Lahirnya Ideologi Neo-Liberal*

Oleh Chris Harman

Boom ekonomi paska-perang berhenti secara mendadak di pertengahan dasawarsa 1970-an. Yang pernah dijuluki “zaman emas” kapitalisme disusul oleh “zaman timah”. Banyak negeri mengalami krisis ekonomi yang parah. Dan semua doktrin yang bercokol pada “zaman emas” tersebut, gagal sama sekali memulihkan ekonomi “zaman timah” itu. Baru saat itulah kelas-kelas penguasa serta para intelektual yang melayani kelas itu tiba-tiba meninggalkan doktrin-doktrin lama dan menyambut teori baru, yang mula-mula dijuluki “monetarisme”, kemudian “Thatcherisme” atau “Reagonomics” dan sekarang sudah dicap dengan julukan “neo-liberalisme”.

Perubahan sikap seradikal ini bukanlah hasil propaganda licik saja. Sebaliknya perubahan tersebut mencerminkan upaya-upaya nekad yang dilakukan oleh berbagai faksi kapitalis untuk mempertahakan posisi mereka. Yang bergerak pertama adalah para pimpinan perusahaan-perusahaan terbesar. Setelah mengyaksikan meluasnya pasaran selama bertahun-tahun, tiba-tiba mereka harus merestrukturisasi operasi mereka serta mencari sumber profit tambahan.

Restrukturiasi itu berarti baik melakukan “efisiensi” — dengan memecat buruh bahkan menutup pabrik; maupun mencari pasar baru di luar masing-masing perbatasan nasional dengan mengekspor lebih banyak, tapi juga dengan mengorganisir proses-proses produksi secara internasional. Profit baru hanya bisa didapat dengan menemukan sumber nilai lebih yang belum pernah disadap. Salah satu sumber terletak di industri-industri dan jasa-jasa yang dibangun oleh negara di masa lampau karena modal swasta tidak sanggup, walau industri dan jasa itu memang diperlukan untuk perekonomian kapitalis. Ketika pemerintah dimana-mana menswastanisasi BUMN yang sudah dipelihara menjadi kuat, itu menjadi rezeki nomplok bagi kaum pengusaha sedunia. Apalagi BUMN itu sering merupakan monopoli sehingga dalam praktek para pemilik baru dapat mengenakan semacam “pajak” pada para nasabah.

Mereka menemukan profit tambahan dengan merampas sumber-sumber daya ekonomi negeri-negeri yang lemah. Perampasan tersebut dilakukan dengan pertolongan aparatus-aparatus negara yang kuat (terutama Amerika Serikat) dalam negosiasi tentang perdagangan dan hutang. Dan selain itu profit-profit netto dapat ditingkatkan dengan memindahkan beban perpajakan dari profit ke gaji dan barang dagangan.

Meski neo-liberalisme sebagai ideologi menolak intervensi negara, namun penerapan kebijakan-kebijakan ini dalam kenyataan selalu mengandalkan aparatus negara itu, atau paling banter mengandalkan sebuah proses tawar-menawar antar-negara. Itu sebabnya implementasi kebijakan tersebut tidak pernah berjalan dengan lancar. Redaksi harian bisnis The Financial Times sering mengernyutkan dahi mengenai pertengkaran sepele seperti percekcokan tentang impor pisang antara Eropa dan AS, karena pertengkaran itu dikhawatirkan dapat meluas menjadi sebuah konflik besar sampai melumpuhkan WTO. Perselisihan tajam juga terjadi mengenai persiapan mana yang harus dikerjakan oleh IMF untuk melakukan intervensi efektif, jika terjadi krisis ekonomi lagi seperti krismon di Asia. Para “teoretisi” neolib tidak memiliki solusi yang mudah bagi konflik-konflik ini. Soalnya, walau doktrin mereka menolak intervensi negara, namun ideologi neoliberalisme sebenarnya mencerminkan kepentingan negara AS, Eropa and Jepang yang senantiasa bertarung di arena ekonomi.

Golongan kedua yang menyambut ideologi neolib adalah para pejabat tinggi dan politisi yang mengelola aparatus negara. Dalam tahun-tahun kemakmuran ekonomi, mereka terpaksa harus menyediakan sebuah sistem tunjangan dan jasa yang dikenal sebagai “negara kesejahteraan”. Negara kesejahteraan tersebut berkembang sebagai aspek tambahan disamping lembaga-lembaga utama negara kapitalis — seperti tentara, senjata nuklir, penjara, pengadilan dll. Selama pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan profit yang cukup, para kapitalis memang bersedia menyetujui tunjangan dan jasa itu sebagai sebuah keharusan yang tak terhindari. Tetapi begitu profit mereka mulai berkurang, mereka mendesak agar negara kesejahteraan tersebut dipotong. Para pengelola aparatus negara tiba-tiba terjepit. Desakan itu tidak mungkin dilawan — bila dilawan, mereka akan segera dilanda oleh pelarian modal, mata uang mereka akan anjlok dan mereka akan terancam oleh kebangkrutan nasional. Tetapi di sisi lain, sistem kesejahteraan tidak bisa dibongkar begitu saja, karena itu dapat memprovokasi kekisruhan dalam masyarakat. Sehingga mereka mencoba sebuah “jalan ketiga” (di barat memang sering disebut The Third Way) dengan menggunakan mekanisme-mekanisme kompetitif guna memaksa para pegawai negeri dan para konsumen jasa-jasa itu untuk bersaing. Lewat persaingan tersebut, negara dapat mengurangi gaji yang dibayar kepada para pegawai dan juga mengurangi “upah sosial” (social wage) yang disajikan kepada rakyat.

Kadang-kadang ini dilakukan melalui swastanisasi dan kemunduran aparatus negara dari bidang tertentu. Namun seringkali tujuan yang sama dicapai dengan cara lain: membatasi dana yang diberikan departemen-departemen pemerintahan, memotong anggaran pemerintahan di daerah-daerah sambil meningkatkan tugas-tugas mereka, atau menerapkan mekanisme-mekanisme yang meniru operasi pasar di dalam badan-badan penyedia dinas sosial. Dalam kasus-kasus itu negara tidak mundur, melainkan justeru melakukan intervensi guna meningkatkan profit yang dapat dihisap oleh kelas penguasa. Selain itu dinas-dinas tertentu dikontrakkan kepada pihak swasta.

Golongan ketiga yang merangkul pendekatan neolib adalah kelas-kelas penguasa di luar negeri-negeri maju industrial. Sejak tahun 1940-an sampai dengan tahun 1970-an mereka berusaha membangun industri melalui berbagai strategi kapitalis-negara, seperti Program Benteng di Indonesia umpamanya. Bahkan pada waktu boom ekonomi paska Perang Dunia II, upaya itu tidak begitu berhasil, dan rakyat harus membayar mahal. Begitu boom tersebut selesai, upaya itu sama sekali tidak sukses. Sederetan rezim membanting stir, meninggalkan pendekatan kapitalis-negara dan berusaha mengintegrasikan negeri-negeri mereka ke dalam pasaran internasional. Fenomena itu mulai di Mesir, Polandia, Hongaria dan Yugoslavia di pertengahan tahun 1970-an; terjadi di India dan berbagai negeri Amerika Latin di tahun 1980-an; kemudian terjadi pula di seluruh (mantan) blok Soviet serta Afrika pada awal tahun 1990-an. Kaum penguasa di negeri-negeri tersebut memutuskan menyerahkan monopoli mereka atas ekonomi nasional, guna menikmati hasil pribadi yang dapat mereka raih sebagai mitra muda kaum pemodal besar multinasional.

Di Mesir, Anwar Sadat pernah ikut mendukung Presiden Nasir dalam menasionalisasi sejumlah industri pada masa lampau; tapi di tahun 1970-an dia membuka perekonomian nasional kepada pasar bebas. Di India, Partai Kongres yang menganut perencanaan negara di tahun 1960-an, kemudian menghentikan perencanaan tersebut di tahun-tahun berikutnya. Di RRC Deng Xiaoping, yang bertahun-tahun terlibat dalam membangun sebuah negara stalinis monolit, kemudian mengambil prakarsa untuk berpaling ke pasaran internasional pula.

Susan George mencatat bagaimana rezim-rezim dunia ketiga pada umumnya menyambut dengan antusias kebijakan-kebijakan Structural Adjustment Program yang diajukan oleh IMF serta Bank Dunia:

Kaum kaya dan berpengaruh di negeri-negeri penyandang hutang sering cukup puas dengan cara yang dilakukan untuk menanangi krisis ini. Kebijakan structural adjustment sudah memotong upah kaum buruh, sedangkan undang-undang (jika ada) yang melindungi kondisi kerja, kesehatan, keselematan dan lingkungan alam tidak perlu terlalu dihiraukan … Setelah kurang-lebih luput dari akibat buruk masalah hutang, mereka semakin berkeinginan untuk ikut golongan elit global …

Selama 20 tahun ini kita menyaksikan perusahaan-perusahaan tertentu di dunia ketiga, yang sudah bertumbuh menjadi kuat di masa perencanaan dan proteksi oleh negara, kemudian menjelma menjadi perusahaan multinasional juga. Jelas mereka belum sebesar General Motors, Microsoft atau Monsanto, tetapi aspirasinya memang ke arah itu.

Golongan terakhir yang menyambut doktrin-doktrin neolib adalah kaum intelektual, yang dulu menaruh harapan kepada perencanaan dan proteksi oleh aparatus negara. Di Inggeris, berbagai tokoh Partai Buruh, yang pada tahun 1970-an dan 1980-an telah menganjurkan “kebijakan ekonomi alternatif” yang porosnya ke perencanaan oleh negara, sekarang sebagai anggota pemerintahan Tony Blair ramai-ramai menganut program swastanisasi. Sejumlah teoritisi intelektual, yang dulu mendukung jurnal “Marxism Today” berkaitan dengan Partai Komunis, dewasa ini menyambut pasar bebas pula.

Di beberapa pelosok dunia proses peralihan ini masih belum tuntas. Di Afrika Selatan, pemerintah ANC sudah merangkul para pemilik modal dan melakukan swastanisasi, dan seorang anggota Partai Komunis dari Sudan memberikan saya sebuah pernyataan dari partai tersebut yang mengatakan, satu-satunya jalan untuk mencapai pembangunan mesti melawati kebijakan pasar bebas yang berorientasi ekspor. Dalam hal ini komentar Vandana Shiva sangatlah benar: “Kaum penguasa di dunia ini — di pemerintahan, di kancah politik, di mass media dan di dunia usaha — sedang bersatu saat ini menjadi sebuah aliansi global yang melebihi pembelahan lama antara Utara dengan Selatan.”

Meski demikian ada banyak pula intelektual yang menolak neo-liberalisme, dan kritik-kritik hebat mereka sudah saya kutip di atas. Tapi sayangnya mereka belum juga melacak kontradiksi-kontradiksi kapitalisme sampai tuntas, sehingga argumentasi mereka masih mengandung sejumlah kontradiksi yang hendak kita simak dalam bagian berikutnya.

* cuplikan dari sebuah tulisan panjang berjudul “Globalisasi dan Perlawan”

Disadur dari:

Chris Harman. 2000. “Anti-capitalism: Theory and Practice”, International Socialism No 88, London.

dan ditejermahkan oleh Julian dan Setiabudi.

Menolak Agenda Neo-Lib*

Oleh Chris Harman.

Doktrin-doktrin neo-liberal pertama diucapkan dalam ideologi konservatif yang dijuluki “Thatcherism” di Inggeris dan “Reaganomics” di Amerika. Kemudian logika neo-lib disambut oleh golongan sosial demokratik dalam program “The Third Way” yang juga pro-kapitalis. Ide-ide neoliberal menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga interasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, dan program-program “reformasi ekonomi” yang diajukan oleh para politikus dan ahli ekonomi.

Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptiste Say. Gagasan ini dikenal sebagai “liberalisme ekonomi” waktu itu, jadi versi baru dikenal dengan nama “neo-liberalisme”. Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta, melemahkan regulasi-regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai.

Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak efisien. Ambruknya blok Soviet, serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika Selatan dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekwensi intervensi pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga hanya dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank Dunia.

Bila usaha-usaha ekonomi di”bebas”kan dari kontrol yang “semena-mena” itu, katanya nasib umat manusia bisa diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan leluasa ke mana saja diperlukan sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan di tempat yang paling cocok. Modal yang sudah terakumulasi tidak akan lagi tertambat dalam industri-industri “berkarat” yang tak berdayaguna, dan “monopoli tenaga kerja” yang dikuasai oleh serikat-serikat buruh jahat tidak lagi bisa menghalangi kenaikan produktivitas kerja secara “dinamis”. Daerah-daerah dunia masing-masing dapat mengkhususkan dalam bidang produksi di mana mereka lebih mampu. Boleh jadi melalui proses-proses ini kaum kaya akan menjadi lebih kaya lagi, tetapi tidak apa-apa, karena lewat tumbuhnya penghasilan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke bawah secara dikit berdikit (trickle down) untuk memperkaya rakyat jelata pula. Demikian argumentasi mereka.

Pandangan “neoliberal” semacam ini biasanya berasosiasi dengan teori “globalisasi”. Menurut teori itu, restrukturalisasi dunia telah terjadi sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi oleh pemerintah-pemerintah sudah tercapai. Kita sedang menghayati zaman kapitalisme multinasional (atau transnasional). Aparatus-aparatus negara adalah lembaga-lembaga yang kadaluwarsa, yang tidak lagi sanggup menghalangi perusahaan-perusahaan berpindah-pindah guna mencari keuntungan. Bila pemerintah-pemerintah ngotot berusaha melakukan halangan yang demikian, ekonomi mereka cuma akan menjadi ekonomi “terkepung” seperti Korea Utara atau Kombodja di bawah Pol Pot; dan bagaimanapun juga mereka tidak bisa melakukan hal itu karena para pemilik modal terlalu cerdik dan selalu akan mengelabui pemerintah-pemerintah tersebut. Sebuah pemerintah yang mengasihani para warganya paling banter bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang paling menarik bagi para investor: pajak rendah, tenaga kerja “fleksibel”, serikat buruh lemah, regulasi minimal.

Beberapa orang neolib yang mengaku sosial-demokratik (contohnya Anthony Giddens, yang menyiapkan teori-teori demi membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Tony Blair di Inggeris), mengakui bahwa di masa lampau, intervensi oleh negara terkadang berperan positif. Namun menurut mereka, timbulnya sebuah ekonomi global telah merubah situasi politik. Dewasa ini, kontrol-kontrol atas kehidupan ekonomi hanya menghadirkan ketidakefisienan melulu, dan jika ekonomi tidak efisien, pasti kita kandas. Sehingga “globalisasi” dan “neoliberalisme” merupakan dua konsep yang berkaitan erat.

Dalam versi teori globalisasi tertentu yang agak berpengaruh, kemampuan modal untuk bercucuran ke sini-sana dengan leluasa sudah menjadi hal yang mutlak. Menurut pandangan ini, kita menghayati era “produksi tanpa bobot” (weightless production). Komputer, perangkat lunak dan internet sudah jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang “kadaluwarsa”, dan perusahaan-perusahaan bisa luput dengan mudah dari genggaman negara-negara dengan memindahkan alat-alat produksi mereka secepat kilat. Negeri-negeri maju sudah bersifat paska-industrial, dan kelas perkerja di barat tidak lagi merupakan kekuatan yang berarti, karena industri manufaktur sedang berpindah ke dunia ketiga. Tinggal semacam masyarakat “sepertiga”: di satu sisi ada kelas menengah (sepertiga dari penduduk) yang mempunyai cukup keterampilan (human capital) untuk mendapatkan gaji tinggi — sedangkan di sisi lain “proletariat bawah” paling-paling bisa mencari pekerjaan sementara yang “fleksibel” dan tak terampil, dengan upah yang tidak bisa naik menjadi terlalu tinggi karena tersaingi oleh barang-barang murahan dari dunia ketiga.

Sementara itu, di dunia ketiga, massa rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menawarkan diri sebagai tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional, dengan upah yang melarat. Pemerintah-pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengajak rakyat menyambut pasar bebas internasional. Industri pertanian mesti dibentuk kembali guna menghasilkan barang-barang yang bisa dijual di pasaran global. Pajak untuk membiayai dinas kesehatan, kesejahteraan serta pendidikan rakyat harus diminimalkan. Kaum buruh harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Demikian skenario “globalisasi” ekstrim.

Namun para pengritik telah mengekspos banyak sekali kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrin ini. Mereka sudah membuktikan bahwa negara-negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas biasanya tidak mengalami perbaikan nasib apapun. Selama dua dasawarsa “globalisasi”, kondisi kebanyakan penduduk Afrika dan Amerika Selatan telah merosot. Penyerahan bidang tanah yang besar untuk pertanian monokultur sama sekali tidak meningkatkan pendapatan kaum tani, karena barang-barang yang sama juga dihasilkan di negara-negara lain sehingga harga-harga menurun terus. Pendapatan yang diterima, dimakan pula oleh bunga kredit yang harus dibayar, sementara lingkungan alam kaum tani sering rusak.

Mereka yang meninggalkan desa dan berpindah ke perkotaan mendapatkan pekerjaan kasar dan mesti bekerja selama 10 sampai 12 bahkan 16 jam sehari dalam kondisi yang merugikan kesehatan, serta hidup di daerah-daerah kumuh. Begitu laju bertumbuhan ekonomi global berkurang, mereka lekas menganggur. Kaum pekerja di barat memang mempunyai standar hidup yang lebih baik, tetapi tidak bisa dikatakan “beruntung” dari sebuai sistem yang sedang memperpanjang jam-jam kerja mereka (hari kerja seorang pekerja laki-laki di Amerika Serikat sekarang ini 8 persen lebih panjang dibandingkan dengan 25 tahun yang lalu). Upah mereka menurun atau paling banter tersendat. Di saat yang sama, para pengritik menunjukkan bagaimana tidak bersedianya para politisi dan birokrat untuk mengatur kegiatan perusahaan-perusahaan, telah menghadirkan pengrusakan lingkungan alam secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia.

* cuplikan dari sebuah tulisan panjang berjudul “Globalisasi dan Perlawan”

Disadur dari:

Chris Harman. 2000. “Anti-capitalism: Theory and Practice”, International Socialism No 88, London.

dan ditejermahkan oleh Julian dan Setiabudi.

Salah Satu Alasan untuk Mengatakan MDGs GAGAL!!

Menanggapi pernyataan Menkokesra (Agung Laksono) tentang “Akses Pendidikan untuk 10 Juta Pemuda Indonesia Terhambat”

Menkokesra (Agung Laksono), mengakui adanya peningkatan angka pengangguran yang terus meningkat setiap tahun. Ia juga mengakui bahwa terus meningkatnya angka putus sekolah dan kuliah yang menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia tidak “ACCESIBLE”. Sayangnya, Ia menilai bahwa problem tersebut, PENGANGGURAN: Hanya problem Infrastruktur semata, kemudian mengajukan pemerataan dan perluasan pembangunan Infrastruktur secara fisik sebagai salah satu Solusinya.

Dengan demikian, Ia mewakili pandangan dan upaya pemerintah untuk meretas problem tersebut hanya dari upaya teknis semata, yang mana jawaban tersebut tidak dapat dijadikan solusi fundamental yang akan menyelesaikan persoalan pengangguran yang sekaligus sebagai jawaban atas persoalan kemiskinan di Indonesia.

Menkokesra atau pejabat pemerintah lainnya, seharusnya berkata dengan penuh komitmen, bahwa:

Persoalan pengangguran Pemuda dan Rakyat secara umum sebagai salah satu factor yang menyebabkan kemiskinan adalah dampak lansung dari persoalan mendasar yang ada di Indonesia, yakni persoalan “Monopoli atas seluruh sumberdaya alam dan manusia, serta bentuk-bentuk monopoli lainnya atas sumber penghidupan rakyat”. Artinya, persoalan tersebut adalah persoalan sistemik, jadi harus diselesaikan secara sistemik pula dan tidak bisa diselesaikan secara taktis, apalagi dengan tebaran “Ilusi” semata.

Menkokesra atau pejabat pemerintah lainnya, seharusnya berkata dengan penuh komitmen, bahwa:

Untuk menyelesaikan persoalan pengangguran pemuda dan kemiskinan di Indonesia, maka Pemerintah bersama Seluruh Rakyat Indonesia harus mampu mengelola seluruh kekayaanya secara mandiri untuk kesejahteraan seluruh Rakyatnya. Pemerintah harus menghentikan segala bentuk liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi atas seluruh aspek penghidupan rakyat. Pemerintah harus bertanggungjawab untuk meningkatkan kapasutas sumberdaya manusianya secara politik maupun kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai salah satu Syarat pembangunan yang mandiri dan berdaulat. Jadi, Syarat utama yang harus dilakukan adalah dengan menjajalankan “Reforma Araria sejati” kemudian membangun Industri Nasional sebagai dasar-dasar pembangunan bangsa dan Negara yang sejahtera, adil dan berdaulat.

Selanjutnya, persoalan pendidikan yang diakui oleh Menkokesra “tidak bisa diakses secara luas dan terbuka”, ditunjukkan dengan terus meningkatnya angka putus sekolah dan kuliah. Pemerintah menyatakan komitmennya (sama seperti sebelum-sebelumya, namun tidak pernah kongkrit dapat dipenuhi) untuk membangun sekolah-sekolah dan meningkatkan beasiswa.

Sesungguhnya, persoalan tersebut tidak bias dipandang sebgaai persoalan biaya dan anggaran semata. Namun yang lebih pokok diletakkan secara terang dan tegak terlebih dahulu adalah, bagaimana perspektif dan orintasi pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan? Sebab jika, perspektif dan orientasi tersebut tidak didasarkan pada kondisi dan kenyataan social masyarakat Indonesia secara objektif (keadaan alam dan masyarakat), persoalan pendidikan akan selalu sama dan tidak akan pernah mampu menjawab persoalan rakyat Indonesia.

Artinya bahwa, pendidikan tidak bias dipandang sebagai upaya untuk “Mengajarkan CALISTUNG” semata, atau sekedar untuk mengajarkan skill-skill yang akan menjadi penunjang untuk bias bekerja sesuai pasar kerja saja. Namun Orientasi yang harus ditegakkan adalah bagaimana agar rakyat mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, mengembangkan teknologi dan skilllnya yang berdasar pada kenyataan social masyarakatnya, sehingga dapat membangun bangsa, mengembangkan budaya dan ekonomi secara mandiri dengan seluruh sumberdaya yang dimiliki oleh Indonesia.

Terangnya bahwa, pernyataan-pernyataan seperti ini (Yang dikemukakan Agung Laksono/Mengkokesra) hanyalah ilusi semata untuk terus membius rakyat, meredam kemarahan rakyat dan sekaligus membohongi rakyat agar terus dapat dengan sukarela menyerahkan selruh kekayaan Indonesia diatas kuasa mereka. ***

Konteks Kekerasan Terhadap Perempuan Hari Ini

Oleh Seruni

Kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan terhadap hak-hak perempuan, tidak hanya berbasiskan gender namun juga memiliki keterkaitan dengan situasi objektif yang ada. Kekerasan terhadap perempuan memiliki sejarah yang panjang, sejak masa penjajahan Belanda, Jepang hingga penjajahan Imperialis AS saat ini yang terus menempatkan perempuan di kelas yang lebih rendah dan menjadikan perempuan sebagai komoditas dan sekaligus pasar untuk produk-produk mereka. Sangat nyata sekali pada saat sekarang ini di masa feodalisme dan imperialisme saling mendukung dalam melakukan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia, perempuan merupakan unsur yang paling rentan atas segala tindakan kekerasan.

Setidaknya terdapat beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan yang saatini berlangsung di Indonesia:

Kekerasan terhadap perempuan berbasiskan gender

Hal inimerupakan kekerasan yang sangat khas dialami hanya oleh perempuan seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan seks, prostitusi, perbudakan putih, diskriminasi seks di tempat kerja, pelecehan seksual, kekerasan seks oleh aparatur Negara seperti pemerkosaan perempuan oleh aparat militer di daerah konflik, poligami, perbudakan putih, perdagangan perempuan dan anak, dan lain sebagainya.

Kekerasan berbasis gender saat ini sedang mengemuka di Indonesia dengan adanya kasus-kasus pemerkosaan di angkutan umum yang terjadi di Jakarta, pemerkosaan oleh orang dekat atau orang yang akan memberi pekerjaan di berbagai daerah, poligami bupati garut, perdagangan perempuan dan anak untuk dijadikan budak seks atau pekerja seks yang terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia dan lain sebagainya.

Kekerasan terhadap perempuan berbasiskan ekonomi

Kekerasan terhadap perempuan berbasiskan ekonomi merupakan salah satu upaya untuk tetap menjadikan perempuan sebagai masyarakat kelas dua dan selamanya mengalami kekerasan. Artinya adalah, perempuan dipertahankan untuk tetap miskin dan harus terus bergantung kepada laki-laki yang diakui sebagai kepala rumah tangga.

Setiap tahun pemerintah Indonesia mengirimkan 2 (dua) juta Buruh Migran ke luar negeri yang menghasilkan devisa Rp. 625 triliyun setiap tahun; Dimana 90% dari Buruh Migran tersebut adalah perempuan. Perempuan yang menjadi pahlawan devisa ini tidak mendapatkan perlindungan sejati oleh pemerintah, melainkan seolah dibuang dan tidak diperhatikan. Kasus penganiayaan dan pembunuhan BMI, biaya over charging yang tinggi, diskriminasi sebagai tenaga kerja dan sebagainya terus terjadi tanpa adanya perubahan dari tahun ke tahun.

Migrasi perempuan dari desa ke kota atau bahkan hingga ke luar negeri diakibatkan oleh kebijakan perampasan tanah rakyat dan politik upah murah yang dijalankan oleh rezim anti rakyat yang hari ini dipimpin oleh SBY.

Dengan dalih untuk pembangunan ekonomi, SBY telah melakukan perampasan tanah rakyat di seluruh wilayah Indonesia, sebut saja di Cileunyi Jawa Barat untuk pembangunan tol, Jati Gede Sumedang Jawa Barat untuk pembangunan waduk, Rumpin untuk pembangunan fasilitas militer dan Landasan Udara Atang Sanjaya, Ujung Genteng untuk pembangunan mercusuar Angkatan Udara, pertanian nenas di Subang untuk perkebunan sawit, dimana disemua daerah ini digunakan aparat kekerasan dan semakin meminggirkan akses dan kontrol perempuan atas tanah. Kasus serupa juga terjadi diberbagai wilayah Indonesia yang mengakibatkan perempuan semakin miskin dan tidak memiliki pilihan lain selain menjual tenaganya secara murah atau melakukan migrasi ke kota atau ke luar negeri.

Diskriminasi upah, umumnya bagi perempuan yang bekerja di sektor informal pertanian pun merupakan kekerasan yang dipandang biasa. Tenaga perempuan dihargai lebih rendah dibandingkan laki-laki, misalkan di Kabupaten Bandung Jawa Barat dimana buruh tani perempuan dibayar Rp. 13.000/hari dan buruh tani laki-laki dibayar Rp. 15.000/hari. Meskipun upah yang dibayarkan untuk buruh tani perempuan dan laki-laki bukanlah upah yang layak. Bahkan di perkebunan karet di Lampung, tenaga perempuan tidak dihargai sama sekali karena dipandang sebagai pembantu suami-nya, sehingga yang akan dibayar adalah Suaminya meskipun perempuan lah yang melakukan pekerjaan menyadap sisa-sisa getah karet dengan bayaran Rp. 5000/hari. Kasus-kasus serupa banyak terjadi diberbagai daerah pedesaan di Indonesia.

Selain itu, terdapat pula diskriminasi tunjangan antara buruh laki-laki dan perempuan di pabrik. Perempuan tidak mendapatkan tunjangan untuk keluarga dikarenakan perempuan bukan kepala keluarga. Meskipun hari ini terdapat syarat yang umum di pabrik-pabrik ketika ingin merekrut tenaga kerja perempuan dengan upah murah yaitu dengan mensyaratkan belum menikah dan belum punya anak atas nama mengukur produktivitas perempuan dalam bekerja.

 

Kekerasan terhadap perempuan berbasiskan politik

Kasus seperti yang dialami oleh Marsinah merupakan contoh konkrit atas kekerasan terhadap perempuan berbasiskan politik. Hal serupa dapat saja dialami oleh perempuan-perempuan aktivis yang berdiri tegak memperjuangkan hak-hak perempuan dan hak-hak rakyat, bahkan di beberapa komunitas lokal telah terjadi kekerasan seperti ini, dalam bentuk ancaman dan intimidasi. Selain itu, maraknya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan pun menjadi penyumbang yang cukup besar untuk kekerasan terhadap perempuan berbasiskan politik ini. Perempuan dibatasi ruang geraknya dengan diberlakukannya jam malam untuk perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan di daerah konflik

Perempuan di daerah konflik sangat rentan terhadap kekerasan, baik kekerasan yang sifatnya fisik maupun psikis. Pada daerah konflik telah banyak perempuan yang kehilangan keluarganya seperti orang tua, suami dan anaknya. Pada daerah konflik, perempuan pun selalu menjadi korban atas sulitnya kehidupan ekonomi dan rayuan gombal pasukan pengamanan yang didatangkan. Kasus-kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan dapat diketahui kemudian setelah selesainya konflik yang terjadi, sebut saja kasus-kasus yang terjadi di Aceh, Posodan Papua. Ataupun kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada masa tahun 1965 dan 1998. Meskipun daerah konflik tidak selamanya berarti harus ada pasukan militer yang didatangkan kesana.

Kekerasan terhadap perempuan melalui dunia maya

Perkembagan internet telah menjadi trend baru dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kasus adegan pemerkosaan yang telah terjadi kemudian disebarkan secara luas di internet tentu merupakan kekerasan terhadap korban pemerkosaan tersebut. Selain itu, video-video mesum yang dibuat oleh pasangan kekasih kemudian di sebarkan kedunia maya pun merupakan kekerasan terhadap perempuan. Sebut saja kasus Ariel dan Luna Maya, dan kasus-kasus lain yang cukup banyak jumlahnya. Penyebarluasan film-film porno (blue film) pun merupakan kekerasan terhadap perempuan yang menempatkan perempuan sebagai obyek untuk mendapatkan keuntungan.

Sehingga, pada momentum HPI tahun ini dengan tema “Hentikan Segala Kekerasan Terhadap Perempuan” maka sikap yang disampaikan adalah sebagai berikut:

  1. Hentikan perampasan tanah, laksanakan reforma agraria sejati!
  2. Hentikan PHK, Berikan Upah Layak!
  3. Hentikan diskriminasi upah dan tunjangan terhadap perempuan!
  4. Berikan jaminan perlindungan bagi perempuan di ruang publik!
  5. Hentikan perdagangan perempuan dan anak!
  6. Berikan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan!
  7. Hapuskan segala peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan!
  8. Hentikan penggunaan aparat kekerasan dalam penyelesaian konflik!
  9. Cabut UUPPTKILN No.39/2004, Berlakukan Kontrak Mandiri dan Berikan Perlindugan Sejati Bagi Buruh Migran!
  10. Hentikan kekerasan terhadap perempuan melalui elektronik!

Sejarah Singkat Hari Perempuan Internasional

Oleh Seruni

Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret merupakan tonggak sejarah bukti kekuatan kolektif gerakan perempuan. Setelah melalui rangkaian kampanye selama berbulan-bulan, menjalar di seluruh dunia dengan isu-isu sosial ekonomi, perempuan menunjukkan kemampuannya untuk mencetak sejarah perjuangan.

Pada tahun 1909, dalam Pertemuan Internasional Perempuan kedua di Copenhagen-Denmark, disepakati bahwa harus ada momentum yang diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum disepakati tanggalnya. Clara Zetkin, seorang perempuan Jerman, mengusulkan bahwa kaum perempuan di seluruh dunia harus memiliki momentum tertentu dalam setiap tahun dimana mereka dapat memperingatinya sebagai bentuk penghormatan atas kebangkitan kaum perempuan dalam perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonominya.

Tahun 1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia melakukan demonstrasi besar pada minggu terakhir Februari dengan mengusung tuntutan Bread and Peace!” (Roti dan Perdamaian). Empat hari kemudian, tepat tanggal 8 Maret dalam kalender masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh. Kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. Sejak saat itu 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonomi dan kesetaraannya sebagai manusia.

 

Sejarah Perjuangan Perempuan di Indonesia

Bukan hanya perempuan di kawasan Eropa saja yang berjuang melawan penindasan. Perempuan Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam perjuangan. Salah satu di antara aksi-aksinya yang pertama dan paling penting adalah demonstrasi mereka pada tahun 1926 di Semarang, ketika mereka berdemonstrasi dengan mengenakan “caping kropak” atau topi bambu menuntut perbaikan kondisi kerja buruh perempuan. Dalam dasawarsa 1930-an mereka mengorganisasikan demonstrasi-demonstrasi politik perempuan buruh, menuntut peningkatan upah, dan lain-lain. Ketika terjadi pemberontakan kaum tani tahun 1926 banyak perempuan ditahan, bukan sekadar karena membantu suami, tetapi juga disebabkan kegiatan mereka sendiri yang terlibat secara aktif dalam pemberontakan tersebut. Bersama dengan kaum laki-laki, mereka dibuang ke Boven Digul, sebuah kamp konsentrasi Belanda yang terletak di Irian Jaya sekarang. Di antara para perempuan ini ialah Sukaesih dari Jawa Barat dan Munasiah dari Jawa Tengah. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, perempuan merupakan unsur yang juga tidak henti melakukan perjuangan kemerdekaan dengan berbagai bentuknya, baik dalam tingkat lokal maupun ditingkat nasional. Namun nama-nama perempuan bersejarah dan patut dijadikan contoh perjuangan ini tidak banyak ditemukan di dalam diktat sejarah Indonesia, seperti Sukaesih dan Munasih.

Selain aksi demonstrasi, organisasi perempuan Indonesia juga aktif melakukan pelayanan-pelayanan sosial seperti pendidikan, konsultasi rumah tangga, peningkatan ketrampilan dan lain-lain. Namun, sejak tahun 1965, ketika Rezim Orde Baru berkuasa, organisasi perempuan yang memiliki perspektif maju dihancurkan dan digantikan dengan organisasi-organisasi perempuan yang semakin mempertahankan budaya patriarki dan mempertahankan penindasan terhadap perempuan seperti PKK dan Dharma Wanita. Karena itu, muncul stigma bahwa perempuan hanya mengurusi dapur, sumur dan kasur atau sebagai konco wingking suami.

 

Sejak saat itu, perempuan dijauhkan dari persoalan-persoalan politik dan sosial. Perempuan “dikembalikan” ke ranah domestik sebagai pelayan suami dan keluarga serta tidak berhak mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan. Perempuan pun kehilangan akses dan kontrol atas alat produksi dan hasil produksi, meskipun perempuan terlibat aktif dalam proses produksi.

 

Sejak masa pemberangusan gerakan perempuan di Indonesia, rezim yang berkuasa terus menerus mempertahankan penindasan dan penghisapan terhadap perempuan. Perempuan dipertahankan untuk tetap memiliki budaya pasif pada satu sisi dan menjadi obyek komoditas pada pihak yang lain. Inilah percampuran penindasan imperialisme dan feodalisme yang mempertahankan patriarki. Perempuan dibiarkan dan dipertahankan untuk menjadi masyarakat kelas dua sehingga sanggup menerima berbagai macam bentuk kekerasan yang berbasiskan gender, ekonomi, sosial dan politik.

 

Penindasan dan penghisapan oleh imperialisme dan feodalisme yang dijalankan oleh rezim anti rakyat SBY-Boediono semakin mempertahankan eksistensi patriarki dan mengaburkan pandangan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang biasa dan semua itu terjadi dikarenakan perkembangan masyarakat tanpa mampu melihat bahwa ini merupakan akibat dari dipertahankannya budaya patriarki dan berkuasanya rezim anti rakyat. ***

PENOLAKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI UPAYA MENYELAMATKAN PENDIDIKAN DARI SKEMA LIBERALISASI KAPITALIS MONOPOLI INTERNASIONAL

Oleh: Front Mahasiswa Nasional

Pendidikan tinggi merupakan salah satu jenjang dalam penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan untuk membangun taraf kebudayaan rakyat baik dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya dapat dimanfaatkan oleh rakyat untuk mendayagunakan segala macam potensi alam yang ada disekitarnya baik untuk pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, perindustrian dan  pertambangan. Selain itu, kemajuan tersebut juga dapat dipergunakan untuk pengembangan telekomunkasi dan transportasi yang bisa dimanfaatkan rakyat dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam menyukseskan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa tentunya dibutuhkan kebijakan yang mampu mewujudkan hal tersebut. Namun, pendidikan tinggi sejak adanya GATS (General Agreement on Trade and Services) yang ditanda tangani oleh puluhan negara termasuk Indonesia merupakan satu bentuk dominasi dan kooptasi yang dilakukan oleh kapitalis monopoli internasional (Impeiarialisme). Dalam kesepakatan tersebut, pendidikan tinggi dijadikan salah satu komoditas dari 12 komoditas jasa yang dapat diperdagangkan dalam bentuk jasa penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Tujuan Imperialisme dalam mengkooptasi dan mendominasi penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah meraih keuntungan dari hasil penyelenggaraan pendidikan yakni, 1) hasil temuan terapan yang dapat mendukung industri mereka, 2) mendapatkan keuntungan finansial dari hasil penarikan biaya penyelenggaraan pendidikan, dan yang tidak kalah penting adalah 3) melakukan dominasi atas kebudayaan suatu negara termasuk Indonesia dalam bentuk teori-teori, ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Imperialisme membutuhkan rezim boneka dalam negeri untuk merealisasikan hal tersebut dengan salah satu caranya yakni mengeluarkan kebijakan yang melapangan tujuan Imperialisme tersebut. Kondisi tercermin dari kebijakan yang sejak tahun 1999 dengan dikeluarkannya PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN, UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, UU no 9 tahun 2009 tentang BHP, PP no 17 dan 66 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Terakhir berupa RUU tentang Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP, dan beberapa pasal dalam UU no 20 tahun 2003 yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat atau tidak berlaku lagi.

RUU Pendidikan Tinggi yang digulirkan oleh rezim Boneka yakni SBY melalui legislatif (DPR-RI), merupakan salah satu bentuk kebijakan yang mengakomodasi kepentingan Imperialis dan wujud  realisasi dari GATS yang sudah ditanda tangani oleh Indonesia. Hal inilah yang yang menjadi latar belakang utama mengapa kita harus menolak RUU Pendidikan Tinggi. Tidak ketinggalan pula, ada alasan secara sosiologis dan politis yang menjadi landasan dalam upaya penolakan RUU Pendidikan Tinggi. Karena, jika kita terjebak pada soal yang bersifat normatif semata atau hanya membahas pada pasal-pasal yang tercantum dalam rancangan undang-undang tersebut dalam kacamata hukum positif, maka kita akan mengalami kebuntuan dalam menganalisis penyebab dan mencari jalan keluar dalam upaya penolakan RUU Pendidikan Tinggi. Dengan demikian,  dalam menganalisis pasal-pasal yang tercantum dalam RUU Pendidikan Tinggi, disamping yang bersifat normatif kita juga harus melihat keterkaitannya dengan historis lahirnya RUU Pendidikan Tinggi, politik kepentingan yang terkandung dalam RUU Pendidikan Tinggi, dan dampal sosial jika diberlakukannya RUU Pendidikan Tinggi.

Berikut penjelasan dan analisa tentang RUU Pendidikan Tinggi (draf RUU Pendidikan Tinggi per 4 April 2012) dengan menggunakan berbagai macam perspektif baik historis, politik kepentingan, dampak sosiologis, kontradiksi normatif antara RUU Pendidikan Tinggi dengan Konvenan Ekosob dan UUD 1945 serta potensi komersialisasi pendidikan tinggi :

  1. Sejarah Lahirnya RUU Pendidikan Tinggi

Suatu undang-undang  tidak lahir begitu saja sebelum melewati masa pembahasan dalam bentuk RUU untuk oleh DPR yang memiliki kewenangan legislasi. Adapun beberapa motif yang mendorong terbentuknya suatu undang-undang yakni, 1) Amanat dari Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang, 2) Perjanjian Internasional, 3) Kebutuhan Masyakarat atas Hukum. Motif pertama dapat kita ketahui bersama dengan lahirnya UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat  atau UU tentang APBN yang merupakan amanat dari UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU BPJS yang merupakan amanat dari UU SJSN. Motif kedua dapat kita ketahui dengan adanya UU no 39 tahun 1999 tentang HAM yang merupakan amanat dari Konvensi tentang HAM Sipil dan Politik dan UU no 12 tahun 2005 tentang ratifikasi HAM Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU no 1 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan amanat dari WTO. Sedangkan untuk motif ketiga sering disalah gunakan oleh pemerintah untuk membentuk UU yang sesungguhnya tidak menjawab persoalan atau kebutuhan masyarakat. Motif yang inilah sering dijadikan kedok oleh pemerintah untuk membentuk suatu Undang-Undang.

Sejarah lahir RUU Pendidikan Tinggi memiliki keterkaitan dengan kepentingan kapitalis monopoli internasional yang mendesak negara-negara berkembang atau dunia ketiga seperti Indonesia untuk melakukan liberalisasi disegala sektor termasuk pendidikan dengan melakukan pencabutan subsidi publik, deregulasi dan privatisasi. Fakta tersebut merupakan manifestasi dari SAP (structural adjustment program) yang dipakaskan kepada negara-negara berkembang melalui rezim boneka dalam negeri. SAP dikenal sebagai bentuk kebijakan neoliberal yang merupakan jalan atau wadah bagi Imperialis atau kapitalis monopoli internasional untuk mendominasi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Salah satu wujud dari SAP melalui lembaga perdagangan Internasional yang bernama WTO. Pada tahun 1995, menjerumuskan negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk meratifikasi GATS. Dalam GATS diatur bahwasanya bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus meliberalisasikan 12 sektor jasa yang salah satunya adalah pendidikan tinggi agar menjadi komoditas yang diperdagangkan secara internasional. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pencabutan subsidi atas pendidikan, penghapusan peraturan perundan-undangan dan digantikan dengan yang baru agar dapat mempermudah realisasi atas liberalisasi pendidikan atau yang lebih dikenal sebagai deregulasi dan melakukan privatisasi lembaga pendidikan.

Pemerintahan boneka yakni rezim fasis Soeharto, telah bekerja sama dengan lembaga keuangan internasional (IMF) untuk mempermulus arus liberalisasi sektor publik termasuk pendidikan yang tertuang dalam letter of intent. Pada tahun 1999, pemerintah melalui PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN telah mengubah 5 PTN menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (UI, ITB, IPB, UGM dan UNAIR). Akhirnya dengan PP tersebut, ke lima PT BHMN melakukan pencarian dana secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan biaya penyelenggaraan pendidikan di masing-masing institusi.

Dalam perkembangannya, kondisi tersebutlah yang kemudian melahirkan praktek komersialisasi pendidikan tinnggi hingga menjadikan dunia pendidikan tinggi semakin sulit diakses oleh rakyat Indonesia yang berpenghasilan rendah seperti anak yang berasal dari buruh, petani, pegawai rendahan, pedagang asongan dll. Kondisi tersebut juga mendorong PTN-PTN lainnya untuk melakukan hal yang sama karena PT BHMN memiliki otonomi yang luas baik dalam bidang akademik dan non akademik. Hal inilah menjadi latar belakang adanya UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas yang di pasal-pasalnya mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus berbentuk bahan hukum pendidikan (pasal 53) dan penyelenggaraan pendidikan tinggi harus otonom (pasal 24 dan pasal 50 ayat 1) [i].

Pada perjalanannya, pasal 53 UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional melahirkan UU no 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pelaksanaan dari UU no 9 tahun 2009 telah melahirkan dua PTN yang berubah menjadi BHP yakni USU dan UPI. Selain itu, banyak pula PTN-PTN yang berlomba-lomba ingin menjadi PT BHP. Dan banyak pula PTN yang ingin menjadi PT BLU berdasarkan PP no 17 tahun 2010 tentang penyelenggaraan pendidikan dan PP no 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU. Baik BHP maupun BLU memiliki sifat otonom dalam bidang pendidikan dan non pendidikan yang hanya melahirkan praktek komersialisasi pendidikan dengan ditandai mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh setiap peserta didik.

Selain itu, salah satu bentuk privatisasi pendidikan tinggi juga dapat kita lihat banyaknya PTS-PTS yang berdiri dengan bentuk yayasan yang bersifat Nirlaba. Pendirian PTS-PTS merupakan salah satu model pengaplikasian dari privatisasi pendidikan yang tercantum dalam UU no 20 tahun 2003 dengan dalih peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan atau dalam hal ini pendidikan tinggi yang bersifat nirlaba. Namun, pada perkembangannya PTS-PTS yang bermunculan sebagai manifestasi dari pasal 50 UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas juga melahirkan praktek komersialisasi pendidikan yang ditandai tingginya biaya pendidikan. Praktek komersialisasi pendidikan di PTS yang dibawah naungan pasal 50 UU no 20 tahun 2003 dapat kita lihat dari besarnya biaya SPP, biaya per sks, biaya masuk (sumbangan) dan biaya praktikum. Dengan tingginya biaya pendidikan di PTS-PTS dan konsep penerapan nirlaba pada PTS-PTS tentunya sudah kontradiktif. Hal ini dikarenakan setiap penerimaan dan pengeluaran ditetapkan oleh badan hukum tertentu atau yayasan lalu dilaksanakan oleh PTS sebagai institusi pelaksana. Yayasan inilah yang sering memanfaatkan posisinya sebagai pendiri untuk mengeruk pendapatan dengan menetapkan biaya pendidikan yang akan dikenakan kepada peserta didik dan dikumpulkan uang dari biaya pendidikan oleh PTS tersebut.

Kewenangan yang dimiliki oleh PTS atau dalam hal ini yayasan pendiri PTS yakni dalam bentuk otonomi baik dalam bidang akademik maupun non akademik yang membuka keran potensi peluang adanya praktek komersialisasi pendidikan sebagaimana yang terjadi di PTN-PTN baik yang berbentuk BHMN, BHP maupun BLU. Pada perjalanan berikutnya pada akhir bulan maret 2010, UU no 9 tahun 2009 tentang BHP dibatalkan oleh MK dan PP no 17 tahun 2010 pun diubah menjadi PP no 66 tahun 2010 yang isinya tentang perubahan status pengelolaan keuangan bagi PT BHMN ataupun PT BHP menjadi PTN BLU atai PTN biasa. Akan tetapi, pada akhir tahun 2010 DPR RI bersam kemendikbud merancang secara bersama-sama RUU Pendidikan Tinggi yang kelaka akan mengatur lebih spesifik tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Adapun salah satu landasan filosofi dibentuk RUU Pendidikan Tinggi yang termuat dalam naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per maret 2011 yang sedang disusun oleh DPR dan kemendiknas adalah Otonomi Perguruan tinggi menjadi salah satu prasyarat utama agar peran yang diharapkan dapat dijalankan dengan baik dan dapat menunjukkan akuntabilitas yang baik pula yang dapat diterima oleh masyarakat luas sesuai dengan perannya dan sedangkan peran salah satu landasan yuridis utnuk menyusun RUU Pendidikan Tinggi adalah Pengaturan lebih lanjut tentang otonomi perguruan tinggi ini perlu dituangkan dalam undang-undang yang dapat mewadahi otonomi di bidang akademik maupun non akademik yang diperlukan oleh perguruan tinggi dalam menjalankan perannya, dan yang dapat diterima oleh masyarakat luas sebagai bagian dari akuntabilitas perguruan tinggi sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat 2 dan 3 serta pasal 50 ayat 6 UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas[ii].

Landasan filosofi dan yuridis tersebut tertuang di beberapa pasal dalam RUU Pendidikan Tinggi per 4 April 2012 yang digunakan sebagai bahan raker antara Komisi X DPR-RI dengan Kemendikbud. Pasal-pasal yang merupakan manifestasi dari pemberiaan otonomi yakni pasal 64 hingga 69 yang masuk dalam bagian ke empat tentang pengelolaan perguruan tinggi. (pembahasan tentang otonomi perguruan tinggi akan dibahas pada poin poliik kepentingan RUU Pendidikan Tinggi)

  1. Politik Kepentingan Kapitalis Monpoli Internasional Dalam RUU Pendidikan Tinggi

Banyak upaya yang dilakukan oleh kapitalis monopoli Internasional atau Imperialis baik melalui WTO, IMF dan World Bank yang dikenal sebagai unholy trinity. Ketiga lembaga tersebut digunakan oleh imperialis sebagai tentakel-tentakel untuk negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia yang juga disokong oleh rezim boneka dalam negeri yang saat ini dipimpin oleh SBY. Banyak program yang dilakukan oleh Bank Dunia agar institusi pendidikan dapat berubah menjadi salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan. Higher Education for Compt Project (HECP) pada awal tahun 2000an lalu berubah menjadi Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency atau dikenal dengan program IMHERE. Bank dunia pun menjelaskan bahwasanya untuk menyukseskan tersebut harus ada UU (legal structure) yang melandasi pelaksaanaan liberilasasi pendidikan tinggi agar dapat membentuk institusi pendidikan yang otonom (institutional autonomy).

Program yang memakan jutaan dolar ini mencekoki rakyat Indonesia melalu rezim boneka dalam negeri yakni SBY agar secara mengeluarkan kebijakan dalam bentuk UU agar terbentuknya sebuah pendidikan tinggi yang effiesien. Pendidikan tinggi yang efisien yang dimaksudkan adalah pendidikan tinggi yang tidak memakan uang negara dan mampu secara otonom melaksanakan fungsi akademik serta non akademik. Maka pada tahun 2009, dibawah pemerintahan boneka yang dipimpin oleh SBY, Indonesia melahirkan UU BHP dan pada akhirnya dibatalkan oleh MK pada tahun 2010. Akan tetapi, dalam perkembangannya pemerintahan Indonesia dibawah kepemimpinan SBY tidak tinggal diam agar upaya untuk meliberalisasikan pendidikan tinggi melalui rancangan pendidikan tinggi.

Wujud dari politik kepentingan kapitalis monopoli dalam RUU Pendidikan Tinggi sangatlah jelas dalam pasal-pasal yang tercantum dalam RUU tersebut. Manifesasi dari liberalisasi pendidikan yakni, dengan minimnya subsidi dari negara untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini dapat kita lihat dari pasal 89 ayat 3 yang menjelaskan pemerintah paling sedikit mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana bantuan operasional. Bantuan dana operasional di PTN meliputi untuk membiayai  investasi, pegawai, operasional, dan pengembangan institusi dan di PTS meliputi untuk investasi[iii] dan pembangunan.

Kenyataan tersebut terwujud dalam APBN-P 2012 anggaran pendidikan adalah Rp 285 Triliun. Kurang lebih 137 Triliun dari 285 Triliun adalah untuk gaji. Sebanyak 100 Triliun lebih anggaran ditransfer ke daerah untuk BOS, dana bagi hasil, gaji guru, dan pembangunan sekolah. Sebanyak Rp 50 Triliun untuk kementrian lainnya. Sebanyak 57,8 Triliun anggaran dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara anggaran untuk pendidikan tinggi hanya 5 Triliun. Anggaran 5 Triliun sangatlah sedikit jumlahnya, karena jumlah perguruan tinggi di Indonesia adalah 3150 perguruan tinggi. Apalagi dengan adanya penetapan minimal 30% dari total anggaran untuk penelitian akan semakin minimnya dana yang dimiliki oleh setiap PTN dan PTS untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Dengan minimnya, dana yang diberikan oleh pemerintah kepada setiap PTN dan PTS maka hal wajar, pemerintah SBY yang merupakan kaki tangan dari kapitalis monopoli internasional memberikan otonomi dalam bidang non akademik atau dalam hal ini keuangan. Dengan adanya otonomi ini, setiap PTN dan PTS memiliki kewenangan dalam hal menetapkan jenis biaya pendidikan di luar biaya penyelenggaraan pendidikan yang tercantum dalam pasal 88 ayat 1 atau lebih dikenal dengan SPP. Kondisi biaya pendidikan diluar SPP sudah lama terapkan oleh setiap PTN dan PTS untuk menarik dana dari masyarakat atau dalam hal ini mahasiswa dan atau orang tua mahasiswa dengan nilai yang sangat tinggi agar dapat menutupi kekurangan dana untuk pembiayaan operasionalisasi penyelenggaraan pendidikan tingg di Indonesia.

Penerapan menarik dana dari masyaraka selain SPP, dapat kita lihat di UI ada Admission Fee yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 dan Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, disingkat BOP-B. Kondisi ini juga terjadi di UNSRI, ada Dana Pengembangan Pendidikan dan Dana Pengembangan Lembaga, di Unibraw ada Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan, dan biaya lain-lain, di UPI ada Dana Pengembangan Lembaga dan Biaya Peningkatan Mutu Akademik, dan di UGM ada Biaya Operasional Pendidikan serta Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik. Varian-varian biaya kuliah inilah yang tidak diatur dalam RUU PT dan nilai dari biaya diluar SPP ini sangatlah besar.

Untuk mendukung hal tersebut, maka pemerintah memberikan otonomi khusus kepada setiap PTN juga dapat kita lihat pada pasal 67 yang menjelaskan bahwasanya PTN dapat berbentuk PPK BLU (sesuai dengan PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU) dan Badan Hukum yang ditentukan secara selektif oleh pemerintah. Bentuk pengelolaan PPK BLU, setiap PTN memiliki otonomi dalam menentukan jenis tarif dan besar tarif sebagai biaya atas jasa yang telah diberikan berdasarkan pasal 19 PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU.

Sedangkan, PTN yang berbentuk badan hukum memiliki otonomi untuk mengelola dan secara mandiri baik yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat yang berasal dair SPP dan non SPP seperti yang dijelaskan pada pasal 67 ayat 3 huruf c. Serta, khusus untuk PTN yang berbentuk badan hukum juga dapat mendirikan badan usaha yang dimana laba tersebut digunakan untuk menutupi kekurangan pembiayaan operasionalisasi pendidikan tinggi seperti yang dijelaskan pada pasal 67 ayat 3 huruf e. kondisi tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi di PTS karena berdasarkan pasal 68, pola pengelolaan keuangan diserahkan kepada badan penyelenggara pendidikan atau dalam hal ini yayasan pendiri. Praktek pembukaan badan usaha baik PTN yang berbadan hukum dan PTS dapat kita lihat kebijakan IPB yang mendirikan Botani Square yang dijadikan sebagai sarana rekreasi dan penelitian, IPB juga mendirikan hotel berbintang 5. UPI membangun stadion sepak bola yang disewakan kepada salah satu klub sepak bola, UGM mendirikan GAMA Multi Usaha, UAD juga juga mendirikan ADI TV, UNRAM mendirikan rumah sakit pendidikan UNRAM dan UII juga membuka JIH (Jogja Internasional Hospital). Dari pendirian badan usaha ini, diharapkan mampu menutupi kekurangan biaya operasional berdasarkan laba yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga. Namun, pada kenyataan hal tersebut tidak berpengaruh terhadap aksesbilitas masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi karena biaya pendidikan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tersebut sangatlah mahal.

Sedangkan otonomi di dalam hal penelitian (bidang akademik), sangat membuka peluang bahwasanya hasil dari penelitian yang dilakukan oleh setiap peserta didik/mahasiswa dan dosen dapat dipergunakan untuk sarana komersil. Hal ini dikarenakan hasil penelitian tersebut “diperjualbelikan” kepada dunia industri dan dunia usaha. Apalagi, dengan adanya dominasi kapitalis monopoli asing maka hasil penelitian baik dalam penelitian terapan dan murni yang dilakukan di setiap PTN dan PTS hanya digunakan untuk mengeruk keuntungan atau profit bagi mereka.

Dengan minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam ranah penelitian. Perguruan tinggi juga memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan usaha dan industri. Tentunya dari hasil kerjasama dan kemitraan tersebut, perguruan tinggi mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dan menjual hasil penelitiannya kepada dunia usaha/industri. Untuk itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi juga diatur dalam pasal 47 ayat 1.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari rektor IPB yang menjelaskan bahwasanya orienstasi dari hasil penelitian memang harus diarahkan ke hal yang komersil agar menutupi kekurangan dana yang dibutuhkan oleh setiap institusi pendidikan tinggi[iv]. Maka, kondisi ini sangat membuka peluang bahwasanya hasil penelitian akan digunakan untuk perusahaan-perusahan besar milik borjuasi komprador dan atau perusahaan-perusahaan milik kapitalis monopoli Internasional. Dengan demikian landasan hasil penelitian yang dapat diabdikan untuk kepentingan rakyat Indonesia atau dapat membangun industri nasional akan ternegasikan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa yang hanya mengutamakan profit semata.

Pemberian otonomi dalam ranah keuangan yang masuk dalam bidang non akademik kepada PTN merupakan konsekuensi yang harus dijalankan berdasarkan skema milik kapitalis monopoli internasional dalam hal pencabutan subsidi pendidikan sebagai upaya untuk meliberalisasikan pendidikan tinggi di Indonesia. Peran negara dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi akan tergantikan oleh peran masyarakat. Dengan demikian proses liberalisasi pendidikan tinggi dapat berjalan sukses di Indonesia.

Dilain pihak, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi yang menjadi manifestasi dari liberalisasi pendidikan yang ditelurkan oleh kapitalis monopoli internasional melalui rezim boneka dalam negeri yakni SBY. Dalam RUU Pendidikan Tinggi seperti yang tertuang dalam naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per maret 2011 menjelaskan bahwasanya seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan menjalankan dua pola yakni 1) diangkat oleh pemerintah yang kelak sebagai PNS dan 2) diangkat oleh badan penyelenggaraan atau perguruan tinggi yang bersangkutan yang kelak akan disebut sebagai pegawai perguruan tinggi. Dengan demikian, pola kedua merupakan manifestasi dari skema labour market flexibellity (LMF) atau dikenal kenal fleksibelitas pasar tenaga kerja.

Skema LMF ini tentunya akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Penerapan skema ini dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mengakali tingkat pengangguran yang tinggi di negara-negara berkembang. Namun, jaminan atas masa depan bagi tenaga kerja yang terjebak skema ini sangatlah suram. Hal ini dikarenakan kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial yang didapatkan dan hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Praktek pembukaan outsourcing di dalam kampus pun sudah berjalan misalnya UI. Lembaga outsourcing ini pun menjadi salah satu sumber pendapatan bagi UI, UPI, dan UGM yang masih berstatus PT BHMN.

Kondisi tersebut, termanifestasikan dari skema tersebut dapat kita lihat dari pasal 70 ayat 4 dan 6. Dalam pasal tersebut dijelaskan bagi dosen dan tenaga kependidikan dapat diangkat oleh badan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dan memberikan gaji pokok dan tunjangan peraturan yang berlaku. Khusus untuk tenaga kependidikan seperti pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi sebagai pegawai rendah akan membuka peluang praktek outsourcing di dalam tubuh pendidikan tinggi. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Gaji dan tunjangan yang didapatkan oleh tenaga kependidikan pun akan berbeda dengan dosen PNS maupun non PNS karena harus mengikuti peraturan dengan UMK/R berdasarkan lokasi badan penyelenggaraan pendidikan yang bersangkutan dilaksanakan. Kondisi tersebut, juga salah satu praktek otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi di ranah kepegawaian dalam bidang non akademik.

Selain itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi kali ini juga membuka peluang adanya persaingan yang tak seimbang antara PTS didalam negeri dengan PT yang berasal dari negara-negara lain. Dalam RUU Pendidikan Tinggi juga diatur tentang pendirian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia yang termaktub dalam pasal 90. Dengan adanya pendirian PTA di Indonesia akan membuka peluang adanya penutupan PTS-PTS di Indonesia. Hal ini dikarenakan PTA-PTA yang dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki prasyarat tertentu, seperti adanya akreditasi dari pemerintah PTA yang bersangkutan. Dengan masih rendahnya kualitas akreditasi PTS-PTS yang ada di Indonesia, maka peran PTS-PTS tersebut tergantikan. Hal ini dikarenakan PTA-PTA yang akan menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki kualitas yang tentunya lebih baik daripada PTS-PTS di Indonesia. Di satu sisi lainnya, PTA-PTA tersebut juga juga establish atau mapan dalam hal pengelolaan keuangan. Hal ini berbeda dengan kondisi PTS-PTS di Indonesia yang sering bermasalah dengan pengelolaan keuangan.

Selain itu, PTA-PTA tersebut, juga tidak menutup kemungkinan akan menjadi alat bagi kapitalis monopoli internasional untuk mendominasi dan menghegemoni kebudayaan rakyat Indonesia secara langsung melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangan di Indonesia. Kondisi ini dapat kita lihat, dari banyaknya tenaga-tenaga ahli yang dipekerjakan di perusahaan-perusahaan milik kapitalis monopoli Internasional seperti Chevron, Adaro, Freeport, Exxon yang sejatinya hanya mengeksploitasi dan memonopoli kekayaan alam milik Indonesia. Dari sinilah kita melihat adanya politik kepentingan kapitalis monopoli internasional atau imperialis berupa persaingan yang tidak sehat antara PTS-PTS dengan PTA dan upaya dominasi serta hegemoni yang dihasilkan oleh PTA yang diselenggarakan di Indonesia.

Dari sekian penjelasan diatas maka kita dapat melihat bersama secara terang tentang politik kepentingan kapitalis monopoli internasional melalui struktur politik di dalam negeri Indonesia yang dijalankan oleh SBY sebagai kaki tangan pada periode ini.

  1. Dampak Sosiologis RUU Pendidikan Tinggi

Pemuda Indonesia yang berusia 19-24 tahun dengan jumlah 25,404 juta jiwa tentunya diantara mereka masuk dalam keluarga miskin atau dari kalangan menengah kebawah. Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS, bahwa jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa. Mereka yang masuk dalam kategori miskin memliki pendapatan perkapita selama sebulan sebesar Rp 233.740 perkapita tiap bulannya (PBB menetapkan garis kemiskinan $2 perhari sedangkan Indonesia Rp 7791 perhari, atau samadengan kurang dari $1).

Sedangkan penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp 233.740 hingga Rp 280.488 masuk dalam kategori penduduk hampir miskin[v] pada Maret 2011 berjumlah 27,12 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk atau mengalami peningkatan yang pada tahun lalu berjumlah 22,99 juta atau 9,88%[vi]. Jadi total penduduk miskin dan hampir miskin sejumlah 53,49 juta jiwa. Dengan demikian bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik sudah dapat dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Selanjutnya kita menggunakan variabel pekerjaan yang dikeluarkan oleh BPS periode Agustus 2011. Menurut BPS secara dominan rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Dengan jumlah petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa atau 33,88% dari total angkatan kerja di Indonesia tentu merekalah yang secara umum merasakan efek jika RUU PT ini diberlakukan atau disahkan. Hal ini dikarenakan pendapatan mereka selama sebulan tidak lebih dari Rp 550.000 – Rp 750.000 perkapita perbulannya.

Dengan kondisi masyarakat Indonesia dengan jumlah biaya pendidikan tinggi yang harus dibayarkan (lihat table I) oleh setiap peserta didik. Maka menjadi hal yang wajar jika tidak semua lulusan atau peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah baik SMA, MA atapun SMK melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Hal ini tergambar dari data yang dirilis oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan tentang angka partispasi kasar pendidikan tinggi sejak tahun ajaran 2003/2004 hingga 2010/2011 dibawah ini :

Tabel I

Aksesibilitas Pendidikan Tinggi[vii]

No

Akhir Tahun Ajaran

Jumlah Lulusan Tingkat

Menengah

Melanjutkan ke PT

Tidak Melanjutkan ke PT

Putus Kuliah

Jumlah Mahasiswa

1 2003/2004 1.799.764 1.240.549 (68,93%) 559.215 (31,07%) 219.335 (6,37%) 4.343.288
2 2004/2005 1.831.326 976.877 (53,34%) 854.449 (46,66%) 281.933 (7,86%) 3.585.728
3 2005/2006 1.914.584 865.802 (45.22%) 1.048.802 (54,78%) 468.586 (12,79% ) 3.663.435
4 2006/2007 1.943.378 875.695 (45,06%) 1.067.683 (54,94%) 470.219 (12,52%) 3.755.187
5 2007/2008 1.997.150 1.224.098 (61,29%) 773.053 (38,71%) 530.293 (12,12%) 4.375.354
6 2008/2009 1.841.531 960.652 (52.16%) 880.879 (47,83%)

4.281.695
7 2009/2010 1.988.429 1.024.379 (51,52%) 964.050 (48,48%)

4.337.039
8 2010/2011 2.388.541

4.581.351
  1. Kontradiksi Normatif Antara RUU Pendidikan Tinggi Dengan Konvenan Ekosob dan UUD 1945

Kovenan Ekosob pasal 13 ayat (2) huruf a sampai c, dimana Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis untuk pendidikan dasar serta pengadaan pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi cuma-cuma secara bertahap. Dengan demikian, terdapat dua dimensi kewajiban Negara, yang pertama adalah bahwa kewajiban itu harus dilakukan dengan melakukan tindakan aktif. Sementara yang kedua, Negara justru harus pasif dan tidak melakukan intervensi untuk menghormati hak atas pendidikan itu sendiri. Sehingga, terdapat aspek dimana dibutuhkan campur tangan dan peran serta aktif Negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Keberlakuan Kovenan Eksosob ini adalah sama dan setara dengan Undang-undang, sejak diratifikasinya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Artinya, semua pasal yang ada di Kovenan Ekosob bersifat mengikat dan harus dipatuhi layaknya Undang-undang yang dibuat DPR dan Presiden. Dengan demikian, kewajiban Negara terhadap penyediaan pendidikan, tidak hanya berhenti pada pendidikan dasar atau menengah, namun juga pada pendidikan tinggi.

Kewajiban bagi Negara pihak untuk mengusahakan pendidikan tinggi yang gratis itu jelas harus dilaksanakan. Dengan kata lain, pemerintah sebagai mebuat kebijakan sama sekali tidak dapat membentuk kebijakan yang justru menegasikan perannya dalam penyediaan pendidikan tinggi secara gratis, dan mengalihkan tanggung jawab pendanaan pendidikan tinggi kepada masyarakat.  Sebagaimana disebutkan dalam The Limburg Priciples on The Implementation of The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights[viii] kegagalan negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan dapat  dikarenakan tindakan aktif (acts of commision) atau tindakan pasif (acts of ommisison) dimana pelanggaran terjadi ketika negara tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga hak tersebut tidak dapat diwujudkan.

Berdasarkan Panduan Maastricht[ix] (Maastricht Guidliness on Violation of Economic, Social, and Cultural Rights) kewajiban negara dalam Hak Ekosob meliputi kewajiban untuk memenuhi, kewajiban untuk melindungi, dan kewajiban untuk menghormati. Menurut Panduan Maastricht, kegagalan untuk menjalankan satu atau semua kewajiban tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB.

Namun, amanat yang telah dituangkan oleh Konvenan Ekosob tidaklah terlihat dari upaya pemerintahan dibawah pimpinan SBY. Hal ini dapat kita ketahui bersama sejak RUU Pendidikan Tinggi digulirkan pada awal tahun 2011 hingga sekarang, pemerintah tidak memiliki semangat atau upaya secara bertahap untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang cuma-cuma. Kondisi tergambar dari tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam RUU Pendidikan Tinggi malah melahirkan potensi komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan mahalnya biaya pendidikan dengan berbagai macam varian jenis sumbangan yang harus dibayarkan oleh setiap calon peserta didik. Hal ini dikarenakan pendanaan dan alokasi untuk pembiayaan dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi baik untuk PTN dan PTS sangatlah kecil. Apalagi PTS mendapatkan dana dari pemerintah lebih kecil dari PTN. Dengan demikian, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi per 4 april 2012 ini bertentangan dengan Konvenan Internasional yang sudah diratifikasi dan di Undangkan sendiri oleh SBY sendiri. Inilah watak dari rezim boneka yang hanya mementingkan kepentingan kapitalis monopoli internasional.

Sedangkan, pelanggaran pun dapat terjadi jika RUU Pendidikan Tinggi disahkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Diksriminasi dalam akses pendidikan yang terpesan secara eksplisit dalam RUU Pendidikan Tinggi pada pasal 73 ayat 1, Setiap PTN wajib menerima calon mahasiswa Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh mahasiswa baru yang tersebar pada semua program studi. Sedangkan untuk di PTS, diserahkan pada mekanisme yang ditetapkan oleh badan penyelenggara yang bersangkutan seperti yang termuat dalam pasal 72 ayat 6.

Dari pasal 73 ayat 1 tersebut, secara jelas bahwasanya pemerintah telah melakukan pelanggaran konstitusional. Hal ini dikarenakan dalam pasal 31 ayat 1 UUD secara tegas menegaskan bahwasanya setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, dalam pasal yang tercantum dalam RUU PT tersebut pemerintah telah menegasikan calon peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi dan lemah dalam akademik. Padahal sejatinya pendidikan merupakan proses pengembangan potensi dan kapabilitas setiap peserta didik di setiap penyelenggaraan pendidikan. Jika hal tersebut diterapkan mak, penyelenggaraan pendidikan tinggi tak ubahnya sebuah pabrik yang hanya memilih bahan-bahan baku yang berkualitas agar outputnya pun berkualitas. Namun, hal tersebut sekali lagi telah mencederai semangat dari UUD 1945 pasal 31 yang menginginkan setiap warga negara Indonesia dapat berpartisipasi dalam pengembangan kebudayaan dan teknologi bangsa dengan mengikuti setiap jenjang penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Terakhir, perihal penyimpangan UUD 1945 pasal 31 ayat 4 tentang tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan. Hal ini termuat dengan pasal 75 ayat 1 huruf c yang menjelaskna bahwa pemerintah memberikan pinjaman tanpa bunga kepada mahasiswa untuk biaya pendidikan dan dikembalikan setelah mendapatkan pekerjaan. Upaya tersebut tentu sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal ayat 4. Padahal senyatanya jika pemerintah memang konsisten ingin membiayai penyelenggaraan pendidikan khususnya kepada peserta didik yang sedang menempuh jenjang pendidikan tinggi harusnya dalam bentuk subsidi secara langsung tanpa harus dikembalikan. Konsep pemberian pinjaman kepada mahasiswa untuk membayar biaya kuliah

  1. Potensi Komersialisasi di Dalam Tubuh Pendidikan Tinggi

Komersialisasi secara diksi mengandung makna adanya pertukaran atas kesepakatan (dalam hal diperdagangkan) untuk menikmati barang atau jasa dengan sejumlah uang atau barang sebagai pengganti dari pemakaian barang dan jasa. Dengan menggunakan diksi komersialisasi pada dunia pendidikan di Indonesia tentunya merupakan yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan sekarang untuk menikmati jasa pelayanan publik seperti pendidikan haruslah memberikan balasan berupa uang atas pemakaian jasa yang bernama pendidikan.

Dalam RUU Pendidikan Tinggi sangat jelas dan kentara sekali akan praktek komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengikutsertaan masyarakat dalam mendanai penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dalam bentuk sumbangan[1]. Selain sumbangan, juga ada SPP, Pratikum dan biaya-biaya lainnya yang dibayarkan setiap semester yang memiliki tendensi kenaikan jumlah atau besaran tiap tahunnnya atau tiap ajaran baru.

Berdasarkan data yang kami himpun dari tahun ajaran 2009/2010 hingga tahun ajaran 2011/2012 biaya pendidikan untuk perguruan tinggi nominal yang harus dibayarkan cukup besar. Berikut data biaya pendidikan untuk Strata 1 (S1) yang berhasil kami peroleh:

 

Tabel II

Biaya Pendidikan di Sejumlah Perguruan Tinggi

No Nama Universitas Nominal Biaya Pendidikan (registrasi ulang) Nominal Biaya Pendidikan (per semester) Keterangan
1 Universitas Negeri Malang Rp 6 jt – 12 jt Rp 1,5 jt– 2 jt Tahun ajaran 2010/2011
2 Universitas Andalas Rp 3 jt – 27 jt Rp 1,5 jt– 3 jt Tahun ajaran 2010/2011
3 Universitas Sriwijaya Rp 3,6 jt – 68 jt Rp 1,1 jt– 6,7 jt Tahun ajaran 2009/210
4 Universitas Brawijaya Rp 13 jt – 168 jt Rp 1,6 jt– 8,5 jt Tahun ajaran 2011/2012
5 Universitas Pendidikan Indonesia Rp 12 jt – 14 jt Rp 3,4 jt – 6,2 jt Tahun ajaran 2010/2011
6 Universitas Negeri Mataram Rp 5 jt – 7 jt Rp 1 jt – 2 jt Tahun ajaran 2010/11
7 Universitas Gajah Mada Rp 4,6 jt – 100 jt Rp 1,7 jt– 2,5 jt Tahun ajaran 2011/2012
8 Universitas Jenderal Soedirman Rp 2,5 jt – 250 jt Rp 1,2 juta – Rp 4 juta Tahun ajaran 2010/2011
9 Universitas Negeri Jakarta Rp 4 jt – 30 jt Rp 1,8 juta –Rp 3,1 juta Tahun ajaran 2009/2010
10 Universtias Padjajaran Rp 5 jt – 70 jt Rp 2 jt– 10 jt Tahun ajaran 2009/2010
11 Universitas Diponegoro Rp 5 jt – 100 jt Rp 1 jt– 5 jt Tahun ajaran 2009/2010
12 Univeritas Negeri Yogyakarta Rp 3,5 jt – 30 jt Rp 1,5 jt– 4 jt Tahun ajaran 2009/2010
13 Institut Teknologi Surabaya Rp 5 jt – 75 jt Rp 1 jt– 10 jt Tahun Ajaran 2009/2010
14 Universitas Negeri Medan Rp 5 jt – 55 juta Rp 1,5 jt– 3,5 jt Tahun ajaran 2009/2010
15 Universitas Indonesia Rp 11,2 jt – 33,2 jt Rp 5,1 jt– 7,6 jt Tahun ajaran 2010/2011
16 Universitas Sumatera Utara Rp 7,5 jt – 80 jt Rp 2 jt– 7,5 jt Tahun ajaran 2010/2011

* Sumber diolah dari surat keterangan tentang biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh masing-masing Rektor.

Dari biaya pendidikan yang harus dibayar oleh peserta didik yang nominal terbilang cukup besar tentunya akan mempengaruhi akses masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Dengan keberadaan RUU PT akan semakin melegalkan bentuk, ragam dan besaran nominal biaya pendidikan yang cukup bahkan sangat memberatkan bagi calon peserta didik atau orang tua mahasiswa yang ingin mengkuliahkan anak-anaknya. Dengan demikian, akan semakin memunculkan pola pikir pada masyarakat bahwa perguruan tinggi hanya untuk golongan masyarakat yang mampu. Serta, melanggengkan paradigma yang ada dimasyarakat bahwa pendidikan khususnya perguruan tinggi harus mahal dan masyarakat harus bertanggung jawab untuk mendanai biaya operasional perguruan tinggi. Hal ini tentunya dengan jumlah peserta didik di jenjang Perguruan tinggi yang saat ini hanya sebanyak 4,2 juta jiwa. Malah akan memperbesar jurang akses pendidikan tinggi bagi masayarakat yang tidak mampu secara ekonomi.

  1. Jalan Keluar Atas Penolakan RUU Pendidikan Tinggi

Sistem pendidikan nasional merupakan satu kesatuan rangkain penyelenggaraan pendidikan nasional (pendidikan formal) yang dimulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak terlepas dengan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan satu kesatuan dari sistem pendidikan nasional yang tidak bisa dipisahkan secara khusus dalam bentuk jenjang pendidikan. Dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yang mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional haruslah dalam satu sistem yang utuh dan berkesenambungan. Jika RUU Pendidikan Tinggi disahkan maka bukanlah jawaban atas persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan seperti minimnya partisipasi pendidikan tinggi, pengelolaan perguruan tinggi, sumber dan alokasi pendanaan serta pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi, rendahnya lulusan perguruan tinggi, minimnya kontribusi pendidikan tinggi terhadap perkembangan kebudayaan dan teknologi bangsa dan sebagainya.

Namun, perlu kita sadari bersama keberadaan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional belumnya mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Untuk itu, UU no 20 tahun 2003 perlulah direvisi agar persoalan-persoalan yang dihadapi secara khusus dalam penyelengaraan pendidikan tinggi dapat terakomodir dalam satu UU yang juga melingkupi jenjang pendidikan dasar dan menengah sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan pendidikan secara umum dan komprehensif maka dalam UU Sisdiknas yang baru harus diperhatikan pada beberapa aspek pendukung penyelenggaraan pendidikan nasional (dasar hingga tinggi). Aspek tersebut yakni : a) fasilitas, b) kurikulum, c) sumber dan alokasi pendanaan, d) metode pembelajaran, e) tenaga pengajar dan karyawan, f) pengelolaan, g) beban/tanggung jawab masyarakat, h) orientasi, g) perangkat hukum turunan (PP). Tentunya dalam pelaksanaan revisi atas sistem pendidikan nasional harus mampu mengedepankan kepentingan nasional dan rakyat yang terbebas dari kepentingan asing atau dalam hal ini pengaruh dari hasil ratifikasi GATS. Upaya ini ditujukan agar penyelenggaraan pendidikan tinggi yang diatur dalam UU sisdiknas yang baru mampu menciptakan tenaga-tenaga ahli yang dapat mengembangkan kebudayaan dan teknologi bangsa, meningkatkan partisipasi masyarakat, tingginya kontribusi lulusan perguruan tinggi terhadap masyarakat dan lain-lain.

 


[1] Sumbangan masuk mulai dilakukan ketika UI, ITB, IPB dan UGM menjadi PT BHMN. Lalu diikuti oleh PTN-PTN lainnya sejak tahun 2003 hingga sekarang. Sumbangan biasanya dikenakan kepada orang tua peserta didik ketika akan mendaftarkan setelah diterima melalui ujian mandiri. Sumbangan ini pula dilakukan dengan mengkelas-kelaskan seperti tingkat 1 harus membayar Rp 1 juta – Rp 5 juta, tingkat 2 harus membayar Rp 5 juta hingga 10 juta dan seterusnya. Namun pada perkembangannya bagi calon peserta didik yang diterima melalui ujian secara nasional pun dikenakan sumbangan yang serupa atas dasar prinsip persamaan dan subsidi silang.


[i] Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 265.

[ii] Naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per 22 maret 2011 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud.

[iii] Biaya investasi meliputi pengadaan sarana dan prasarana dan sumber belajar.

[iv] Lihat Kompas tanggal 2012

[v] Penduduk hampir misikin merupakan penduduk yang bisa jatuh dalam penduduk miskin akibat tidak mampu memenuhi garis kemiskinan yakni pada periode Maret 2011 sebesar Rp 233.740.

[vi] Lihat Kompas tanggal 6 Juli 2011

[vii] Sumber dari Kemendikbud

[viii] The Limburg Principles on The Implementation of The International Covenant on Economic, Social, and Cultural rights”. Human Quarterly vol 9 (1987). hal 121-135

[ix] Audrey R Chapman. ”Indikator dan Standar Untuk Pemantauan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”, Jurnal HAM vol 1 (Oktober 2005) hal 72

draf RUU PT bisa dibaca di

https://bandungmelawan.wordpress.com/2012/04/10/draf-ruu-pendidikan-tinggi-versi-3-april-2012-hasil-timustimsin-panja-ruu-dikti-untuk-bahan-rapat-panja-ruu-dikti-4-april-2012/

Sumber: www.fmn-indonesia.com / www.fmn.isgreat.org

Catatan Akhir Tahun WALHI Jawa Barat : Jejak Krisis Ekologi di Tatar Pasundan 2011

Oleh: WALHI Jawa Barat
Rekaman krisis ekologi di Tatar Pasundan (Jawa Barat) sepanjang tahun 2011 semakin memprihatinkan dan menambah catatan sejarah buruknya perlindungan dan penegakan keadilan lingkungan hidup. Krisis ekologi dipastikan akan berdampak pada berkurangnya daya dukung dan tampung lingkungan hidup di bumi Jawa Barat. Krisis ekologi yang terjadi merupakan kelanjutan dari krisis pengrusakan alam dan lingkungan hidup sebelumnya yang belum terselesaikan, ditambah kasus-kasus baru yang mengemuka di 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Fenomena Krisis Ekologi
Fenomena krisis ekologis dapat kita periksa dari beragam kasus lingkungan hidup yang setiap hari muncul baik yang terpublikasikan maupun yang tidak terpublikasikan di media massa. Dari catatan WALHI Jawa Barat, setiap media dalam sehari mempublikasikan minimalnya sekitar lima kasus lingkungan hidup. Jika diakumulasikan maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10.800-an kasus lingkungan hidup terjadi di kawasan bioregional Tatar Pasundan. Fenomena krisis ekologi mengemuka dibeberapa sektor penting diantaranya kehutanan, pertambangan, persampahan/limbah, penataan ruang, sumber daya air dan wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat.

Di sektor kehutanan, krisis ekologis dapat di tunjukan dengan semakin kritisnya ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kualititatif, alih fungsi kawasan hutan baik di kawasan konservasi, lindung dan produksi semakin marak terjadi dan mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati, mengurangi pasokan ketersediaan air, longsor dan banjir di musim penghujan. Berdasarkan laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia, Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari aspek tutupan hutan di Jawa Barat bernilai 38,69, berada dalam indeks kualitas yang sangat rendah.

Secara kuantitatif, berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, praktik alih fungsi kawasan hutan hingga tahun 2011 terakumulasi sekitar 95.000 hektar atau 10% dari total kawasan hutan negara di Jawa Barat. Artinya jika rata-rata tegakan dalam 1 Ha adalah 1000 pohon maka sekitar 95 juta pohon lenyap dari hutan. Alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani melalui skema kerjasama operasional (KSO) dan pinjam pakai kawasan. Kegiatan pertambangan mineral dan panas bumi baik terbuka maupun tertutup, wanawisata, pertanian dan pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang utama kerusakan hutan. Sementara, berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat tahun 2010 saja sekitar 515.000 Ha kondisi hutan masih berada dalam kondisi kritis dan belum terpulihkan.

Di samping itu, pendapatan negara dari sektor kehutanan di Jawa Barat belum secara terbuka menjadi informasi publik. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan, wanawisata, dan jenis usaha lainya menyimpan potensi korupsi dan kerugian negara yang cukup besar. Berdasarkan kajian WALHI Jawa Barat, dari sekitar 18 perusahaan tambang di kabupaten Bogor diperkirakan pendapatan sektor kehutanan yang dihasilkan sekitar Rp 78 milyar selama 5 tahun, artinya dari satu perusahaan potensi pendapatan negara bisa mencapai rata-rata 4 Milyar dalam setahun.

Berdasarkan data yang dimiliki WALHI Jabar, tercatat sekitar 790 KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dalam rentang 2007-2012. Artinya potensi pendapatan dari KSO dan pinjam pakai kawasan jika diakumulasi rata-rata bisa mencapai Rp 3.160 milyar atau Rp 3,16 Trilyun. Bisa dipastikan betapa besarnya pendapatan dari sejumlah KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani serta kerjasama-kerjasama yang dilakukan BBKSDA dan Dinas Kehutanan di  Jawa Barat.

Krisis ekologi di sektor pertambangan hingga akhir 2011, dapat ditunjukan dengan semakin meluasnya praktik pertambangan galian pasir mencapai sekitar 25.000 ha, pertambangan mineral galena, emas, mangan, karst dll mencapai sekitar 156.000 ha, pertambangan panas bumi di wilayah hutan konservasi, lindung dan produksi yang mencapai sekitar 1200 ha serta peningkatan kegiatan penambangan pasir besi yang terindikasi ilegal di selatan Jawa barat yang mencapai 3000 ha.

Di sektor tata ruang, alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya semakin meluas seiring dengan pembangunan infrastruktur, pemukiman, perdagangan, hotel, mall, jalan, bandara, waduk, PLTN dan sarana fisik lainnya. Perluasan perkebunan sawit juga semakin meningkat dan dipastikan mengurangi luasan lahan konservasi /resapan di Jawa Barat. Pembangunan yang membabi buta menjadi pemicu konversi lahan secara besar-besaran.

Di sektor persampahan, produksi limbah domestik dan industri semakin bertambah. Tingkat konsumsi sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat yang semakin besar akan berdampak pada peningkatan produksi sampah domestik. Rata-rata produksi sampah tiap kabupaten/kota di Jawa Barat sekitar 5 Juta liter/hari, berarti dalam setahun ini, volume sampah di Jawa Barat sekitar 130 Juta liter/perhari, jika diakumulasi dalam setahun maka sekitar 47.320 Juta liter/hari sampah dihasilkan. Sedangkan yang bisa ditangani dengan baik hanya sekitar 20% dari total volume sampah yang dihasilkan. Permasalahan tata kelola sampah komunal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan oleh propinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat juga masih buruk dan belum terkelola sesuai dengan manajemen pengelolaan sampah yang lebih memperhatikan lingkungan hidup.

Selain sampah rumah tangga, produksi limbah cair, padat dan uap/gas dari pabrik /industri juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri di Jawa Barat. Sekitar 93% emisi pencemar dihasilkan oleh kegiatan industri. Berdasarkan data Dinas ESDM sekitar 226 perusahaan yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota memakai dan memproduksi limbah batu bara. Diperkirakan pada tahun ini, limbah batubara yang dihasilkan mencapai 3,5 juta ton, meningkat dari tahun 2009 yang mencapai 3,29 ton. Kemudian, limbah cair dan gas yang dihasilkan industri dan gas kendaraan bermotor dipastikan semakin meningkat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor hingga tahun 2011 mencapai 5,8 Juta unit menjadi penyumbang emisi dan pencemaran udara yang signifikan.

Di sektor sumber daya air yang memiliki kaitan dengan kualitas daerah aliran sungai di Jawa Barat menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Keseluruhan DAS di Jawa Barat berada dalam kondisi kritis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif sekitar 60%-80% DAS penting (Citarum, Ciujung, Cisadane, Citanduy, Cimanuk, Ciwulan, Cisanggarung dll) berada dalam situasi kritis. Berdasarkan laporan KLH, indeks kualitas air di Jawa Barat pada tahun 2009-2010 sekitar 15,33 berada di peringkat terendah diantara 33 propinsi di Indonesia. Dipastikan angka ini tidak akan mengalami kenaikan malah sebaliknya akan mengalami penurunan seiring dengan eksploitasi sumber daya air di Jawa Barat.

Fenomena krisis ekologis juga terjadi di wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat. Di pesisir utara, alih fungsi kawasan mangrove, abrasi dan rob adalah fenomena krisis ekologi yang belum terpulihkan. Kemudian, di pesisir selatan Jawa Barat, pembangunan infrastruktur dan meluasnya aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir selatan akan mengancam tatanan ekologi sekitar 5840 ha wilayah pesisir dan laut selatan Jawa Barat. Surat Edaran Gubernur tentang Moratorium Ijin Penambangan Pasir Besi tidak menjadi kekuatan hukum pengendalian dan cenderung diabaikan oleh pemerintahan kabupaten di Jabar Selatan, Tim Terpadu Pengendalian Penambangan Pasir Besi pun belum memberikan kontribusi dalam menjalankan pengawasannya. Krisis di wilayah pesisir dan laut dipastikan akan mengancam keberlangsungan perikanan dan kelautan dan keberlanjutan keselamatan kehidupan kaum nelayan.

Jika percepatan pembangunan dilakukan dengan memperluas penambangan di kawasan hutan, mengalihfungsikan kawasan lindung menjadi budidaya, pembangunan industri di kawasan lahan pertanian produktif, pembalakan hutan dilakukan dan praktik pembangunan yang tidak berpijak kerangka penataan ruang yang ada, maka sangat sulit 45% kawasan lindung Jawa Barat bisa tercapai.

Ancaman Krisis Ekologi
Melihat fenomena dan kasus yang muncul, maka krisis ekologi di Jawa Barat merupakan ancaman dan dipastikan akan menimbulkan dampak bagi keberlanjutan kualitas kehidupan manusia, diantaranya :

Pertama, bencana ekologi disertai bencana alam yang akan mengancam keselamatan kehidupan sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat. Dampak bencana ekologis ini dapat ditunjukkan dengan krisis rawan pangan karena gagal panen, kekeringan di musim kemarau, terbatasnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, peningkatan emisi, keterbatasan lahan, terancamnya ketersedian perumahan, sandang dan keberlanjutan kesehatan, kemiskinan dan berujung malapetaka kematian.

Dari catatan WALHI Jawa Barat sepanjang tahun 2011, beragam bencana alam dan ekologi telah menewaskan sekitar 120 jiwa sedangkan frekuensi kejadian beragam bencana mencapai 2032 kali kejadian. Contoh kasus di Kabupaten Bogor misalnya, sejak Januari hingga Desember 2011, sebanyak 44 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah bencana di Bogor yang tercatat sebanyak 332 kali. Krisis juga diperparah dengan pembiaran dan penelantaran pemerintah propinsi dan kabupaten/kota terhadap warga korban beragam bencana (longsor, banjir, bajir bandang, rob dll)   yang tengah menjerit-jerit dan membutuhkan perlindungan. Kasus banjir di Jawa Barat meluas hingga 14 kabupaten/kota.

Kedua, krisis ekologi telah berdampak pada semakin meluasnya sengketa ruang. agraria dan lingkungan hidup. Dari catatan WALHI Jawa Barat, sepanjang tahun 2011, rata-rata sengketa lingkungan hidup dan sumberdaya alam di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat mencapai 30-an kasus. Jika diakumulasi maka diperkirakan sekitar 720 kasus sengketa/konflik ruang dan lingkungan hidup terjadi di tahun 2011. Hampir sekitar 80%, konflik ruang dan lingkungan hidup memiliki kaitan erat dengan konflik agraria/pertanahan. Perkawinan sengketa ruang agraria dan lingkungan hidup terjadi di seluruh kawasan bioregional Cekungan Bandung, Ciayumajakuning, Purwasuka, Priangan Timur dan Pangandaran, Bodebekpunjur dan wilayah Sukabumi dan sekitarnya.

Ketiga, ancaman konflik ekologi adalah terjadinya kriminalisasi terhadap warga/rakyat sebagai korban. Dalam kebanyakan kasus dan sengketa ruang dan lingkungan hidup yang ada, warga sebagai pihak korban harus berhadapan langsung dengan pengusaha dan pemerintah di pihak lainnya. Ancaman kriminalisasi diawali dengan tindakan represif, intimidasi, intervensi dari aparatus negara dan pihak pemodal/pengembang usaha terhadap warga yang memperjuang lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan catatan, sekitar 12 orang telah menjadi korban kriminalisasi di tahun 2011. Berdasarkan laporan dari LBH Bandung, tercatat sekitar 10 sengketa lingkungan yang berujung kriminalisasi yang telah ditangani dari ratusan kasus sengketa lingkungan yang ada.

Keempat, krisis ekologis juga secara kualitatif berdampak pada kualitas kesehatan manusia itu sendiri. Kualitas kesehatan akan berpengaruh pada angka harapan hidup dan kematian manusia. Ada korelasi yang nyata antara kualitas lingkungan hidup yang sehat dengan tingkat harapan hidup manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukan oleh meningkatnya kasus gizi buruk di masyarakat yang berujung pada kematian. Kelima, krisis ekologi berdampak pada konflik/sengketa sosial di masyarakat, selain sengketa rakyat dengan pengusaha dan pengurus negara. Dari pengalaman penanganan kasus ruang dan lingkungan hidup, konflik/sengketa sosial berupa pertengkaran antar keluarga, tetangga, masyarakat, masyarakat adat di lokasi-lokasi yang berkasus. Bahkan konflik sosial di masyarakat berujung kematian.

Faktor Utama Krisis
Melihat fakta krisis ekologi yang terjadi di tahun ini, faktor utama krisis ekologi yang terjadi di Jawa Barat tidak berbeda dengan kondisi sebelumnya, diantaranya:

Pertama, produksi kebijakan pemerintah tidak memihak pada keadilan ekologi. Produksi kebijakan pusat dan aturan di kementrian kehutanan, ESDM, Bappenas, pertanian, perdagangan, industri serta pekerjaan umum yang secara terus menerus menjadi pemacu terjadinya krisis ekologi di level lokal/daerah bahkan desa. Dalam konteks Jawa Barat, krisis ekologi terjadi akibat berjalannya agenda koridor ekonomi Jawa Barat yang dilegalisasi melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

Produksi kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota terus mengalir atas dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan rakyat menjadi pemacu krisis ekologi. Kebijakan otonomi daerah dijadikan alat keruk eksploitatif sumber daya alam tanpa kendali kaidah lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan nilai-nilai kearifan lokal. Kebijakan RTRW bukan menjadi instrumen yang memberikan jaminan perlindungan ruang dan lingkungan hidup, namun menjadi pintu masuk perijinan pembangunan dan pengrusakan lingkungan hidup yang masif. Padahal, semua kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki potensi rawan dan rentan terjadinya beragam bencana ekologi.

Kedua, penegakan hukum dan pengawasan ruang dan lingkungan masih lemah yang dijalankan aparatus negara. Indikasi lemahnya penegakan hukum ruang dan lingkungan dapat ditunjukkan dengan lemahnya kapasitas PPNS dalam melakukan pengawasan dan penyidikan kasus lingkungan hidup baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif, jumlah PPNS rata-rata setiap kabupaten/kota hanya memiliki 3-4 orang. Secara kualitatif, PPNS juga memiliki kapasitas yang rendah dari sisi komitmen, integritas dan kompetensi.

Kondisi yang sama juga dialami oleh institusi kepolisian dan pengadilan. Rendahnya kapasitas penyidik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman memahami secara komprehensif hukum tata ruang dan lingkungan hidup menjadi indikasi penegakan hukum lingkungan tidak berjalan. Dari catatan yang ada, dari 20 kasus pengrusakan ruang dan lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha/pemodal yang masuk ruang pengadilan, hanya 3 kasus yang dimenangkan di persidangan. Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan ruang dan lingkungan belum secara sejati ditegakkan. Salah satu kasus yang mengerikan, ketika warga desa  kampung Pangguh Desa Ibun, pencari kayu bakar di hutan harus menjalani tahanan dan persidangan sementara negara membiarkan ratusan pemodal/pengusaha yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup (pencemaran, pembabat hutan, pelanggar tata ruang) dan jelas-jelas melanggar tata ruang dan lingkungan hidup tidak diseret ke pengadilan.

Ketiga, masih rendahnya alokasi anggaran sektor lingkungan hidup untuk memulihkan krisis lingkungan hidup yang terjadi di daerah. Semisal di tahun 2011, APBD Propinsi Jawa Barat hanya menganggarkan sekitar Rp 9,9 milyar atau 1% dari total belanja setiap tahun untuk pemulihan dan pengelolaan lingkungan. Di kabupaten/kota rata-rata belanja untuk sektor lingkungan hidup  hanya 2-3 milyar atau 0,6 sampai 1% dari total belanja. Jumlah anggaran ini tidak sebanding dengan tingkat kerusakan dan potensi kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam yang dijalankan. Sementara, tingkat realisasi anggaran di tingkat daerahpun berkisar antara 75-80 persen, sehingga sisa anggaran rata-rata yang tidak terserap sekitar 20 persen per tahun.

Keempat, belum terkelolanya aktivasi kesadaran dan partisipasi komunitas dan para pihak yang berpartisipasi nyata dalam memperbaiki lingkungan hidup di Jawa Barat. Rendahnya upaya pemajuan kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan faktor determinan yang berkontribusi nyata dalam memajukan kualitas lingkungan hidup. Rendahnya kesadaran masyarakat akan ruang dan lingkungan hidup disebabkan oleh terbatasnya akses informasi atas kebijakan perencanaan ruang dan lingkungan hidup serta pengelolaan lingkungan di pelbagai sektor. Namun, meluasnya praktik komunitas dan para pihak lainnya secara swadaya dalam melindungi ruang dan lingkungan hidup menunjukkan perubahan positif yang bisa dikelola secara kolektif.

Jejak krisis ekologi di Jawa Barat tahun 2011 menjadi catatan reflektif bersama, bahwa semua pihak masih memiliki pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secara kolektif. Bahkan diprediksi, krisis ekologi ke depan akan semakin hebat, alam dan lingkungan hidup akan semakin rusak sejalan dengan kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.

Jejak krisis ekologi ini sekaligus menjadi catatan kritis atas kegagalan pengurus negara (Gubernur dan 26 Bupati/Walikota di Jawa Barat) dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan alam di Tatar Pasundan. Akhirnya, semoga rekaman jejak krisis ini membangkitkan kesadaran semua pihak untuk secara progresif memajukan kualitas lingkungan hidup, memastikan perlindungan koridor ekologi dan empat puluh lima persen kawasan lindung di bumi Tatar Pasundan bisa tercapai.

Ditulis oleh Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat 2011-2015.
No Kontak 082116759688

Membangun Universitas Daerah

Oleh Aang Kusmawan

 

Kebutuhan akan kompetensi sumber daya manusia yang mempunyai mutu tinggi tampaknya sudah sangat mendesak. Tingkat persaingan hidup yang tampaknya akan semakin tinggi dan cepat telah menjadi alasan utamanya.

 

Dalam konteks tersebut, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka besar kemungkinan orang tersebut akan memenangkan persaingan. Dalam konteks seperti itu juga,  semakin banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi (baca: lembaga pendidikan tinggi) maka semakin banyak juga masyarakat yang kemudian bisa memenangkan persaingan.

 

Anak Tiri Republik

 

Namun dalam konteks Indonesia, mutu sumber daya manusia yang tinggi tampaknya hanya akan menjadi milik orang kota saja. Orang desa yang notabene mayoritas di republik ini nasibnya tidak melebihi orang kota.

 

Tentunya kesimpulan tersebut tidak muncul begitu saja. Silahkan baca dokumen tentang kondisi kemiskinan Indonesia yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 2009. Dokumen tersebut menghimpun data jumlah, konsentrasi kemiskinan di republik ini sejak tahun 1979.

 

Dari data tersebut, ternyata selama tiga puluh tahun lebih konsentrasi kemiskinan masyarakat tidak pernah bergeser. Dari tiga puluh tahun lebih tersebut, tercatat hampir sembilan puluh lima persen masyarakat miskin lebih banyak terkonsentrasi di desa.

 

Dalam konteks peningkatan mutu sumber daya manusia, tentu saja hal ini setidaknya menjadi sebuah sinyalemen, bahwa selama ini hanya sedikit orang saja yang mampu meningkatkan mutu sumber dayanya sehingga menjadi sumber daya manusia yang mempunyai kualitas “nomor satu”. Selebihanya (baca: masyarakat desa) hanya menjadi kualitas nomor tiga atau bahkan tidak mempunyai nomor sekalipun, alias buruk.

 

Seiring dengan hal tersebut, biaya untuk menempuh perguruan tinggi di kota ternyata mengalami kenaikan cepat. Silahkan amati biaya masuk perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri yang berubah menjadi perguruan tinggi berbadan hukum (baca :BHP dan BHMN) seperti UPI, ITB, UI dan lainnya.

 

Bagi penulis yang menetap di desa, kenaikan tersebut terasa sangat menghawatirkan. Sulit untuk membayangkan berapa besar biaya untuk menempuh perguruan tinggi bagi anak penulis kelak, ketika sekarang saja biaya untuk masuk UPI melalui jalur SNPMTPN lebih dari  Rp10.000.000.

 

Mengamati hal tersebut, meminjam istilah almarhum Franky Sahilatua, maka posisi masyarakat desa dalam kontek tersebut rasanya tidak lebih dari sekedar “anak tiri republik”. Keberadaanya diakui namun tidak mendapatkan “kasih sayang” seperti “anak” yang lainnya (baca:kota)

 

Meneguhkan Hati

 

Namun demikian,  peribahasa selalu mengatakan bahwa akan selalu banyak jalan menuju Roma.  Begitupun dalam konteks pengembangan sumber daya yang unggul.

 

Sebenarnya masyarakat desa telah mempunyai beberapa modal dasar dalam pembangunan sumber daya setinggi mungkin. Modal dasar itu adalah keberadaan Lembaga Pendidikan Tinggi (LPT) yang tersebar dari Sabang sampa Merauke.

 

Namun sayang, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut tampaknya “masih setengah hati” dalam membangun sumber daya masyarakat desa yang unggul.  Dalam amatan penulis ketimpangan dalam pemilihan fokus program studi yang akan diambil adalah bentuk setengah hati tersebut.

 

Akhirnya, mau tidak mau jika kemudian hal ini terus terjadi maka sumber daya manusia yang ada di desa akan sangat terbatas, karena pada suatu titik kebutuhan akan tenaga guru di desa akan mengalami titik jenuh. Di sisi lain, penulis meyakini bahwa masih sangat banyak masyarakat desa yang berminat selain menjadi guru.

 

Penulis beranggapan salah satu alasan penting kenapa banyak lembaga pendidikan tinggi yang memilh fokus dilembaga pendidikan, karena mungkin sumber dayanya melimpah dan tidak terlalu rumit dalam operasionalnya.

 

Akan tetapi diluar semua itu, penulis membayangkan bahwa kedepan sebenarnya fokus pemilihan program studi bisa dikelompokan menjadi dua kelompok sederhana saja. Pertama adalah kelompok studi yang fokus diwilayah kependidikan seperti LPTK. Kedua, fokusnya disesuaikan dengan potensi lokal di suatu wilayah.

 

Dalam konteks tersebut, kedepan penulis membayangkan akan ada satu lembaga pendidikan tinggi yang fokus di bidang pendidikan di satu kabupaten, dan satu lagi lembaga pendidikan yang fokus sesuai dengan potensi wilayah kabupaten tersebut.

 

Misalnya saja di Indramayu, sebagai wilayah yang berada di pesisir maka fokus utamanya adalah membuat jurusan atau program studi yang lebih banyak mengekplorasi laut atau ekosistem pesisir. Lalu untuk daerah pekebunan seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut fokus utamanya adalah membuka jurusan atau program studi yang berkonsentrasi pada pengembangan perkebunan di daerah tersebut.

 

Dengan skema tersebut, penulis berani berkeyakinan bahwa kedepan tidak perlu lagi masyarakat desa harus jauh-jauh menempuh pendidikan sampai harus keluar dari daerahnya, apalagi  dengan biaya yang sangat mahal tentunya.

 

Semoga saja dengan skema seperti ini peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia kedepan bisa berjalan dengan maksimal, sehingga akan melahirkan sumber daya manusia yang betul-betul unggul. Semoga masyarakat desa tidak hanya akan menjadi sekedar “anak tiri republik” akan tetapi akan betul-betul menjadi “anak kandung” republik ini.

 

Berdasarkan hal tersebut, penulis berpikiran bahwa semua elemen yang peduli dengan kemajuan sumber daya manusia di desa perlu bersepakat untuk meneguhkan hati dan menyatukan gerak secara bersama-sama. Tanpa adanya keteguhan hati, rasa-rasanya cita-cita tersebut akan menjadi utopia belaka. Mulai sekarang, saya telah meneguhkan hati  untuk membangun desa, lalu anda? ***

 

*Aang Kusmawan, guru ekonomi di Madrasah Aliyah (MA) Sukasari Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Kordinator Serikat Guru Muda (SGM) Bandung

“Galang Gerakan Rakyat Anti Perampasan Tanah”

Oleh: AGRA

Perampasan tanah di masa SBY-Kalla dan SBY-Budiono ini adalah perampasan tanah yang terjadi dalam kurun waktu di mana krisis ekonomi dan krisis keuangan terjadi secara dunia dan semakin akut. Dalam kurun waktu ini, kita melihat bagaimana kaum imperialis dunia menghalalkan segala cara, baik dengan cara bengis melalui agresi militer maupun damai, untuk mencari jalan keluar dari krisis umum yang mereka hadapi. Dengan demikian, kita harus selalu menghubungkan antara krisis dunia, nasional dan lokal yang ditandai dengan maraknya perampasan tanah dan bagaimana caranya rezim boneka imperialis di Indonesia melayani seluruh kepentingan kaum imperialis.

Pada pokoknya perampasan tanah yang terjadi dewasa ini, berlandaskan pada monopoli tanah yang telah ada sebelumnya. Monopoli tanah yang telah ada sebelumnya di Indonesia yang telah dibangun selama 32 tahun masa rezim fasis Orde Baru (1966-1998), sesungguhnya telah lebih memudahkan proses-proses perampasan tanah yang terjadi dewasa ini. Monopoli tanah yang terjadi di masa Orde Baru terutama terjadi dalam bentuk konsentrasi penguasaan tanah-tanah pertanian melalui skema Revolusi Hijau, penguasaan tanah-tanah perkebunan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU), penguasaan tanah-tanah hutan melalui konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), penetapan kawasan taman nasional dan taman hutan raya, penguasaan tanah-tanah pertambangan melalui konsesi pertambangan seperti kontrak karya pertambangan, serta konsentrasi penguasaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan pemukiman (properti).

Bentuk-bentuk perampasan tanah yang terjadi saat ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi di masa Orde Baru. Yang membedakannya adalah perampasan tanah yang dilakukan saat ini adalah dalam rangka mencari jalan keluar dari krisis umum imperialisme yang sedang mengalami kebangkrutannya. Sehingga tingkat penindasan dan penghisapannya terhadap rakyat serta manipulasinya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Karena bila tidak mereka lakukan secara vulgar, maka krisis yang ada sekarang akan betul-betul menjadi kuburan bagi kaum imperialis tersebut.

Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), UU Perkebunan, UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan pengesahan UU Pengadaan Lahan Untuk Pembangunan dan Kepentingan Umum yang baru saja disahkan oleh DPRRI serta mengeluarkan Masterplan percepatan pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono (SBY-Budiono). Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia dan menindas serta menghisap rakyat Indonesia.

Dalam pandangan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah.

Data tabulasi perampasan tanah priode SBY

No    Pelaku – Proyek – Program    Lokasi    Jumlah (hektar)    Keterangan
1    PT Perkebunan Nusantara (PTPN)   di Seluruh Indonesia    1.729.251 hektar,   Meliputi lebih dari 7 komoditas perkebunan, di luar Rajawali
2    Perkebunan Besar Swasta (Cargill, Sinar Mas, dan lain-lain)  di Seluruh Indonesia    21.267.510 hektar   Meliputi 7 komoditas perkebunan
3    Kalimantan Border Oil Palm Mega Project   di Perbatasan Indonesia – Malayasia    1.800.000 hektar dengan  Komoditas sawit untuk produksi energi nabati
4    Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)   di Merauke, Papua    2.823.000 hektar   Pertanian pangan dan energi nabati terintegrasi.
5    Grup Salim  di  Nusa Tenggara Barat    120.000 hektar dengan komoditas kebun  Tebu
6    Taman Nasional  di   Seluruh indonesia    15.000.000 hektar  dengan  50 jenis taman nasional di seluruh Indonesia

Total tanah yang di Rampas        42.739.761.     Belum termasuk proyek infra stuktur seperti jalan tol, dan dan lain lain

Sumber data AGRA, 2011

Keperluan mendesak bagi kaum tani

Atas penjabaran di atas maka kaum tani perlu melakukan politik pemblejetan terhadap Rezim SBY-Budiono sebagai rezim fasis. Perampas Tanah Rakyat dan memimpin seluruh perjuangan rakyat tani di pedesaan untuk mempertahankan dan merebut tanah yang telah dirampas oleh musuh-musuh kaum tani. Hal ini dapat kita lihat dari tindakan fasis yang dilakukan rezim SBY-Budiono yang telah membunuh dan menyiksa secara brutal terhadap kaum tani di Mesuji dan Bima yang baru saja terjadi. Berbagai kebijakan yang sudah di keluarkan maupun yang sedang disiapkan (Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria yang rencananya akan dikeluarkan pada bulan Januari 2012) ini tentu saja akan diarahkan untuk memuluskan perampasan tanah sebagai bentuk pengabdian setianya pada Imperialis dan mengeluarkan konsep REFORMA AGRARIA PALSU. Selain itu, melalui tujuan ini juga diharuskan seluruh jajaran pimpinan maupun anggota AGRA untuk melakukan pendataan dan analisa tentang dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan rezim SBY-Budiono. Data-data dan analisa inilah yang akan kita propagandakan secara luas sebagai bukti bahwa Rezim SBY-Budiono merupakan “Rezim fasis yang Anti-Tani dan anti-Rakyat”.

Memajukan kesadaran politik rakyat agar mengerti bahwa selama system negeri ini didominasi oleh imperialisme dan feodalisme sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, maka monopoli atas tanah dan perampasan tanah dengan cara kekerasan tetap berlangsung. Oleh karenanya perlu dilaukan kerja-kerja propaganda yang lebih intensif agar rakyat dan kaum tani mengerti perjuangan jangka panjang untuk mengubah system yang ada menjadi system social yang baru sama sekali yang mencerminkan demokrasi rakyat. Sehingga, berbagai persoalan yang ada dapat dilenyapkan sepenuhnya. Juga penting bagi organisasi AGRA untuk mengajak rakyat mengerti sepenuhnya, bahwa di dalam situasi sekarang yang mungkin hanya mengurangi berbagai bentuk Monopoli atas tanah, sementara untuk bisa melenyapkan sepenuhnya Monopoli atas tanah hanya bisa ditempuh jika rakyat dan kaum tani berjuang bersama-sama mengubah system sosial yang ada.

Membangun persatuan rakyat untuk menolak perampasan tanah, dengan jalan membangun aliansi di setiap tingkatan (Provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa) dengan membangun SEKRETARIAT BERSAMA GERAKAN RAKYAT ANTI PERAMPASAN TANAH sebagai pusat informasi, komunikasi, dan koordinasi untuk melakukan kampanye massa anti perampasan tanah. ***

Agroekologi: Kemerdekaan Kaum Tani

Oleh Azwara Nasution

Pekik 65 tahun Indonesia Merdeka rasanya sunyi dan sepi. Apakah karena bertepatan dengan Ramadhan sehingga jauh dari hangar bingar acara seremonial atau memang kita merasa sunyi sendiri karena Pidato Kenegaraan Presiden menciptakan kesunyian itu? Wajar saja sunyi, karena Pidato kenegaraan kali ini tak menyinggung masalah 60 % penduduk Republik ini (petani).
Masalah petani ternyata belum dianggap penting oleh Presiden SBY. Padahal jika dicermati serius nasib petani sekarang tak ubahnya seperti masa penjajahan dahulu. Menggarap sawah dan ladang namun tak kunjung cukup untuk makan. Dan penulis menyebutnya sebagai Agrokolonial.
Agrokolonial

Proses Kolonialisasi saat ini sama dengan yang dilakukan VOC (Perusahaan dagang zaman Belanda) yakni melalui hasil pertanian. Namun, Agrokolonial sekarang tersistem dengan baik karena dukungan warga pribumi. Agrokolonial disetting dengan tiga hal.

Pertama, Pendidikan Pertanian. Pendidikan Pertanian yang diajarkan di Perguruan Tinggi sekarang lebih condong kepada mazhab Agrobisnis. Mazhab Agrobisnis mengajar peserta didik untuk taklid buta atas monopoly perusahaan terhadap sektor hulu (baca : ladang-ladang pertanian) hingga sektor hilir (pasar hasil produksi pertanian). Mazhab ini juga cenderung mengampanyekan untuk menanam produk pertanian berorientasi pasar (market oriented) bukan kebutuhan local (local need). Jika Agrobisnisasi ini dibiarkan, kaum tani akan terpinggirkan. Pelaku pertanian akan berpindah dari petani kecil ke perusahaan besar semacam Monsanto, Potas dan Cargill. Lihat saja penelitian GRAIN (2008) yang menunjukan keuntung Cargill (USA) meningkat 69 % sebesar 3,951 miliar dolar, Monsanto 120 % sebesar 2,926 miliar dolar dan Potas Corp. (Canada) meningkat sebesar 164 % dengan keuntungan sebesar 4,963 miliar dolar ketika kelaparan sedang melanda dunia.

Kedua, Tekhnologi Pertanian. Sejak Green Revolusi tahun 1970-an petani dipaksa menanam secara intensif. Petani disodori paket – paket tehnologi yang tidak memandirikan kaum tani, sebut saja Benih GMO, Pupuk Pabrik dan Pestisida. Dan paket tekhnologi tersebut justru menghancurkan kearifan local kaum tani, Keragaman hanyati dan mengerus kesuburan lahan – lahan petani. Walhasil petani menggantungkan jadwal tanam atas ketersediaan benih pabrik, pupuk dan pestisida bukan kepada benih hasil tangkaran dan pupuk alam hasil olahan kaum tani.

Ketiga, akses lahan pertanian. Sejak disyahkannya Undang – Undang Penanaman modal nasib kaum tani semakin tidak jelas arahnya. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mendahulukan kepentingan Pengusaha kelas kakap. Kaum tani pun semakin susah mendapat akses – akses terhadap lahan. Perlawanan rakyat pun semakin massif misalnya tragedi berdarah akibat Konflik agraria seperti di Kontu, Muna Sulawesi Tenggara dan Awu, Lombok NTB. Bahkan salah satunya masih berlangsung yakni perjuangan kaum tani dan masyarakat adat di Rengas Sumatera Selatan untuk mendapat hak tanah mereka dari PTPN VII.

Agroekologi dan jalan kaum tani.

Secara konsepsional Agroekologi merupakan sistem pertanian yang menerapkan konsep dan prinsip ekologi dalam merancang dan mengelola keberlanjutan keragaman hayati hingga ekosistem pertanian yang berkeadilan berbasis keluarga tani guna mewujudkan kedaultan pangan dan kedaulatan petani. Dalam konsepsi tersebut jelas tersirat bentuk – bentuk kemerdekaan kaum tani pertama, Pendidikan yang berpihak. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Serikat Petani Indonesia di Bogor, Jawa Barat para petani dididik untuk mengoptimalkan berlangsungnya proses interaksi dan sinergi antara komponen biologi hingga menyediakan mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktifitas dan perlindungan tanaman. Petani dididik untuk menangkarkan benih dan membuat Seed Bank (bank benih) milik petani, mendirikan saung pupuk kompos dan direct selling yang diatur oleh Koperasi petani. Sistem agroekologi juga lebih mengedepankan local need guna menjamin kedaulatan pangan

Kedua, Tekhnologi madya. Dalam praktek Agroekologi petani dididik untuk mengembangkan agro ekosistem dengan meminimalisasi ketergantungan input eksternal berupa pupuk dan pestisida yang bersumber dari bahan kimia. Kaum tani diberikan pemahaman pupuk organik dan model bio-pestisida yang sudah menjadi pengetahuan lokal petani sehingga terbebas dari penjahan perusahaan benih, pupuk dan Pestisida.

Ketiga, Terwujudnya Reforma Agraria. Secara Praktek Agroekologi sejalan dengan prinsip reforma Agraria. Agroekologi juga mampu mengakselerasi penghapusan kelas buruh. Karena dengan Agroekologi kaum tani mampu mengerjakan setiap lini pertanian sehingga bisa bertransformasi menjadi Kaum tani yang mandiri secara ekonomi dan jauh dari praktek monopoli oleh satu pihak. Sebagaiman diatur dalam UUPA pasal 13 ayat 1-2.

Jalan kemerdekaan kaum tani dari penjajahan pertanian sudah jelas. Pertanyaannya adalah adakah iktikad dan niat baik kita untuk membuka dan memperlebar jalan itu guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
***

Peringatan Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober dan Hari Mahasiswa Internasional tanggal 17 November 2010 Ditengah Penderitaan Rakyat Indonesia *

Indonesia sampai detik ini belumlah menjadi negeri yang berdaulat atas wilayah maupun kehidupan masyarakatnya. Penindasan oleh kolonialisme pada awal-awal Indonesia belum menapak kemerdekaannya digantikan dengan dominasi imperialisme yang semakin intensif penjajahannya. Melalui rezim boneka penetrasi kepentingan ekonomi dan politiknya berjalan seiring semakin memburuknya kehidupan masyarakat Indonesia. Kebijakan anti demokrasi, diskriminatif dan jauh dari rasa ketidak adilan terus saja keluar, memberikan keleluasaan bagi keberlangsungan hidup tuan tanah, borjuasi besar komprador dan merugikan bagi mayoritas kehidupan buruh, kaum tani, pemuda mahasiswa, serta sektor rakyat lainnya. Harapan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia semakin sirna dengan semakin intensifnya penindasan imperialisme ditengah terpaan krisis dunia.

Dibawah cengkraman penindasan yang dilakukan Imperialisme pimpinan AS dengan rezim boneka SBY-Boediono sudah semakin terasa kita lalui hari demi hari. Rakyat masih harus berhubungan dengan beban mahalnya biaya pendidikan ditengah ketidak pastian pendapatan. Sampai detik ini saja rakyat Indonesia yang menyelesaikan jenjang pendidikan SD mencapai angka 50 juta jiwa, sementara SMP dan SMA totalnya hampir mencapai 48 juta jiwa. Artinya kesempatan untuk mengakses pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi masih belum dirasakan oleh rakyat. Sudah pasti dengan rendahnya jenjang pendidikan bagi sekitar 98 juta rakyat Indonesia, mempengaruhi juga kualitas pengetahuan dan kemampuannya untuk menjawab segala persoalan yang semakin banyak. Sebesar jumlah tersebutlah, calon ahli-ahli pengetahun telah hilang tidak termanfaatkan dengan baik untuk kemajuan Indonesia. Sehingga kesempatan untuk memperbaiki krisis juga sirna bersama keterbelakangan pengetahun rakyat.

Faktor rendahnya pendidikan yang dialami rakyat disebabkan karena keterbatasan akses rakyat untuk menempuhnya. Hal ini ditandai dengan minimnya anggaran pemerintah untuk alokasi pendidikan. Memang anggaran pendidikan sudah dialokasikan oleh pemerintah sebesar 20% sesuai dengan mandat UUD 1945 pasal 31 ayat 2. Namun hanya 8,9% anggaran pendidikan dialokasikan untuk operasional pendidikan, seperti peningkatan mutu dan prasarana penunjang pendidikan. Sedangkan anggaran terbesar pendidikan disedot ke pembiayaan gaji guru, karyawan, dan dosen. Padahal dalam amanat UU Sisdiknas No. 23 Tahun 2003 pasal 49 ayat 1, bahwa anggaran pendidikan diluar gaji tenaga pengajar, dan karyawan. Artinya kebijakan pemerintah dalam pengalokasian anggaran pendidikan bertentangan dengan mandat UU Sisdiknas.

Akibat langsung dari rendahnya alokasi anggaran untuk pendidikan adalah terjadinya komersialisasi pendidikan. Bagi peserta didik yang mau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan diatasnya sampai perguruan tinggi harus berhadapan dengan biaya yang terus melambung tinggi. Lulusan SD yang akan naik ke jenjang pendidikan SMP, yang kemudian dilanjutkan ke SMA dan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi harus berhadapan dengan sumbangan wajib untuk kepentingan pembangunan yang nilainya mencapai jutaan sampai ratusan juta rupiah. Dapat dilihat dari 50 juta lulusan SD, sebesar 23,1 juta orang yang sanggup melanjutkan ke tingkat SMA/K, dan hanya sebesar 7 juta orang yang sanggup melanjutkan perguruan tinggi maupun pendidikan diploma.

Dari kenyataan tersebut sudah sepantasnya dan sepatutnya kita mengabarkan kepada kawan-kawan kita di sektor pemuda-mahasiswa dan I seluruh rakyat Indonesia. Kabar yang akan kita sampaikan kepada mereka, bahwa ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh rezim boneka SBY-Boediono sudah merenggut dan merampas hak atas pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan menggunakan semangat juang dan semangat sumpah pemuda yang berani dan lantang untuk menyebarkan kondisi obyektif yang rakyat hadapi. Kita sebisa mungkin dan semaksimal mungkin untuk menyelenggarakan kegiatan luas di kampus agar dapat menggandeng kawan-kawan mahasiswa sebagai upaya perluasan pengaruh politik organisasi. Tidak ketinggalan pula untuk melakukan rekruitmen pasca penyelenggaraan kegiatan luas serta ajang konsolidasi organisasi.

Tiga aspeki inilah yang menjadi titik tekan kita, untuk memeriahkan peringatan Sumpah Pemuda dan hari Mahasiswa Internasional dalam satu rangkaian perjuangan massa di sektor pemuda mahasiswa. ***

 

* oleh Front Mahasiswa Nasional

Monopoli Atas Kepemilikan Tanah dan Perampasan Tanah Kaum Tani Menyebabkan Buta Aksara di Pedesaan Begitu Tinggi

Oleh Front Mahasiswa Nasional

Kaum tani adalah populasi yang terbesar di Indonesia. Sampai saat ini, menurut data Bappenas, melalui survey angkatan kerja nasional (sakernas) tahun 2007, jumlah kaum tani di Indonesia diperkirakan berjumlah 44,5 juta jiwa. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar, lebih besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (19,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya 11,8 juta jiwa). Akan tetapi meski menduduki posisi mayoritas, kaum tani Indonesia termasuk kalangan yang paling tidak beruntung.

Ketidakberuntungan ini disebabkan oleh ketimpangan penguasaan agrarian atau monopili tanah. Tercatat, sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan-perusahaan yang menguasai HPH/HPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 diketahui terdapat 2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan-perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha. Sampai tahun 1999, terdapat 561 perusahaan yang menguasai 52,5 juta ha lahan konsesi pertambangan. Khususnya mengenai konsesi pertambangan, perusahaan, melalui Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 2004, terdapat 13 perusahaan pertambangan yang diberi hak melakukan penambangan di areal hutan lindung. Ketigabelas perusahaan itu adalah PT Freeport Indonesia yang mendapatkan jatah 202.380 ha areal hutan lindung di Papua, PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara, dan Selatan, PT Aneka Tambang seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara, PT Indominco Mandiri seluas 25,121 ha di Kalimantan Timur, PT Natarang Mining seluas 12.790 di Lampung, PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha, PT Pelsart Tambang Kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan, PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara, PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha, dan PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara. Dalam konteks kekinian, saat ini penguasaan atau monopoli tanah terutama oleh 10 Perusahaan besar swasta di indonesia “Sinar Mas, Willmar, Lonsum, Salim Grup, Tanoto, Indofood, Bumi Resources, Bakrie Land” dan lain sebagainya telah mencapai 5,3 Juta Ha. Perusahaan tambang, Khususnya batu bara makin meluas mencapai 84 Juta Ha dalam Lima tahun terakhir. Monopoli Tanah juga dilakukan oleh Negara mencapai 23,3 ribu Ha melalui PTPN: 1, 729 Juta Ha (Diluar Rajawali indonesia), Perhutani (Hutan Lindung dan Produksi): 3,1 Juta Ha (Khusus Untuk Jawa), Sawit 7,5 Juta Ha dan Pemerintah masih memprogramkan perluasan kebun kelapa Sawit sebesar 2 Juta Ha Pertahun. Bahkan pondasi sumber-sumber agraria lainnya juga dimonopoli oleh segelintir pengusaha besar dengan total lebih kurang 4.370 atau 0,01%, dari 51.260.000 usaha di Indonesia, (Kompas, 14 Agustus 2010).

Inilah yang mengakibatkan kenapa buta aksara jumlahnya begitu besar di pedesaan, karena di pedesaan, imbas krisis akan lebih terasa beratnya. Bagaiamana mungkin di pedesaan akan mampu terbebas dari buta huruf jika akses atas pendidikan sangat terbatas, akses ini meliputi soal biaya yang mahal, infrastruktur yang sama sekali tertinggal atau kualitas dan kuantitas tenaga pengajar yang minim. seorang anak petani miskin atau buruh tani akan lebih memilih tidak sekolah atau putus sekolah jika di hadapkan pada kenyataan jika harus sekolah maka biaya yang di keluarkan tidak sedikit ataupun jarak sekolah yang jauh yang akhirnya untuk biaya transportasi hampir sama dengan pendapatan seorang buruh tani yang bekerja sehari dengan upah antara Rp 15.000-18.000.

Seperti layaknya jutaan rakyat Indonesia lainnya, bagi kaum tani di Indonesia buta aksara juga dirasakan sebagai akibat kebijakan rezim yang memang tidak menguntungkan rakyat. Akan tetapi bagi kaum tani selain buta aksara atau mahalnya biaya pendidikan, ada persoalan lain yang juga selalu muncul dan menggerogoti kehidupan kaum tani.

Kemiskinan dan berbagai masalah lain yang menimpa kaum tani di Indonesia semuanya berpangkal pada adanya monopoli kepemilikan atas tanah oleh tuan tanah yang saat ini ada di Indonesia dengan berbagai bentuk. Akibatnya puluhan juta petani di Indonesia menjalani kehidupan sehari-hari yang pahit karena ketidakpunyaan tanah yang seharusnya sebagai sandaran hidupnya, selain itu praktek monopoli atas tanah juga telah merampas dan mengusir petani dari tanah-tanah miliknya dengan berbagai cara. Sementara peranan Negara untuk menyelesaikan monopoli atas tanah yang membunuh kaum tani tidaklah mampu di emban, bahkan Negara lewat aparaturnya dalam banyak kasus justru terlibat atas berbagai konflik agraria dan berhadapan dengan kaum tani yang mempertahankan tanahnya dari perampasan.

Jaminan penghidupan di desa yang tidak menentu mendorong terjadinya migrasi ke kota. Sempitnya lahan untuk produksi pertanian bisa ditemui hampir di pedesaan di seluruh Indonesia. Faktor penyebab utama adalah soal monopoli atas tanah dan tidak produktifnya kembali lahan produksi pertanian yang digarap oleh petani. Karenanya di desa kita sering jumpai

Padahal jika kita merunut pada lahirnya HTN dan disahkannya UUPA No 5 th 1960 semangat yang lahir adalah mengatasi ketimpangan kepemilikan atas tanah dan melikuidasi dualisme peraturan agraria yang ada saat itu yaitu UU Agraria 1870 warisan kolonial belanda dan hukum adat. UUPA 1960 adalah hukum nasional yang sejatinya bertujuan untuk pencapaian tatanan Agraria yang adil, terutama perlindungan hukum bagi buruh tani, tani miskin dan seluruh kaum tani di Indonesia. Maksud dan tujuan di berlakukannya UUPA 1960 antara lain seperti yang disampaikan oleh menteri Agraria RI saat itu Mr Sadjarwo di depan DPR GR dalam siding pleno 12 September 1960, yaitu:

1.    untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud yang agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna meralisasikan keadilan sosial.

2.    untuk melaksanakan prinsip : tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek (alat) pemerasan.

3.    untuk memperluas dan memperkuat hak milik atas tanahbagi setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan yang berfungsi sosial. Suatu perlindungan bagi Privaat Bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun menurun tetapi yang berfungsi sosial.

4.    untuk mengakhiri system tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas minimum dan maksimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa seorang laki-laki maupun wanita.

5.    untuk mendorong industri nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk mancapai kesejahteraan yang merata dan adil di barengi system perkreditan yang ditujukan kepada golongan petani. (Sumber, Harsono Reforma Agraria Indonesia, 1970)

Namun UUPA 1960 hanya mampu dijalankan secara terbatas, itupun pada pemerintahan Soekarno, sehingga amanat UUPA 1960 tentang land reform tidak mampu dijalankan. Bahkan pasca pemerintahan Soekarno, yaitu Orde Baru sampai sekarang UUPA 1960 hanya di tempatkan sebagai produk hukum semata.  Bahkan kecenderungan SBY-Boediono melihat UUPA 1960 sebagai salah satu produk perundangan yang tidak menguntungkan bagi investasi asing dan ada keinginan untuk menggantinya dengan UU yang jauh lebih permisif terhadap investasi imperialisme dengan menggodok RUU sumber Agraria.

Upaya Mendepak UUPA semakin Agresif setelah  Pemerintahan SBY-Boediono menetapkan  UU PM No 25 tahun 2007, yang secara komprehensif di peruntukkka sebagai Pelengkap dan Payung bagi  UU No 18 tahun 2004 tentang perkebunan serta UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. semua regulasi tersebut  melapangkan secara Legal  monopoli kepemilikan atas tanah dalam sekala luas.

Keadaan inilah yang kemudian memicu berbagai sengketa atau konflik Agraria yang melibatkan kaum tani, ironisnya yang di hadapi kaum tani dalam mepertahankan haknya sebagian besar melibatkan Negara dengan aparaturnya. Konflik dan sengketa Agraria di Indonesia adalah yang terbesar, sengketa agraria selalu terjadi dalam berbagai masa kepemimpinan berbagai rejim akan tetapi sebagian besar dari berbagai konflik tersebut tidaklah dimenangkan oleh kaum tani. pada tahun 2008 BPN mencatat 2.810 kasus sengketa Agraria skala besar dengan 332 kasus yang berpotensi besar berpotensi menjurus ke koflik dengan kekerasan, dimana  dalam sejumlah peristiwa yang ada, kaum tani selalu menjadi pihak yang paling menanggung beban kerugian baik secara materil maupun non materiil. Banyak kalangan dari kaum tani yang ditahan, ditangkap, dipenjarakan, dan menerima serangkaian tindakan teror dan intimidasi.

Perjuangan Kaum Tani Melawan Tuan Tanah dan Rejim Boneka SBY-Boediono.

Disamping itu, kaum tani juga dihadapkan oleh berbagai sistem pertukaran dan distribusi hasil-hasil pertanian yang tidak adil. Tiadanya proteksi maupun perlindungan terhadap produk pertanian dalam negeri serta pencabutan subsidi atas beberapa sarana produksi pertanian, mulai dari pupuk, obat-obatan hingga benih adalah sejumlah persoalan yang dimaksudkan. Oleh karenanya secara keseluruhan, akibat soal-soal tersebut, kedaulatan pangan nasional telah hancur dan sepenuhnya berada dalam kontrol kepentingan imperialisme.

Sepanjang tahun ini  gejala konflik agraria yang disertai dengan tindak kekerasan dan menyebabkan jatuhnya korban meninggal di pihak petani menjadi tontonan yang memerikan hati rakyat Indonesia. Sepanjang periode itu pula, pergolakan kaum tani dan rakyat luas di wilayah pedesaaan terus bergelora, memberikan ancaman kepada siapa saja yang melakukan perampasan secara sewenang-wenang terhadap hak-hak social-ekonomi kaum tani dan rakyat. Terutama hak atas tanah serta kebebasan untuk memperjuangkan kepentingan yang paling objektif, yang selama ini telah diambil dengan cara vulgar dan tak tahu malu oleh kekuasaan bersama antara kapitalisme monopoli internasional, tuan tanah besar dan birokrat kapitalisme. Kaum tani dan golongan masyarakat pedesaan bangkit tanpa rasa takut, berlawan terhadap segala bentuk penindasan dan penghisapan.

Sejumlah peristiwa tersebut diantaranya dapat disebutkan, mulai dari peristiwa Perampasan tanah dengan kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat PTPN XIV dan kepolisian di Takalar pada 9 Agustus 2009 yang mengakibatkan 7 orang petani tertembak dan 9 lainnya di tangkap, kemudian konflik agraria di Tapanuli Tengah yang menyebabkan 10 petani di tangkap, sementara yang lainnya terluka akibat tindak kekerasan aparat saat petani di Tapanuli Tengah yang berhak atas tanah karena mereka adalah eks Transmigran yang memang di beri tanah oleh pemerintah.  Sementara didaerah lain sengketa Agraria sesungguhnya tetap terjadi, termasuk sengketa lama yang sampai saat ini belum selesai seperti Tanak awu-mataram, Rumpin-Bogor pada Bulan Januari 2007 dan penangkapan nenek Minah di Desa Darmakradenan Banyumas Oktober 2009.

Dimana akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, PTPN serta pemerintah daerah setempat yang menyebabkan rusaknya lahan garapan warga serta korban penembakan, intimidasi dan penculikan terhadap beberapa tokoh masyarakat dan aktivis tani. Berikutnya adalah, peristiwa penangkapan terhadap sekitar 27 kaum tani di Kali Baru-Banyuwangi, penangkapan 50 kaum tani di Kalijajar-Wonosobo, hingga tindak kekerasan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI –AL di Alas Tlogo-Pasuruan, yang menyebabkan meninggalnya 5 orang kaum tani. Peristiwa-peristiwa tersebut tentu saja akan semakin besar jumlahnya bila ditambahkan dengan kejadian serupa lainnya di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan demikian, serangkaian peristiwa ini, menggambarkan secara jelas pada kaum tani dan rakyat luas, bahwa pemerintahan SBY-Boediono telah menempuh cara-cara “kekerasan” dalam mengatasi krisis agraria dan krisis ekonomi secara umum.

Alat kekerasan negara (TNI/POLRI) telah ditempatkan sebagai benteng terdepan untuk melindungi kepentingan kapital monopoli internasional dan investor dalam negeri, untuk mengeruk keuntungan tanpa batas dan menimpakan beban krisis ekonomi pada pundak kaum tani dan rakyat pekerja lainnya. Pada sisi lain, keadaan ini juga mencerminkan karakter pemerintahan SBY-Boediono sebagai alat klas imperialisme dan feodalisme. Kerakusan kapital monopoli dan tuan tanah besar telah menjadikan negara dan kekuasaan politik yang ada, sebagai mesin pengeruk keuntungan dan penindas massa luas rakyat Indonesia.

Upaya-upaya tersebut menjadi hukum keharusan yang ditempuh oleh imperialisme dan feodalisme demi menyelamatkan dirinya dari krisis umum ekonomi yang menimpanya. Tanpa cara demikian, maka sistem usang yang menghisap dan menindas ini tidak akan bertahan dan dengan demikian pasti akan menuju liang kuburnya. Perampasan tanah yang semakin gencar dan vulgar adalah mekanisme yang diperlukan guna memperkokoh monopoli atas sumber-sumber agraria demi laba tanpa batas. Dari era kekuasaan Orde Baru hingga Pemerintahan SBY-Boediono usaha monopoli atas sumber-sumber agraria semakin tinggi dan mendesak kehidupan kaum tani tanpa belas kasihan.

Produksi pertanian skala besar untuk kepentingan pasar terus digencarkan dan dikembangkan, sementara produksi pertanian skala kecil semakin terpinggir dan tidak mendapatkan tempat untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai contoh, melalui data Badan Pusat Statistik (BPS), dapat disebutkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun telah terjadi peningkatan secara significant perluasan areal pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Dimana, pada tahun 1996 luas areal pengusahaan hanya 1.146.300 Ha dengan kapasitas produksi 2.569.500 ton, namun pada Tahun 2006 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi 3.682.900 Ha dengan kapasitas produksi 10.869.365 ton. Dengan demikian selama 10 tahun, telah terjadi peningkatan sekitar 1.423.200 Ha atau sekitar hampir 100 persen. Tentu saja, data luas areal perkebunan kelapa sawit ini belum mencerminkan luasan yang sesungguhnya. Realitas di lapangan jauh lebih besar dari data yang mampu dihimpun. Bahkan untuk melapangkan jalan eksploitasi dan represi, Pemerintahan SBY-JK menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal (UU PM) , yaitu pada Bulan Maret 2007 dengan ditetapkannya UU No.25 Tahun 2007 Tentang PM. Melalui peraturan perundangan yang baru ini, Hak Guna Usaha (HGU) pada pengusahaan di bidang perkebunan masa berlakunya diperpanjang menjadi 95 tahun untuk melindungi dan menjamin kepentingan imperialisme dan feodalisme di sektor agraria.

Rezim Boneka Yang Selalu Mengkianati Harapan Kaum Tani.

Maka menjadi terang dan sangat jelas bagi kaum tani bahwa Pemerintahan SBY-Boediono sedikitpun tidak mempedulikan kehidupan kaum tani dan masyarakat pedesaan. Apalagi memiliki perspektif untuk memajukan sektor pertanian nasional. Bahkan, UU PM yang baru ini jelas-jelas bertentangan dengan  prinsip-prinsip perlindungan kaum tani dan “tanah untuk penggarap” yang terkandung dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Selain itu hak atas tanah bagi kaum tani juga terus mengalami ancaman, diterapkannya LAP (Land Administration Project) yang di danai oleh World Bank telah menciptakan ruang yang besar untuk praktek perdagangan tanah atau free land market yang dilanjutkan dengan Land Management Policy and Development Project. Ke dua proyek ini dipastikan akan mempermudah investasi dari kapitalis monopoli internasional termasuk kekuasaan feodalisme pada sektor agrarian atau tanah terutama pada investasi pertanian skala besar (perkebunan dll). Pada data yang ada di BPN, untuk soal distribusi tanah, Indonesia tergolong sebagai negara yang mengalokasikan tanah untuk rakyat paling rendah bila dibandingkan di antara negara-negara lain di dunia, bahkan di Asia. Sebagai perbandingan, redistribusi di Korsel mencapai 80 persen, Jepang dan Taiwan mencapai 100 persen, sementara Indonesia hanya mencapai kurang lebih 6,7 persen. Di bidang alokasi hijau, Indonesia mengalokasikan areal untuk kehutanan seluas 90 juta Ha, perkebunan 15 juta Ha. Namun untuk 42 juta keluarga petani atau sekitar 124 juta jiwa, Indonesia hanya mengalokasikan tanah seluas 7,8 juta Ha untuk pertanian.

Sehingga tidak heran dalam waktu bertahun-tahun kebelakang, jumlah petani miskin dan buruh tani semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003 dari 52,56 Juta KK Seluruh Indonesia terdapat 25,5 juta keluarga atau 100 juta orang Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Sektor pertanian juga mampu menyerap 46,3% tenaga kerja dari seluruh angkatan kerja. tetapi tahun 1993-2003 terjadi peningkatan jumlah petani miskin dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK. Atau meningkat 2,6% per tahunnya. Hal ini menampakan bahwa pertanian tidaklah mendapat perhatian dari rejim terutama dari tanaman pangan, ini dapat dilihat dari  data Konversi lahan sawah menjadi Non Pertanian 1999-2002 adalah 330.000 ha atau setara dengan 110.000 hektar pertahun.

Dengan melihat kenyataan atas kondisi yang ada, sudah sangat terang bagaimana sikap rejim yang saat ini berkuasa yaitu SBY-Boediono sebagai sebuah pemerintahan yang anti rakyat.  SBY-Boediono sangat jelas lebih memihak kepentingan Imperialisme dan Komprador dalam negeri diatas kepentingan kaum tani dan rakyat Indonesia. Sementara berbagai tindakan kekerasan, reprsifitas lewat berbagai cara termasuk intimidasi, pemukulan atau penangkapan dan kriminalisasi kaum tani menunjukan bagaimanapun kecenderungan Fasis dari SBY-Boediono akan selalu muncul dan menguat demi menghancurkan dan menghentikan gerakan rakyat yang berjuang menuntut hak-hak dasarnya.

Berbagai tindakan yang dilakukan oleh SBY-Boediono sesungguhnya tidaklah menghentikan berbagai perjuangan dan gerakan rakyat dan kaum tani atas perampasan terhadap tanah, upah dan kerja yang dilakukan oleh rejim boneka imperialisme SBY-Boediono. Bangkitnya gerakan massa tidak akan begitu saja bisa di hentikan dan akan muncul dalam berbagai bentuk. mulai dari sekedar aksi protes di lahan atau tanah-tanah yang dirampas, aksi protes ke tempat dan pusat pemerintahan, hingga kaum tani yang bergabung bersama dengan klas dan sektor lain seperti buruh, perempuan,atau pemuda mahasiswa dalam berbagai kampanye luas. hal ini di buktikan dengan keterlibatan kaum tani dalam berbagai kampanye luas seperti hari buruh internasional, hari buta aksara, hari perempuan internasional, hingga hari HAM. Hal tersebut menandakan bahwa kaum tani di Indonesia, seperti halnya sektor lainnya telah memahami bahwa bagaimanapun juga musuh dan akar persoalan yang mendominasi Indonesia tidaklah berbeda, semua penindasan dan penderitaan yang dialami oleh kaum tani berawal dari dominasi Imperialisme dan Feodalisme serta Kapitalisme Birokrat.

Dibalik itu semua, kaum tani yang terhimpun dalam organisasi massa yang demokratis juga memiliki pemahaman bahwa feodalisme di Indonesia akan terhapuskan jika monopoli kepemilikan atas tanah di hilangkan tanpa terkecuali. karena monopoli inilah yang melahirkan berbagai bentuk penindasan dan penghisapan seperti praktek tengkulaisme dan peribaan, mahalnya biaya sarana produksi pertanian dan sewa alat pertanian, murahnya upah buruh tani dan rendahnya harga hasil produksi pertanian. Sehingga selain berjuang untuk menghapuskan monopoli kepemilikan atas tanah sebagai perjuangan yang pokok, perjuangan dalam hal-hal seperti : Perjuangan untuk menaikan upah buruh tani, menurunkan harga sewa tanah untuk kaum tani, menurunkan harga sarana produksi pertanian, menaikan harga hasil produksi pertanian, menurunkan harga sewa alat pertanian/farm tools, mendorong petani untuk ada gerakan menabung dan mendorong kaum petani untuk mendirikan koperasi.

Situasi krisis umum imperialisme dan berbagai kebijakan yang di keluarkan rejim SBY-Boediono untuk menjawab situasi tersebut dengan merugikan rakyat adalah sebuah kesempatan yang baik, karena inilah waktu yang terbaik untuk mengabarkan bagimana watak rejim boneka Imperialisme AS SBY-Boediono sebenarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan propaganda seluas-luasnya dengan berbagai bentuk dan metode untuk membelejeti SBY-Boediono. Selain tentu saja bagaimana meningkatkan pemahaman politik dari rakyat secara luas dan mengorganisasikannya dalam organisasi dengan watak patriotik, militan dan demokratik.

Peranan Pemuda Mahasiswa Adalah Berjuang Bersama Rakyat.

Meluasnya propaganda kepada rakyat tidak terlepas atas upaya tiap organisasi untuk mengembangkan taktik dan strateginya.  Begitu juga pemuda mahasiswa sebagai bagian dari rakyat, yang juga harus memahami peran dan posisinya. mengetahui bagaimana pendidikan berkualitas buruk lagi mahal, yang akan terus menghasilkan anak-anak putus sekolah, buta huruf dan lulusan-lulusan pendidikan yang tidak berkualitas. Pendidikan selama di kelola oleh rejim boneka Imperialisme tentu tidak akan memberikan kualitas yang baik sebagaimana syarat pendidikan yang harus di akses oleh rakyat. hal yang sama juga berlaku pada pendidikan tinggi yang di bentuk bukan untuk rakyat, akan tetapi di bentuk atas dasar timbunan keuntungan atau pun pencari kekayaan semata alias perdagangan.

Sehingga peranan pemuda mahasiswa dalam perjuangan demokratis nasional sangat jelas dan terang, perjuangan atas pendidikan bagi semua, pendidikan murah ataupun pembrantasan buta aksara pada hakekatnya tidak akan menuai hasil yang fundamental jika tidak bergabung dalam perjuangan rakyat secara luas, mendukung perjuangan kaum tani atas landreform berarti mendukung juga perjuangan kaum tani untuk membebaskan diri dari belenggu feodalisme yang telah ratusan tahun merongrong kehidupan kaum tani. landreform adalah syarat utama bagi tumbuhnya industri nasional, sekaligus merupakan pintu masuk bagi kedaulatan rakyat indonesia di tanahnya sendiri. sehingga tidak ada alasan apapun dari berbagai klas dan sektor di Indonesia untuk tidak mendukung dan berjuang bersama kaum tani.

Mewaspadai Neokolonialisme Pendidikan

Pada awalnya adalah kebuntuan dalam menyelesaikan sejumlah problematika pendidikan. Lalu pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) sebagai instrumen ampuh dalam menyelesaikan itu semua. Legislatif mengamini RUU tersebut dan kemudian disahkan oleh presiden. RUU BHP kemudian menjadi UU BHP pada desember 2008. Kalangan masyarakat tidak menyetujui hal itu.  Gugatan ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan dikabulkan. UU BHP di cabut, karena bertentangan dengan konstitusi.

Ibarat sebuah skenario, maka proses kelahiran UU BHP sampai dengan penolakan UU tersebut jelas merupakan skenario panjang yang cukup menarik. MK sebagai pahlawan yang muncul di akhir berhasil mengakiri cerita dengan begitu baik.

Secara substansial UU BHP lebih banyak berisi mengenai peraturan teknis seperti sumber dana penyelenggaraan pendidikan, manajerial pengelolaan lembaga pendidikan serta masalah teknis lainnya.

Mengenai sumber dana, UU BHP mengatakan bahwa pemerintah yang pada awalnya sebagai penyandang dana utama dalam proses pendidikan bisa dibantu oleh pihak lain (baca : masyarakat).  Sedangkan pada tataran manajerial, UU BHP menghendaki seluruh lembaga pendidikan mengadopsi budaya korporat dalam kesehariannya. Kedua substansi mengenai UU BHP tersebut sejatinya menggambarkan kondisi pendidikan Indonesia yang sebenar-benarnya.

Pada awalnya, alasan melibatkan masyarakat dalam mendanai pendidikan karena negara merasa tidak mampu membiayai biaya pendidikan yang sedemikian besar. Alibi ketidakmampuan tersebut adalah karena anggaran negara lebih banyak dibelanjakan untuk sektor yang lain. Termasuk membayar  bunga utang luar negeri Indonesia yang cukup banyak. Pada akhirnya, ketidakmampuan pemerintah untuk membiayai pendidikan cenderung mengarah pada masuknya investasi-investasi dalam dan luar negeri ke dalam sektor pendidikan.

Sedangkan alasan pengadopsian manajemen korporat ke dalam manajerial lembaga pendidikan, agar kinerja lembaga pendidikan mempunyai kualitas pelayanan yang cukup baik. Dan jika kita mencoba menebak arah skenario pengadopsian manajemen korporat dalam lembaga pendidikan ini adalah lembaga pendidikan tersebut mendapatkan kredibilitas yang cukup bagus. Sehingga akhirnya akan mudah ditebak. Dengan lembaga yang mempunyai kredibilitas tinggi maka investor tidak akan segan untuk masuk. Jadilah investasi akan mengalir dengan deras ke lembaga pendidikan. Pada akhirnya banyak investsi masuk ke lembaga pendidikan dan tentu saja beban pemerintah untuk membiayai lembaga pendidikan akan semakin berkurang. Konsekuensi logisnya lembaga pendidikan kita akan cenderung didominasi oleh pihak-pihak partikelir (baca : swasta)

Membaca skenario tersebut, rasa-rasanya kita harus menyadari bahwa sebenarnya sedang terjadi pergeseran yang cukup dahsyat dalam sistem pendidikan nasional. Diperbolehkanya masyarakat dalam membiayai pendidikan serta pengadopsian manajemen korporat dalam dunia pendidikan merupakan hal yang betul-betul baru di dunia pendidikan kita.

Pertanyaan pentingnya adalah siapa yang kemudian menjadi pendorong kuat dari pergeseran ini? Penulis berpikir bahwa pendorong kuat pergeseran ini tidak lain dan tidak bukan adalah skenario global. Skenario yang dibuat oleh negara-negara maju kepada negara berkembang. Logika dari skenario ini sangat mudah dipahami oleh akal sehat sebenarnya!

Negara maju adalah negara yang notabene mempunyai tingkat teknologi yang sangat maju, selain itu juga mereka mempunyai modal yang juga cukup banyak. Watak dasar seorang pemoda) adalah eksploitasi, akumulatif dan ekpansif, dengan demikian dia akan terus sekuat tenaga menambah uangnya agar terus bertambah, seperti apapun caranya.

Hari ini kita mengetahui bahwa semua sektor indutri produksi barang semuanya sudah terjamah, sedangkan sektor industri yang lain seperti halnya industri jasa belum banyak digeluti oleh pemodal tersebut. Pada akhirnya sektor jasa ini menjadi sektor yang sangat “empuk” bagi para pemodal untuk menanamkan modalnya.

Skenario ini menjadi kenyataan ketika tahun 2004, Indonesia menandatangani salah satu perjanjian dalam General Agrement on Trade and Service (GATSS). GATSS merupakan salah satu bagian penting da-lam WTO. Secara sederhana, isi dari perjanjian tersebut ada-lah memasukan pendidikan menjadi sektor jasa. Sebagai catatan saja, munculnya WTO merupakan salah satu konsekuensi logis dari arus globalisasi yang semakin kuat yang di pimpin oleh negara-negara maju.

Dalam konteks skenario ini, munculnya UU BHP menjadi terang adanya. Hal ini adalah sebuah upaya memoderasi pendidikan Indonesia menjadi komoditas dan kenyataannya hari ini arus globalisasi semakin menguat. Ke depan bisa dipastikan upaya-upaya lain untuk memoderasi pendidikan menjadi sektor komoditas akan selalu muncul. Bisa jadi akan semakin menguat! Pertanyaan pentingnya adalah dengan strategi dan taktik apa, sistem pendidikan Indonesia bisa dilindungi dari arus globalisasi yang semakin kuat tersebut?

Penulis berpikiran bahwa jawaban dari hal ini tidaklah tunggal. Akan tetapai besar kemungkinan akan sangat beragam. Jawaban dari hal ini akan sangat beragam karena akan sangat ditentukan oleh cara pandang masih-masing pihak yang tentu saja mempunyai pandangan philosofis, serta visi dan misinya masing-masing.

Mungkin  lebih epektif jika strategi dan taktik tersebut cukup saja dibagi ke dalam dua bagian. Pertama adalah strategi dan taktik dalam jangka pendek. Kedua, adalah strategi dan taktik dalam jangka panjang.  Strategi dalam jangka pendek berkaitan dengan upaya-upaya untuk menolak masuknya prinsip-prinsip manajemen korporat ke dalam sebuah lembaga pendidikan. Kenapa prinsip-prinisp korporat “ terlarang” untuk diterapkan ke dalam manajemen lembaga pendidikan, tidak lain dan tidak bukan karena lembaga pendidikan bukanlah lembaga yang bertujuan untuk mencari laba. Lembaga pendidikan adalah lembaga sosial yang mempunyai aturan, prinsip serta nilai-nilai sendiri yang tidak mungkin diganti oleh yang lain.

Sedangkan strategi jangka panjang berkaitan dengan upaya membentengi masuknya paradigma-paradigma globalisasi ke dalam sektor pendidikan. Kenapa paradigma-paradigma global harus ditolak masuk ke dalam sektor pendidikan Indonesia, karena pada faktanya kita melihat bahwa paradigma globalisasi menghendaki pendidikan dijadikan sebagai komoditas. Jelas hal ini akan sangat kontradiktif dengan paradigma pendidikan yang selama ini kita anut. Pendidikan itu adalah untuk mencerdaskan segala bangsa. Bagaimana mau cerdas kalau pendidikan sudah diperjualbelikan? Bisa dipastikan yang akan cerdas hanyalah orang yang mampu “membeli” pendidikan tersebut.

Pada akhirnya, berhasil atau tidaknya penolakan atas skenario global tersebut adalah sebuah keniscayaan sejarah, karena pada faktanya kita melihat bahwa arus global sudah berkembang menjadi arus yang cukup deras, bahkan hampir memasuki seluruh denyut nadi kehidupan. Oleh karena itu, satu-satunya yang mutlak dan pasti bisa dilakukan adalah berproses. Tepatnya berjuang sekuat tenaga menolak skenario global tersebut. Tidak ada pilihan lain yang lebih baik. ***

Oleh Aang Kusmawan, bergiat di Sarekat Guru Muda (SGM) Bandung

bm#3.Mei.2010

APA KABAR GERAKAN BURUH?

Tinggal menunggu hari menjelang May Day (Hari Buruh Internasional) 2010. Momentum yang jatuh setiap tanggal 1 Mei tersebut, dalam beberapa tahun terakhir kembali populer di kalangan publik tanah air—terutama pascalengsernya rezim Orde Baru, yang sempat melarang peringatan ini akibat sindrom communisto-phoby yang dideritanya. Kekinian, gelombang protes anti-ketidakadilan yang dilakukan buruh—juga rakyat tertindas lainnya—terus mewarnai peringatan May Day. Mereka berbaris, berarak, dan meneriakan aspirasinya di halaman-halaman gedung pemerintahan. Sejumlah tuntutan yang mengemuka adalah penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing, pemenuhan upah layak, serta kebebasan berserikat.

Berbicara gerakan  buruh di tanah air, teks-teks sejarah sedikit-banyak akan menautkannya pada peristiwa kelam Tragedi ’65. Pascahuru-hara politik yang berujung pada tewasnya sejumlah jendral, buruh kemudian diasosiasikan sebagai ‘setan’ komunis; sementara komunisme adalah ajaran haram yang harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Walhasil, banyak buruh yang saat itu vokal menyerukan perubahan menjadi bagian dari tiga juta (menurut Sarwo Edie Wibowo) korban penghapusan sejarah komunisme di Indonesia yang dikomandani oleh Jendral Soeharto.

Naiknya Soeharto sebagai kepala negara melalui satu fase paling berdarah sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, yaitu tragedi ’65, yang kemudian oleh rezim Orde Baru diistilahkan “Penghiantan G 30 S/PKI”. Puluhan ribu nyawa rakyat Indonesia lenyap, karena dianggap terkait dengan PKI dan tragedi ’65. Padahal, sejarah kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terbunuhnya sejumlah petinggi militer hingga kini masih simpang siur kebenarannya.

Selama tiga puluh dua tahun riwayat Soeharto membangun dinasti Orde Baru-nya, di samping dalam persoalan politik, hak-hak sosial-ekonomi buruh juga dikebiri melalui berbagai cara, dari mulai penerbitan peraturan yang tidak berpihak hingga tindakan represi secara langsung. Setiap upaya yang dijalani buruh untuk merebut haknya selalau dihadapi dengan teror, pemenjaraan, hingga penculikan dan pembunuhan. Sejatinya,

Sejak saat itulah, gerakan buruh dan gerakan rakyat tertindas lainnya yang menuntut pemenuhan hak pada pemerintah, selalu dikaitkan dengan PKI dan komunisme. Setiap aksi buruh yang berani mengekspresikan ketertindasannya dan mengungkapkan tuntutannya, selalu disudutkan dengan tuduhan sebagai (orang) PKI atau Komunis.

Padahal, dibedah dengan teori apapun, adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, buruh yang digaji rendah dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari akan menuntut kompensasi yang sebanding atas tenaga dan pikiran yang telah mereka curahkan dalam proses produksi. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat para petani yang sudah turun-temurun menggarap sawah dan ladang mereka, marah dan melawan, saat mereka hendak digusur dari tanahnya atas nama “sertifikat” yang dimiliki perusahaan perkebunan swasta, perusahaan agraria milik negara, ataupun instansi militer. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat mahasiswa yang mempunyai kapasitas berpikir dan energi yang lebih, menuntut haknya atas pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, serta bergabung dengan elemen-elemen rakyat lainnnya, termasuk buruh, untuk bersama-sama berjuang menghancurkan sistem yang menjadi biang atas segala ketidakadilan yang terjadi.

Di zaman Orde Baru, semua aktivitas kristis tersebut selalu divonis dengan tuduhan “subversif” atau “makar”. Padahal, menurut opini-opini kritis yang berkembang, sikap diktator Soeharto tidak terlepas dari mandat para oligarki yang menguasai dunia, yaitu kaum Kapitalis yang saat ini memegang kendali atas negeri-negeri industrial-adikuasa, salah satunya Amerika (serikat).

Kebijakan paling krusial di awal pemerintahan Soeharto, yaitu Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang terbit pada tahun 1967, bisa menjadi salah satu dasar ilmiah untuk mengamini premis di atas. Inilah tonggak awal hadirnya fase penjajahan jilid dua, yaitu penjajahan dengan kekuatan ekonomi, yang berlangsung hingga hari ini. Dengan ini, Indonesia praktis menjadi bulan-bulanan para pemodal yang berkepentingan dengan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah-melimpah, serta pasar yang luas. Alhasil, buah dari semangat “dengan modal sekecil-kecilnya; harus untung sebesar-besarnya”, buruh di tanah air menjadi korban eksploitasi nafsu serakah para Kapitalis.

Dengan segala cara, kaum Kapitalis mengamankan hegemoni kekuasaannya. Di banyak negeri di dunia, ia mendirikan pemerintahan “boneka”, yang harus selalu siap menjalankan semua titahnya. Hal ini terbaca dari upaya pemerintah kita membatasi berkembangnya gerakan buruh, yang secra teoritik dan empiris merupakan musuh utama dari sistem kapitalis, dan mengancam eksistensi mereka.

Inilah dasar mengapa gerakan buruh selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah “boneka”, dan terus berupaya dilemahkan. Pada zamannya, Orde Baru mengukuhkan stigma bahwa gerakan buruh merupakan gerakan komunis, sehingga tidak boleh dibiarkan. Untuk mendukung usaha ini, direkalah segudang sejarah “palsu” demi membangun citra betapa “nazis”-nya faham dan orang-orang komunis.

Kekinian, sejarah “palsu” tersebut mulai terkuak. Opini kesejarahan yang lebih faktual mulai ramai diwacanakan, sebut saja prihal dalang di balik tragedi ’65, kontroversi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), hinga seknario penculikan dan tewasnya para petinggi militer.

Namun sayangnya, temuan-temuan ini tidak pernah sepenuh hati disambut oleh pemerintah. Ini sangat beralasan, sebab, jika sejarah “palsu” tersebut terklarivikasi dan semuanya menjadi terang, tidak ada lagi senjata pemerintah “boneka” dan para pemodal untuk menghalau musuh-musuhnya, terutama gerakan buruh.

Sampai kapanpun, sejarah palsu tersebut niscaya akan tetap dilestarikan. Keuntungan utama yang dituai oleh pemerintah “boneka” dan para pemodal adalah terpendamnya sentimen sesama rakyat, yang suatu saat bisa diledakan guna mengadu-domba, dalam rangka mengamankan kepentingan dan dominasinya. Dari sini kita bisa membayangkan bagaimana akan terjal dan penuh keloknya perjuangan yang harus ditempuh oleh buruh dalam menghancurkan sistem yang menjadi biang ketertindasan mereka, dan merebut kemerdekaan atas hak-haknya. Untuk itu, buruh serta elemen tertindas lainnya harus lebih solid dan berjuang lebih keras.***

Oleh Andi Nurroni

bm#2.April.2010

Jalan Keluar Menuju Pembebasan Perempuan

Upaya yang harus dilakukan untuk mencabut akar penindasan terhadap perempuan adalah dengan mengorganisasikan perempuan dalam organisasi massa yang berwatak demokratis dan nasional (baik itu ormass perempuan ataupun ormass sektoral seperti : ormass tani, ormass buruh, ormass pemuda/mahasiswa) serta memiliki konsistensi dalam perjuangan menuntut reforma agraria.

Kenapa harus ormass yang berwatak demokratis dan nasional dan kenapa ormass tersebut harus memiliki konsistensi terhadap perjuangan menutut reforma agraria?

Reforma agraria merupakan upaya pe-rombakan terhadap struktur agraria dengan jalan me-niadakan monopoli atas kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta mendistri-busikannya pada petani penggarap, baik laki-laki maupun perempuan.

Di Indonesia, telah ada payung hukum untuk pelaksanaan Reforma Agraria, yakni Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang diperkuat Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

Dengan jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan kualitas teknologi pro-duksi yang masih rendah serta sempitnya lapangan pekerjaan di sektor lain, satu-satunya cara meningkatkan penghidupan kaum tani adalah dengan cara ekstensifikasi lahan. Yang kerap dijadikan alasan untuk tidak menjalankan ekstensifikasi adalah menyempitnya lahan pertanian karena perkembangan industri dan jumlah penduduk.

Namun, permasalahan utama sebenarnya bukan itu, melainkan karena adanya penguasaan secara monopoli oleh segelintir kalangan nonpetani yang memiliki kekuasaan penuh dalam hal peruntukan tanah. Di negeri ini, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta hektar lahan. Atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120 ribu hektar lahan. Bahkan pada tahun 1998, sebanyak 10 konglomerat di Indonesia telah menguasai lahan seluas 65 ribu hektar. Dan menurut Dosen Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani, Ph.D, jika pada tahun 1980-an kepemilikan lahan pertanian oleh petani miskin di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25  hektar saja. Apalagi kekinian terutama pasca kesepakatan ADB di Bali pada bulan Mei 2009, pemerintah akan melakukan revitalisasi Dengan demikian, tidak jarang kasus konversi lahan pertanian menjadi areal industri justru terjadi di kawasan pertanian produktif. Apabila tidak segera ditangkal dengan cara mendemokratiskan penguasaan dan kepemilikan tanah, gejala ini semakin memperburuk kehidupan keluarga petani gurem. Buruknya kehidupan keluarga kaum tani di pedesaan inilah yang menjadi salah satu muasal segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami kaum perempuan.

Proses ekstensifikasi lahan yang dilakukan dengan mendistribusi lahan berlebih dari kepemilikan monopoli memberi jaminan ekonomi dan politik bagi kalangan yang selama ini paling terpinggirkan di pedesaan. Jaminan ini akan meningkatkan kemampuan produksi kaum tani miskin di pedesaan apabila dilanjutkan dengan upaya penataan produksi dan kolektivisasi pertanian. Langkah ini dapat ditopang dengan pembenahan proses produksi, terutama melalui intervensi teknologi modern dalam proses produksi pertanian.

Penataan dan kolektivisasi produksi pertanian di wilayah-wilayah yang sudah mengalami redistribusi lahan bertujuan untuk menjamin pemerataan hasil produksi dalam upaya mengangkat kesejahteraan. Jaminan ini berlaku untuk semua pihak yang bekerja di atas tanah tersebut, tanpa diskriminasi jender.

Bagi perempuan petani, reformasi agraria memberi jaminan lebih konkret atas hak ekonomi dan hak politik. Artinya, kaum tani perempuan memiliki basis yang memadai dalam hal partisipasi dan kontrol ekonomi maupun politik. Basis inilah yang akan menopang gerakan perempuan secara umum untuk menganulir segala bentuk diskriminasi, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun kebudayaan.

Reforma agraria ini juga akan menjadi sebuah landasan bagi berdirinya industri-industri nasional yang akan mengolah seluruh kekayaan alam Indonesia dengan maksud dan tujuan mensejahterakan rakyat. Perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat juga akan menemukan pijakannya. Dengan penguasaan tanah dan industri yang berada di tangan rakyat, maka ilmu pengetahuan akan berkembang dengan pesat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan rakyat. Tujuan pendidikan di Indonesia kemudian adalah untuk memajukan tenaga produktif yang akan membawa ke arah perubahan Indonesia menjadi lebih baik.

Langkah lain yang harus dilakukan adalah mengatasi masalah keterbelakangan politik dan kebudayaan melalui aktivitas pengorganisasian (mendorong partisipasi aktif perempuan dalam berbagai aktifitas organisasi) serta pengintensifan pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai baru untuk mengatasi keterbelakangan budaya di kalangan kaum tani dan menciptakan budaya baru yang demokratis tanpa diskriminasi di pedesaan.

Sehingga, satu-satunya jawaban bagi penghapusan penindasan terhadap perempuan adalah perempuan harus mengorganisir diri dalam organisasi-organisasi massa yang demokratis nasional (baik itu ormass perempuan maupun ormass sektoral) yang memiliki komitmen tinggi dalam perjuangan reforma agraria.

Situasi sekarang, di tengah krisis umum imperialisme yang terus menajam yang mengakibatkan semakin intensifnya penindasan terhadap perempuan dan rakyat Indonesia, adalah situasi yang tepat untuk mengorganisasikan diri dan bergerak bersama untuk menuntut hak-hak perempuan yang sudah dirampas. Mempersoalkan kembali persoalan yang dihadapi oleh perempuan dan rakyat Indonesia di mimbar-mimbar akademik meruapkan sebuah kewajiban untuk memperluas pengaruh pandangan kita di kalangan intelektual sealigus untuk menemukan dan menyatukan perspektif yang sama atas akar penindasan perempuan dan bagaimana jalan keluarnya. Mengkampanyekan secara luas persoalan perempuan dalam mimbar-mimbar bebas di kampus dan aksi-aksi massa yang meluas dan simpatik di berbagai level organisasi adalah sebuah agenda gerakan yang tidak boleh kita lewatkan dalam  rangka peringatan Hari Perempuan Internasional ini.

Membangun aliansi strategis dengan beberapa organisasi yang berwatak patriotik, demokratik dan militant adalah bagian dari strategi untuk memperluas pengaruh. Untuk itu, dalam moment peringatan HPI ini, secara terbuka kia harus mengadakan kerja sama dengan organisasi lain untuk melakukan agenda bersama peringatan HPI dalam bentuk diskusi dan aksi bersama. Aliansi dengan taktik memperluas pengaruh ini juga harus dijalankan secara menyeluruh juga kepada beberapa organisasi yang memiliki konsistensi terhadap perjuangan kaum perempuan dan dikongkritkan dalam sebuah agenda bersama..

Oleh Asep Saepudin*