Syareat

Cermin: Amran Halim

 

Sebotol air bening disodorkan ke tengah riungan jemaat tahlil—saling bertumpuk dengkul di ruang yang luasnya dua kali liang lahat—ketika abah Ajengan menyampaikan mukadimah, sepatah pesan sebelum membaca surat Yassin. Seorang bocah, anak laki-laki dari paman kawanku, bertanya pada ayahnya—tak peduli dengan kekhidmatan jemaat lainnya;

“Ayah, itu air minum?” menunjuk.

“Iya. Tapi untuk orang yang telah meninggal dunia,” jawab ayahnya berbisik.

“Untuk Eyang ya, Yah? Emang Eyang ngerasa haus? Itu air matang, Yah? Rudi boleh minta nggak? Rudi haus.” Ayahnya agak kikuk meladeni serentetan pertanyaan dari puteranya.

“Itu air mentah. Makanya untuk yang sudah meninggal,” berbisik sambil membungkukkan badan khawatir mengganggu kekhidmatan karena surat yassin segera menyeruak dari mulut para jemaah; mendesaki segala ruang kosong di jiwa, kamar- kamar selain tempat tahlil, botol berisi air syareat.

Ayahnya senang melihat anaknya mulai tak bertanya lagi. Nampaknya anak itu  khusuk menatap botol. Tapi siapa sangka anak itu kembali bertanya.

“Emang Eyang mau minum air mentah, Yah?  Entar kalo sakit perut gimana? Cara minumnya Eyang gimana, Yah?” suaranya kian lantang.

“ssst, jangan keras-keras.” Ayahnya memperingatkan.

“Jawab dulu, Yah.” Menuntut. Ayahnya terjebak. Sulit menjelaskan.

“Bukan diminum seperti kita minum, tapi dibasuhkan pada makamnya. Itu kan air doa. Nah doanyalah yang akan menyejukkan Eyang di alam sana. Makanya Rudi berdoa ya untuk Eyang.”

“oh. minum doanya ya, Yah.” Ayahnya manggut-manggut. Abah ajengan mendehem. Jemaat melirik. Terganggu. Rudi diseret ayahnya kepangkuan. Karpet turut terseret. Air dalam botol goyah. Tumpah.

 

Pondok ASAS, Bandung, 020308

Leave a comment