jawa tengah dan Jawa barat. Keadaan ini berlaku terus sampai diproklamasikan RI.

Pada waktu itu kaum komunis yang diperjarakan oleh Jepang di berbagai tempat dibebaskan dan pulang ke daerahnya masing-masing. Pada awal 1946 mereka berkumpul di Trawas (suatu tempat peristirahatan di sebelah selatan Mojokerto, Jatim).Mulai saat itu dimulai usaha untuk menertibkan barisan. Dalam konferensi Trawas diletakkan dasar pembentukan CC PKI illegal yang sudah disebut di depan.

Seperti sudah dikemukakan, pada 1 November 1945, Moh. Jusuf mendirikan kembali PKI di Cirebon. Lahirnya PKI pada waktu yang tepat ini mendapat sambutan cukup besar. Di Jawa timur misalnya Njoto, yang kemudian menjadi orang ketiga dalam pimpinan PKI periode 1951-1965 menggabungkan diri ke dalamnya.

Moh.Jusuf sesudah menamatkan pelajarannya di Leiden (negeri Belanda) dan mendapat gelar sarjana hukum sekitar tahun 1938 kembali ke Indonesia.Mendapat pendidikan Marxisme selama di negeri Belanda ia begitu tiba di tanah airnya terus menggabungkan diri dalam Gerindo. Kemudian ia dengan beberapa kawannya berhasil mendirikan persatuan sopir Indonesia, disingkat PERSI. Karena praktek sosialnya itu keadaan tanah airnya tidak begitu asing lagi baginya sesudah bertahun-tahun tinggal di negeri asing.

Ketika revolusi Agustus meletus ia dengan beberapa kawannya mendirikan PKI di berbagai tempat. Ia memberikan pimpinan, apalagi setelah ia melihat jalannya revolusi tidak pada rel yang semestinya.

Dalam langkah dan tindakannya, Moh. Mendapat dukungan dan bimbingan dari Widarta. Widarta termasuk salah seorang kader yang dibina oleh Muso pada tahun 1935.

Ketika Kompeitai (polisi milter) Jepang mengadakan razzia terhadap pimpinan sentral PKI illegal dan kader-kadernnya pada Januari 1943, Widarta berhasil menyelamatkan diri dan meneruskan perjuangan di Jawa barat. Dalam keadaan yang serba sulit dalam jaman penindasan fasis Jepang ia mengadakan kontak dengan kawan-kawan seperjuangannya yang masih terpencar di banyak tempat. Ia pun kemudian berhasil mengembangkan aktivitasnya di daerah Pekalongan.

Di samping itu Widarta juga aktif menarik tenaga-tenaga baru. Salah seorang di antaranya adalah D.N. Aidit. Dalam suatu wawancara D.N. Aidit terus terang menyatakan bahwa Widartalah yang menariknya ke dalam PKI. 3)

Berbeda dengan tokoh-tokoh PKI illegal lainnya yang duduk dalam Partai Sosialis, Moh. Jusuf tidak membenarkan jalan kompromi dengan musuh-musuh revolusi Agustus, terutama dengan kaum imperialis. Untuk memperkuat perjuangan Moh. Jusuf dkk. Mendirikan pasukan sendiri yang diberi nama Laskar Merah. Dalam waktu singkat Laskar Merah mempunyai kekuatan 2 batalyon.4) Bersandar pada kekuatan sendiri ini Moh. Jusuf dkk. Berusaha untuk lambat laun menempatkan revolusi di atas rel yang mereka anggap benar, yaitu revolusi rakyat yang melahirkan kekuasaan rakyat.

Sudah barang tentu usaha itu mendapat tentangan dari alat-alat kekuasaan RI. Di Cirebon dan sekitarnya terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata yang cukup sengit. Bahwa alat-alat kekuasaan RI bertindak keras terhadap PKI yang didirikan Moh. Jusuf dkk. Itu mudah dimengerti. Yang sukar difahami adalah sikap tokoh-tokoh PKI yang tanpa mengadakan penelitian yang mendalam terus saja main cap. PKI yang didirikan Moh.Jusuf di Cirebom dinyatakan sebagai “PKI NICA” dan karena itu harus dibasmi.

Pada bulan Februari 1946 markas PKI di Cirebon diserbu secara besar-besaran. Moh. Jusuf dan kawan-kawan terdekatnya ditangkap.

Usaha untuk mengoreksi jalannya revolusi seperti yang dijalankan oleh Moh. Jusuf dkk di Cirebon terjadi pula di karesidenan Pekalongan, dalam sejarah revolusi Agustus terkenal dengan apa yang disebut peristiwa tiga daerah. 5)

Pada akhir 1945 di Tegal, Brebes dan Pekalongan rakyat ramai-ramai menangkap (istilah ketika itu “mendaulat”) pamongpraja pengangkatan RI yang masih terdiri dari orang-orang jaman kolonial Belanda dan kekuasaan Jepang. Sebagai ganti rakyat memilih pemuka-pemuka  yang mereka sukai. Di Pemalan antaranya yang dipilin sebagai bupati adalah Supangat, bekas tokoh Partindo pada tahun 30-an dan pada awal revolusi menjadi tokoh Pesindo di daerahnya.

Gerakan di karesidenan Pekalongan dipimpin oleh tokoh-tokoh PKI seperti Kamidjaja (Djaswadi), Sardjijo dll.

Di ibukota karesidenan, yaitu Pekalongan terjadi seperti apa yang terjadi di tempat-tempat lainnya. Residennya didaulat dan sebagai gantinya dipilih Sardjijo.

Belum lagi bisa bertindak lebih jauh, gerakan tiga daerah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh PKI tersebut mendapat pukulan keras dari pemerintah, dalam mana duduk seorang tokoh PKI (Amir Sjarifuddin duduk sebagai menteri penerangan dan pertahanan). Juga dalam mengahancurkan gerakan tiga daerah tokoh-tokoh PKI lainnya mengambil peranan penting. Peristiwa tiga daerah dicap sebagai tindakan “mendirikan negara dalam negara”. Alat-alat kekuasaa RI, juga laskar-laskar yang dipimpin oleh anggota-anggota atau simpatisan PKI dikerahkan dan melakukan penangkapan besar-besaran. Tidak kurang dari 1.600 orang ditangkap dan dipenjarakan, termasuk tokoh-tokoh PKI: a.l. Widarta., Djaswadi dan Sardjijo. Di antara mereka kemudian ada yang dipindah ke penjara Yogyakarta, antara lain Widarta.

Merasa sebagai seorang yang ikut bertanggungjawab, Widarta dari tempat tahanan menyampaikan surat kepada Amir Sjarifuddin sebagai salah seorang pimpinan PKI illegal, di mana ia mengusulkan diadakannya penjernihan untuk mengatasi keruwetan dalam tubuh PKI yang sudah begitu serius.

Widarta juga secara terus terang menyatakan tidak setuju dengan garis politik yang ditempuh oleh Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan yang kompromis. Bagaimana jawaban atas surat Widarta itu tidak bisa diketahui. Yang terang adalah, bahwa sesudah itu Widarta lenyap dan tidak diketahui di mana jejaknya. 6)

Telah dikemukakan di depan, bahwa sesudah proklamasi kemerdekaan para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda berangsur-angsur kembali ke tanah air. Mereka segera ikut serta dalam revolusi. Sebagian besar menggabungkan diri pada Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia dan PKI. Selama di negeri Belanda mereka mengenal dan banyak mempelajari ilmu Marxis dan aktif dalam Perhimpunan Indonesia. Itu merupakan salah satu faktor mengapa mereka begitu datang terus menduduki posisi penting dalam ketiga partai Marxis itu.

Bahwa memiliki teori revolusioner sangat perlu tidak bisa disangkal. Tanpa teori revolusioner tidak akan ada tindakan revolusioner. Tapi mempelajari teori revolusioner seperti halnya Marxisme lepas dari praktek revolusioner sehari-hari tidak akan banyak artinya dan bahkan bisa merugikan seluruh gerakan.

Ini sudah merupakan pengalaman yang pahit dari revolusi Indonesia. Pengetahuan teori yang dibawa dari luar negeri sering terlepas dari keadaan obyektif di Indonesia.

Selama di negeri Belanda para mahasiswa Indonesia yang komunis mengorganisasi diri secara tertutup. Mereka langsung dihubungi oleh Muso sebagai petugas dari Komintern.

Sebelum pulang ke tanah air yang bertanggungjawab atas grup mahasiswa komunis itu adalah Setiadjit. Dekat sebelum meninggalkan negeri Belanda mereka mendiskusikan konsep politik apa yang akan mereka bawa ke Indonesia.

Pada waktu itu di kalangan CPN (Partai Komunis Belanda) konsep penyelesaian masalah Indonesia adalah “ide gemenebest antara bagian yang merdeka dari kerajaan (Belanda) sebagai bangunan kenegaraan”7) Dalam apa yang dinamakan gemenbest itu termasuk Suriname dan Antillen, jajahan Belanda di Hindia barat. Di Indonesia ide ini lebih populer dengan sebutan politik uni-verband.

Konsep politik tersebut  terang tidak sesuai dengan keadaan di Indonesia. Bagi rakyat Indonesia sejarah kolonialisme Belanda sudah berakhir sejak 9 Maret tahun 1942 ketika secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyerah pada tentara Jepang. Dan proklamasi 17 Agustus adalah pernyataan konkrit rakyat Indonesia yang menghendaki kemerdekaan sepenuhnya.

Setiadjit adalah seorang yang cukup populer di kalangan pergerakan di negeri Belanda. Selama negeri Belanda diduduki kaum fasis Jerman, Setiadjit pernah duduk dalam redaksi majalah illegal Vrije Nederland yang masih terbit sampai hari ini. 8)

Tapi Setiadjit juga seorang tokoh yang teguh membela konsep uni-verband. Sampai-sampai dalam diskusi sebelum berangkat ke Indonesia ia dengan keras memaksakan kepada anggota-anggotanya untuk mempejuangkan konsep tersebut di Indonesia nanti.

Fikiran Setiadjit ini ditentang oleh banyak teman-temannya yang mempunyai sikap yang kritis.

Dalam situasi semacam itu diharapkan dari seorang pemimpin untuk baik-baik memperhatikan pendapat yang berbeda. Tapi tidak demikian halnya Setiadjit. Dengan secara otoriter ia memaksakan pendapatnya, suatu cara yang tidak menyelesaikan persoalan, tetapi malahan menimbulkan kericuhan seperti kita lihat di belakang nanti.

Dengan semakin banyaknya informasi yang datang dari Indonesia di kalangan CPN sendiri lambat laun timbul suatu arus untuk mengoreksi sikap terhadap RI. Kemudian ide uni-verband mengalami perubahan dan diganti dengan politik mendukung kemerdekaan sepenuhnya bagi Indonesia. Tetapi bagaimanapun juga ide gemenebest atau uni-verband telah menimbulkan kerugian rakyat Indonesia.

Di Indonesia Setiadjit berhasil menduduki tempat dalam CC PKI illegal. Ia juga menjadi ketua Partai Buruh Indonesia. Dalam kabinet ketiga Sjahrir (Oktober ’46 – Juni ’47) ia diangkat sebagai menteri muda perhubungan, bahkan dalam kabainet Amir Sjarifuddin (Juli’47-Januari ’48) ia menjadi wakil perdana menteri.

Dalam kedudukannya yang penting itu Setiadjit mendapat kesempatan baik untuk melaksanakan politik uni-verband yang dibawanya sejak dari negeri Belanda.

Pada suatu ketika (dalam rangka tukar menukar bahan yang saling diperlukan) RI menyetujui memberikan gula kepada fihak Belanda dan sebaliknya fihak Belanda akan menukarnya dengan bahan tekstil.

Demikianlah dengan surat perintah Setiadjit berpuluh-puluh gerbong kereta api penuh berisi gula pasir diberangkatkan dari daerah pedalaman menuju Semarang. Sementara itu fihak yang pernah menentang politik kompromi Setiadjit yang setelah kembali ke Indonesia juga mempunyai kedudukan dalam PKI dan juga dalam pimpinan SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) bertekad mensabot tindakan Setiadjit itu.

Ketika kereta api tiba di stasiun Kedungjati (sebelah tenggara kota Semarang) semua gerbong dibuka, dan gula terus dibagikan kepada rakyat yang telah dikerahkan.

Peristiwa yang mirip dengan itu terjadi di Yogyakarta. Dalam hal kali ini fihak RI setuju memberikan lokomotif gunung yang diperlukan fihak Belanda untuk jalur kereta api yang telah dikuasai di daerah Priangan sedangkan dari fihak Belanda RI akan menerima alat-alat telekomunikasi.

Lokomotif yang hendak dipertukarkan itu sejak awal revolusi disimpan oleh buruh kereta api di bengkel Pengok (Lempuyangan, Yogyakarta).

Ketika Setiadjit datang mengontrol ternyata semua mesinnya telah lenyap. Kaum buruh kereta api Yogya telah membongkar dan menyimpannya di tempat lain karena mereka tidak rela hasil revolusi yang didapatkan dengan pengorbanan diserahkan kembali kepada fihak Belanda. Mereka lebih suka menderita daripada melihat hasil revolusi dipreteli satu demi satu. 9)

Kekisruhan dalam tubuh PKI yang tercermin antara lain dari fakta-fakta  di depan menunjukkan bahwa PKI memasuki revolusi tanpa persiapan yang baik. Kekisruhan dalam bidang organisasi itu adalah pencerminan dari garis politik yang tidak jelas yang sebaliknya disebabkan oleh lemahnya pimpinan-pimpinan PKI di bidang teori dan pengenalan yang subyektif tentang keadaan konkrit masyarakat Indonesia. Kelemahan teori dan ketidakmampuan melakukan analisa konkrit atas situasi konkrit dunia dan Indonesia menyebabkan PKI tidak mampu menggunakan kesempatan yang sangat baik yang diciptakan oleh revolusi Agustus ’45.

PKI tidak memimpin secara konsekuen perjuangan bersenjata melawan imperialisme Belanda, tidak mengembagkan perang rakyat sebagai satu-satunya jalan untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Sejak meletusnya revolusi Agustus pimpinan PKI tidak mengembangkan PKI sebagai satu-satunya partai proletariat Indonesia untuk merebut hegemoni dari revolusi. Sebaliknya pimpinan PKI tidak saja menyetujui, membela dan bahkan melaksanakan politik kompromi reaksioner Sutan Sjahrir. 10)

Kekisruhan dalam tubuh PKI dan ketidakjelasan strategi dan taktiknya dalam revolusi sudah barang tentu memantul ke seluruh organisasi massa yang menerima kepemimpinannya.

Dalam organisasi pemuda Pesindo pada suatu ketika muncul kekecewaan begitu besar sehingga pernah muncul satu fikiran, sebaiknya “pemuda yang harus memimpin revolusi”, satu hal yang bisa lebih meruwetkan keadaan.

Sekali memasuki soal Pesindo ada baiknya untuk mengenal lebih jauh organisasi pemuda yang pernah memainkan peranan penting dalam revolusi Agustus ini.

Pada awal bulan November 1945, tepatnya antara tanggal 6 dan 10 dilangsungkan kongres pemuda yang pertama dalam alam kemerdekaan.

Kongres ini diselenggarakan di Yogyakarta dalam gedung Balai Mataram yang dalam jaman kolonial diberi nama Societeit Mataram.

Seperti sudah dikemukakan di depan sejak proklamasi kemerdekaan bermunculan organisasi pemuda. Di Jakarta berdiri API (Angkatan Pemuda Indonesia). Hampir bersamaan dengan lahirnya API di Jawa tengah lahir AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) yang berpusat di Semarang. Salah seorang pendirinya adalah S. Karno, kemudian menjadi tokoh PKI, menjadi residen Semarang, gugur dalam peristiwa Madiun 1948. Di Yogyakarta berdiri GERPRI (Gerakan Pemuda Republik Indonesia) di bawah pimpinan S.Lagiono.

Di Jawa Timur dengan pusat di Surabaya lahit PRI (Pemuda Republik Indonesia). Beberapa tokoh PRI adalah antara lain Sumarsono, Bambang Kaslan, Ruslan Widjajasastra.

Pada umumnya azas dan tujuan berbagai organisasi pemuda itu tidak berbeda dari API yang sudah dibentangkan di depan.

Di samping organisasi-organisasi pemuda tersebut di atas masih terdapat pula organisasi pemuda dalam berbagai jawatan seperti Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), Angkatan Muda Gas dan Listrik (AMGL), Angkatan Muda Pos, Tilpon dan tilgrap (AMPTT), Angkatan Muda Guru (AMG) dls.

Kaum putri bergabung dalam organisasi sendiri dengan nama Persatuan Pemuda Putri Indonesia (PPPI). Salah seorang pemimpinnya adalah Ny. Harustitai Subandrio.

Pemuda-pemuda yang memeluk agama Islam menyatukan diri dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), sedangkan kaum pemuda Kristen mempunyai organisasinya sendiri, Persatuan Pemuda Kristen Indonesia, disingkat PPKI.

Barisan pelopor yang didirikan dalam jaman Jepang menjelma menjadi Barisan Banteng dan bermarkas di Surakarta.

Sementara itu pemuda-pemuda dari kepulauan lain yang tinggal di Jawa membentuk organisasi mereka sendiri seperti Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dls.

Kongres pemuda yang bersejarah di Yogyakarta tersebut melahirkan dua organisasi yang kemudian ikut memainkan peranan dalam revolusi.

Yang pertama: Kongres melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia, lebih terkenal dengan singkatan Pesindo. Organisasi ini merupakan hasil fusi antara 7 organisasi pemuda, API (Angkatan Pemuda Indonesia), AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), GERPRI (Gerakan pemuda republik Indonesia), PRI (Pemuda Republik Indonesia), AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), AMPTT ( Angkatan Muda Pos, Tilpon dan Tilgrap) dan AMGL (Angkatan Muda Gas dan Listrik). Di antara berbagai organisasi pemuda waktu itu Pesindo merupakan terbesar dan terkuat dalam hal persenjataan. Ia anggota Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (World Federation of Decratic Youth), mempunyai hubungan erat dengan Organisasi Pemuda Belanda (Algemene Nederlandse Jeugd Vereniging) dan Liga Pemuda Eureka (Eureka Youth League) Australia. (Mengenai Pesindo akan ada uraian lebih jauh di belakang nanti).

Yang kedua: Kongres melahirkan satu badan federasi dengan nama  Badan Kongres pemuda Republik Indonesia, sering disingkat dengan BKPRI. BKPRI terdiri dari IPI (Ikatan Pelajar Indonesia), PPPI (Persatuan pemuda Putri Indonesia), Barisan banteng, KRIS (Kebangakitan Rakyat Indonesia Sulawesi), PIM (Pemuda Indonesia Maluku), GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia), AMK (Angkatan Muda kalimantan), AMP (Angkatan Muda pembangunan), Pesindo dan 14 organisasi pemuda lainnya lagi. Badan tertinggi BKPRI adalah rapat presidium, sedangkan dalam presidium ini duduk wakil dari semua anggota BKPRI. Untuk melaksanakan putusan-putusan rapat presidium dibentuk dua badan eksekutif, yaitu Dewan Pekerja Pembangunan di bawah pimpinan Wikana dan Dewan Pekerja Perjuangan di bawah pimpinan Sumarsono. Yang pertama mula-mula berkedudukan di Jakarta, tetapi ketika pemerintah pusat pindah ke Yogya badan ini juga ikut pindah.Dewan Pekerja Perjuangan bermarkas di Madiun.

Sesuai dengan suasana ketika itu Dewan Pekerja Perjuangan memegang peranan yang lebih menonjol. Badan ini memiliki pemancar radio sendiri yang diberi nama Gelora Pemuda. Untuk melakukan propaganda yang efektif diciptakan wayang dalam bentuk baru, wayang suluh.Berbeda dengan wayang kulit biasa, wayang ciptaan baru ini lakonnya tidak diambil dari Mahabharata atau Ramayan, melainkan dari perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia sendiri. Oleh karena itu wayang-wayangnya melukiskan tokoh-tokoh perjuangan dengan pakaian sehari-hari mereka. Hari Pahlawan 10 November untuk memperingati perlawanan rakyat dan pemuda Surabaya adalah salah satu hasil perjuangan Badan kongres Pemuda Republik Indonesia.

BPKRI Juga menjadi anggota Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia. Dengan demikian BKPRI mempunyai hubungan dengan gerakan pemuda progresif di seluruh dunia. BKPRI tidak pernah absen dalam festival pemuda sedunia yang diselenggarakan oleh GPDS. Ketika atas prakarsa GPDS dan IUS (International Union of Students) diselenggarakan konferensi pemuda Asia di Kalkuta (India) pada Februari 1948 BKPRI juga berhasil mengirim suatu delegasi.

BKPRI tidak hanya mengirimkan delegasi ke luar negeri, tapi juga menerima delegasi-delegasi pemuda dari luar negeri. Dalam bulan Mei 1947 GPDS mengirimkan delegasi ke Indonesia sebagai tamu BKPRI. Delegasi ini terdiri dari 3 orang, Jean Lautissier dari Perancis, Tajko Tomovic dari Yugoslavia dan Olga Chetchotkina dari Uni Sovyet. Di Indonesia mereka mengunjungi berbagai medan pertempuran, mengadakan pertemuan dengan presidium BKPRI dan pimpinan berbagai anggota BKPRI dan juga mengadakan ceramah di banyak tempat. Tidak ada kecualinya, ceramah-ceramah tersebut mendapat perhatian besar.

Di depan sudah dikemukakan lahirnya berbagai partai pada awal revolusi Agustus.

Perlu disebutkan di sini, bahwa di samping berbagai partai tersebut pada 8 November 1945 lahir Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) dalam suatu kongres yang diselenggarakan di Surabaya. Ketuanya J. Leimena, sedangkan A.M.Tambunan ditetapkan sebagai ketua fraksi dalam parlemen. Dapat dikatakan bahwa partai ini selalu terwakili dalam berbagai kabinet ketika itu.

Pada 8 Desember lahir Partai katholik Republik Indonesia (PKRI) di bawah pimpinan I.J. Kasimo. Sebelumnya Partai ini namanya Persatuan Politik Katholik Indonesia (PPKI) yang didirikan pada tahun ’23. Seperti halnya PARKINDO  Partai Katholik Republik Indonesia selalu punya wakil dalam setiap kabinet.

Di antara partai-partai golongan Islam Masyumi sudah banyak dikemukakan di depan. Pada 22 November 1945 Lahir Pergerakan Tabiyah Islamiah (PERTI). Ketuanya H. Siraddjuddin Abbas  Datuk Bandaharo.  PERTI mula-mula tidak bergerak dalam bidang politik, tapi lambat laun meninggalkan sifat itu.

Antara 28 Januari dan 1 Februari 1946 Serikat rakyat Indonesia menyelenggarakan kongres di Kediri. Dalam kongres ini dilaksanakan fusi antara Serindo (didirkan bulan November ’45, ketuanya S.Mangunsarkoro) dan Partai nasional dari Pati,  Madiun, Palembang dan Makasar dan partai Kedaulatan rakyat dari Yogyakarta. Dengan demikian lahirlah Partai nasional Indonesia (PNI). Sebagai ketua dipilih S.Mangunsarkoro. PNI mendirikan bagian pemuda dengan nama Pemuda democrat Indonesia (anggota BKPRI) dan bagian wanita, Wanita Demokrat Indonesia.

Kaum wanita Indonesia juga mengorganisasi diri dalam berbagai organisasi massa dan bahkan partai politik sendiri.

Persatuan Wanita Indonesia (PERWARI) didirikan oleh kongres pertama kaum wanita dalam alam kemerdekaan, yaitu antara 15-17 Desember 1945 di kota Klaten.  Azas organisasi ini keagamaan, nasionalisme, demokrasi, kemanusiaan dan keadilan sosial.Ketuanya Ny. S.Mangunsarkoro.

Berbagai organisasi wanaita tergabung daalam satu badan federasi dengan nama Kongres Wanita Indonesia disingkat KOWANI. Badan gabungan wanita ini didirikan dalam satu konferensi berbagai organisasi yang diselenggarakan di Solo antara 24-26 Februari 1946. Usahanya yang terpenting ketika itu yalah memberi bantuan ke berbagai medan pertempuran. KOWANI memperjuangkan kemerdekaan 100% bagi RI.

Kaum wanita juga ada yang mendirikan partai mereka sendiri. Partai Rakyat Wanita adalah partai semacam itu. Ia didirikan di Yogyakarta pada awal September 1946. Ketuanya Ny. Sri Mangunsarkoro. Di dalam anggaran dasar Partai Wanita Rakyat disebutkan bahwa tujuannya adalah sosialisme, sedangkan azasnya ketuhanan, kebangsaan dan kerakyatan.

Itulah berbagai partai dan organisasi massa di daerah RI yang memberikan corak kehidupan politik pada awal revolusi Agustus 1945. bagaimana dan sampai di mana pernana masing-masing akan kita ikuti bersama dalam bagian-bagian selanjutnya dari tulisan ini.

—–ooooo0ooooo—–

catatan

1. Arnold C.Brackman “Indonesian Communist” hlm. 55-56

2. Sumadi Partoredjo “50 tahun mengikuti PKI”, hlm. 24

3. A.C. Brackman “Indonesian Communism”, hlm. 35

4. Dr.A.H.Nasution “Sekitar perang kemerdekaan Indonesia”, jilid II hlm. 544-545

5. Mengenai peristiwa 3 daerah ada buku yang baik, karya A.E. Lukas “The Bamboo Spear Pierces Teh Payung” (“Bambu Runcing Merobek-robek Payung”). A.E. Lukas selama 6 tahun mengadakan riset dan bertemu dengan banyak tokoh yang berperanan dalam       peristiwa tersebut.

6. Dalam bukunya “Teh Bamboo Pierces teh Payung” (hlm. 459) A.E.Lukas menjelaskan antara lain bahwa Amir Sjarifuddin membentuk satu badan untuk mengadili perkara Widarta. Yang bertindak sebagai hakim disebut nama-nama Jusuf Muda Dalam, Ngadiman Hardjosubroto dan Sudisman. Oleh badan tersebut Widarta dijatuhi hukuman mati. Kemudian dikeluarkan surat perintah pelaksanaan hukuman mati tersebut yang ditandatangani oleh Sudisman. A.E.Lukas juga menerangkan, bahwa Widarta kemudian diangkut ke Madiun oleh dua orang petugas. Eksekusi dilaksanakan di Parangtritis (satu tempat di pantai selatan Yogyakarta, pen.). Demikian A.E.Lukas. Menurut penelitian penulis buku ini peristiwa Widarta tidak pernah disampaikan kepada kader-kader dan anggota-anggota PKI untuk dijadikan bahan pelajaran untuk tidak terulang di kemudian hari. Pada hal, pada awal tahun 50-an peristiwa Widarta sudah menjadi pembicaraan dalam CC PKI. Setidak-tidaknya banyak anggota Comite Central yang sudah mengetahuinya. Bahwa peristiwa Widarta tidak diteruskan ke bawah, itu mudah dimengerti mengingat adanya beberapa anggota CC yang tersangkut di dalamnya.

7. J. Morrien “Indonesië los van Holland”, hlm. 113

8. A.C. Brackman “Indonesian Communism”, hlm. 33

9. Wawancara dengan seorang anggota CCPKI illegal ketika itu yang sejak di negeri Belanda menentang politik uni-verband yang dibela Setiadjit.

10. Pernyataan PB CC PKI 17 Agustus 1966.

Leave a comment