Selepas Dzuhur di Pelataran Mesjid

: Amran Halim

 

Kumandang adzan, se-jam yang lalu, mulai terlupakan. Udara terpanggang terik matahari yang bercincin raksasa, kuwungkuwung. Di alun-alun, depan masjid. Anak-anak asyik main layangan. Sementara di sudut lain, sepasang remaja asyik bercumbu di bawah rindangnya pohon beringin. Masjid yang megah itu tampak lengang, hanya beberapa orang yang sedang tidur-tiduran melepas lelah di dalamnya. Orang-orang selalu disibukkan oleh urusan duniawinya, terseret dalam pusaran kapitalis. Uang menjadi tujuan hidup. Masjid itu mulai ditinggalkan oleh para jemaah musimannya.

Di pelataran mesjid, seorang pengemis tua sedang duduk termenung. Rantangnya yang petot tergeletak tak berisi. Pengemis tua itu bercucur keringat. Sambil lenggatlenggut, sesekali ia mengusap keringat di mukanya dengan kain sarung yang lusuh, dekil penuh debu. Sesekali bibirnya berkamit, meruntuki rejekinya hari ini.

Matanya terpaut anak-anak yang asyik main layangan di alun-alun. Ia seolah melihat anaknya, tersenyum padanya dengan raut muka yang begitu bahagia.

Di seberang jalan, seorang pemuda, Umbara, berkemeja putih lengan panjang, berdasi hitam, dan bercelana katun dengan sepatu vantopelnya yang hitam, tak mengkilap. Ia berjalan perlahan. Lunglai. Menuju mesjid. Mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, dan mengusapkan sapu tangan itu pada mukanya yang kusut. Kucel karena debu dan keringatnya yang bercampur pada kulit mukanya yang sedikit kehitaman. Di tangan kanannya ia menenteng sebuah map berwarna kuning. yang berisi lembar ijazah, surat lamaran pekerjaan dan SKKB. Lamarannya sudah ditolak empat kali hari ini.

“Ya, Tuhan. Seperti inikah nasib seorang sarjana sastra? Atau inikah balasan untuk hambamu yang telah lama melupakan keberadaanmu? Ijinkan saya tuk kembali memohon padamu, Tuhan,” bisiknya dalam hati. Sambil berjalan tersuruk-suruk. Bayangan semasa kuliahnya serupa potongan-potongan film yang diputar acak dalam otaknya.

Pengemis tua itu terbangun mendengar suara derap sepatu pada batako halaman mesjid. Ia menoleh ke arah datangnya suara gesekan sepatu. Rantang diambilnya dan diangkat oleh kedua tangannya seraya menatap wajah pemuda yang hendak melintas di hadapannya, dengan tatapan penuh harap.

Kasihanilah saya yang tak berdaya ini, Mas.” Ucapnya setelah Umbara benar-benar melintas di hadapannya..

Maaf,” membungkukkan badan dengan tolakkan tangannya yang sedikit menjulur ke arah rantang pak tua, sebagai tanda bahwa Umbara tak hendak memberi uang pada pengemis tua itu. Tatapan mata mereka saling beradu dalam tempo beberapa detik, lantas Umbara melanjutkan langkahnya, gontai.

Pengemis tua itu kembali tertunduk. Harapannya lesap pada seucap kata “Maaf”. Matanya menatap kosong ke depan.

Umbara terus melangkah. Tak jauh dari pengemis tua, ia duduk merebahkan lelah. Diliriknya pengemis tua itu diam-diam.

“Ternyata tak hanya saya yang tercekik keadaan. O, pengemis tua maafkanlah saya,” Umbara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil menghela nafas. Dalam.

Kedua tangannya menyangga tubuh. Tangan kiri melonggarkan cekikkan dasi yang menggantung di lehernya, mengusap dahi dan sedikit meremas-remas rambutnya. Menghela nafas.

“….tetapi memandang sorot matamu aku seperti menjumpai-Nya”* gumamnya.

Tubuhnya terbungkuk. Mukanya di tutupi kedua telapak tangan. Lengannya menempel pada paha dengan siku mengganjal perut. Ia mengisak. Pengemis tua masih terkantuk di sudut lain.

Umbara beranjak, mencoba menenangkan hati dan gusarnya pikiran pada hidup. Menuju tempat Wudlu. Membuka keran dan air bercucur perlahan memercikkan bayang tatapan mata pengemis tua. Ia mencoba untuk tak menghiraukannya.
Anehnya saat membaca niat salat, keresahan dan skemata di otaknya terus berkelebatan. Tak juga ia merasakan kesejukan saat menghadapkan jiwa pada keagungan Tuhan.

“O, Tuhan. Apakah kau tak lagi sudi menerima sujud dan rukuk-ku? Apakah terlalu banyak dosa yang telah kuperbuat hingga gelisah paling perih terus merudung kehidupanku? O, Tuhan berikanlah aku kesejukan hati tuk menjalani hidup yang semakin membara ini,” menegadah menatap lengkung langit-langit mesjid.

Lama ia terpaku menatap lengkung langit-langit mesjid yang begitu tinggi. Ia merasakan tubuhnya hanyalah

tatap mata pengemis tua itu masih membayang dalam pikiarannya. Pada takbir pertama, terlintaslah sebuah skemata masa perkuliahannya. Ia pernah kesal pada pengemis di kampusnya yang menggerutu saat tak diberi.

Pak, bukan saya tak mau memberi uang. Sungguh saya sedang tak punya uang.”

“Pak, yang sedang kesusahan itu bukan hanya Bapak. Ya, Walau pun penampilan saya rapi, tapi uang dalam dompet saya tak setebal para jutawan atau pejabat. Paling-paling hanya cukup untuk beberapa hari hidup saya di sini.”

“Orang itu harus ikhtiar, Pak. Jangan mau enaknya aja.” mengatur nafasnya yang sedikit tersedak.

“Bapak juga seharusnya berikhtiar untuk mendapatkan rejeki. Jangan menngerutu kalau gak ada yang ngasih.” Lanjutnya.

Mata pengemis itu meredup dan menghilang saat wajahnya tertunduk. Pengemis itu pergi dengan meninggalkan tatapannya yang tajam sebelum beranjak. Tak sepatah kata pun keluar bibirnya yang kering.

“Subhanallah,” Umbara menghentikan salatnya. Mengulang niat dan takbir awal, “Allahuakbar…” dan bayang pada tatapan mata pengemis tua di pelataran masjid kembali terlintas.

“Ya. Tatapan mata itu adalah tatapan yang sama dengan pengemis yang pernah saya marahi, lantas redup karena kecewa. Inikah karmaku, Tuhan?” berbisik dalam hati,

“Subhanallah,” Umbara kembali menghentikan Salatnya. Meraup wajah dengan telapak tangan. Berbalik. mengeluarkan uang dalam sakunya. Didapatinya selembar uang dengan nominal lima ribu rupiah.

“Ah…., tak apa jalan kaki. Toh tinggal tiga kantor lagi yang harus saya datangi siang ini. Jarak antara ketiganya pun tak terlalu jauh,” memandang ke luar.

“Ya. Pengemis tua tadi lebih membutuhkannya untuk menunaikan hidup hari ini.” malangkah, menuju pengemis tua tadi.

Sesampainya di luar, tak ia dapati pengemis tua yang tatapannya mengganggu kekhusuan saat menghadap ke Keilahian Sang Khaliq. Diputarnya pandang, tak juga ia menemukan sesosok tubuh ringkih pengemis tua itu.

“Maafkan aku Tuhan, karena keadaan, saya jadi tak peduli pada sesama dan menyia-nyiakan titipanmu.” melemas dan terduduk di pelataran masjid. Perutnya keruyukan. Ia tersadar: sedari malam belum makan.

 

                                                     Pondok ASAS. Bandung, 081106-010707 

 

 

Catatan:

* kutipan dari sajak “Pengemis Tua yang Sia-Sia” karya M H Ainun Najib.

Leave a comment