Memorat Cisanggarung*

: Amran Halim

  

Hari itu adalah hari ke-tujuh ia terduduk di antara kerumunan rindang pohon bambu yang mendesis. Pinggir sungai Cisanggarung. Kelopak matanya leleh. Air matanya habis terperas, tandas. Sejak tujuh hari yang lalu adiknya hilang dalam pelukan sungai Cisanggarung yang tenang.

Tak ada riang tawa di sana. Setelah tujuh hari yang lalu air datang membanjiri sungai. Biasanya anak-anak bermain sepak bola dengan penuh canda atau sibuk menghitung hasil tangkapan mereka. Ikan, udang atau belut. Di palatar1. Bersama burung-burung walet yang terbang kian kemari, membasuh dahaga.

Penyesalan itu selalu menggerayangi hatinya. Resah. Lantas memompa darahnya yang tiris, hingga wajahnya pasi, sepucat bulan.

Kadang ia tersenyum kaku. Ketika tawa riang itu hinggap pada wajah adiknya, girang menenteng seekor belut hasil tangkapannya. Tapi ia tersandung kakinya sendiri saat berlari tergesa,  hendak memamerkan hasil tangkapannya itu pada Emak di rumah. Dia menangis, setelah sadar bahwa belut itu telah raib menyusup ke dalam selokan yang berada di sampingnya, tempat ia terjatuh. Sambil menangis ia mengaisi selokan yang hitam. Bau.

“Sudahlah! jangan menangis.” Bujuk Sanjaya sambil meraih Liong dan menyimpannya dalam pelukan.

“Tapi belut itu hasil tangkapanku, Kak.” Dengan tersendu. Mengisak. Ia masih tak rela belut hasil tangkapannya lepas begitu saja.

“Sudahlah, mending kita mancing belut lagi di sungai. Syukur-syukur, sekarang banyak ikan di sana. Biasanya di tengah hari yang panas seperti ini banyak ikan yang muncul ke permukaan. Tak seperti tadi, tidak satu pun ikan yang kita temukan karena masih pagi.” Sanjaya mengalihkan pembicaraan sambil membujuk Adiknya agar melupakan belut yang lepas.

Liong melonjak kegirangan dengan usulan kakaknya itu.

“Ayo, Kak. Kita kesana lagi!” ia malah berbalik mengajak kakaknya. Dan lagi-lagi ia berlari mendahului. Sanjaya hanya tersenyum melihat tingkah adiknya itu.

“Hati-hati, nanti jatuh lagi!” Sanjaya masih merasa bersalah atas kelengahannya tadi. Liong terjatuh karna tidak dipapahnya.

Tak lama mereka telah sampai di sungai. Liong tak ragu menceburkan diri ke sungai.

“Kak, sekarang banyak ikannya,” melambaikan tangan. Memanggil Sanjaya yang masih berdiri di tanggul. Liong  menyelam. Benam.

“Liong, jangan terlalu tengah. Bahaya!” Liong tak menyahut. Sanjaya mulai resah. Turun ke sungai. Menghampiri Liong yang sedang menyelam. Benam. Hilang.

Matanya kembali lembab. Isaknya makin dalam. Ternyata hari itu, adalah hari terakhir ia bersama tawa, tangis dan tingkah adiknya yang menghidupkan hari. Ia kembali ditusuki penyesalan.

“Andai hari itu aku mengajaknya pulang. Bukan malah mengajaknya mencari ikan,” matanya makin leleh. Kini pati air matanya yang keluar, “Ternyata aku ini tiada guna!”

Ia belum juga menemukan atau mendengar kabar bahwa wadak2) adiknya mengapung ke permukaan. Karena biasanya bila ada yang tenggelam di sungai Cisanggarung, tak sampai lebih dari tujuh hari wadaknya akan terapung di tempat semula ia tenggelam atau ditemukan tersangkut di bruyung3) sebuah desa tepian sungai Cisanggarung. Biasanya oleh para pengeduk pasir. Karena warga desa yang terletak di tepian sungai Cisanggarung kebanyakan bekerja mengumpulkan pasir setiap harinya.

Sanjaya berharap di hari yang ke-tujuh ini, dialah yang pertama kali menemukan wadak Liong yang terapung. Agar ia bisa menggendongnya untuk yang terakhir kali. Walau hanya wadak yang ia bawa. Agar ia bisa memohon maaf atas kelengahannya.

“Jaya makan dulu yah,” suara lirih terdengar mendesir dari arah belakang, “Jaya harus makan. Emak takut nanti Jaya jatuh sakit,” bujuk Wati, ibu Sanjaya, penuh harap. Sanjaya tak menjawab apalagi menoleh. Tangannya tak meraih bungkusan yang dibawa ibunya. Malah, ia sembunyikan wajah, pipi becek, dan matanya yang merah senja.

Buncah air mata Wati makin menjadi, melihat tingkah anak cikalnya itu. Ia teringat atas kejadian tujuh hari yang lalu. Bapak menggampar Sanjaya sejadi-jadinya. Entah marah atau apa. Bapak sendiri tak sadar menggampar Sanjaya yang kuyup. Terengah-engah. Mengabarkan adiknya yang tenggelam di sungai. Wati hanya menangis sebisanya. Saat Sanjaya menceritakan petaka yang dialami anak bungsunya yang masih berumur lima tahun itu. Lantas ia tidak sadarkan diri.

Wati tertegun setelah sadar ia sedang dikelilingi Ibu-ibu tetangga rumah dengan wajah penuh iba. Tambah isak tangis saudara-saudaranya. Suasana rumah jadi riuh tapi kelabu. Duka.

“Alhamdulillah. Akhirnya kau siuman juga, Wati. Setelah tiga jam kau tak sadarkan diri,” kata saudara perempuannya.

“Mana! Mana Sanjaya?!”

“Sanjaya mengantar Bapak ke tempat Liong tenggelam, Wati.” Jawab seorang tetangganya coba memberitahukan.

Wati bergegas menuju tempat Liong tenggelam. Dusun itu jadi sepi. Hanya angin yang ikut resah berdesir menggiring langkah Wati yang gontai. Langit memar sore itu. Pertanda musim hujan mulai memupus kemarau panjang.

Hanya dengan beberapa langkah gegas Wati sampai di kerumunan. Sanjaya terduduk resah di tanggul. Bapak bersama warga masih mencari. Menyusup dalam pelukan Cisanggarung. Sampai hujan turun, mereka tak menemukan batang Liong. Hanya bangke asu yang melintas. Bengkak. Sepertinya ia mati disamsak orang.

 Wati menghela nafasnya dalam. Disekanya air mata yang mendobrak keluar dari matanya. Merambah di pipi.

Barangreup4), Sanjaya. Ayo kita pulang!  Sambil meraih tangan Sanjaya yang masih menyembunyikan mukanya.

***

Selepas Isya, rumah itu masih tak riuh oleh gemuruh doa tahlil yang mengalun, merambat hingga ke pusaran sepi. Bulan sabit masih bersembunyi di balik liukan janur kelapa yang  berderet di sepanjang jalan depan rumah.

Sanjaya keluar rumah tanpa sepengetahuan siapa pun kecuali Rudi, teman dekatnya. Ia diam-diam mengikuti Sanjaya dari belakang.

Seperti magnet, lagi-lagi sungai Cisanggarung dapat menarik Sanjaya untuk kembali duduk diantara desis rindang pohon bambu dan membuncahkan air matanya. Lagi. Linangnya mengerdip tersorot sinar bulan sabit.

“Aku mengerti perasaanmu, Sanjaya.” Tegur Rudi dari tanggul tepat berada di belakang Sanjaya.

Tersentak. Sanjaya segera menoleh ke arah suara yang menegurnya dan menghela nafas, “Adikku tenggelam di hadapanku, Rud.”

“Aku tahu kau adalah seorang kakak yang telaten5) megasuh adik. Di sela keseharian Emak dan Bapak yang sibuk nyirat6). Dengan penuh kasih kau curahkan waktumu untuk Liong. Riang tawa serta senda gurau bersamanya seolah menjadi tujuan dari hidupmu. Itulah yang membuatmu seperti ini, seolah hidupmu sudah tak lagi memiliki tujuan yang pasti. Ini telah menjadi qadar-Nya, Sanjaya. Relakanlah! Jangan terlalu kau tangisi, kasihan dia. Tangismu adalah siksaan baginya. Doakanlah dia semoga kehidupanya lebih indah di sana.”

“Tanggungjawab, Rud. Itulah yang menarik jasad dan jiwaku untuk sebuah penantian. Menanti wadaknya yang tak kunjung timbul ke permukaan.”

“Malam makin dingin, Sanjaya. Aku harus pulang. Emak pasti resah mencariku.”  Rudi berlari. Lesap dalam kelam.

Sepi mulai membungkus. Kerlip kunang-kunang mulai redup. Hanya desis pohon bambu, suara jengkrik dan anjing yang menyalak dari kejauhan tak henti merambati sunyi.

Permukaan Cisanggarung mendadak seperti mendidih. Perlahan muncul sesosok ular besar. Mendesis. Sanjaya terperanjat dari ketidaksadarannya.

“Kak,” sapa sesosok ular besar yang muncul dari permukaan. Sisiknya berkilauan. Terpercik sinar bulan yang menyabit di langit. Jantung Sanjaya berdegup kencang. Kakinya bergetar melemas. Tak mampu ia melangkah apalagi berlari. Terkulai. Lunglai.

“Kak, jangan takut ini adikmu Liong!” sesosok ular itu menjelma seorang bocah dengan wajah bercahaya purnama.

“Betulkah kau Liong. Adikku yang tenggelam tujuh hari yang lalu?” Sanjaya menggosoki matanya yang leleh.

“Benar, Kak. Aku Liong. Adikmu.” Ia  kembali memastikan Kakaknya yang masih ketakutan.

“Pulanglah, Liong. Kami sangat menanti kedatanganmu. Agar hati kami yang kau tinggalkan kembali berbunga dalam menjalani hari,” masih merungkut ketakutan.

“Tidak. Di alam ini ada damai mengerumuniku, Kak.” Sifat kekanakannya telah hilang dari kata yang tertutur dengan nada yang datar.

“Tapi kenapa wadakmu berubah menjadi sesosok ular dan tak terapung kembali seperti korban yang lainnya?” masih tak percaya.

“Ratu iba pada tubuh cekingku yang hanya bersandangkan kolor lusuh. Mendingan Liong di sini. Setidaknya beban Bapak berkurang. Sementara korban yang lain dijadikan budak karena telah merusak Cisanggarung”

“Emak sedang sakit, Liong.” Sanjaya coba meraih hati Liong yang telah berubah.

“Tapi Kakak senang kan, melihatku bahagia mejaga kelestarian sumber kehidupan bagi manusia. Sungai Cisanggarung!” Sanjaya membisu. Mulutnya terkunci rasa penyesalannya.

“Liong harus kembali. Liong tak bisa lama-lama di permukaan, Ka. Tubuh ini sudah terasa kering.”

“Liong, pulanglah ke rumah! Cisanggarung ini bukanlah rumahmu.” Air matanya kembali muntah. Lirih suaranya bergetar, mengguncang gontai malam. Sungai Cisanggarung.

Namun Liong terus menjauh tak berpaling. Sanjaya mencoba untuk meraihnya. Tapi Liong telah kembali menjelma ular dan  lesap dalam riak Cisanggarung. Gejebur. Suara tubuh Sanjaya yang menghantam air mendentum dalam sepi.

***

            Air matanya perlahan mengalir di keriput pipinya. Dan ceritanya terhenti.

“Jadi benar. Liong lah yang selama ini meminta tumbal, Bah?!” sergahku memastikan dugaan warga atas kejadian beberapa hari yang lalu. Seorang pemuda berprofesi pemulung sampah swasta, hilang saat membuang sampahnya ke sungai. Siswa SMU yang sedang mortas ikan di Cisanggarung pun lesap sesudahnya hanya dalam selang waktu beberapa hari. Tapi bukan warga Desa ini.

Abah Sanjaya tak menjawab pertanyaanku sepatah katapun. Hanya kudengar bisiknya lirih, “Adikku pun, Liong adalah tumbal Cisanggarung.”

 

                                                                                                Cirebon-Bandung

                                                                                                Juni-Juli 2006

Catatan:

* Terinspirasi dari cerita rakyat tepian sungai Cisanggarung. Kab Cirebon.

1.Palatar         : Dangkalan sungai saat surut

2.Wadak          : Jasad (KBBI)           

3.Bruyung       : Bangunan penahan arus pada tikungan sungai

4.Barangrep    : Waktu senja hampir Maghrib

5.Telaten         : Sunguh-sunguh, tidak tanggung-tanggung

6.Nyirat           : Menguliti batang bambu, tipis-tipis

Leave a comment