Bagian Lima: “Revolusi dan Bedil Tentara”

Oleh: Asep Pram

 

Revolusi

dan Bedil Tentara

 


Di rumah itu mereka menghabiskan waktunya dalam kamar masing-masing, atau pergi selama beberapa minggu bahkan berbulan-bulan untuk menggali sumber tulisan. Mata, telinga, dan perasaan  sudah merupakan semacam radar yang selalu ditantang kepekaannya untuk menangkap segala realitas sosial yang terjadi. Mereka harus mampu merekam semuanya, kemudian mengabarkannya kepada orang lain lewat tulisan. Segumpal semangat selalu menyertai tulisannya.

Ada banyak kenyataan yang tejadi di negeri ini yang akan mengarahkan manusia menciptakan peradaban binatang, pikir Ahmad Rambo. Terdapat banyak pilihan memang. Dua di antaranya adalah membiarkan diri kita hanyut di dalamnya, atau  melawannya. Jika membiarkannya berarti kita menjadi bagian dari peradaban tersebut. Menjadi serigala, lembu,  harimau, cacing, tikus, ulat, dan sebagainya sesuai dengan insting kebinatangan yang ditanam dalam diri masing-masing. Jika melawannya, setidaknya menunjukkan bahwa kita mempunyai keinginan untuk tetap menjadi diri kita sendiri, sebagai manusia. Pilihan pertama menuntut kita untuk siap membunuh atau dibunuh. Dan, pilihan kedua menuntut kita untuk siap sadar diri kemudian menyadarkan yang lain atau disadarkan yang lain kemudian sadar diri.

Di kamarnya, Ahmad Rambo sedang memikirkan tulisan William Wrigley, Jr.: musuh terbesar manusia adalah keraguan dan ketakutan yang bersemayam dalam dirinya. Baginya kata-kata tersebut sangat berhubungan dengan apa yang sedang ia lakukan. Pilihan perjuangannya menuntut konsekuensi besar yang memungkinkan ditakuti banyak orang. Ia harus merekam realitas sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai humanisme, yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Ia harus mempublikasikannya dengan tulisan fiksi.

Orang yang merasa terkritik oleh tulisannya, besar kemungkinan akan marah, sebab bangku sekolah di negeri ini tidak mengajarkan anak didiknya untuk terbiasa melakukan kritik dan otokritik. Masih untung kalau yang terkritik itu orang biasa yang dengan umpatan saja kemarahannya sudah hilang. Bagaimana kalau orang luar biasa dan berkuasa, yang kemarahannya tidak lantas hilang dengan mengumpatkan kata-kata kekesalan sebab menganggapnya akan mengancam keluarbiasaan dan kekuasaaan yang dimilikinya?

Di negeri dengan peradaban binatang, hanya ada satu undang-undang: yang paling kuat dialah yang paling berkuasa. Ini berarti, untuk menjadi yang berkuasa, ia harus melakukan pertarungan dengan konsekuensi hidup atau mati. Setelah berkuasa, ia juga harus mempertahankan kekuasannya  untuk tidak diambil alih dan direbut. Juga dengan usaha mati-matian. Ini yang dipikirkan Ahmad Rambo.

Perjuangan yang akan ia lakukannya itu adalah mengubah dan melawan peradaban binatang menjadi peradaban manusia. Dengan sendirinya, yang ia kritik adalah binatang. Kemungkinan konsekuensinya adalah penjara atau senjata. Namun ia telah menghilangkan keraguan dan ketakutan tersebut. Ia terus menulis.

“Tulisanmu tidak bisa diterbitkan,” kata laki-laki penulis dalam suatu kesempatan.

“Kenapa?”

“Banyak penerbit yang hanya akan menerbitkan karya kalau penulisnya sudah dikenal.”

“Alasannya?”

“Karena mereka tidak ingin rugi. Menerbitkan sebuah buku memerlukan biaya yang besar. Jika penulisnya tidak terkenal,  bukunya tidak akan banyak yang membeli.”

“Tapi, bukankah ini perjuangan dalam rangka menyadarkan rakyat?”

“Ya, bagi kita ini perjuangan dalam menyadarkan rakyat. Tapi bagi penerbit, ini  perjuangan dalam rangka menghidupi anak istri. Saya tidak bisa memaksa mereka. Itu bertentangan dengan misi perjuangan kita dalam memerdekakan manusia. Akan sangat lucu dan bodoh kalau memerdekakan seseorang dengan cara merampas kemerdekaan orang lain.”

“Jadi, bagaimana?”

“Ada dua cara. Mengirimkannya ke media supaya tulisanmu terbaca dan namamu akan mulai dikenal. Atau menulis novel sebab karya fiksi jenis itu lebih banyak pasarnya. Jika kamu siap, tulislah novel. Ingat, tidak akan terjadi revolusi jika tidak ada yang mengobarkan apinya. Kobarkanlah api itu! Lakukan riset. Tangkap realitas, tuliskan, dan kabarkan!”  laki-laki penulis menyemangati.

*

 

Semangat menulis Ahmad Rambo menggebu-gebu. Ia ingin mengalahkan Joanne Kathleen Rowling yang menciptakan dunia sihir Harry Potter selama tiga sampai sebelas jam setiap hari. Dalam hati, ia bertekad, harus  lebih dari itu.

Berjam-jam Ahmad Rambo mendekam dalam kamar. Yang ia kerjakan adalah menulis dan membaca. Jika menurutnya ada kekurangan, ia akan pergi ke tempat yang menurutnya akan memberikan data yang diperlukannya.

Seperti yang terjadi pada hari ini. Ia menulis tentang potret kehidupan penarik becak:

Kadar teknologi dalam sebuah becak dikalahkan tuntutan modernitas yang mengharuskan hidup serba cepat. Untuk bepergian menempuh jarak seratus meter saja membutuhkan waktu empat puluh lima menit. Sementara dengan mengendarai motor atau mobil, jarak seperti itu hanya memerlukan waktu sepuluh sampai lima belas menit. Sudah dapat dipastikan, orang akan memilih untuk naik ojeg atau angkot daripada naik becak. Belum lagi ancaman masuk angin dan kemungkinan rok yang tersingkap.

Penarik becak kalah bersaing. Pendapatannya menurun drastis. Tak heran jika istri Mamat uring-uringan: jumlah setoran makin kecil. Tak cukup untuk hidup di kota sebesar itu.

“Mana cukup uang segini!” gertak Surti, istri mamat. “Untuk jajan si Rangga sehari saja habis. Belum susu untuk si Cinta. Diberi tetek saya dia tidak mau. Inginnya susu kaleng terus. Kalau tidak diberi, diisi apa perutnya?” 

Mamat menundukkan kepala sambil menyemburkan asap rokok murahan. Ia tahu semua kebutuhan anak-anaknya, tapi apa mau dikata. Calon penumpang lebih memilih naik ojek atau bawa kendaraan sendiri daripada numpang becaknya. 

“Sabar saja, Ti,” ujarnya. “Bagaimana lagi? Abang sudah bekerja dari pagi sampai menjelang malam begini.”

“Bang, sabar itu kalau satu dua hari. Kalau berhari-hari begini terus, mana bisa sabar? Pusing nih kepala saya!” Surti memotong “Sudah! Kalau begini terus, saya yang kerja!” lanjutnya.

“Kamu mau kerja apaan, Ti? Bagaimana anak-anak? Siapa yang akan menjaganya?”

“Gantian. Abang yang jaga mereka. Biar merasakan pusingnya mendengar rengekan anak-anak!”

“Mau kerja apa? Di mana?”

“Apa saja. Pabrik masih banyak. Babu masih dibutuhkan. Tidak susah, bukan?”

”Gaji pabrik diberikannya bulanan, bagaimana kita makan sehari-hari?”

“Makan saja becak bututmu!” ucap Surti sambil mengganti celana si Cinta, anaknya yang berumur delapan bulan. Mamat keluar rumah. Ia mau meminjam uang ke tetangganya.

Mamat berpikir keras: apa yang seharusnya ia lakukan. Kehidupan makin memusingkan. Apa pun harus dibeli. Dalam hati, ia juga kesal pada istrinya. Kenapa tidak menyadari keadaan? Kenapa ingin seperti yang lain? Kenapa anak-anak sejak kecil dibiasakan minum susu instan, tidak air susu ibunya sendiri.

Surti selalu punya alasan karena iklan di televisi: susu instan merk anu akan membuat anak cerdas dan pintar dengan kandungan zat bermacam-macam yang dihubung-hubungkan dengan ilmu gizi. Ditambah lagi alasan lainnya: menyusui anak akan membuat tetek kendor, cepat lapuk, dan turun. Tetek seperti itu akan mengurangi rasa cinta suami, sebab suami tidak menyukai tetek yang demikian. Ia takut Mamat akan mencari perempuan lain yang lebih dari dirinya.

Namun Mamat bukan tidak ingin anaknya cerdas dan pintar, tapi harga susu instan akan sangat mengurangi biaya kebutuhan hidup yang lainnya. 

Surti yang tidak tahu diri, telah terjebak oleh tayangan iklan televisi. Tidak hanya menyebabkan gaya hidup konsumtif, tetapi berpengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya. Lihat saja nama kedua anaknya: Rangga dan Cinta. Nama siapa lagi kalau bukan nama tokoh sinetron yang digandrunginya. Untung saja ia namakan anaknya Rangga dan Cinta, bagaimana kalau ia namakan Sinchan dan Marimar, atau Isabel dan Hercules?

Suatu hari, Mamat pulang dengan wajah makin lesu. Surti   langsung mengomelinya. Surti tidak tahu kalau mamat hampir gila: menarik becak yang selama ini menjadi satu-satunya sumber penghasilan, akan segera berakhir karena sejak hari itu becak dilarang beroperasi lagi. Becak sudah ketinggalan zaman, mengganggu kelancaran berlalu lintas, dan menambah kumuh serta semrawutnya kota. Si becak dikandangkan.

*

 

Ahmad Rambo merekam semua yang terjadi pada nasib Mamat dan beberapa tukang becak lainnya. Ahmad Rambo menuliskan semuanya menjadi sebuah cerita. Semuanya berasal dari hasil pengamatannya di lapangan, melalui ngobrol-ngobrol langsung dengan beberapa tukang becak atau yang lainnya. Ia mengkritik dan menyindir pemerintah yang mengeluarkan larangan beroperasi terhadap becak.

Belum lagi penderitaan yang di alami beberapa buruh pabrik. Mereka mengeluhkan peraturan pabrik yang ketat. Praktek rezim imperialis kapitalis menggerogoti nasib kaum buruh dengan praktek ekspansi, eksploitasi, dan akumulasi. Dikeluarkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) dan Undang-Undang Penyelesaiaan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) oleh pemerintah, mengakibatkan munculnya sistem kerja kontrak. Sistem ini menyeret kaum buruh ke dalam situasi tak menentu. Kaum buruh akan kehilangan tunjangan dan jaminan sosial, kehilangan jaminan kesejahteraan kerja, kehilangan jaminan kepastian kerja, kehilangan kepastian upah dan perlindungan upah minimum, dan kehilangan kepastian jam kerja.

Imbas lain dari disahkannya undang-undang tersebut adalah akan begitu mudahnya pengusaha memindahkan lokasi usahanya ke ke wilayah lain yang upah buruhnya lebih rendah. Munculnya persoalan standar upah yang diberlakukan secara regional menyebabkan pemerintah daerah berlomba-lomba menerapkan standar upah rendah bagi para buruh. Ditambah lagi praktik percaloan tenaga kerja sebagai akibat dari menguatnya peranan lembaga penyalur tenaga kerja (labour supply) yang memanfaatkan tingginya persaingan di pasar tenaga kerja.

Sistem kerja kontrak, dilain pihak menyebabkan lemahnya daya tawar buruh yang berstatus kontrak di mata hukum, serta lemahnya daya tawar upah dan hak-hak dasar buruh itu sendiri. Minimnya upah yang diterima, memaksa buruh untuk bekerja lebih atau dipaksa bekerja lebih lama. Itu semua adalah praktek dari konsep labour flexibility: upah kerja yang fleksibel dan waktu kerja yang fleksibel.

Dalam tulisannya, Ahmad Rambo  mencantumkan beberapa tuntutan para buruh yang disampaikan pada hari buruh se dunia (May Day) yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Mereka menolak sistem kerja kontrak, menuntut untuk dicabutnya Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) dan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), menolak pelaksanaan outsourcing atau hubungan kerja berlapis yang mengaburkan kontradiksi antara buruh dan majikan, menolak premanisme dan kriminalisasi perburuhan, menolak percaloan tenaga kerja, menuntut kenaikan upah, menuntut pemerintah untuk membatalkan pencabutan subsidi untuk rakyat, dan menolak privatisasi BUMN.

Kenyataan hidup seperti itu mendorong para buruh dan organisasi yang mewadahinya untuk melakukan demonstrasi. Para buruh melakukan mogok kerja dan melakukan tuntutan kepada pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. Beberapa di antaranya, ada  mengadu kepada pemerintah untuk memperjuangkan nasibnya yang hingga kini masih belum ada jawaban memuaskan.

Ahmad Rambo menyerukan untuk terus melakukan tuntutan kepada berbagai pihak demi perbaikan nasib. Menurutnya, selama ini para buruh telah dijajah dan diekspolitasi oleh perusahan-perusahaan demi kepentingan pihak perusahaan, pemerintah, dan pemilik modal sendiri.  

Hari berikutnya, Ahmad Rambo mendatangi para petani yang mengeluh karena ketidakmampuannya untuk bersaing dengan hasil impor yang kini membanjir di negeri ini. Harga produk-produk impor, menurut mereka, sangat murah karena disubsidi oleh negara asalnya. Sedangkan produk yang mereka hasilkan harus dijual lebih mahal dari produk impor  sebab biaya produksinya juga tinggi. Biaya operasional pertanian makin tinggi dengan naiknya harga pupuk karena subsidinya dipotong oleh pemerintah. Selain itu,  adanya ketergantungan para petani terhadap bibit transgenik yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing  (TNC) seperti Monsanto dan Cargill yang hanya dapat dibeli ke perusahaan-perusahaan tersebut.

Masuknya perusahaan-perusahaan asing tersebut diakibatkan karena pemerintah menyepakati Letter of Intens (LoI) Dana Moneter Internasional (Internastinal Monetary Fund)  yang berisikan liberalisasi ekonomi yang membuka selebar-lebarnya masuknya perusahaan asing untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. 

Ahmad Rambo mensinyalir adanya penjajahan terhadap para petani. Ia menulis, dari predikat negara yang melakukan swasembada beras pada tahun 1984, negeri ini berubah menjadi importir beras terbesar hingga mencapai 4, 8 juta ton pada tahun 1998 dan 1999. Angka tersebut terus naik sejak negeri ini mengikat kerjasama dengan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization) melalui Agreement on Agriculture (AoA). Isi perjanjian tersebut adalah (1) pembukaan pasar dalam negeri terhadap produk-produk luar negeri melalui kebijakan pengurangan tarif atau bebas bea masuk, dan (2) penghapusan subsidi-subsidi pertanian dalam negeri, seperti pencabutan subsidi pupuk dan kredit petani kecil. Produk-produk impor yang membanjir di negeri ini di antaranya adalah kedelai, jagung, kacang tanah, dan sebagainya, yang merupakan sebagian besar hasil pangan para petani.

Selain itu, menurut Ahmad Rambo, pasar pertanian negeri ini lambat laun akan dikuasai oleh pemain-pemain kuat, baik dalam maupun luar negeri. Sementara petani-petani kecil,  yang berjumlah kurang lebih lima puluh persen dari penduduk negeri ini, akan semakin terpuruk dalam jurang kemiskinan karena tidak mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha besar bidang pertanian. 

Kebijakan pencabutan subsidi pertanian akan mengakibatkan naiknya biaya produksi pertanian, tetapi para petani tidak bisa menaikkan harga sebab ia harus bersaing dengan produk pangan impor yang harganya lebih murah karena dinegaranya sendiri masih disubsidi. Kalau mereka nekad menaikkan hasil taninya, sudah dapat dipastikan, tidak akan ada yang membeli sebab daya beli rakyat negeri ini juga rendah. Petani makin merugi.

Dalam tulisannya, Ahmad Rambo mengajak para petani yang tergabung dalam perkumpulan, seperti Himpunan Nelayan dan Petani Pakidulan,  Ikatan Petani Pemberantas Hama Terpadu, Solidaritas Tani, dan perkumpulan lainnya supaya  menyerukan  pemerintah agar mengeluarkan sektor pertanian dari WTO, menuntut pemerintah untuk mensubsidi dan memproteksi sektor pertanian, menolak impor pangan, menolak liberalisasi pertanian seperti transgenik, agrobisnis, proyek sertifikasi tanah Bank Dunia, dan privatisasi, serta menuntut pemerintah untuk melakukan reformasi agraria. 

Di beberapa tulisan lainnya, Ahmad Rambo menuliskan tentang nasib nelayan yang tidak jauh berbeda dengan petani. Mereka tercekik oleh biaya operasional penangkapan ikan karena harga bahan bakar  yang tinggi. Selain itu, mereka harus bersaing dengan kapal-kapal besar dan kapal asing yang masih saja ada yang melakukan pencurian ikan di laut dalam negeri. Belum lagi kehadiran kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat dan bahan peledak. Belum lagi hadirnya penambangan pasir dan kapal keruk yang menyebabkan pantai penuh lumpur dan menyebabkan abrasi.

Lain waktu ia menulis tentang rakyat yang dijadikan tameng dalam politik. Keberpihakan terhadap rakyat yang digembor-gemborkan para juru kampanye selama pemilu hanya isapan jempol belaka karena setelah itu rakyat ditinggalkan. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya saja selama pemilihan umum berlangsung supaya mereka memilihnya.

Dengan gencarnya Ahmad Rambo menulis tentang pendidikan yang anggarannya makin tahun makin mengecil. Ditambah lagi dengan adanya privatisasi pendidikan melalui proyek BHMN (Badan Hukum Milik Negara) terhadap beberapa perguruan tinggi negeri. Kebijakan semacam ini mengakibatkan biaya pendidikan yang harus ditanggung para orangtua makin tinggi. Menurutnya, ini merupakan sebuah bukti bahwa pemerintah sudah angkat tangan mengurus pendidikan. Pemerintah ingin pendidikan rakyatnya berkualitas, tapi dia enggan untuk memperbesar anggaran biayanya. Pemerintah kemudian memilih untuk melakukan privatisasi, mempersilahkan pihak asing pemilik modal untuk menanamkan sahamnya dalam pendidikan di negeri ini.

Dengan demikian, dunia pendidikan pun telah dikapitalisasi, telah dijadikan ajang bisnis, untuk mencari keuntungan kedua belah pihak: pemerintah dan pemilik modal, yang kebanyakan dari luar negeri. Hal seperti ini akan mengakibatkan semakin terbukanya pintu bagi pihak asing untuk mengintervensi berbagai kebijakan pemerintah di negeri ini, termasuk kebijakan pendidikan.   Mereka mempunyai berbagai kepentingan: ekonomi, bisnis, dan kepentingan-kepentingan lainnya. Akibat yang mungkin terjadi adalah negeri ini akan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa, tidak hanya gaya hidup, tapi juga akhlak, dan pemikiran. 

*

 

Dalam beberapa bulan, Ahmad Rambo telah menghasilkan beberapa tulisan: cerita pendek dan novel. Beberapa tulisan cerita pendeknya ada yang telah dimuat di surat kabar.

 “Ini naskah novelmu?” tanya laki-laki penulis. Ia membaca judulnya: Borok Negeri Kita…. “Apa yang kamu tulis di sini?”

“Tentang borok. Tentang semua penyelewengan-penyelewengan nilai humanisme yang terjadi di negeri ini. Tentang nasib buruh yang dieksploitasi, petani yang tercekik, biaya pendidikan yang tinggi. Intinya, kebijakan pemerintah yang menyengsarakan sebagian besar rakyatnya.”

“Apa yang kamu serukan dalam novel ini?”

“Melenyapkan semua borok-borok itu, atau paling tidak berusaha untuk menguranginya. Membuat rakyat sadar bahwa membiarkan borok menggerogoti kulitnya adalah sebuah kebodohan, sebuah ketakberdayaan, dan bukan aktualisasi nilai-nilai kesabaran.  Saya ingin membangunkan rakyat dari buaian nikmat gaya hidup yang ditawarkan modernitas. Bahwa tercekik atau dicekik sama saja mematikan. Bahwa diam bukan merupakan solusi. Satu-satunya solusi adalah perlawanan.”

“Hhmm……” laki-laki penulis itu bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati, ia penasaran terhadap tulisan anak muda itu. Apakah yang dikatakannya sesuai dengan yang dituliskannya? Apakah realitas sosial yang diangkatnya betul terjadi atau hanya dibuat-buat dan dibesar-besarkan? Apakah daya gugah, penyadaran, dan seruannya betul-betul dapat menggerakkan?

“Saya tertarik untuk membacanya,” katanya.

“Satu lagi saya beri judul Suara-Suara Sunyi. Dalam novel ini, saya membicarakan masalah suara politik rakyat negeri ini dalam pemilihan umum. Bahwa pemilu sebagai pesta demokrasi adalah sebuah kebohongan. Sebuah pesta yang hanya sebatas pesta. Ramai, riuh rendah, tetapi hanya pada saat pemilu saja. Mereka diundang untuk menikmati hidangan yang disediakan. Mereka memilih apa yang ingin mereka pilih, tapi banyak juga yang dipaksa memilih dan mencicipi hidangan tertentu. Mereka menikmatinya sesaat, saat itu saja, saat pesta berlangsung. Setelah itu, pesta hanya menjadi sebuah kenangan yang hanya mampu mereka ingat sebab selanjutnya tak ada lagi hidangan nikmat. Mereka kembali makan asin. Kembali pada nasibnya yang tetap miskin. Hidangan yang mereka pilih dan mereka makan hanya akan melambungkan segelintir orang, yaitu koki dan pengikut-pengikutnya. Koki itu adalah para politisi.”

“Maksudnya?” laki-laki penulis tidak mengerti.

“Maksudnya, saya menganalogikan bahwa suara-suara rakyat pada saat pemilihan umum hanya suara-suara sunyi, tidak seramai layaknya sebuah pesta. Orang-orang yang mereka pilih, setelah berkuasa, tidak lagi berpihak kepada rakyat, tidak seperti saat kampanye berlangsung. Yang mereka pilih seolah-olah bukan manusia sebab tidak mengerti suara manusia yang diteriakkan rakyatnya. Wakil rakyat yang mereka pilih seolah telah menjadi binatang karena tidak mempunyai nurani kemanusiaan untuk memperbaiki nasib rakyat yang mederita, yang telah memilihya.

Penguasa seolah telah bermetamorfosis menjadi vampir yang selalu haus darah dan menghisap darah rakyat yang tak berdaya. Penguasa menjadi paranoid karena ketakutan kekuasaannya akan ada yang merebut dan mengancam sehingga mengerahkan aparatnya untuk selalu berjaga-jaga dengan bedil di tangan.

Juru kampanye telah mengidap amnesia akut karena tidak mampu mengingat janji-janji yang mereka ucapkan saat kampanye berlangsung. Politisi kembali mengenakan wajah aslinya sebagai binatang yang saling sikut, saling terkam, saling hujat, saling serang, saling tubruk, saling cakar, untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing. Dan rakyat menjadi pemeran figuran, sebagai penonton, pemandu sorak, dan kebanyakan menjadi pihak yang dikorbankan oleh mereka untuk kepentingan mereka sendiri. Maka, pertanyaan yang muncul adalah apakah realitas politik bernegara seperti ini yang dinamakan demokrasi? Di mana letak kekuasaan rakyat kalau hanya dijadikan penonton, pemandu sorak, dan korban kebiadaban penguasa? Siapa yang berkuasa itu, rakyat atau celeng yang kerjanya mencuri uang?” Ahmad Rambo menjelaskan dengan mengebu-gebu.

“Lalu solusi yang kamu tawarkan apa?”

“Lawan melalui revolusi!”

Ahmad Rambo meminta laki-laki penulis itu untuk menawarkan tulisannya ke penerbit yang dikenalnya. Laki-laki penulis menyanggupinya. Besok dirinya akan mencoba menghubungi pihak penerbit, katanya. Percakapan selesai, dan mereka kembali melakukan pekerjaannya masing-masing, di kamar masing-masing.

Ahmad Rambo harus kecewa sebab laki-laki penulis itu mengabarkan bahwa penerbit yang dikenalnya tidak berani untuk menerbitkan novel seperti itu. Penolakan mereka sangat beralasan  karena tulisan Ahmad Rambo terlalu mengkritik pemerintah, dan penerbit tidak mau berhadapan dengannya. Konsekuensi yang harus mereka tanggung kalau menerbitkan tulisan semacam itu  adalah izin usahanya dicabut, bukunya dilarang beredar, dan bisnisnya hancur berantakan. Apalagi hingga saat ini kebiasaaan pemerintah yang tidak dewasa dan paranoid seperti itu masih belum beranjak sembuh. Sweeping dan sensor terhadap buku-buku masih berlanjut, malah diikuti oleh aksi pembakaran segala rupa. Maka, semakin nyatalah ketidakdewasaannya, ketakutannya, dan ketidakwarasanannya. Nasib kebebasan menulis dan berekspresi, masih juga dibatasi.

“Jangan gusar Rambo. Sebetulnya, cara-cara pembakaran dan sweeping seperti itu, dengan sendirinya akan menguntungkan penulisnya sendiri. Namanya semakin hidup dan diketahui publik. Dan pembaca yang penasaran, yang ingin tahu tentang buku tersebut, akan terus memburunya. Penerbit yang punya prinsip, pasti akan menerbitkannya dengan sembunyi-sembunyi.”

“Tapi, apakah mungkin ada penerbit yang mau melakukannya? Apakah ada penerbit yang mempunyai prinsip sama dengan kita?” tanya Ahmad Rambo.

“Mudah-mudahan saja ada. Mereka pasti orang-orang mengerti dan mengenyam pendidikan yang cukup untuk sampai ke tarap itu. Masa, masih belum juga mengerti arti sebuah kebebasan berekspresi? Penerbit yang punya prinsip akan memperjuangkan itu, meski ia harus berhadapan dengan pemerintah sekalipun. Sudah banyak contoh, tidak hanya di negeri kita.

Sejak zaman Yunani seperti yang menimpa penulis George Mangakis, Reinaldo Arenas di Kuba. Olsip Mandelstam, Boris Pasternak, Gumilev, Esenin, Mayakovsky, Tsvetaeva, Akhmatova, dan penulis lain serta para penerbit buku di Uni Soviet berhadapan dengan pemerintah Stalin. Penulis Breyten Breytenbach di Republik Afrika Selatan, di Inggris, dan negara-negara lainnya, sudah banyak terjadi hal yang demikian.

Di negeri kita hal serupa menimpa penulis-penulis sejak masa penjahan Belanda. Seperti yang di alami penulis-penulis Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu Pasar dan mengkritik perilaku penjajah yang ditolak penerbit Balai Pustaka. Kemudian di alami juga penulis generasi berikutnya, seperti Mas Marco Kartodikromo, lalu Chairil Anwar dengan pemerintah Jepang, sampai Pramoedya Ananta Toer, dan beberapa penerbit yang berani menerbitkan karyanya. Nama-nama mereka telah mencuat menjadi simbol perlawanan, menjadi martir, menjadi hero atas keberanian dan perjuangannya.” 

“Bagaimana jika tidak ada yang mau menerbitkan sama-sekali?”

Laki-laki penulis itu diam sejenak. Ia tidak ingin mematahkan semangat anak muda ini. Kemudian ia memutuskan.

“Kita akan menerbitkannya sendiri. Saya masih punya uang dari buku yang diterbitkan. Masih banyak tulisan-tulisan saya yang serupa dengan tulisanmu, tapi sebagian tidak diterbitkan. Yang diterbitkan justru yang tidak terlalu mengagitasi pembaca, he..he..he..”

“Apakah itu betul Bapak?”

“Tidak, tidak betul, tapi benar! Ha..ha..ha..!” laki-laki penulis tertawa. Ia ingin mengubah suasana cemas yang menimpa anak muda di hadapannya. Dan Ahmad Rambo pun ikut tertawa.

Sejak itu, kedua orang penulis ini menerbitkan naskah tulisannya sendiri. Dengan uang sendiri. Buku-bukunya mulai beredar dengan gelap ke distributor-distributor. Beberapa bulan kemudian tulisan-tulisannya sudah banyak dibaca, dipajang di etalase toko buku, dan diperbincangkan banyak orang. Pemerintah lalu mencium hal ini.

Tidak lama setelah itu, pemerintah melakukan sweeping terhadap buku-bukunya. Gerakan Anti-Komunis yang masih berlangsung, menyebabkan segala buku yang berbau kritik, perlawanan, dan pembangkangan, dihilangkan dari peredarannya. Buku-buku Ahmad Rambo disamakan dengan buku Das Kapital-nya Karl Marx, dengan The Communist Manifesto Karl Marx dan frederick Enggels, serta dengan buku-buku biografi dan pidatonya Ernesto Che Guevara. Militer dan polisi masuk ke kampus-kampus untuk melakukan razia terhadap buku-buku yang dibawa mahasiswa Buku-buku tersebut  dikumpulkan kemudian dibakar. Dibakar.

 Namun, hal ini tidak membuat laki-laki penulis dan Ahmad Rambo bergeming. Mereka terus-menerus menulis dan terus-menerus menerbitkannya. Buku-bukunya beredar luas dan harganya cukup terbeli, meskipun ada distributor yang sengaja menaikkannya karena untuk menjualnya ia harus mengendap-endap di antara penciuman petugas polisi. Kerjasama mereka dengan pihak distributor cukup rapih sebab keduanya sama-sama diuntungkan. Alamat penerbit dan alamat penulis banyak dicari polisi, tapi mereka tidak menemukannya sebab dalam buku tersebut tidak dicantumkan. Pemerintah berang dan polisi kehilangan jejak yang harus mereka buru.

Hal seperti itu membuat perjuangan Ahmad Rambo semakin menjadi-jadi. Membangkitkan semangat perlawanan dan mengobarkan api revolusi adalah satu-satunya tujuan. Ia  merekam realitas sosial sebanyak-banyaknya, menuliskannya, dan menerbitkan sebanyak-banyaknya. Buku-bukunya pun beredar menjadi pegangan anak muda dan mahasiswa yang memiliki spirit perlawanan. Mereka mendiskusikannya, membahasnya, dan mendebatkannya dalam forum resmi maupun tidak resmi. Di tempat kontrakan, di ruang kuliah, dan di kantin universitas, mereka membincangkannya. Sambil merokok dan berkelakar bersama kawan-kawannya, mereka  selalu membahas buku itu sehingga tidak heran, beberapa bulan kemudian, nama Ahmad Rambo mulai menjadi pergunjingan anak-anak muda, juga pemerintah. Siapakah dia? Orang merah macam apa lagi?

Bukan hanya nama Ahmad Rambo si penulis saja yang marak dibicarakan, tapi juga kata revolusi. Kata revolusi telah menjadi ucapan keseharian yang digunakan anak-anak muda. Segala atribut yang dikenakan kaum muda progresif, selalu menyertakan kata revolusi atau lawan. Kaos oblong, gantungan kunci, badge yang terpasang di kemeja, jaket, dan tasnya. Di bandana dan ikat kepala mereka banyak yang bertuliskan “spirit revolution”. Jika seorang mahasiswa akan pergi berdiskusi, dan ada temannya bertanya: Ke mana?, ia akan menjawab: “Merancang bangun revolusi!”, atau “Mau memberontak penguasa” katanya sambil tertawa dan mengangkat tangan kiri.

Pemikiran dan semangat Ahmad Rambo seolah hidup. Pembaca seolah berhadapan langsung dengan seorang agitator dan orator ulung yang mampu menghipnotis dan menyadarkan pendengarnya. Siapa pun yang membaca bukunya selalu membayangkan sosok Ahmad Rambo seperti Soekarno atau Che Guevara. Mereka membenarkan fakta yang dihadirkan dalam novel-novel yang sedang dibacanya, menyadari ketertindasannya, lalu muncul semangat ingin terbebas dari situasi yang terjadi saat ini. Muncul keberanian untuk berteriak dan melawan.

Ahmad Rambo dan laki-laki penulis menyaksikan semuanya. Jika bertemu, mereka berdua selalu mengepalkan tangan kiri dan mengangkatnya sambil berurai air mata. Ada keharuan yang menyeruak dalam hati masing-masing. Meski berusaha disembunyikan, mereka tak mampu menutupinya.

Sedikit-sedikit, apa yang dicita-citakannya menjadi kenyataan. Wajah Diman dan Rohaleh kembali terbayang olehnya. Dalam bayangannya Diman masih tetap dengan posisi mengepalkan tangan kiri dan Rohaleh tersenyum sambil menganggukkan kepala ke arahnya, tetapi kini, ujung mata mereka terlihat basah. Mereka  terharu. Mereka bangga.

Sesaat kemudian, bayangan Rojali muncul. Ahmad Rambo mengingatnya ketika ia dan laki-laki yang mati karena rajasinga itu sama-sama memimpin sebuah demonstrasi para tukang becak. Ia ingat Rojali yang sedang berteriak lantang penuh bersemangat. Ia juga mengingatnya ketika laki-laki yang doyan ngelonte itu mengatakan akan menunggu istrinya pulang dari Saudi Arabia, kemudian tubuhnya kaku menjelang subuh. Rojali mati. Tidak hanya berhenti disitu beban hidup Rojali, bahkan ketika mati pun ia harus merelakan kuburannya di jadikan taman kota. Mayatnya yang baru berumur satu minggu, tak berdaya ketika ditindih, dan kuburannya diratakan buldoser, kemudian dipasang batu bata. Disulap jadi taman sorga untuk mereka yang hidupnya tak percaya dosa.

“Apa yang kamu tangisi, Anak Muda?” laki-laki penulis bertanya.

“Orangtua saya.”

“Kenapa?”

“Jika mereka melihat apa yang terjadi saat ini,  pasti bahagia.”

“Apakah kamu tidak merasakan kehadiran mereka dalam hidupmu?”

“Ya, saya merasakannya, terutama setiap kali saya menulis. Tapi saya tidak bisa membohongi diri sendiri sebab itu hanya perasaan saya saja. Saya tidak bisa melihatnya.”

“Apakah kehadiran mereka itu perlu bagimu?”

“Ya.”

“Jika kamu makan mangga dengan mata tertutup, kamu akan tahu itu mangga meski tidak melihatnya. Pengalaman masa lalu ketika kamu makan mangga, akan memberikan pengetahuan kepadamu akan rasa mangga, bentuk mangga, warna mangga, dan harumnya mangga. Saya ingin mengatakan bahwa perasaan tidak kalah penting dari ke-ada-an. Apakah orang Islam melihat Tuhannya? Tapi mereka merasakan dan meyakini kehadirannya,” ucap laki-laki penulis itu. Ahmad Rambo merenungkan ucapan tersebut.

“Lihat pemuda-pemuda itu, mahasiswa-mahasiswa itu. Meski mereka tidak melihatmu, tapi lewat buku-buku yang kamu tulis, kehadiranmu mereka rasakan dalam hatinya, dalam semangatnya, dalam perlawanannya. Lihatlah apa yang bisa kamu lihat. Jika tidak bisa melihatnya, kamu bisa merasakannya,” laki-laki itu berhenti bicara, kemudian mendekat ke arah Ahmad Rambo. “Ada yang harus kita waspadai,” bisiknya, “polisi sedang mencari alamat kita. Buku-bukumu banyak yang dibakar, meskipun lebih banyak lagi yang membaca dan mempelajarinya. Ini semua bukan akhir sebuah perjuangan. Ada perjuangan yang lebih berat dan lebih rumit di depan sana. Itu yang harus kita hadapi, sebuah konsekuensi. Sebuah perjuangan menuntut kita untuk selalu siap dan waspada terhadap datangnya berbagai kemungkinan dan bahaya. Tak baik membiarkan diri kita hanyut oleh air mata, baik duka maupun bahagia. Hapuslah air matamu itu sebab akan menghalangi apa yang ingin kamu lihat!” laki-laki penulis memberikan sebuah sapu tangan. Ahmad Rambo menerimanya. Dihapusnya air mata itu.

*

 

Demonstrasi dan mimbar bebas terjadi di mana-mana. Para pemuda dan mahasiswa menjadi martir dari semuanya. Pukulan, tendangan, dan semprotan gas air mata tidak membuat semangatnya surut. Mereka bahkan tidak lagi takut pada senapan yang ditodongkan ke wajahnya.  Berbagai tuntutan dan seruan mereka teriakkan dengan lantang. Pekik revolusi menentang moncong senjata. Para buruh melakukan mogok kerja secara serentak sehingga perusahaan tidak berjalan. Pemiliknya panik sebab produksi macet.

Melihat keadaan seperti ini, hati Ahmad Rambo tergugah untuk turun ke jalan. Ia ingin melakukannya seperti dulu dengan Rojali dan beberapa tukang becak lainnya. Ia ingin berteriak lantang seperti para pemuda dan mahasiswa.

“Apakah kita tidak pengecut?” tanya Ahmad Rambo pada laki-laki penulis.

“Kenapa kamu berkata seperti itu?”

“Semua orang turun ke jalan meneriakkan perlawanan. Sementara kita mengurung diri dalam kamar. Kenapa kita tidak bergabung dengan mereka?”

“Kalau setiap orang ingin jadi laki-laki, siapa yang melakukan pekerjaan perempuan. Apa bisa si Mamat hamil dan menyusui?” kata laki-laki itu selalu diawali dengan analogi. “Rambo,” lanjutnya, “dalam setiap perjuangan kolektif, perlu ada pembagian tugas. Tidak harus semua turun ke jalan. Makin diisi dan dijalankan tugas-tugas tersebut, maka makin kuatlah perjuangan itu. Tugas kita adalah terus-menerus menyemangati dan membangkitkan  darah perlawanan mereka dengan tulisan-tulisan. Di lapangan, biarkan mereka yang memimpin kendali. Saya sudah katakan bahwa kehadiranmu ada di setiap teriakkan mereka, di setiap kepalan tangan mereka, dan di setiap pekikan revolusi mereka. Jangan hawatir, mereka tidak akan menilai kita sebagai pengecut. Tidak, tidak akan.”  

Sementara itu, tulisan-tulisan yang bertemakan revolusi dan perlawanan, memenuhi setiap halaman surat kabar. Berita-berita mengenai aksi demonstrasi, mimbar bebas, pemukulan terhadap mahasiswa, pendudukan kantor pemilik pabrik oleh buruh, bentrok mahasiswa dengan aparat keamanan, aksi sweeping yang masih berlanjut, rapat terbatas bidang politik dan keamanan, bahkan berbagai rubrik sastra pun mengangkat tema yang sama.

Mengenai semua perlawanan ini, Ahmad Rambo menulis:

Berawal dari ketidakberpihakan kita terhadap penjajahan dan penindasan, kita melakukan perlawanan. Tidak ada cara lain selain melawan sebab diam adalah ketakberdayaan. Tidak ada waktu lagi selain sekarang sebab besok adalah kematian. Ini sebuah perjuangan, Kawan. Maka, mundur adalah penghianatan. Yakinilah bahwa apa yang kita lakukan hari ini merupakan sebuah kebenaran. Revolusi bukan dosa. Ia adalah ciri bahwa kita masih punya nurani, masih punya kehendak, masih punya jati diri, punya prinsip. Revolusi adalah……

Sampai di situ, Ahmad Rambo tidak bisa melanjutkan tulisannya. Kepalanya terasa pusing. Ia heran kenapa setiap menuliskan dan mendengar kata “revolusi”, ingatannya selalu terusik. Dan setiap itu pula kepalanya terasa pusing. Sebuah tanda tanya besar yang sampai saat ini belum mampu ia jawab, meski dengan mengerutkan dahi sekalipun.

*

 

Sebuah stasiun televisi memberitakan bahwa pemerintah sangat serius dalam menyelesaikan semua yang terjadi saat ini. Ia mengutuk pihak-pihak yang memprovokasi warga untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Pemerintah, menurut berita tersebut, mencurigai beberapa gelintir orang yang tidak sepakat atas diberlakukannya kembali Gerakan Anti-Komunis. Orang-orang antek komunis-lah yang dicurigai pemerintah sebagai dalang di balik berbagai aksi demonstrasi ini. Kepala polisi mengatakan bahwa revolusi adalah slogan komunis. Siapa pun yang meneriakannya, berarti ia telah mendukung kembalinya paham komunisme. Dengan demikian, menurut kepala polisi itu, ia telah menggabungkan diri menjadi antek-antek komunis yang akan selalu berhadapan dengan aparat keamanan.

Pemerintah menyerukan kepada seluruh warga negara republik ini untuk mewaspadai bahaya laten komunis. Kemunculan paham-paham komunis secara perlahan-lahan dan tidak terasa akan menyebabkan situasi tambah kacau balau, menuju chaos. Oleh karena itu, pemerintah melakukan pemeriksaan dan penahanan kembali terhadap semua yang pernah terlibat komunis. Tahanan kasus gerakan September tahun enam puluh lima yang sudah dibebaskan sekalipun, akan kembali mendiami penjara. Itulah usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka menyelamatkan ideologi pancasila. Konon, semuanya dilakukan demi negara. Demi keutuhan dan keamanan  negara, katanya, apa pun boleh dilakukan, termasuk menculik aktivis, main pukul, dan memenjarakan seseorang tersangka (tepatnya tercuriga: yang dicurigai), tanpa harus melalui proses pengadilan terlebih dahulu.

Beberapa satuan pasukan polisi dikerahkan untuk menjaga kemungkinan terjadinya kerusuhan seperti yang terjadi pada bulan Mei tahun sembilan belas sembilan puluh delapan. Fasilitas publik dan gedung-gedung milik pemerintah dijaga ketat oleh aparat selama dua puluh empat jam.

“Pak, Pak!” Ahmad Rambo memanggil laki-laki penulis. Yang dipanggil menghampirinya sambil memegang sebuah buku yang sedang dibacanya.

“Ada apa Rambo?”

“Lihat,” kata Ahmad Rambo sambil menunjuk ke arah televisi, “beberapa orang bekas tahanan politik dibariskan dan diperiksa oleh polisi. Mungkin teman bapak yang komunis itu juga ada di sana!”

“Siapa? Joeoes Soemalang? Ah, mungkin ia sudah mati.”

Keduanya lalu memperhatikan televisi yang menayangkan barisan bekas tahanan politik yang terlibat komunis sedang diperiksa kembali. Mereka dicurigai telah mengajarkan pahamnya kepada beberapa mahasiwa dan pemuda sehingga melakukan perlawanan. Kebanyakan orang yang berbaris itu adalah laki-laki yang sudah renta. Wajahnya keriput, bahkan ada di antaranya yang sejak dulu pendengarannya terganggu sebab pernah dihajar dengan gagang bedil oleh tentara yang menangkap dan menginterogasinya.

Mereka, dengan kondisi fisik yang sudah rapuh seperti itu, dibariskan di tengah lapang. Sebagian ada yang diperlakukan dengan kasar dan dibentak-bentak. Dalam hati, kedua penulis itu bertanya-tanya, kenapa orang setua mereka masih saja dicurigai melakukan pendalangan aksi demonstrasi? Kondisinya saja sudah tidak memungkinkan untuk melakukan itu. Lihat, berdiri sebentar saja banyak yang tidak kuat, pikirnya.

“Apakah Bapak masih ingat wajahnya?”

“Sudah samar-samar, karena lama tidak pernah bertemu. Saya masih ingat, dulu ia berkumis dan bercambang lebat. Daun telinga sebelah kirinya terdapat bolong seperti bekas ditindik. Alisnya tebal, tingginya seratus enam puluh lima sentimeter, dan selalu mengerutkan keningnya. Merokoknya kuat. Ia suka berkelakar dengan rokok pilihannya itu: untuk tambah darah yang habis dihisap nyamuk malaria, katanya.

Kalau benar masih hidup, ia pasti senang melihat gerakan perlawanan dari rakyat seperti ini. Dulu, ia paling semangat kalau sudah membicarakan soal revolusi sosial. Kemauannya keras dan pantang tunduk pada siapa pun. Tan Malaka, baginya merupakan seorang pemimpin yang tegas, ia pantang untuk bekerjasama dengan penjajah. Makanya, menurutnya, pada tanggal dua puluh tujuh Juli tahun sembilan belas empat puluh enam, pengikut Tan Malaka menculik Sjahrir yang saat itu menjabat perdana menteri dalam pemerintah Soekarno. Sjahrir dinilai lamban dan memilih untuk melakukan kompromi dengan pihak Belanda dan Inggris (sekutu) yang masih juga belum mengakui kedaulatan republik ini.”

“Apakah betul ia komunis?”

“Menurut pengakuannya: ya. Saat itu, katanya, Partai Komunis tidak dilarang. Partai tersebut ikut menjadi partai peserta pemilu pertama tahun sembilan belas lima puluh lima. Bahkan, banyak memperoleh suara dan banyak memasukkan kadernya di kabinet.  Apakah salah masuk partai yang sama sekali legal dan sah sebagai peserta pemilu, katanya.  Seperti juga Tan Malaka, ia tidak setuju dengan pemberontakan dua belas November sembilan belas dua puluh enam di Jawa Barat, dan Januari sembilan belas dua puluh tujuh di Sumatera Barat oleh partai komunis terhadap pemerintah Belanda. Menurutnya, itu merupakan perjuangan yang tanpa persiapan matang. Sebuah revolusi, menurut kalkulasi politik Tan Malaka, harus didukung oleh situasi revolusioner, kepemimpinan yang solid, massa pendukung, dan program revolusi yang jelas.”

“Kenapa dia ditangkap kemudian dipenjara?”

“Perseteruan Tan Malaka dengan Sjahrir berkepanjangan sampai munculnya kontroversi surat wasiat dari Soekarno kepada Tan Malaka. Isinya, Soekarno akan mewariskan kedudukannya sebagai pimpinan revolusi kepada Tan Malaka, apabila ia dan Hatta tertangkap. Sjahrir memandang ini sebagai pelecehan terhadap dirinya yang selama ini ada di garis depan pemerintahan. Kenapa dirinya tidak dilibatkan? Oleh karena itu, Tan Malaka difitnah akan melakukan perebutan dan penggulingan terhadap Soekarno-Hatta. Fitnah ini kemudian berakibat fatal, karena telah menggerakkan pengikut Sjahrir yang anti-Tan Malaka. Sejak itu, Tan Malaka dan pengikutnya menjadi orang yang diburu. Bahkan, kematian Tan Malaka pun sampai saat ini masih dihubung-hubungkan dengan perseteruannya dengan Sjahrir. Nah, Joenoes Soemalang, sebagai simpatisan dan pengikut Tan Malaka, tidak lolos dari penjara karena predikat Tan Malaka yang hingga kini menghiasi lembaran halaman buku sejarah sebagai seorang pemberontak dan tokoh komunis.  Dan sejarah negeri ini pun mencapnya demikian.”

“Lalu?”

“Joenoes Soemalang tertangkap dan dipenjara hingga akhirnya kami bertemu.”

“Kenapa harus ditangkap dan dibuang?”

“Dalam pemerintahan Kolonial Belanda, dikenal yang namanya exorbitante rechten. Yaitu hak prerogatif Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk menangkap dan mengasingkan siapa pun yang dinilai mengacaukan rust en order (stabilitas keamanan negeri jajahan). Banyak pemimpin negeri kita yang menjadi korban hak prerogatif ini. Samin Sorontiko dibuang ke Sumatera Barat tahun 1907. Tahun 1913 Tjipto Mangunkusumo, Dowwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara dibuang ke negeri Belanda. Haji Misbach dibuang ke Manokwari tahun 1924.

Pada tahun 192 Ali Arham juga dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya. Diikuti kemudian oleh Marco, Soekarno, Hatta, Agus Salim, Sjahrir, dan ribuan tokoh komunis yang terlibat pemberontakan tahun 1926 dan 1927 lainnya. Hak berkuasa para penjajah ini ditiru oleh penguasa republik selanjutnya.”

“Lihat, Pramoedya juga ada di sana!” Ahmad Rambo berteriak karena melihat tokoh sastrawan Pramoedya Ananta Toer ada dalam barisan yang sedang diperiksa.

“Kalau ia dipenjara lagi, pasti muncul novel-novel barunya,” tiba-tiba ucapan Ahmad Rambo terhenti sebab melihat para pemuda memenuhi jalan di depan kantor polisi. Mereka berteriak-teriak memberikan dukungan kepada penulis Lekra itu. Berbagai poster, spanduk, dan bendera organisasi masing-masing di acung-acungkan.

“Tangkap kami yang muda-muda, bukan yang sudah tua!” salah seorang dari mereka berteriak sambil menepuk dadanya sendiri. 

“Jika mereka masuk bui, akan kami hancurkan kantor ini! Gantikan mereka dengan kami. Tangkaplah kami. Kami juga komunis, kami juga kiri,  kami juga merah! Ayo, tangkap kami! Pukuli kami dengan ujung bedil kalian, biar seluruh dunia tahu bahwa di negeri ini tidak berlaku lagi HAM!” pemuda itu melanjutkan.

Sementara itu, pemuda lain berteriak-teriak menyanyikan yel-yel:

 …lakukan perlawanan, kobarkan revolusi!

telanjangi tentara, telanjangi polisi!

Biarkan mereka menangis

 sebab tak lagi punya bedil!

 …….

Ketika giliran tokoh itu yang diperiksa, teriakan-teriakan mereka bertambah keras. Seorang polisi membentak tokoh sastrawan itu karena jalannya pelan. Dan para pemuda di luar pagar melihatnya. Mereka tambah marah. Pagar besi itu mereka goyang-goyangkan. Polisi berhamburan memasang barikade sambil memelototi para pemuda. Pemuda yang marah tambah beringas. Kantong plastik berisi air kencing, ia lemparkan ke arah barisan polisi tersebut, tapi para polisi tak bergeming. Pemuda makin beringas.

Setengah jam kemudian, pagar roboh. Para pemuda menyerbu barisan polisi. Polisi menyambutnya dengan pentungan dan tendangan.

Bukk! Bukk! Bukk!

Beberapa pemuda terpelanting sambil meringis, kemudian tergeletak di aspal jalan. Tiga orang polisi menginjak-injaknya hingga beberapa pemuda itu tak sadarkan diri.

Melihat kejadian ini, pemuda lainnya makin marah. Mereka mengambil batu dan besi-besi pagar, lalu dilemparkan ke arah polisi yang sibuk melayangkan pukulan. Seorang polisi yang berada jauh dari pasukannya dikejar-kejar beberapa orang mahasiswa yang baru tiba. Ia lalu disandera pihak mahasiswa sebagai jaminan jika polisi-polisi lainnya mengangkat senjata. Seorang mahasiswa punya akal. Ia mempreteli pakaian dinas polisi itu bersama atribut-atributnya. Kemudian memakainya sendiri. Beberapa detik kemudian mahasiswa tersebut telah berubah menjadi polisi gadungan lengkap dengan helm-nya.

“Aku akan memukuli temanmu, Brigadir!” ucap mahasiswa itu sambil mencubit pipi sang brigadir.

Sambil berlari, polisi gadungan itu  menggabungkan diri dengan polisi-polisi lainnya. Ketika barisan mahasiswa yang baru datang mulai berhadapan dengan polisi, polisi yang gadungan itu  mendorong polisi-polisi tersebut dari belakang hingga kaki sebagian di antaranya goyah. Ia lalu memukuli polisi-polisi tersebut kemudian diikuti teman-teman mahasiswa lainnya.  Seorang polisi yang didorongnya marah sambil membentak-bentak.

“Kamu mau membela siapa? Temanmu atau mahasiswa itu?” kata polisi itu.

Polisi jadi-jadian itu meminta maaf karena takut ketahuan identitasnya.

Polisi-polisi yang bersenjata pentungan sudah tidak mampu mengendalikan para pemuda dan mahasiswa. Mereka diperintahkan untuk mundur digantikan pasukan lapis kedua. Pasukan lapis kedua ini bersenjatakan bedil dengan peluru karet.

Darr! Darr! Darr!

Bunyi tembakan terdengar berentetan. Beberapa orang mahasiswa dan pemuda terlihat berjatuhan. Melihat kondisi seperti ini, si polisi yang gadungan kebingungan. Apa yang harus ia lakukan? Tidak lama kemudian, ia mendapatkan ide baru lagi.  Ia menarik salah seorang mahasiswa  yang berada paling dekat dengan dirinya. Mahasiswa tersebut berontak, mengira dirinya ditarik polisi sungguhan, tapi kemudian polisi gadungan itu menyuruhnya diam.

“ Ssstt…. diam. Aku bukan polisi sungguhan, aku Bakunin,  Ketua BEM Fakultas Hukum. Kamu diam saja. Aku akan jadikan kamu sandera. Setelah para polisi berhenti menembak, kamu harus memberi kode kepada yang lainnya untuk kembali menyerbu. Paham?” tanyanya.

“Oke!” jawab temannya.

“Hentikan tembakan!” teriak polisi yang gadungan itu.

Mendengar perintah tersebut, para polisi berhenti menembak. Mereka memandang ke arah polisi gadungan yang sedang memegang seorang mahasiswa. Mereka tidak tahu kalau si polisi tersebut adalah mahasiswa yang memakai seragam polisi teman mereka yang diploroti.

“Hentikan, ini ketua mereka. Kita sandera saja. Ancam mereka. Kalau ingin ketuanya bebas, mereka harus mengehentikan kerusuhan ini!”

Polisi yang lain saling berpandangan. Mereka kebingungan sebab polisi yang memerintah itu bukan komandan pasukannya melainkan temannya yang masih berpangkat brigadir. Tiba-tiba komandan pasukan yang memimpin pengamanan terhadap aksi demonstrasi mahasiswa itu berkata.

“Lakukan! Saya setuju. Jika kita melakukan penembakan terus dan ada yang terluka, kita bisa dituntut ke pengadilan. Kita akan dipecat. Anak istri kita makan apa nanti? Laksanakan!” perintahnya.

“Siap, laksanakan!” jawab polisi jadi-jadian itu meniru-niru gaya seorang militer.

Polisi yang gadungan itu kemudian maju sendiri menuju ke kerumunan mahasiswa dan pemuda. Setelah berada dalam posisi dekat, ia berbicara.

“Ketua kalian kami tangkap dan akan dijadikan sandera. Jika kalian ingin ketua kalian selamat, segera bubar, tinggalkan tempat ini!” ucapnya tegas.

Pemuda dan mahasiswa saling pandang sebab mereka tahu bahwa ketua aksi mereka tidak ada, tapi bukan yang kini ditawan polisi itu. Mahasiswa yang tahu kalau polisi tersebutlah sesungguhnya ketua aksi mereka, Bakunin, Ketua BEM Fakultas Hukum, kemudian memberitahu yang lainnya. Setelah diberitahu melalui aksi bisik-bisik, mereka semua mengerti.

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya seorang mahasiswa kepada temannya yang memberitahukan mengenai keberadaan ketua aksi mereka.

“Kita tunggu saja…” belum selesai ia bicara, tiba-tiba ia melihat polisi yang gadungan dan mahasiswa yang ditawannya, menggerak-gerakkan tangan. Mahasiswa yang lain kembali saling pandang. Polisi yang ada di belakang, selangkah-selangkah maju mendekati polisi gadungan yang sebenarnya adalah Bakunin yang sedang melakukan drama penawanan terhadap rekannya sendiri.

“Itu kode apa?” tanya salah seorang mahasiswa.

“Aku tidak tahu!”

“Aduh bagaimana ini. Polisi yang di belakangnya sudah dekat!” yang lainnya cemas.

“Ia mungkin menyuruh kita maju menyerbu polisi-polisi yang di belakangnya!”

“Mungkin saja.”

Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung berteriak.

“Majuuuu……..!” sambil berlari ke arah barisan polisi. Diikuti yang lainnya. Mereka menyerbu pasukan polisi, mengambil temannya yang ditawan, dan membiarkan polisi gadungan itu berdiri.

Keributan makin berkecamuk. Para pemuda dan mahasiswa kini berhadapan sangat dekat dengan barisan polisi yang memegang senapan berpeluru karet. Barisan polisi tersebut tidak berkutik sebab jumlah mahasiswa dan pemuda lebih banyak.

Aksi pukul memukul pun tak dapat dibendung lagi. Namun, tidak lama setelah itu, terdengar bunyi beberapa senapan meletus. Pasukan polisi lapis tiga muncul dari belakang berlarian sambil membawa senapan berpeluru tajam.

Dorr! Dorr! Dorr!

Seorang mahasiswa yang sedang memukul polisi tiba-tiba tersungkur. Perutnya ditembus dua peluru tajam. Darah mengucur mambasahi aspal jalan yang hitam kusam bercampur debu.

Bunyi letusan senapan bertambah ramai. Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima orang lagi mahasiswa dan pemuda tersungkur mencium tanah. Mereka mati seketika. Kepala, dada, perut, leher, dan telinga mereka tertembus peluru tajam aparat.

Mahasiswa berlarian tak menentu. Mereka menyelamatkan diri. Mereka bukan mengalah, tapi kembali menyusun strategi. Mahasiswa dan pemuda yang larinya lambat dipukuli dan diinjak-injak polisi.

Bukk! Pentungan polisi mendarat di perutnya. Mahasiswa tersebut terus berlari sambil terhuyung menahan sakit di perutnya. Kepalanya bocor.

Bakunin, si polisi yang gadungan itu, buru-buru menghampiri polisi yang ditawan beberapa rekannya. Ia memegangnya erat sambil membawanya ke arena pemukulan dan penembakan.

“Hentikan!” teriaknya. Seketika para polisi menghentikan kejaran dan pemukulannya. Semua polisi memandangnya. Mereka bertanya-tanya, kenapa polisi berpangkat brigadir ini dari tadi mengambil alih komando terus.

“Komandan!” katanya sambil memandang komandan pasukan polisi. “Anggota pasukanmu saya tawan. Ini orangnya!” tapi semua polisi heran sebab yang berbicara adalah orang berpakaian polisi seperti mereka. Mereka bertanya-tanya, siapa yang ditawan dan siapa yang menawan?

Bakunin, si polisi yang gadungan itu, kemudian membuka helm-nya. “Saya adalah ketua yang memimpin aksi demonstrasi ini!” ucapnya. Para polisi dan komandannya kaget. Kenapa mahasiswa itu bisa berpakaian polisi, pikir mereka.

“Dan, orang yang sedang saya pegangi ini adalah Brigadir Jono, anggota Anda,” tambah Bakunin. Para polisi tambah heran. “Jika Anda ingin anak buah Anda selamat, hentikan penembakan itu sebab akan membawa Anda ke penjara. Anda sebagai komandan pasukan, telah memimpin penembakan terhadap mahasiswa dan menewaskan enam orang di antaranya. Mereka semua teman kami. Anda siap mempertanggungjawabkannya, Komandan?”

Komandan polisi itu diam sejenak. Kemudian memerintahkan anak buahnya untuk berhenti menembak. 

“Hentikan penembakan!” perintahnya.

“Bagus” kata si Bakunin, “Anda seorang Komandan yang masih punya hati nurani.” Ia lalu memandang ke arah rekan-rekannya yang sebagian besar sedang meringis kesakitan sambil memegang luka yang dideritanya. Kepada mereka, Bakunin berkata.

“Kobarkan revolusi!” katanya sambil mengacungkan tangan kiri yang terkepal, sementara tangan kanannya memegang erat leher polisi yang ditawannya. “Kawan-kawan, segera bawa kawan kita yang tertembak ke rumah sakit terdekat. Minta bantuan kendaraan yang lewat, cepat!” teriaknya.

Beberapa mahasiswa segera mengangkat mayat rekan-rekannya yang gugur. Membawanya ke rumah sakit terdekat.

“Yang lainnya, segera masuk ke kampus yang paling dekat. Kita minta bantuan kawan-kawan kampus lain!” Bakunin memerintah teman-temannya.

Mahasiswa terlihat berkumpul. Mereka membagi diri untuk masuk meminta bantuan ke kampus-kampus yang terdekat.

“Nah, Komandan. Demi keamanan kami, kami akan membawa anak buah Anda ini sampai kami masuk kampus. Setelah itu, akan kami kembalikan lagi pada Anda. Bagaimana?”

“Silahkan!” kata Komandan polisi itu.

“Tapi, perintahkan anak buah Anda yang lainya untuk tidak mengikuti kami. Yang mengikuti kami hanya Anda sendiri,” tambah Bakunin.

Komandan polisi memerintahkan kepada anak buahnya untuk membiarkannya mengikuti para mahasiswa sampai masuk kampus. Ia juga memerintahkan supaya anak buahnya tidak melakukan tindakan diluar perintah dirinya. “Jika ada di antara kalian yang berani mengeluarkan peluru, berarti kalian telah membunuhku. Membunuh komandan kalian sendiri. Diam di tempat sampai saya kembali. Jika kalian menurut, semua yang terjadi dalam peristiwa ini, saya yang akan menanggungnya. Saya akan mengaku, sayalah yang  memerintahkan kalian untuk menembaki mahasiswa. Biar saya yang dihukum, dan kalian tetap bertugas,” ucap sang komandan.

Sementara itu, mendengar perkataan komandannya, polisi-polisi itu diam. Mereka merasa kagum dan terharu pada sikap komandannya. “Tapi Komandan harus ada yang mengawasi. Siapa tahu mereka akan menawan Komandan,” tanya salah seorang anak buahnya.

Komandan menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Anak buahnya heran, kenapa sang komandan tersenyum dalam situasi seperti ini. “Tidak. Percayalah. Mahasiswa yang memimpin aksi itu tidak akan berani menawan saya.”

“Kenapa?”

“Sebab yang memimpin aksi itu adalah anak saya,” sang komandan menjelaskan dengan tenang.

Anak buahnya saling pandang. Tiba-tiba mereka semua tersenyum sambil menatap punggung komandanya yang berjalan ke arah mahasiswa, ke arah anaknya. Setelah dekat ia menepuk-nepuk pundak anaknya itu sambil merangkul. Ia lalu berjalan mengiringi barisan para pemuda dan mahasiswa yang masih meneriakkan yel-yel revolusi. Revolusi.

Sementara itu, pemeriksaan terhadap beberapa orang eks tahanan politik masih terus berlangsung sebab peristiwa bentrokan mahasiswa dan aparat telah berjalan jauh dari kantor polisi tempat pemeriksaan berlangsung.

*

 

“Kenapa dalam revolusi selalu ada kisah mengharukan, Bapak?” tanya Ahmad Rambo.

“Karena revolusi adalah perjuangan. Tidak ada perjuangan yang yang menggiring pelakunya pada kekalahan. Jika berhasil, pelakunya menang. Tidak berhasil, pelakunya juga tetap menang karena ia telah melakukan perlawanan. Dan yang melawan adalah orang yang telah memenangkan pertarungan melawan ketakutan yang bersemayam dalam hatinya sendiri. Itulah revolusi.”

“Lho?” Ahmad Rambo heran. Ia baru ingat kalau laki-laki penulis yang selama ini bersamanya adalah  bekas tahanan politik yang dicap merah, tapi kenapa ia tidak ditangkap.

“Kenapa?”

“Bukankah Bapak juga pernah dibuang ke Pulau Buru karena dicap penulis komunis?”

“Ya!”

“Kenapa Bapak tidak ikut barisan di sana?”

“Karena saya ingin di sini. Ha… ha… ha….” laki-laki gaek itu malah tetawa kegirangan. “Begini ceritanya Rambo. Beberapa hari setelah saya bebas dari tahanan Pulau Buru, saya mengirimkan surat kepada orangtua atas nama orang lain. Isinya  memberitahukan bahwa saya telah meninggal dan dikuburkan di tempat yang jauh yang tidak mungkin dapat dikunjungi orangtua saya yang miskin. Setelah itu, saya menghilang, kabur-kaburan, berpindah-pindah tempat. Pernah mengembara ke seluruh pelosok negeri.

Beberapa tahun kemudian saya menulis surat lagi. Kali ini ditujukan kepada salah seorang teman yang juga bekas tahanan dan sama-sama penulis yang dicap kiri. Dalam surat tersebut saya kabarkan bahwa saya sedang sakit, dengan memakai alamat orangtua saya dulu. Satu minggu kemudian, saya mengirimkan surat lagi, tapi atas nama tetangga saya. Isinya mengabarkan bahwa saya sudah meninggal.

Saat itu saya bekerja apa saja untuk bertahan hidup. Meskipun saya dicari-cari, pasti akhirnya teman saya itu memberitahukan kalau saya telah meninggal dengan bukti sepucuk surat yang saya tulis atas nama tetangga saya tersebut.

Satu tahun kemudian, saya pindah ke tempat lain dan mulai mengirimkan tulisan yang dihasilkan selama kabur tersebut. Selanjutnya, pekerjaan saya adalah menulis, tapi dengan nama dan identitas samaran. 

Pertemuan-pertemuan penulis dan sastrawan tidak pernah saya hadiri. Saya banyak melakukan penyamaran sambil mencari bahan tulisan. Saya pernah menjadi tukang becak sepertimu. Pernah mencangkul dan menjemur padi di sawah. Pernah tercebur ke laut karena ikut melaut dengan para nelayan. Pernah jadi gelandangan dan di siram air panas oleh pemilik toko emas karena tidur di empernya. Pernah juga ikut-ikutan gila dan hidup bersama dengan perempuan gila yang tempo hari saya ajak bicara ketika saya menumpang becak kamu itu. Makanya, perempuan gila itu mengenal saya. Karena penyamaran-penyamaran tersebut saya bisa lolos. Jika tidak, mungkin hari ini saya sudah berada dalam barisan itu.”  

“Kok bisa?” tanya Ahmad Rambo.

“Ini buktinya. Saya masih berada di sini, tidak di barisan para eks tapol yang mengalami pemeriksaan lagi. Sampai hari ini, saya tidak pernah memberitahukan alamat rumah ini. Oleh karena itu, kamu harus hati-hati dalam memilih lawan bicara, dan dalam membicarakan sesuatu, supaya kita tetap selamat. Untuk orang seperti kita, kesendirian lebih membuat kita merasa aman. Lawan bicara kita, adalah diri kita sendiri.”

Ahmad Rambo minta permisi. Ia akan menuliskan mengenai pemeriksaan terhadap eks tahanan politik. Ia menuliskan bahwa sindrom paranoia yang menjalar di pemerintah telah tergolong stadium sangat parah. Akut. Coba saja lihat, orang tua yang sudah tidak bisa apa-apa lagi ditakuti setengah mati hingga harus kembali masuk bui. Apa tidak cukup masa penahanan dan penyiksaan selama puluhan tahun yang menimpanya? Tidakkah pemerintah berpikir bahwa mereka itu punya keluarga, punya orangtua, punya istri, punya anak yang semuanya merindukan mereka?

Mereka telah dipaksa dipisahkan selama puluhan tahun. Tidakkah pemerintah mengerti besarnya kerinduan para tahanan politik itu terhadap anak-anaknya?  Tidak cukupkah pukulan, penyiksaan, pembunuhan karakter terhadapnya, pengasingan, pembakaran bukunya, pencekalannya, dan segala yang mereka alami selama ini? Tidakkah semua penderitaan yang mereka alami itu mampu menebus kesalahannya, kalau itu mau dikatakan kesalahan. Biarkanlah mereka menikmati sisa hidupnya untuk berkumpul, bersendagurau dengan anak istrinya. Biarkan mereka gembira menimang-nimang cucunya dengan sisa tenaganya yang kian sirna.  Mereka butuh ketenangan.

*

 

Ahmad Rambo sedang membolak-balikkan lembaran koran. Berita-berita mengenai aksi demonstrasi masih memenuhi sebagian besar halaman surat kabar tersebut.

Dalam koran itu diberitakan, aksi demonstrasi para buruh dan petani telah memasuki gedung wakil rakyat. Rencananya, mereka akan melakukan aksi pendudukan gedung tersebut. Mereka ingin gedung tersebut dikembalikan kepada pemilik yang sebenarnya, yaitu rakyat, bukan pejabat yang mengatasnamakan rakyat. Berpuluh-puluh ribu petani dan buruh dari seluruh pelosok negeri bergabung meneriakkan revolusi. Bahkan rencananya, hari Minggu ini, para nelayan yang menghimpun diri dalam berbagai organisasi para penangkap ikan, akan datang menggabungkan diri.

Di gedung tersebut, para petani dan buruh harus berhadapan dengan aparat keamanan: polisi dan tentara yang diperbantukan. Meskipun dilarang masuk oleh aparat, mereka memaksanya, membongkar pintu yang menghalanginya dan berhamburan masuk.

Seluruh permukaan kubah gedung berwarna hijau tersebut penuh oleh petani dan buruh. Sebagian di antaranya ada yang mandi dan menceburkan diri ke kolam yang ada di halam gedung. Mereka bergembira, bersorak sorai meneriakkan nyanyian revolusi. Seumur hidup, baru kali ini mereka merasakan ada dalam daerah gedung milik mereka sendiri. Selama ini mereka bertanya-tanya, kenapa gedung yang katanya gedung wakil rakyat, tetapi sangat eksklusif? Bahkan terkesan seperti daerah terlarang yang tidak boleh dimasuki siapa pun selain pejabat yang mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat. Rakyat yang bersandal jepit, apalagi yang bertelanjang kaki, seolah berdosa meski hanya memasuki halamannya sekalipun. Mahasiswa yang ingin menyampaikan haknya di gedung tersebut harus berhadapan dengan kebengisan yang ditunjukan aparat keamanan. Bahkan tak jarang di antara mahasiswa tersebut harus pulang dengan luka biru lebam di beberapa bagian tubuhnya.

Bagaimana rakyat bisa menyampaikan aspirasi dan pendapat terhadap wakil-wakilnya, kalau untuk masuknya saja sudah diancam dengan dosa? Lalu, suara siapa yang sebetulnya mereka dengar selama ini? Atas permintaan siapa kebijakan-kebijakan itu diberlakukan? Kenyataan seperti ini semakin mengarah pada kesimpulan bahwa sekolah atau tidak sekolah, tetap tidak berpengaruh terhadap moral seseorang. Mereka yang sekolah tinggi dengan berbagai keahlian saja, ketika berkuasa, tetap menjadi tikus, curut, ular, dan serigala. Mereka yang mengerti, tetap saja membiarkan kebebalan di negeri ini berlangsung.

Dengan menggunakan cat semprot dan spidol, para buruh dan petani mencorat-coret seluruh permukaan kubah dengan keluhan dan kekesalan yang mereka pendam selama ini. Selama bertahun-tahun. Tentang kesakitannya, kemiskinannya, ketertindasannya, kesedihannya, tentang pemerkosaan yang dialaminya, tentang kesewenang-wenangan penguasa terhadap nasibnya, tentang hukum yang membatasi kebebasan rakyatnya. Polisi dan aparat keamanan lainya tidak bisa mencegah perilaku para buruh tersebut. Jumlahnya terlampau banyak untuk bisa ditakuti-takuti.

Koran tersebut juga memberitakan bahwa mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi serentak melakukan perlawanan melalui aksi demonstrasi dan mimbar bebas yang tak henti-hentinya digelar di beberapa tempat.  Berbagai tuntutan perbaikan mereka teriakan. Mereka menuntut untuk dilenyapkannya militerisme di negeri ini. Perilaku represif yang dilakukan aparat keamanan dalam menangani mahasiswa dan rakyat yang berdemonstrasi adalah wujud perilaku militeristik. Polisi dan aparat keamanan telah disalahgunakan fungsinya, dari tenaga pertahanan dan keamanan  negara serta penjaga ketertiban, menjadi alat untuk menakut-nakuti rakyat.

Aneh memang. Di sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, tetapi mengeluarkan aspirasi telah dianggap mengancam kemanan dan keutuhan bangsa.   Mahasiswa yang berdemonstrasi dianggap mau melakukan kudeta dan perebutan kekuasaan sehingga harus ditembaki, digebuki, ditangkapi, dibunuh, diculik, disekap.

Oleh karena itu, mahasiswa menuntut dihilangkannya militerisme di negeri ini sebab bagaimanapun, dengan alasan apa pun, militerisme tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini. Para mahasiswa mengatakan bahwa perilaku militerisme akan mengarahkan negeri ini menjadi sebuah negeri yang fascis

“Militerisme adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Karenanya, harus dibantai!” teriak seseorang.

“Fascisme telah mati ribuan tahun lalu, dan militer akan membangkitkannya lagi!”

“Anjing!”

“mereka adalah tukang ngelonte yang tidak mau bayar sebab menganggap tubuh pelacur sebagai milik negara!”

Mendengar teriakkan dan tuntutan mahasiswa seperti itu, aparat keamanan ada yang tersinggung dan marah.

Dorr!

Sebuah letusan dari bedil aparat yang tersinggung tersebut menyalak keras. Tak ada yang tertembak sebab senapan mengarah ke atas. Bentrokan hampir saja terjadi.

Hingga berita itu diturunkan, aksi demonstrasi dan pendudukan gedung wakil rakyat oleh para petani dan buruh masih berlangsung.

Ketika membaca rubrik sastra pada koran yang sama, Ahmad Rambo membaca tulisan cerita pendek. Hampir seluruh rubrik sastra, penuh terisi oleh cerita pendek tersebut. Ia berpikir, kuat sekali orang yang menulisnya.

Ahmad Rambo membacanya. Judul cerita pendek itu adalah “Laki-Laki dan Belati”, di bawahnya tertulis “sebuah cerita”. Ia yakin bahwa tulisan itu berisi tentang revolusi, atau paling tidak ada kata revolusinya sebab hingga hari itu, tema revolusi masih tetap berkobar sebagaimana kobaran semangat revolusi rakyat yang melakukan demonstrasi dan aksi pendudukan gedung wakil rakyat.

Ahmad Rambo sempat heran karena yang menulisnya adalah perempuan. Paling tidak, begitu menurut biografi yang dituliskan di bagian bawah tulisan. Selama edisi revolusi ini, yang mengisi tulisan-tulisan sastra yang berbau revolusi, semuanya adalah laki-laki. Tetapi kali ini, penulisnya berjenis kelamin perempuan.  Nama penulis cerita tersebut adalah Magdalena. 

Ahmad Rambo membacanya dengan seksama dan penuh minat. Kata demi kata meresap ke dalam jiwanya. Perlahan, tapi pasti. Alenia-alenia cerita yang telah dibacanya mengusik ingatannya. Ia merasakan pening dan denyut di kepala, tapi ada dorongan yang lebih kuat untuk terus membacanya hingga selesai. Ia merasakan seolah dikepalanya ada yang bergerak-gerak. Ingatannya yang dulu terhenti karena benturan yang di alaminya saat kecelakaan bis sedikit-sedikit mulai bergerak dan bersentuhan kembali.

Setelah selesai membacanya, Ahmad Rambo terus menatap tulisan itu. Ia membayangkan alur cerita, konflik, dan perasaan jiwa si tokoh dalam cerita tersebut. Ada keanehan yang ia rasakan. Kenapa tokoh-tokoh itu begitu hidup, dan ia mampu merasakan apa yang si tokoh rasakan dalam cerita tersebut. Sepintas, pujian dan kekaguman ia lontarkan kepada perempuan yang menulisnya. Yang pertama kali ia bayangkan adalah peristiwa pembakaran buku-buku kiri, perlawanan kolektif, dan revolusi, sebab hal seperti itu yang kini ada dalam pikirannya. Tetapi kemudian, belati, perempuan kekasih si tokoh, pernikahan, rokok, bis, kecelakaan, menulis, membela rakyat, …………..

Ahmad Rambo kembali merasakan kehadiran dirinya dalam cerita itu. Kenapa? Di mana? Kapan? Apa betul ia pernah merasakan hal serupa seperti yang dialami laki-laki dalam cerita itu? Lalu ia hubungkan dengan ingatan yang selama ini mampu ia ingat: ia ada di ruangan rumah sakit, ada suster di samping kirinya, dokter laki-laki di samping suster, tiang infus, kabel infus, jarum yang menusuk pada kulit di tangannya, kemudian datang dua orang polisi. Malamnya, ia tertidur. Besoknya, dibawa oleh beberapa orang polisi masuk ke dalam sebuah mobil sampai di kantor polisi. Ia diinterogasi dan dibentak-bentak. Ditanya mengenai buku-buku, ditanya mengenai belati……….

Sampai di sini, ia berhenti mengingat. Lalu melanjutkan kembali. Ia masuk sel. Beberapa hari kemudian ia bertemu dengan psikolog. Ditanya ini itu, lalu ia mendengar kata amnesia.

Ingatannya lalu berhenti lagi. Ia mencoba lagi mengingat remah-remah masa lalunya. Terbayang olehnya, setelah mendengar kata amnesia dari seorang psikolog yang memeriksanya, selanjutnya ia dibebaskan. Ia berjalan tak menentu, melihat tukang becak. Ia bertemu Diman. Terus ia dibawa ke rumah Diman. Bertemu Rohaleh. Kemudian ia ingat ketika dirinya berteriak-teriak di kantor kelurahan. Bersama Rojali dan beberapa tukang becak, ia  mengadakan demonstrasi. Diman dan Rohaleh hilang. Ia bertemu dengan laki-laki penulis.

Sampai di sini, ia ingat akan laki-laki penulis itu. Kemudian ia memanggilnya.

“Ada apa?” tanya laki-laki penulis itu.

“Ini, ada cerita pendek bagus. Tolong dibaca!” pintanya.

Laki-laki penulis itu menghampirinya. Membaca surat kabar yang disodorkan Ahmad Rambo kepadanya. Beberapa saat kemudian, setelah selesai membacanya,  laki-laki itu mengomentari.

“Ya, bagus. Bagus sekali. Ada kesamaan gaya dan misi mengenai revolusi. Memang begitu cerita-cerita sekarang. Semuanya tentang revolusi. Saya berharap, asal jangan euforia belaka, tapi memang betul-betul menjiwai dan dipraktekkan. Semangat revolusi penulisnya terasa dalam. Dalam sekali.”

“Betul, Pak. Saya merasakan sekali apa yang dirasakan tokoh dalam cerita itu. Namun…” ia terhenti.

“Namun kenapa?”

“Namun,  saya merasakannya lebih dari itu. Saya seolah-olah pernah mengalami hal yang sama dengan tokoh dalam cerita itu. Ya, saya ingat betul tentang belati itu, buku-buku itu, panggung pernikahan itu. Ternyata, ada hubungannya dengan keberadaan saya di sini sekarang. Bukankah amnesia itu terpotongnya ingatan masa lalu sehingga sulit bisa diingat lagi? Polisi dan psikiater itu menyebutkan bahwa saya terserang amnesia. Ya, mereka berkata begitu!”

“Ya. Biasanya, amnesia diakibatkan oleh benturan di kepala yang sangat keras. Bisa permanen bisa temporal. Atau, bisa jadi karena ketakutan atau fobia yang berlebihan akan sesuatu hal sehingga ketakutannya tersebut merepresi ingatan masa lalunya. Ingatannya terkalahkan oleh ketakutan yang dideritanya. Ya, seperti penguasa negeri ini. Karena ketakutan kalau kekuasaannya ada yang merebut, ia jadi fobia terhadap rakyat, demonstrasi, mimbar bebas, kerumunan massa, dan sebagainya. Semuanya dicurigai dan dihubung-hubungkan dengan ancaman terhadap kekuasaannya sehingga ia lupa akan tugasnya sebagai pemimpin rakyat, lupa menjalankan amanat rakyat, lupa telah dipilih rakyat, dan ia lupa akan janji-janji yang ia ucapkan ketika pemilu, sebelum ia menjabat.  Atau sebaliknya, karena bahagia yang berlebihan.”

“Benturan di kepala?”

“Ya!”

“Saya ingat tentang kecelakaan bis itu. Saya pernah naik bis sepulang dari rumah kekasih saya yang saat itu sedang melaksanakan pernikahan. Lalu ……” ia berhenti.

“Lalu?” laki-laki itu mencoba kembali membuka ingatannya.

“Lalu bis yang saya tumpangi menabrak truk. Kemudian menabrak pembatas jalan. Kemudian……. kemudian saya merasakan benda dingin menempel di perut, dan kemudian menancap. Kemudian, kemudian bis masuk jurang. Kemudian, kemudian saya berada di rumah sakit. Kemudian……….” Ahmad Rambo menceritakan apa yang ia ingat setelah berada di rumah sakit hingga akhirnya bertemu dengan laki-laki penulis itu.

“Orangtuamu itu siapa?”

“Saya ingat, saya bertemu orangtua saya setelah keluar dari rumah sakit, dan…….”

“Dan apa?”

“Dan….. mereka memberikan nama Ahmad dan Rambo!”

“Kok bisa dua nama begitu?”

“Ya, Bapak saya memberikan nama Rambo, dan emak saya memberi nama Ahmad. Mereka berdua memanggil saya berbeda-beda.”

“Berarti, mereka bukan orangtua kandungmu?”

“Kenapa?”

“Karena kamu melihat mereka setelah keluar dari rumah sakit. Sebelumnya, kamu belum pernah bertemu mereka, bukan?”

“Entahlah. Sepertinya bukan. Tapi…..tapi kenapa perempuan itu menulis cerita sesuai dengan yang saya alami dulu. Darimana ia tahu?”

“Tapi tidak seluruh ceritanya benar, bukan?” laki-laki tua penulis kembali mengajak Ahmad Rambo untuk mengaktifkan ingatannya.

“Ya. Tidak semuanya benar. Di dalam cerita itu, tokoh laki-lakinya meninggal karena kecelakaan bis, tapi saya tidak. Saya masih hidup.”

“Saya tidak tahu siapa dan bagaimana perempuan itu, tapi saya tahu apa yang sesungguhya terjadi pada dirimu.”

“Apa? Apa yang terjadi pada diri saya, Bapak?”

“Selama ini kamu terserang amnesia. Lupa akan masa lalu. Kamu tidak bisa mengingat masa lalu karena benturan di kepala pada saat kecelakaan bis dulu. Kamu kembali dapat mengingat masa lalumu itu setelah membaca cerita pendek yang ditulis oleh perempuan itu karena ceritanya mirip dengan yang kamu alami. Tapi sebetulnya, kamu masih belum yakin, masih ragu-ragu. Mungkin kamu akan yakin setelah bertemu dengan perempuan itu. Saya mengira-ngira, perempuan itu mengetahui sebagian tentang kamu. Coba lihat, ada tidak alamatnya di sana?” laki-laki itu meminta Ahmad Rambo untuk melihat kembali koran tersebut.

“Tidak ada, Bapak. Di sini hanya tertulis nama Magdalena, peminat komik dan cerita anak-anak. Ia tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh daerah kita…” Ahmad Rambo girang.

“Jika kamu penasaran, cari tahu alamatnya dan temui dia. Tanyakan kepadanya,”  laki-laki penulis memberikan solusi. Dan Ahmad Rambo makin meragukan kebenaran ingatannya. Baginya, ingatan tentang masa lalunya tersebut masih berselimut kabut. Meski sudah mulai menipis.

Sementara itu, pemerintah makin bernafsu untuk menghentikan semua aksi perlawanan yang dilakukan oleh segenap rakyatnya. Semua orang yang dicurigai, mereka tangkap. Bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa dan rakyat makin brutal. Panser dan kendaraan lapis baja lainnya memenuhi jalan-jalan kota. Bunyi letusan senjata makin kerap terdengar. Beberapa mahasiswa dan rakyat yang terkena tembakan bergelimpangan di jalan, sebelum petugas palang merah membawanya ke rumah sakit.

Aktivitas penduduk lumpuh total. Perkantoran tutup, pemilik toko-toko dan pusat perbelanjaan tak ada yang berani membukanya. Asap hitam mengepul dari bangkai mobil yang dibakar massa. Perempuan dan anak-anak mendekam di rumah masing-masing sambil dihantui ketakutan.

Seorang anak bertanya pada perempuan yang mendekapnya. “Mak, siapa yang berkelahi?”

“Sstt, ini bukan berkelahi. Ini revolusi,” jawab ibunya sambil menutup mata anaknya dengan telapan tangan. Si anak berontak, ingin melepaskan diri.

“Revolusi itu apa, Mak? Penjahat ya?” anak itu berhasil lolos, dan berlari mengintip dari balik kaca. Ibunya buru-buru berlari mengejar.

“Mak, kok banyak yang bawa bedil? Oh… sedang main perang-perangan, ya? Mak, revolusi itu main perang-perangan, ya?” tanyanya sambil terus mengintip. Lalu cepat menatap mata ibunya.

“Mak, Bapak pulang! Mak, Bapak pulang! Asyik Bapak pulang….” tiba-tiba ia berhenti bicara, memandang lama ke arah bapaknya yang sedang berjalan sempoyongan dengan kepala berlumuran darah, kemudian ambruk.

Si bocah melongo menyaksikan bapaknya yang tergeletak di teras depan rumah. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi di luar sana. Kenapa bapaknya pulang dengan kenyataan seperti itu? Otaknya yang baru tumbuh, mengeja kenyataan yang baru saja dilihatnya: revolusi telah menyebabkan bapaknya mati.

*

Aparat keamanan, polisi dan tentara, makin memenuhi jalan dengan senapan terkokang di tangan. Peluru-peluru tajam menyelinap di balik baja, di balik perintah komandan. Prajurit yang memegangnya tinggal menunggu perintah. Ia siap menarik pelatuk senjata di tangannya itu apabila komando telah ia dengar.  Sementara itu, beberapa orang anggota badan intelijen, mulai mempertajam penciumannya. Mengendus bau dan jejak si pendosa yang akan mengacaukan keamanan republik. Paling tidak, itulah yang ada dalam benaknya. Benak yang telah dijejali dogma-dogma dan sabda penguasa yang maha jahat. ***          

bersambung…

One thought on “Bagian Lima: “Revolusi dan Bedil Tentara”

  1. Pingback: Bagian Empat: “Perjuangan Lain” | bandungmelawan

Leave a comment